"Kurang ajar juga si Catur ya, gue kira dia single." Nina menepuk jidatnya.
"Jangankan elo, gue aja masih gak percaya sampe detik ini... Astaga Nin, itu laki orang, gue gak pernah maen sama laki orang, gue kira tiga bulan ini gue udah beneran tobat, Catur nerima gue apa adanya, ternyata dia sama brengseknya dengan yang lain."
"Yang gue heran, kenapa sama lo dia jujur ya Sha? bilang kalo dia udah nikah... Njiiirrr bini nya baru lahiran dua bulan lalu."
"Dua bulan lalu baru ngelewatin masa nifas Nin, berarti selama tiga bulan sama gue, dia lampiasin hasratnya sembari nunggu bini nya kelar masa nifas, emang gak ada otak." Wajah Shesa memerah menahan marah.
Untung saja coffeeshop milik Nina pagi ini masih sepi, jadi mau sekeras apapun suara Shesa menyalurkan kemarahannya juga tidak ada yang perduli.
"Cariin gue kerjaan deh Nin, gue capek jadi model begini, kesenangan yang gue dapet gue ngerasa semu Nin."
Nina berusaha mengerti posisi Shesa, hanya Nina yang dia percaya selama ini, nasib Nina memang lebih beruntung daripada Shesa, berbanding 360 derajat.
Nina di besarkan di keluarga yang berkecukupan, tidak kurang tidak lebih, mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua dan seorang kakak.
Nina juga sudah menikah mempunyai seorang anak berumur dua tahun, suaminya Andre bekerja sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan terbesar di ibukota.
Seringkali Nina menasehati Shesa untuk hidup normal, toh Shesa masih memiliki Nina dan keluarga Nina yang juga sayang pada Shesa, entah apa yang Shesa cari, kadang membuat Nina hanya bisa pasrah.
"Lo mo cari kerja apa? Lo jadi model begini aja hidup lo sudah enak Sha, apalagi yang lo cari?"
"Gue belom merasa puas Nin, hati gue gak tenang hidup kayak gini, gue baru ngerasain sekarang, gue seneng-seneng punya banyak temen, tapi mereka gak ada yang tulus sama gue, cuma elo Nin, yang nerima gue apa adanya."
"Hmm, baru sadarkan lo."
"Bantu gue dapetin kerjaan, gue mau hidup normal sekarang, minimal untuk diri gue nyaman dulu deh."
"Coba nanti gue tanya Mas Andre ya, kali aja di tempat dia kerja butuh karyawan, lumayan sih ijazah lo ke pake juga, lulusan PR loh masa ijazah di taro di bawah tumpukan baju."
"Haha, dasar lo, gue cabut ya, ada pemotretan siang ini, kontrak terakhir setelah ini gue mo hidup lurus-lurus aja."
"Ati-ati di jalan, jangan malem-malem pulang, hindari club."
"Iya bawel, salam buat anak lo yah, kabarin gue kalo ada info," mereka saling menautkan pipi masing-masing.
*****
Atas bantuan Andre, Shesa mendapatkan pekerjaan sebagai salah satu staff public relations sesuai dengan kemampuan yang ia punya.
Perusahaan manufaktur yang bergerak pada bidang tekstil terbesar di Indonesia membawanya pada kehidupan normal seorang wanita pekerja.
Seminggu sudah dia bekerja di perusahaan itu, beberapa karyawan ada yang mengenalinya sebagai model papan atas, sebagian lagi masa bodoh toh statusnya sama-sama pekerja di sana.
"Sha, besok ikut meeting di Bali ya," ujar Reta teman satu timnya.
"Hah? Kok mendadak?"
"Iya kita yang di kirim kesana, aku juga heran kenapa bisa kita ... oh satu lagi, anaknya big boss juga ikut," ujar Reta sambil berlalu.
"Anak big boss?"
Yang benar saja baru seminggu dia bekerja sudah dikirim untuk tugas keluar kota, bukankah untuk karyawan baru seperti dirinya harusnya lebih dahulu beradaptasi untuk pekerjaan di dalam kantor daripada di luar, pikir Shesa.
Waktu menunjukkan jam makan siang. Shesa melangkah menuju toilet kantornya, melewati kubikel-kubikel yang masih terisi beberapa karyawan yang belum turun untuk beristirahat. Memasuki toilet tersebut, Shesa merapikan dandan an di wajahnya, rambut hingga pakaian yang dia kenakan.
"Ups, sorry," ujar lelaki itu yang hampir saja bertabrakan dengan Shesa saat Shesa keluar dari ruangan toilet.
"Ladies room," ujar Shesa.
"Iya, maaf ... Saya kira tadi— oh iya, maaf ... ternyata itu," ujarnya menunjuk toilet VIP khusus petinggi perusahaan.
Shesa melangkah meninggalkan lelaki itu, entah siapa karena satu minggu bekerja di sini dia belum sama sekali bertemu wajah itu. Dan lagi pula bukannya petinggi perusahaan punya sendiri toilet di dalam ruangannya, mengapa harus menggunakan toilet VIP di luar ruangan mereka.
Sinar matahari sore masuk menerobos jendela kaca di ruangan Shesa, ruangan yang terdiri dari lima orang team PR itu mulai sepi, hanya tertinggal Shesa dan Reta di sana.
"Prepare laporan untuk lusa ya, Sha," ujar Reta.
"Ok."
"Bye the way, tiket dan hotel sudah di booking ya, jadi besok kita ketemu langsung di bandara aja, gak papa kan?"
"Gak papa, santai aja," ujar Shesa. "Aku udah kelar, Ta ... aku duluan ya."
Shesa berdiri, meraih tas dan ponselnya lalu meninggalkan Reta di ruangan itu.
"Tunggu, jangan di tutup dulu," seru suara seorang lelaki yang berlari mencegah Shesa untuk menutup pintu lift. "Makasih," ujarnya. Shesa hanya mengangguk menjawab.
Lelaki itu menoleh pada Shesa, "yang tadi siang kan?" tanyanya.
"Hah?"
"Yang ketemu di toilet ... divisi apa?" Shesa yakin lelaki itu hanya berbasa basi saja untuk tidak canggung karena di lift itu hanya mereka berdua.
"Humas."
"Oh, PR ... baru? karena saya baru liat."
Perhatian sekali rupanya batin Shesa.
"Satu minggu."
"Oh pantas ... tapi wajah kamu gak asing, seperti pernah melihat di salah satu ... oh iya, salah satu majalah ternama kamu brand ambassador produk—"
"Sudah gak," potong Shesa.
"Memilih menjadi wanita karier?"
"Bisa di bilang begitu ...."
Pintu lift terbuka, Shesa bergegas keluar dari sana dengan hanya menganggukkan kepala pada lawan bicaranya. Berjalan cepat menuju mobil yang dia parkir kan di lantai basemen. Hari sudah hampir malam, sudah pasti dia akan terjebak macet dan hectic nya jalan raya, Shesa berusaha menikmatinya.
"Ban mobil kamu kempes," ujar suara itu lagi dari belakang tubuh Shesa.
"Hah?" Ekor mata Shesa mengikuti arah jari lelaki itu. "Ya ampun ... kok bisa?"
"Pasti gak berasa waktu kamu bawa pagi tadi," ujar lelaki itu lagi.
"Mungkin." Shesa merogoh tasnya mencari ponsel untuk menghubungi bengkel yang biasa melayaninya.
"Udah tutup pasti ... mana ada bengkel showroom buka udah jam segini ... dan kalo di lihat kamu terbiasa pake bengkel seperti itu kan?"
"Aduh ... iya juga ya." Shesa mulai panik.
"Saya duluan," ujar lelaki itu berjalan meninggalkan Shesa.
"Astaga ... gue kira mau bantuin, dasar!" gerutu gadis itu. Lalu mengusap layar ponselnya membuka aplikasi layanan taksi online.
"Mau bareng gak?" Mobil itu berhenti tepat di depan Shesa.
"Gak usah ... makasih."
"Ok." Dan mobil itu pun meninggalkannya begitu saja.
"Orang gila ... basa basi gak jelas."
Bunyi jam weker menggema di kamar Shesa. Tepat pukul lima pagi, suara itu membuat matanya harus terbuka. Jika saja hari ini bukan jadwalnya dia harus berangkat ke Bali mungkin dia akan terbangun pukul tujuh dan masih menyempatkan dirinya untuk menikmati secangkir kopi latte di meja makan. Shesa harus bergegas, dia harus sampai di bandara pukul sembilan sedangkan situasi jalan di pagi hari kota besar ini begitu padat merayap, belum lagi Shesa harus menunggu orang bengkel untuk mengambil kunci di apartemennya, agar bisa membawa mobilnya ke bengkel. "Mas nya dimana? Atau gini aja deh, saya taruh kunci mobil di lobby apartemen ya ... nanti Mas bilang aja sama resepsionisnya, atas nama saya," ujar Shesa pada orang bengkel di seberang sana. Terburu-buru Shesa masuk ke dalam taksi yang akan mengantarkan dia ke bandara pagi ini. Jika saja urusan mobil bisa dia selesaikan semalam mungmjn dia tidak akan telat untuk urusan kunvu saja.
Meeting selesai dalam waktu hampir dua jam, dengan agenda jika besok akan di mulai kembali. Dan perusahaan membebaskan acara malam ini untuk para staff. Shesa berjalan menuju lift seorang diri, seperti biasa Reta selalu meninggalkannya dengan alih masih harus membahas beberapa poin saat meeting tadi, padahal sebenernya besok pun masih bisa di lakukan. "Jangan di tutup," seru suara dari luar lift saat Shesa sudah menekan tombol close, buru-buru Shesa menahannya. "Makasih," ujar lelaki itu. "Astaga, dia lagi," gumam Shesa. Lelaki itu bersandar di dinding lift, dengan satu tangan berada di kantung celananya memperhatikan Shesa yang menggulir layar gawainya. "Ketemu lagi kita," ujarnya membuka pembicaraan. "Iya, padahal aku udah berdoa, semoga gak ketemu lagi," kata Shesa dengan senyum tipis. "
Pagi itu Shesa berjalan sedikit terburu-buru bersama Reta. Memasuki ruangan rapat yang sudah di penuhi oleh banyak orang di dalamnya. Shesa hari itu mengenakan rok sepan hitam sebatas lutut dengan kemeja berwarna baby pink, dan laptop di tangan kanan serta tas yang berada di kiri lengannya. Duduk di meja yang bertuliskan namanya , mata Shesa seperti mencari seseorang. Mata itu bersitatap dengan obyekyang dia cari. Alvin sedang menatapnya, lelaki itu melempar senyuman. Meeting hari kedua ditujukan pada masing-masing divisi untuk melakukan presentasi di bagian masing-masing. Dan, hari ini divisi yang Shesa tempati mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan serta bagaimana mereka membantu perusahaan agar selalu di pandang baik sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di negara ini. Shesa di tunjuk sebagai pembicara dari divisi Humas, wanita berumur 27 tahun itu berjalan sangat anggun. Aura model papan atas yang dulu sempat membawanya d
"Vin," lirih Shesa. "Hhmm." Alvin membuka satu per satu kancing kemeja Shesa, tangannya meraba dada Shesa sementara tautan bibirnya tak berhenti. Alvin menikmati permainan lidah Shesa di dalam rongga mulutnya. Ciuman Shesa begitu menghanyutkan, mereka sama-sama terbuai. Hingga akhirnya Alvin menarik mundur tubuhnya, menata mata Shesa yabg masih sendu. Kemeja Shesa sudah terbuka, buah dadanya begitu sempurna, pandangan Alvin turun pada dada yang masih terbalut bahan berenda berwarna nude itu. Alvin mengecupi dada Shesa, tubuh Shesa menegang ketika perlahan Alvin membuka pembungkus dadanya. "Vin,"lirih Shesa membusungkan dadanya. Alvin hanya bergumam, dia lebih memilih menikmati permainan lidahnya di puncak dada Shesa dan mendengarkan lenguhan suara Shesa yang merdu di telinganya. "Sha ... aku mau kamu," ujar Alvin, tangan lelaku itu turun menyusuri perut datar milik Shesa sampai pada pembatas rok yang Shesa kenakan. "Jangan," ujar Shesa
Sebuah minibus mengantarkan Shesa dan beberapa orang menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Shesa tak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh Alvin saat terakhir mereka bertemu tadi, tiba-tiba menarik tubuhnya lalu mendaratkan ciuman yang sama seperti malam sebelumnya. Shesa menggeleng lalu tersenyum, sudah dipastikan wajahnya merona merah. Jatuh cinta? Apa itu? Shesa belum pernah merasakannya sedalam ini bahkan dengan Catur si brengsek itu sekalipun. Senyum samar itu seketika hilang saat mengingat nama Catur kembali hinggap di benaknya "Sha, ayo ... siap-siap boarding," ujar Reta yang berjalan di depan Shesa. "Hari Senin, Pak Alvin gosipnya sudah bergabung di perusahaan kita," kata Reta menghempaskan tubuhnya duduk di sebelah Shesa. "Oh, selama ini ... maksud aku sebelumnya dia dimana?" "Gak tau ... gak jelas juga, ada yang bilang dia punya usaha sendiri di luar negeri ada yang bilang menghamburkan uang keluarga, entah mana yang benar."
"Membicarakan apa?" tanya Alvin yang langsung saja masuk ke ruangan sekretaris sang Ayah. "Pak Alvin, silahkan duduk," ujar Bu Sinta. "Biar di sini saja, Bu Sinta ... tadinya saya ingin meminta bantuan untuk mencarikan file produk, ternyata Bu Sinta sedang ada tamu." Alvin berdiri di samping Shesa. "Ah ... hanya berbincang mengenai posisi kosong sebagai sekretaris Pak Alvin, sudah ada dua kandidat dan satu lagi saya menawarkan posisi itu pada Shesa." "Hasilnya?" tanya Alvin melirik Shesa dengan ekor matanya. "Saya pikirkan dulu, Pak Alvin ... saya baru bekerja hitungan minggu di perusahaan ini, jadi saya tidak ingin gegabah mengambil keputusan, apalagi untuk posisi yang di tawarkan pada saya bukan lah bidang yang saya geluti," ujar Shesa. Alvin hanya mengangguk, "ok ... silahkan dipikirkan," ucap Alvin lalu berlalu keluar dari ruangan itu. "Sebaiknya dipikirkan lagi, Sha ... aku lebih tertarik sama kamu di banding yang lain, ta
"Sha." Suara itu terdengar lirih, seakan meminta sesuatu yang menjadi candunya. Alvin semakin mendekatkan tubuhnya, sapuan nafasnya semakin terasa hangat menerpa wajah Shesa. Alvin menautkan bibirnya pada bibir Shesa, menyesapnya lama. Shesa menikmati setiap gigitan-gigitan kecil di bibirnya, matanya terpejam sedangkan tangannya membelai lembut rahang lelaki itu. Alvin menarik pagutannya, matanya menatap sendu mata Shesa yabg baru terbuka saat ciuman itu berakhir. "Aku gak tau ini apa, tapi aku ngerasa sesuatu berbeda saat pertama kali ketemu kamu," bisik Alvin di telinga Shesa. Alvin kembali menautkan bibirnya, kali ini lidah mereka saling menari di dalam sana, tangan Alvin menahan tengkuk leher Shesa, menciumnya semakin dalam. Tangan lelaki itu turun ke dada Shesa, payudara wanita itu terasa padat di tangan kekar milik Alvin. Shesa melenguh saat cengkraman itu semakin kuat meremas dadanya. "Vin ...." Shesa menarik dirinya,
Suara ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Alvin dalam mengerjakan pekerjaannya. Budiman Atmaja, ayah Alvin datang menemui putranya bersama seorang wanita berkulit putih bening, bermata indah dan mempunyai rambut berwarna coklat keemasan. "Hai, Alvin," sapa Soraya. Wanita dengan tinggi badan 165 sentimeter itu berjalan mendekati Alvin dan memberikan kecupan di pipi lelaki itu. "Papa kesini mau nganterin Soraya, ajak Soraya makan malam ya ... jauh-jauh dari Bali sudah pasti harus kamu jamu dengan baik," ujar Budiman pada Alvin. "Kenapa gak Papa sama mama aja yang makan malam sama Soraya? Alvin masih banyak pekerjaan." Alvin berusaha menolak, jelas dia ingat sekali janjinya pada Shesa malam ini. "Papa masih ada urusan, kalo mama kamu ... tau sendiri lah jadwalnya padat, kan." Budiman menepuk pundak Soraya. "Soraya, Om tinggal dulu ya ... butuh apa-apa selama di sini, bilang aja sama Alvin." Budiman lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer