"Dua kali lagi ya," ujar fotografer yang mengarahkan gaya pada Shesa dan Alvin.
Setelan melakukan pemotretan pada Naima, sekarang adalah giliran Alvin dan Shesa yang berpoto. Beberapa setel pakaian mereka kenakan urnuk hasil pemotretan yang lebih maksimal. Begitupun gaun- gaun lucu yang di kenakan oleh Naima semua hasil rancangan Shesa.
"Oke, sekarang foto bertiga ya ... Papi nya jangan kaku lagi, ya. Nanti gantengnya ilang," ujar lelaki lemah gemulai itu.
Kilatan lampu kamera berganti menyilaukan mata. Naima masih tertidur, bayi kecil itu lebih memilih tidur di bandingkan mendengarkan banyak suara di ruangan itu.
"Mau kemana sekarang?" tanya Alvin ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Shesa buru-buru menyusui Naima, karena memang sudah waktunya Naima menyusu.
"Makan aja, Sayang ... aku lapar." Shesa sedikit meringis kala Naima menyesap puting susunya cukup kuat.
"Naima, anak Papi cantik. Pelan-pelan dong, kasihan Mami Say
Enjoy reading 😘
"Anak pinter, nungguin Mami lama, ya?" Shesa meletakkan tasnya di atas nakas. Saat masuk ke kamar tadi, dia melihat Alvin fokus dengan laptop di pangkuan sedangkan Naima bermain selimut sendiri seperti biasa. "Lama banget," kata Alvin. "Macet, kamu udah makan?" "Belum, ntar aku makan, Naima sama siapa?" "Ih, lebay deh ... kan bisa bibik jaga sebentar." Shesa berjalan ke arah kamar mandi mencuci tangan, kaki serta puting ASI nya. "Naima lapar?" tanya Shesa pada bayi mungil itu. "Sejam yang lalu baru aku kasih susu dan habis," kata Alvin. "Pinter suami aku," ujar Shesa lalu merebahkan dirinya di samping Naima lalu memberikan ASI nya pada Naima. "Pelan-pelan, Sayang," katanya pada bayi kecil itu. "Lapar banget," kata Alvin ikut merebahkan diri dan memperhatikan Naima menyesap ASI Shesa. "Sayang," ucap Alvin. "Iya." "Mau jujur sama aku?" tanya Alvin. "Jujur apa?" Shesa membalas
"Selamat, Mas ... bakal jadi Bapak, lo," ujar Alvin memberikan selamat pada Pandu yang meneleponnya siang ini. "Makasih, Vin. Tapi, gue mau nanya sama lo. Waktu Shesa hamil gitu, lo sakit nggak?" "Nggak, emang kenapa? Jangan bilang lo yang ngidam." Alvin tertawa. "Badan gue nggak enak terus, Vin. Tapi mulut gue nggak berhenti makan." Alvin kembali tertawa. "Bisa jadi lo yang ngidam, Mas. Nikmatin aja Mas, daripada di suruh beli makanan sampe ke Zimbabwe, lo pilih yang mana?" "Ya nggak sampe Zimbabwe juga kayaknya, Vin." "Gue mau pulang, Mas. Udah dulu ya, kangen bini nih." "Dih, " kekeh Pandu lalu menutup sambungan telepon mereka. "Ren, kamu bisa ke ruangan saya," ujar Alvin pada assistennya itu melalui sambungan telepon. Tak berapa lama, Reno memasuki ruangan itu. Lelaki lemah gemulai itu membawa satu buku agenda yang siap menjadi tempat dia mencatat segala pesan dari Alvin. "Ren, kamu bisa rekomendasik
Pandu baru saja memasuki rumahnya, dan setiap ruangan kosong sore itu. Biasanya ibu mertuanya sudah sibuk menghidangkan cemilan sore untuk anak dan menantunya di meja makan. Mengingat semenjak kehamilan Anggi, wanita itu selalu meminta makanan yang kadang tidak bisa Pandu temui dimana-mana."Sayang," panggil Pandu membuka pintu kamarnya.Bunyi gemericik air di kamar mandi , mengakhiri pencarian dimana istrinya berada. Pandu melepas kemeja kerjanya, duduk di tepi tempat tidur menunggu sang istri keluar dari kamar mandi."Mas ...." Anggi keluar dengan rambut yang berbalut handuk, serta hanya mengenakan pakaian dalam. "Udah pulang, tumben." Anggi melangkah mendekat dengan perut yang masih terlihat rata."Aku pusing," rengek Pandu meraih tubuh Anggi dan memeluk perut istrinya."Pusing banget?""Iya," jawab Pandu namun tangannya meremas bokong Anggi."Pusing tapi tangannya kemana-mana," kekeh Anggi. "Sayang nanti jam delapan kita per
Hari ini hari terakhir mereka berada di Bandung, Alvin serta keluarganya menyempatkan diri mampir ke rumah serta kantor milik Pandu. Showroom mobil yang besar dan cukup terkenal di kota itu, bisa dikatakan Pandu sukses membangun kerajaan bisnisnya. "Nggak ada niatan pindah ke Jakarta, Mas Pandu?" tanya Shesa melirik Anggi yang sedang menggendong Naima. "Kalo niatan belum lah, Anggi juga masih mengajarkan, tapi kalo untuk buka satu showroom di sana mungkin, tapi aku belum ada kepikiran untuk tempatnya, kamu ada ide Vin?" "Gampang kalo di Jakarta, Mas. Kamu kan sudah jadi salah satu pengusaha muda se Indonesia, tinggal deketin aja pejabat, artis dan para Sultan-Sultan itu, customer pasti akan datang tanpa melihat mau buka showroom dimana." "Endorse?" tanya Pandu. "Iya, kasih diskon atau kasih satu mobil yang sedang di gandrungi sekarang ini." "Satu mobil?" Mata Pandu membulat lalu melemparkan penanya ke arah Alvin. "Lo kata itu mob
Alvin dan Shesa masih terdiam di dalam mobil. Kepergian Ririn tadi membuat mereka lama terdiam, seolah satu sama lain enggan untuk membahasnya. "Kamu mau kita bahas ini?" tanya Alvin takut menyinggung perasaan Shesa. "Nggak usah, semua udah jelas. Kesalahpahaman yang harusnya sudah sejak dulu kami selesaikan." Shesa menarik sabuk pengamannya. "Naima sudah nungguin, kita pulang." Shesa tetap memandang lurus ke depan. "Tapi benar kamu nggak marah?" Alvin belum juga menyalakan mesin mobilnya. "Jujur aku kecewa, tapi sudahlah masa lalu tidak usah lagi di bahas, sama halnya jika kamu di hadapkan dengan masa lalu aku yang luar biasa itu." Shesa kali ini tersenyum. "Kita memang harus terus mencoba saling memahami, Sayang. Karena masa lalu kita yang luar biasa ini." "Makasih, Sha. Kehadiran kamu di hidup aku membuat aku hingga seperti sekarang ini, harus banyak sabar, ya kan?" Alvin tersenyum lalu menuntun kepala Shesa bersandar di bahunya. "A
Sore di teras rumah berdesain minimalis, menghadap sebuah taman mungil, Soraya mengupas kulit buah apel untuk sang Ibu. Tatapan mata wanita paruh baya itu masih nampak kosong. Berlalunya waktu tidak dapat membuatnya melupakan apa yang terjadi di masa lalu. "Ma, di makan ya. Kata bibik, Mama makan sedikit sekali. Bukan berarti Aya keluar kota Mama jadi mogok makan," ujar Soraya. Citra hanya menoleh sebentar ke arah Soraya lalu tetap kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Gimana Mama mau sehat, kalo Mama sendiri nggak ada kemauan untuk sembuh." Soraya memberikan satu potong apel pada Citra. "Aku ikhlas merawat Mama, tapi tolong kita saling bahu membahu, Ma. Aku juga harus kerja demi hidup aku, Mama, dan perusahaan." Lama terdiam, ekspresi dari wanita tua itu pun tidak ada, hanya matanya saja yang kembali berembun. "Nggak ada yang harus Mama sesali, Mama masih punya aku. Mama jangan pernah merasa bersalah, sekarang aku sudah baha
"Halo, Ya," sapa Shesa di sambungan telepon pagi itu. Shesa baru saja memandikan Naima, bayi kecil itu sudah bisa membolak-balikkan tubuhnya serta berusaha mengangkat tegak kepalanya. "Aku ganggu nggak, Sha?" tanya Soraya di seberang sana. "Nggak, biasalah kalo pagi emang rempong harus ngurus bayi besar dan bayi kecil," kekeh Shesa. Alvin yangbaru saja keluar dari kamar mandi mengernyitkan keningnya. "Kenapa, Ya?" "Ada waktu hari ini ketemu di butik kamu?" "Ada dong. Sebentar, Ya ...." Shesa meletakkan teleponnya lalu memasukkan tangan Naima pada pakaian yang bayi itu kenakan. "Gimana, Ya?" "Iya, pagi ini ketemu di butik. Aku mau minta kamu desain kan aku gaun," ujar Soraya malu-malu. "Gaun? Untuk acara apa? Dinner romantis nih, ya kan?" Shesa terkekeh lalu mencium Naima yang sudah selesai dia dandani, kemudian beralih pada Alvin yang menunggunya mencarikan kemeja untuknya bekerja. "Bukan dinner, tapi—" "Oh, pas
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer