"Bagaimana harimu?" Penelope memamerkan senyum lebarnya pada Dean yang baru saja pulang."Melelahkan. Aku harus pergi ke luar kota minggu depan," desah Dean yang meregangkan leher."Luar kota?" Penelope melepaskan jas milik Dean dan menyampirkannya ke punggung sofa."Birmingham.""Birmingham? Kebetulan sekali, aku juga harus pergi ke sana untuk menemui teman lama." Senyum lebar Penelope mulai menyita perhatian Dean sekarang."Kau sedang hamil, Penelope.""Dan apa masalahnya?""Kau harus istirahat di rumah.""Aku bukan piala untuk kau simpan di dalam lemari kaca, Dean. Aku perlu udara segar. Aku butuh melakukan sesuatu untuk mengalihkan kebosananku.""Pergilah ke salon, makan, atau apa pun bersama Mortimer, tetapi tidak untuk bepergian ke luar kota.""Kau tidak bisa melarangku." Penelope berpaling menuju sofa lipat dan duduk dengan wajah kaku.Dean menggulung lengan kemejanya. Matanya melirik ke arah Penelope sesekali. "Aku bisa. Aku suamimu sekarang."Penelope mengetatkan rahang. Bala
"Duduklah dan tutup matamu," pinta Dastan lembut, mengarahkan Alice untuk duduk di kursi di depan meja rias, dengan cermin oval besar yang memantulkan figur mereka di dalamnya.Alice memandang Dastan sekilas, lantas melirik ke arah cermin. Wajah Dastan masih sama tampannya di sana. Janggutnya bersih, aroma after shave menguar dari tubuhnya setiap kali pria itu bergerak, dan menebarkan bau segar di udara.Dengan dada telanjang dan hanya celana panjang yang membalut tubuhnya, Dastan mengitari meja rias. Menuntun Alice duduk. Kembali mengawasi bayangan mereka di dalam cermin."Ada apa?" Alice menatap mata Dastan dari balik cermin."Aku punya sesuatu untukmu," bisiknya di sisi kiri wajah Alice."Kau akan menyogokku dengan hadiah lagi?"Satu alis Dastan terangkat membentuk lengkungan sempurna di dalam cermin. Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Tutup saja matamu, Alice." Alice menuruti permintaan Dastan. Dia memejamkan mata dan hanya mengandalkan indra pendengarannya sekarang. Suara ben
"Demi burung golden pheasant. Kau pucat sekali. Kau tidak punya warna." Mortimer ternganga melihat penampilan Penelope yang kusut, tanpa make up, dan pakaian longgar sederhana yang dia kenakan sore itu.Penelope melepas trench coat-nya. Menyampirkan jubah luar itu ke punggung kursi. Dia lalu duduk, mengedarkan pandang ke sekeliling sebelum memusatkan perhatiannya pada Mortimer, kondisi kafe yang sepi membuat suasana hati Penelope jadi lebih baik."Apa kau sakit?" Mortimer memajukan dadanya ke pinggir meja, mendekati Penelope, meraih tangan kanan Penelope untuk dia pegang."Aku baik-baik saja," kilahnya sambil menepis kasar tangan Mortimer."Ke mana selera fesyenmu pergi? Apa pernikahan sudah membuatmu kehilangan minat untuk merawat diri? Maaf, Penelope, tetapi kau mengerikan." Mortimer mengusap pergelangan tangannya.Penelope mengabaikan Mortimer. Dia melambai pada pelayan dan memesan satu cangkir kopi. Setelah pelayan itu meninggalkan mereka, Penelope menggaruk asal kepalanya dan mem
Penelope kembali dengan mobilnya sendiri. Menyetir di tengah padatnya lalu lintas London sore itu. Ketika kendaraannya berbelok menuju ke rute jalan pintas, pesan singkat tiba-tiba masuk ke ponselnya. Sore yang sempurna. Mengapa kau tidak bergabung bersamaku, Sayang?Pesan lain masuk. Foto dengan latar langit senja dari balik kaca jendela hotel dan satu seloki wiski, yang esnya mulai cair, dikirimkan oleh seseorang ke aplikasi chat milik Penelope. Dia lalu menepikan mobilnya dan membalas dengan cepat.Tempat yang sama?Tidak butuh waktu lama bagi Penelope untuk menunggu. Lawan chat-nya segera mengirimkan pesan baru yang masuk tiga detik kemudian. Penelope spontan membacanya dan memutuskan untuk memutar arah.Cuaca yang lebih cerah dari hari kemarin menyapukan jejak warna keemasan lembut di kaki langit. Porsche Taycan Penelope menembus arus jalan raya tanpa hambatan. Menyalip kendaraan lain dengan kecepatan sedang dan membawanya tiba di hotel yang dia tuju.Penelope menyusuri koridor
Pria dengan janggut tebal dan mantel kardigannya yang kusut itu meletakkan beberapa lembar foto yang menangkap potret Penelope di dalamnya. Dean sontak memutar kursi kebanggaannya, mengerling pada pria itu sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke atas meja, memperhatikan foto-foto yang dia minta. Rahang Dean mengetat menatap bukti perselingkuhan Penelope tepat di bawah hidungnya."Seperti perintah, Bos. Aku mengikuti istrimu dari kafe kemarin sore. Di tengah perjalanan pulang dia tiba-tiba memutar arah dan pergi ke Hotel Quilt dan itulah yang kutemukan di sana."Dean mengambil salah satu foto. Kemarahan langsung membakar semua kilau lembut dalam sorot matanya. "Siapa namanya?""Rufus. Rufus Tundrow." Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku mantelnya."Rufus," gumam Dean yang kemudian memutar kursinya lagi dan menerawang ke pemandangan di luar jendela yang menampilkan panorama pusat kota. "Mahasiswa. Sekitar dua puluh dua tahun. Lima setengah kaki. Tato panah di jari manis sebe
"Kekasihmu seolah-olah baru saja melihat makhluk aneh yang keluar dari dalam danau." Orion masih mengunyah, menyeringai pada Alice sebelum merebut garpu milik Dastan, dan menyuapkan tomat dan daun basil ke mulutnya.Alice spontan menundukkan wajah dan menatap kilau keperakan di ujung garpunya yang tadi jatuh. Tawa pendek Dastan lalu mengiringi denting garpu Orion yang kembali menusuk paprika dan menyuapkannya cepat-cepat. "Mungkin karena kau dan aku mirip.""Mirip. Begitu kata orang-orang tentang kami." Orion mengangkat bahu."Dia baru kembali dari Massachussets," tambah Dastan yang mengamati rasa penasaran pada wajah Alice."Amerika? Apa yang kau lakukan di sana?" Alice menatap Dastan sekilas sebelum bisa menguasai dirinya lagi dan memusatkan perhatian sepenuhnya pada Orion."Melancong? Aku turis. Aku suka menghabiskan uang." Orion lagi-lagi menyeringai."Hidupmu kedengarannya menyenangkan," komentar Alice kemudian.Untuk sesaat, Alice melihat kilat peringatan di mata Orion. Alice ba
"Kekasih? Kau dan... kau dan Alice?" Wajah Dean berubah pucat, seolah-olah pria itu baru saja muntah dan kerongkongannya dipenuhi cairan asam lambungnya sendiri."Apa ada masalah, Tuan Walcott?" Dastan memasukkan kedua tangannya ke saku celana sambil menatap lurus ke dalam mata Dean.Sadar bahwa pertanyaan yang dilontarkannya tadi mulai memancing perhatian orang-orang, Dean lalu berdeham-deham dan menarik kerahnya. Melonggarkan ikatan dasi yang awalnya baik-baik saja kini justru terasa mengimpit jalan napasnya. "Ti-tidak ada. Maaf."Dastan mengangguk pada Dean sebelum mengalihkan tatapan pada Alice yang berdiri di samping bayang-bayang layar. Mengamati ekspresi gugup dalam wajah kekasihnya. "Tidak perlu khawatir. Aku selalu menjunjung profesionalitas. Jadi, Nona Harper," Dastan mengerling pada Alice. "Bisakah kau menampilkan presentasi di halaman pertama dan kedua untukku? Terima kasih." Rapat berjalan lancar. Persis seperti yang Dastan rencanakan. Kepuasan mengaliri pembuluh darahny
Alice tidak menyangka akan dilamar oleh orang yang dahulu pernah mengisi masa lalunya. Jika dia menerima cincin itu, maka Dastan bukan lagi sekadar jadi pria yang dia cintai. Namun, masa depannya juga.Keraguan tiba-tiba menghantam perasaan Alice. Dia mengamati pendar gemerlap yang akan menawarkan begitu banyak akses kemudahan hidup di depannya. Dalam hati bertanya-tanya keputusan yang tepat untuk menyikapi kegagalan dan keberhasilan kisah cintanya pada satu waktu.'Akankah pernikahan bahagia yang pernah kubayangkan bisa terwujud saat aku menerima cincin yang disodorkan Dastan padaku? Aku memang mencintainya, tetapi tidakkah penyatuan kami terlalu cepat?' renung Alice. Tanpa pikir panjang, tangan kiri Alice kemudian terulur dan Dastan menyambutnya. Dia menyematkan benda itu di jari manis Alice. "Kupegang janjimu, Tuan Presdir.""Terima kasih sudah menerimaku, Alice. Aku tidak akan mengecewakanmu." Dastan mengecup punggung tangan Alice yang dipasangi cincin lalu memeluk erat tubuh kek