Lelaki itu turun dari tubuh Shesa yang membuatnya melayang ke angkasa malam itu. Menjadikan lengan kekarnya sebagai bantalan untuk kepala sang gadis.
Tak berapa lama, lelaki itu menatap langit-langit kamar, sementara Shesa di sebelahnya masih sibuk membuat lingkaran dengan jari jemarinya di dada lelaki itu.
"Sha ... aku mau jujur sama kamu," ujarnya dengan wajah serius namun tangannya masih memberikan belaian lembut di pundak Shesa. "Aku sebenernya— aku sudah menikah," ujar Catur ragu-ragu.
"Whattt?" Shesa menarik selimut agar menutupi seluruh tubuhnya, lalu berdiri.
"Gila lo ya ... Pergi lo!" Seru gadis itu lantang, "segila gilanya gue, gue anti maen sama laki orang... Pergi lo!"
"Maaf, Sha ... maaf aku baru mengatakannya sekarang, aku gak bisa membohongi diriku sendiri, aku suka hubungan kita tapi—"
"Pergi ... sebelum gue panggil keamanan kesini ...PERGI GUE BILANG!"
Lelaki itu beranjak dengan hati yang pilu, sejujurnya tiga bulan belakangan ini dia merasakan ada yang berbeda di hatinya, mendambakan kenyamanan dengan seseorang selain istrinya yang baru melahirkan dua bulan yang lalu.
Merapikan pakaiannya, menoleh sebentar pada sosok wanita berambut panjang bertubuh sempurna yang sudah menemaninya tiga bulan terakhir ini diatas ranjang.
"Brengsek lo!" Mata Shesa berkaca-kaca.
Bantingan pintu apartemen itu seakan menyisakan sesak di dada gadis cantik itu.
Baru tiga bulan ini dia berkata pada dirinya untuk bertobat, tidak lagi berada di dunia malam, memakai obat-obatan, bahkan melakukan hubungan intim dengan lawan jenis yang dia sukai walaupun hanya semalam.
Bertemu dengan sosok Catur adalah impiannya sejak dulu, perhatian dan kelembutan lelaki itu selalu membawanya terbang ke awang-awang.
Shesa merindukan kasih sayang yang sejak dulu dia inginkan. Terlahir dari keluarga broken home, di tinggal pergi oleh sang Ibu dan adik semata wayangnya dan selalu melihat kelakuan ayahnya bermain gila dengan wanita panggilan membuatnya jijik dengan kehidupannya sendiri.
Terjerumus pada pergaulan bebas yang sebenarnya tidak ia inginkan, tapi hanya dengan kehidupan itu yang membuatnya bisa terlepas dari kemelut keluarganya.
Catur datang menawarkan kehidupan yang lebih baik, perhatian Catur yang dirasakan oleh Shesa sungguh membuatnya sangat di hargai. Pertemuan di salah satu perjamuan makan malam saat peresmian produk salah satu relasi bisnisnya, yang kebetulan Shesa adalah brand ambassador nya.
Terduduk, merenungi nasibnya sejahat inikah kehidupan untuk dirinya, seandainya bisa memilih dapatkah ia memilih untuk terlahir kembali, membenahi kekacauan yang terjadi selama ini.
***
Shesa meraih kunci mobilnya, meninggalkan apartemen, melangkah lebar ke halaman parkir apartemen itu. Dia hanya mengenakan kaos polos berwarna hitam dan celana pendek mengendarai mobilnya menuju salah satu coffee shop di bilangan Jakarta Selatan.
Alunan musik sendu terdengar samar dari luar kafe itu. Beberapa pengunjung mulai sepi hanya tinggal beberapa pasang muda mudi yang duduk saling berdekatan.
Shesa duduk di salah satu meja yang menghadap ke jendela. Rintik hujan mulai turun, hawa dingin mulai menyeruak masuk. Pesanan datang, secangkir kopi hangat hanya sekedar lewat saja di tenggorokannya, tetap terasa dingin, sedingin hatinya.
Sudah tiga bulan dia tidak lagi menginjakkan kakinya di club malam, biasanya bisa setiap hari Shesa menghabiskan waktu dan uangnya di sana. Menari, mabuk, bahkan merasakan bercinta dalam satu malam pun pernah dia lakukan.
Shesa tersenyum sinis, dia ingat sekali bagaimana pertama kalinya dia kehilangan keperawanannya. Hidup ini baginya tak pernah adil, terkahir dari keluarga yang kacau, dia ditinggalkan oleh ibunya dengan seorang ayah yang berkelakuan buruk.
Meski ayahnya adalah seorang pengusaha terpandang di negeri ini namun tetap saja dia jijik melihat kelakuan lelaki itu.
Bagaimana bisa seorang ayah menyerahkan anaknya pada seorang teman bisnisnya yang datang dalam keadaan mabuk ke rumah mereka.
Shesa ingat betul saat malam kejadian itu, dia sedang menuruni tangga, dia melihat ayahnya sedang bercumbu dengan beberapa wanita malam. Tak lama kemudian seorang lelaki berumur sekitar 40 tahun datang dalam keadaan mabuk dan berbisik pada sang ayah dengan tatapan tajam mengarah padanya.
Shesa dengan tangan yang di tarik paksa oleh sang ayah untuk masuk ke dalam kamar bersama lelaki bertubuh kekar. Lelaki itu dengan liarnya mencumbui tubuh Shesa, meraba dan membelai setiap lekuk tubuh gadis berusia 17 tahun itu.
Shesa tak mampu melawan saat lelaki itu mulai memasuki inti tubuhnya. Lelaki itu mengayunkan tubuhnya dari tempo lambat hingga cepat. Hentakan dan hujaman berkali-kali dirasakan oleh Shesa hingga dia merasakan sudah mati rasa saat lelaki itu menciumi miliknya dengan liar.
Shesa menangis? Menangis pun tak ada gunanya, tatapan mata yang kosong saat dia ditinggalkan tanpa sehelai benangpun oleh lelaki yang merenggut kesuciannya.
Sejak saat itu, Shesa meninggalkan rumah itu, meninggalkan ayahnya dengan kemarahan. Shesa sudah tak sanggup hidup mewah namun tetap saja seperti berada di neraka.
Shesa memutuskan untuk tinggal di salah satu apartemen milik ayahnya. Shesa berhasil menyelesaikan SMA nya dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Pertemuan Shesa dengan sang ayah hanya dalam bentuk dia membutuhkan uang untuk kuliah dan hidupnya tapi untuk kembali tinggal bersama sang ayah jelas Shesa tak ada keinginan untuk kembali ke rumah itu.
Hidup sendiri melakukan segala sesuatunya sendiri membuat Shesa semakin bebas dalam bergaul. Merasa hidupnya sudah gagal, pergaulan bebas Shesa ambil sebagai pelarian. Obat-obatan terlarang sudah menjadi makanannya sehari-hari, bercinta dalam satu malam sering dia lakukan dengan beberapa lelaki yang dia jumpai di club malam.
Shesa memutuskan untuk menjadi seorang model atas tawaran teman kencan satu malamnya. Ajakan untuk bergabung di salah satu agency lelaki itu akhirnya Shesa terima.
Dan seperti sekarang inilah Shesa, menjadi salah satu model papan atas di tanah air. Bergelimang harta, dikenal banyak orang, banyak yang menyukainya karena keramahan gadis itu. Namun di balik kesuksesannya, ada masa lalu yang selalu menghantuinya.
Shesa menghela napas berat, dia mengedarkan pandangannya ketika dia sadari kafe itu sudah hampir tutup. Hujan di luar sana mulai deras, Shesa meletakkan satu lembar uang seratus ribu di bawah cangkir kopi yang dia minum tadi.
Shesa berjalan gontai, mengeratkan tangan di tubuhnya. Hawa dingin karena hujan membuatnya harus mendekap tubuhnya semakin erat. Shesa mulai melangkah menuju dimana mobilnya terparkir.
Matanya tak sengaja memandang dua pasangan muda mudi sedang bercumbu di dalam mobil Range Rover berwarna hitam yang terparkir di sebelah mobilnya. Shesa tersenyum melihat kelakuan pasangan itu.
"Cari hotel kek ... malu sama harga mobil woy," gerutu Shesa lalu meninggalkan bunyi klakson nyaring yang membuat pasangan itu terkejut.
Hujan semakin deras, Shesa mengendarai mobilnya tanpa tujuan, biasanya jika dia sedang berada di tahap seperti ini, maka club malam lah tujuannya. Namun tidak malam ini, Shesa sudah berjanji akan menutup lembaran masa lalunya rapat-rapat.
"Kurang ajar juga si Catur ya, gue kira dia single." Nina menepuk jidatnya. "Jangankan elo, gue aja masih gak percaya sampe detik ini... Astaga Nin, itu laki orang, gue gak pernah maen sama laki orang, gue kira tiga bulan ini gue udah beneran tobat, Catur nerima gue apa adanya, ternyata dia sama brengseknya dengan yang lain." "Yang gue heran, kenapa sama lo dia jujur ya Sha? bilang kalo dia udah nikah... Njiiirrr bini nya baru lahiran dua bulan lalu." "Dua bulan lalu baru ngelewatin masa nifas Nin, berarti selama tiga bulan sama gue, dia lampiasin hasratnya sembari nunggu bini nya kelar masa nifas, emang gak ada otak." Wajah Shesa memerah menahan marah. Untung saja coffeeshop milik Nina pagi ini masih sepi, jadi mau sekeras apapun suara Shesa menyalurkan kemarahannya juga tidak ada yang perduli. "Cariin gue kerjaan deh Nin, gue capek jadi model begini, kesenangan yang g
Bunyi jam weker menggema di kamar Shesa. Tepat pukul lima pagi, suara itu membuat matanya harus terbuka. Jika saja hari ini bukan jadwalnya dia harus berangkat ke Bali mungkin dia akan terbangun pukul tujuh dan masih menyempatkan dirinya untuk menikmati secangkir kopi latte di meja makan. Shesa harus bergegas, dia harus sampai di bandara pukul sembilan sedangkan situasi jalan di pagi hari kota besar ini begitu padat merayap, belum lagi Shesa harus menunggu orang bengkel untuk mengambil kunci di apartemennya, agar bisa membawa mobilnya ke bengkel. "Mas nya dimana? Atau gini aja deh, saya taruh kunci mobil di lobby apartemen ya ... nanti Mas bilang aja sama resepsionisnya, atas nama saya," ujar Shesa pada orang bengkel di seberang sana. Terburu-buru Shesa masuk ke dalam taksi yang akan mengantarkan dia ke bandara pagi ini. Jika saja urusan mobil bisa dia selesaikan semalam mungmjn dia tidak akan telat untuk urusan kunvu saja.
Meeting selesai dalam waktu hampir dua jam, dengan agenda jika besok akan di mulai kembali. Dan perusahaan membebaskan acara malam ini untuk para staff. Shesa berjalan menuju lift seorang diri, seperti biasa Reta selalu meninggalkannya dengan alih masih harus membahas beberapa poin saat meeting tadi, padahal sebenernya besok pun masih bisa di lakukan. "Jangan di tutup," seru suara dari luar lift saat Shesa sudah menekan tombol close, buru-buru Shesa menahannya. "Makasih," ujar lelaki itu. "Astaga, dia lagi," gumam Shesa. Lelaki itu bersandar di dinding lift, dengan satu tangan berada di kantung celananya memperhatikan Shesa yang menggulir layar gawainya. "Ketemu lagi kita," ujarnya membuka pembicaraan. "Iya, padahal aku udah berdoa, semoga gak ketemu lagi," kata Shesa dengan senyum tipis. "
Pagi itu Shesa berjalan sedikit terburu-buru bersama Reta. Memasuki ruangan rapat yang sudah di penuhi oleh banyak orang di dalamnya. Shesa hari itu mengenakan rok sepan hitam sebatas lutut dengan kemeja berwarna baby pink, dan laptop di tangan kanan serta tas yang berada di kiri lengannya. Duduk di meja yang bertuliskan namanya , mata Shesa seperti mencari seseorang. Mata itu bersitatap dengan obyekyang dia cari. Alvin sedang menatapnya, lelaki itu melempar senyuman. Meeting hari kedua ditujukan pada masing-masing divisi untuk melakukan presentasi di bagian masing-masing. Dan, hari ini divisi yang Shesa tempati mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan serta bagaimana mereka membantu perusahaan agar selalu di pandang baik sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di negara ini. Shesa di tunjuk sebagai pembicara dari divisi Humas, wanita berumur 27 tahun itu berjalan sangat anggun. Aura model papan atas yang dulu sempat membawanya d
"Vin," lirih Shesa. "Hhmm." Alvin membuka satu per satu kancing kemeja Shesa, tangannya meraba dada Shesa sementara tautan bibirnya tak berhenti. Alvin menikmati permainan lidah Shesa di dalam rongga mulutnya. Ciuman Shesa begitu menghanyutkan, mereka sama-sama terbuai. Hingga akhirnya Alvin menarik mundur tubuhnya, menata mata Shesa yabg masih sendu. Kemeja Shesa sudah terbuka, buah dadanya begitu sempurna, pandangan Alvin turun pada dada yang masih terbalut bahan berenda berwarna nude itu. Alvin mengecupi dada Shesa, tubuh Shesa menegang ketika perlahan Alvin membuka pembungkus dadanya. "Vin,"lirih Shesa membusungkan dadanya. Alvin hanya bergumam, dia lebih memilih menikmati permainan lidahnya di puncak dada Shesa dan mendengarkan lenguhan suara Shesa yang merdu di telinganya. "Sha ... aku mau kamu," ujar Alvin, tangan lelaku itu turun menyusuri perut datar milik Shesa sampai pada pembatas rok yang Shesa kenakan. "Jangan," ujar Shesa
Sebuah minibus mengantarkan Shesa dan beberapa orang menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Shesa tak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh Alvin saat terakhir mereka bertemu tadi, tiba-tiba menarik tubuhnya lalu mendaratkan ciuman yang sama seperti malam sebelumnya. Shesa menggeleng lalu tersenyum, sudah dipastikan wajahnya merona merah. Jatuh cinta? Apa itu? Shesa belum pernah merasakannya sedalam ini bahkan dengan Catur si brengsek itu sekalipun. Senyum samar itu seketika hilang saat mengingat nama Catur kembali hinggap di benaknya "Sha, ayo ... siap-siap boarding," ujar Reta yang berjalan di depan Shesa. "Hari Senin, Pak Alvin gosipnya sudah bergabung di perusahaan kita," kata Reta menghempaskan tubuhnya duduk di sebelah Shesa. "Oh, selama ini ... maksud aku sebelumnya dia dimana?" "Gak tau ... gak jelas juga, ada yang bilang dia punya usaha sendiri di luar negeri ada yang bilang menghamburkan uang keluarga, entah mana yang benar."
"Membicarakan apa?" tanya Alvin yang langsung saja masuk ke ruangan sekretaris sang Ayah. "Pak Alvin, silahkan duduk," ujar Bu Sinta. "Biar di sini saja, Bu Sinta ... tadinya saya ingin meminta bantuan untuk mencarikan file produk, ternyata Bu Sinta sedang ada tamu." Alvin berdiri di samping Shesa. "Ah ... hanya berbincang mengenai posisi kosong sebagai sekretaris Pak Alvin, sudah ada dua kandidat dan satu lagi saya menawarkan posisi itu pada Shesa." "Hasilnya?" tanya Alvin melirik Shesa dengan ekor matanya. "Saya pikirkan dulu, Pak Alvin ... saya baru bekerja hitungan minggu di perusahaan ini, jadi saya tidak ingin gegabah mengambil keputusan, apalagi untuk posisi yang di tawarkan pada saya bukan lah bidang yang saya geluti," ujar Shesa. Alvin hanya mengangguk, "ok ... silahkan dipikirkan," ucap Alvin lalu berlalu keluar dari ruangan itu. "Sebaiknya dipikirkan lagi, Sha ... aku lebih tertarik sama kamu di banding yang lain, ta
"Sha." Suara itu terdengar lirih, seakan meminta sesuatu yang menjadi candunya. Alvin semakin mendekatkan tubuhnya, sapuan nafasnya semakin terasa hangat menerpa wajah Shesa. Alvin menautkan bibirnya pada bibir Shesa, menyesapnya lama. Shesa menikmati setiap gigitan-gigitan kecil di bibirnya, matanya terpejam sedangkan tangannya membelai lembut rahang lelaki itu. Alvin menarik pagutannya, matanya menatap sendu mata Shesa yabg baru terbuka saat ciuman itu berakhir. "Aku gak tau ini apa, tapi aku ngerasa sesuatu berbeda saat pertama kali ketemu kamu," bisik Alvin di telinga Shesa. Alvin kembali menautkan bibirnya, kali ini lidah mereka saling menari di dalam sana, tangan Alvin menahan tengkuk leher Shesa, menciumnya semakin dalam. Tangan lelaki itu turun ke dada Shesa, payudara wanita itu terasa padat di tangan kekar milik Alvin. Shesa melenguh saat cengkraman itu semakin kuat meremas dadanya. "Vin ...." Shesa menarik dirinya,
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya. Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar. "Sayang," seru Anggi lagi. "Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan. "Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal. "Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya. "Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka. "Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu. "Iya, Ma." "Kita berangkat setelah makan siang
"Wah, selamat ya, Ndu. Langsung dua keren banget gimana bikinnya itu?" tanya Windu yang siang itu di telpon oleh Pandu, mengabarkan kalau Anggi sudah melahirkan. "Ya bikin aja, Win. Masa perlu gue ajarin." Pandu terkekeh. "Gimana Soraya?" "Sehat dia, tapi ya gitu ... apa memang begitu ya kalo perempuan lagi hamil?" "Emang gimana?" tanya Pandu, "eh, sebentar gue ubah mode video call aja, ini ada yang ribet pengen ikut ngobrol." Windu tertawa, hubungan tiga orang lelaki ini semakin hari semakin akrab. "Gimana? Coba di ulang lagi." Alvin meminta Windu mengulang perkataannya. "Iya, banyak banget maunya, belum sensitifnya, belum lagi minta yang nggak-nggak," keluh Windu. "Minta yang aneh dalam hal itu, nggak?" tanya Alvin tertawa. "Iya, Vin. Kok lo tau? Shesa juga?" tanya Windu penasaran. "Ya kali gue cerita, Win." Alvin tertawa. "Kapan lahiran?" tanya Pandu. "Masih lima bulan lagi," ujar Windu.
Pandu berjalan tergopoh-gopoh memasuki koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu dia di telpon Wulan untuk langsung datang ke rumah sakit karena Anggi mengeluh sakit pada perutnya. Jadwal melahirkan Anggi masih tiga minggu lagi seharusnya. Saat ini usia kandungannya masih delapan bulan, untung saja selesai acara keluarga tiga minggu lalu, Wulan memutuskan untuk tinggal bersama mereka mengingat kandungan Anggi yang sudah membesar. Apalagi kehamilan bayi kembar lebih-lebih tidak bisa di prediksi kapan akan lahirnya. Dokter saat pemeriksaan terakhir dua minggu lalu menyarankan untuk Anggi melakukan operasi secar, namun Anggi bersikeras ingin melahirkan normal. "Gimana, Ma?" tanya Pandu pada Wulan yang berdiri di depan ruang bersalin. "Ndu, kamu cepat siap-siap, temui suster temani Anggi," ujar Wulan terlihat panik. "I-iya, Ma. Pandu masuk dulu ya, Mama tolong hubungi keluarga," kata Pandu. Memasuki ruang dingin itu dengan baju yang suda
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer