“Velly, tolong jangan cari masalah. Ini masih pagi!” katanya kemudian, sambil meraup sesendok nasi lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Sementara Imelda, aku lihat perempuan berkulit bersih itu terus memandangi suami, merasa menang karena Mas Bima telah membelanya.
“Aku akan terus menyelidikinya, Mas. Tidak akan kubiarkan ada ulat bulu mengganggu rumah tangga kita!”
Bruk!
Aku terkesiap ketika tiba-tiba Mas Bima menggebrak meja. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya, masuk ke dalam kamar kemudian kembali dengan membawa ponsel dan menyuruh Imelda menghubungi nomor laki-laki itu.
Tersambung, akan tetapi memang ponsel Mas Bima tidak berdering sama sekali. Tapi meskipun begitu, entah mengapa aku belum merasa puas dengan jawaban mereka, apalagi semalam adik serta suamiku sama-sama telat pulang ke rumah.
“Puas kamu sekarang? Makanya jangan kebanyakan baca novel sama nonton sinetron yang isinya tentang perselingkuhan setiap hari. Jadi istri itu yang berguna sedikit. Coba kamu contoh Imel. Dia pintar, pekerjaan bagus, cantik, pandai merawat diri dan enak dipandang mata. Sedangkan kamu, umur baru tiga puluh empat tahun saja sudah seperti nenek-nenek. Tiap hari pakai daster, rambut acak-acakan, bau bawang, muka juga kusam. Bikin sepet mata saja melihatnya!”
Aku membulatkan mata mendengar ucapan suami. Rasanya sakit sekali mendengar dia memuji perempuan lain dan menghinaku di depan wanita itu.
Lagian, bagaimana bisa aku merawat badan seperti Imelda, sementara tugas rumah tidak pernah ada habis-habisnya. Ngurus dua balita, rumah yang lumayan cukup besar tanpa asisten rumah tangga, dan jika pun adik serta suamiku sedang libur kerja, mereka hanya sibuk dengan telepon pintar masing-masing tanpa ada yang berinisiatif membantu.
Aku juga kepingin kaya ibu-ibu yang lain. Pergi ke salon, bisa leha-leha sambil main ponsel, tetapi kalau aku melakukan itu, siapa yang akan mengurus anak juga rumah ini?
“Makanya kasih aku asisten rumah tangga. Biar aku bisa merawat badan dan tidak bau bawang setiap hari!”
“Lah, kalau aku harus bayar asisten rumah tangga juga, lantas, apa fungsinya kamu di sini? Mau duduk santai doang tanpa berbuat apa-apa? Enak saja!” sentak Mas Bima seperti biasanya setiap kali membahas masalah ini.
“Aku ini istri kamu. Untuk apa dulu kamu nikahin aku dan nyuruh aku berhenti bekerja kalau di sini hanya dianggap sebagai pembantu doang!”
“Sudah! Sudah! Malas berdebat sama kamu, Velly. Kamu itu nggak pernah mau mengakui kesalahan. Terlalu egois.”
“Sudah apa sih, Mas. Jangan marah-marah terus. Nanti kamu darah tinggi bagaimana?” Imelda berujar dengan suara dibuat manja. Menjijikkan. Dasar pelakor.
Memang benar kata pepatah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Aku pikir dengan limpahan kasih sayang yang kuberi selama ini dia tidak akan mengikuti jejak ibunya. Tetapi ternyata aku salah mengira. Ia malah menjadi ancaman di rumah tanggaku.
Mendengar ucapan gundiknya laki-laki berkemeja biru itu langsung diam, mendorong piring yang ada di hadapannya kemudian pergi ke kantor tanpa pamit kepadaku. Pun dengan Imelda yang semakin hari semakin bertingkah kurang sopan, seakan ingin menunjukkan kalau dia sudah tidak lagi menghargai diriku.
Dengan perasaan dongkol masuk ke dalam kamar wanita berusia dua puluh tiga tahun itu, mengambil koper yang ada di atas lemari lalu memasukkan semua baju-baju milik Imelda. Dia harus segera keluar dari rumah ini, agar tidak bisa lagi mengganggu Mas Bima.
Parasit harus segera dibasmi, kalau tidak bisa merusak semua yang sudah kubangun selama ini. Aku harus menyelamatkan rumah tanggaku dari godaan sang pelakor.
“Vel!” Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara Leticia mengetuk pintu pagar rumah. Aku yang sedang sibuk membereskan mainan anak-anak, bergegas keluar menemui teman terbaikku itu dan menyuruh dia masuk.
“Muka kamu kusut amat? Ada masalah sama Bima?” tanyanya sambil meletakkan paper bag yang dia bawa. Ia memang selalu membawakan oleh-oleh untuk Danis dan Dariel, karena sudah menganggap kedua putraku seperti anaknya sendiri. Maklum. Sudah lima tahun menikah, tetapi Allah belum memberikan dia keturunan.
Dengan berat hati akhirnya kuceritakan masalah yang tengah menimpa, membuka aib keluarga yang aku sendiri masih sekedar menerka-nerka. Belum ada bukti yang menguatkan kalau Mas Bima dan Imelda ada main di belakangku.
“Nggak tahu diri banget kalau si Imel itu sampai mengkhianati kamu, Vel. Kurang apa kamu sama dia itu. Kalau nggak ada kamu, mungkin saat ini hidupnya tidak akan seenak sekarang. Bisa kuliah, kerja di perusahaan bonafit, apalagi dia itu tidak jelas asal-usulnya. Ngaku anak bapak kamu juga wajahnya nggak mirip sama sekali. Jangan-jangan dulu emaknya dia salome, dan ketika hamil malah nuduh ayah kamu yang menghamili dia!” sungut Leticia panjang lebar, dengan amarah terlihat meletup-letup. Dia memang orang yang paling tahu tentang masa lalu keluargaku, sebab sejak kecil kami memang sudah bersahabat.
“Tapi itu masih kecurigaan aku saja, Ci. Sebab suara laki-laki itu persis seperti suara Mas Bima. Walaupun suamiku mengelak, tapi entahlah, aku tetap tidak mempercayai ucapan Mas Bima. Feeling mengatakan kalau Mas Bima telah mengkhianati aku. Makanya daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik aku akan mengusir Imel. Toh sekarang ini dia sudah besar. Sudah bisa hidup mandiri!”
“Bagus kalau begitu. Kalau bisa, aku akan membantu kamu membuat dia juga dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja. Kebetulan suami aku kenal dekat sama bosnya si ulet bulu itu!”
“Kalau untuk saat ini sebaiknya jangan dulu. Kita main halus saja. Nanti kalau aku sudah punya bukti kuat tentang perselingkuhan mereka, baru kita ambil tindakan itu. Aku nggak rela jika dia bahagia di atas penderitaanku, juga nggak mau menjadi seperti almarhumah Mama yang meninggal karena terlalu memikirkan perselingkuhan Ayah!”
“Aku mendukung kamu pokoknya.”
“Aku juga mau perawatan. Biar kelihatan cantik. Kamu bantu carikan aku asisten rumah tangga dong. Biar ada yang bantu-bantu di rumah dan aku nggak bau bawang setiap hari!”
“Nanti aku tanyakan ke asisten rumah tangga aku, siapa tahu ada temannya yang sedang mencari pekerjaan.”
“Terima kasih, Cia. Kamu memang sahabat terbaik aku.”
Leticia memelukku lalu membantuku mengurus kedua jagoan kecil yang sedang aktif-aktifnya bermain.
“Apa-apaan ini, Mbak? Kok semua barang-barang aku dikeluarin? Mbak mau ngusir aku dari rumah?” protes Imelda ketika baru pulang kerja dan melihat koper miliknya sudah berada di depan pintu kamar.
“Sepertinya lebih baik kamu keluar dari rumah ini, Mel!” jawabku sambil melipat tangan di depan dada.
“Mbak Velly sudah gila, ya? Memangnya salah aku apa, sampai-sampai Mbak tega mengusir aku dari rumah ini?”
Apa? Dia masih bertanya salahnya apa?
“Karena kamu sudah berani menggoda suami Mbak. Kamu sudah Mbak sekolahkan tinggi-tinggi, tapi malah sekarang berani mengkhianati Mbak, menusuk Mbak dari belakang!” Rasanya sakit sekali saat mengucapkan kata itu. Ada rasa tidak tega jika membayangkan dia sendirian di luar sana, tapi juga rasa benci sebab akhir-akhir ini dia sering berlaku kurang sopan, terlebih lagi setelah aku mencurigai kalau dia ada hubungan dengan suami.
“Ada apa ini?” Kami menoleh secara serempak ketika mendengar suara Mas Bima. Dan tanpa disangka, Imelda berlari menghambur ke dalam pelukan suamiku dan menumpahkan air mata di dada bidang laki-laki tersebut. Keterlaluan.
“Apa-apaan, ini, Imel? Tolong jangan peluk-peluk!” Mas Bima mendorong tubuh Imelda menjauh, membuat perempuan berambut sebahu itu langsung melebarkan mata seperti tidak percaya. Pun dengan diriku saat melihat adegan itu. Apakah sekarang ini Mas Bima sedang bersandiwara seolah-olah tidak mau disentuh oleh adikku, ataukah memang di antara mereka tidak ada hubungan spesial seperti yang selama ini aku tuduhkan? Sepertinya aku tidak boleh langsung percaya begitu saja dengan apa yang dilihat saat ini. Tidak boleh gegabah juga mudah tertipu. Biasanya para pengkhianat itu licik dan penuh tak-tik. “Ini, kenapa koper Imel ada di luar semua, Vel?” Kini mata elang laki-laki yang menyandang gelar suami itu terpantik ke wajahku. “Aku ingin dia keluar dari sini, Mas. Pokoknya, mulai hari ini aku tidak lagi mengizinkan dia tinggal seatap dengan kita. Sudah cukup kasih sayang serta perhatian yang aku berikan selama ini. Dia sudah besar, mempunyai gaji lumayan juga. Jadi, sekarang saatnya dia hidup
Memang aku akui belum sempat membersihkan diri sejak pagi. Bukan karena malas dan tidak mau terlihat cantik di depan suami. Tetapi anakku tidak mau turun dari gendongan. Pundak saja rasanya sudah mau lepas saking pegalnya.“Danis rewel seharian, Mas!”“Anak terus dijadikan alasan. Coba kamu lihat istrinya Pak Ramon. Anaknya empat dan masih kecil-kecil. Tapi dia tetap kelihatan masih kaya ABG. Nggak kaya kamu. Umur masih tiga puluh tiga tahun, sudah seperti nenek-nenek!”“Wajar dia cantik kaya ABG. Dia itu selalu perawatan. Pembantunya aja ada lima di rumah. Dia nggak pernah pegang kerjaan sama sekali. Kerjaannya Cuma nyalon. Beda sama aku yang udah kaya b4bu di rumah ini!”Lelaki berkemeja slim fit itu tidak menjawab. Dia segera mengayunkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam, dan kembali berteriak ketika melihat rumah yang masih berantakan. Apalagi saat dia hendak makan malam dan belum ada makanan tersedia di atas meja makan.“Kamu itu kerjanya Cuma ngapain, sih, Velly? Pasti seharian in
Aku menghela napas dalam-dalam ketika melihat seisi rumah yang terlihat begitu berantakan. Mainan berserakan dimana-mana, pun dengan bantal sofa yang teronggok sembarangan di sudut-sudut ruangan.“Mama...,” teriak Dariel ketika melihat kedatanganku.Aku melekuk senyum, merentangkan tangan menyambut pelukan jagoan kecil itu.Sementara Mas Bima, wajah suamiku itu terlihat begitu kacau. Dia berkacak pinggang, menarik kasar lenganku lalu menyeretku masuk ke dalam kamar.“Kamu benar-benar keterlaluan, Velly. Istri durhaka. Kamu itu tugasnya ngurus anak dan rumah. Bukan ngelayap seperti ini. Dasar bebal!” omelnya sambil menunjuk wajahku dengan mimik geram.“Lepas! Nggak usah kasar sama perempuan. Jangan sampai anak-anak aku mengikuti tabiat buruk ayahnya. Kasar, temperamental, egois, juga nggak punya hati!” Menepis kasar cengkeraman lelaki berstatus suami itu.“Aku kasar seperti ini karena kamu, Velly. Kamu itu susah diatur. Tidak bisa dikasih tahu. Ngelawan terus sama suami!”“Kamu itu seb
"Vel, kamu lagi ngapain sih? Dipanggil-panggil dari tadi nggak nyaut?" Leticia berjalan menghampiri diriku yang masih berdiri memaku menatap ponsel rahasia Mas Bima."Velly!" Dia menepuk pundakku."Coba kamu lihat, Ci." Menyodorkan benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu kepada Leticia."Astaga. Bener-bener si ulet bulu itu. Padahal tadinya aku berharap kalau dugaan kita salah. Ternyata, kamu sudah memelihara macan di rumah ini. Diberikan limpahan kasih sayang, giliran sudah besar dan tumbuh taring malah menerkam. Awas saja dia. Aku nggak bakalan diam saja melihat sahabat aku diperlakukan seperti ini. Aku akan memastikan kalau perempuan gatel itu akan hancur!" sembur wanita bergaun soft pink dengan emosi berapi-api.Aku segera men-screeshot pesan yang dikirim adikku ke ponsel Mas Bima, juga mengirimkan foto-foto tidak berbusananya untuk berjaga-jaga jika dia bertindak semakin keterlaluan. Aku tidak akan segan-segan menyebarluaskan foto tersebut ke sosial media."Sudah, nggak usah
“Menjijikkan. Jadi selama ini kamu memang benar-benar ada main dengan ulet bulu itu, bahkan sudah melakukan zina di rumah ini. Berapa kali kamu melakukannya dengan dia Mas? Sekali, dua kali, atau, bahkan sudah tidak terhitung lagi?!”Wajah lawan bicaraku yang tadinya memerah karena sudah dikuasai amarah mendadak pucat saat aku menunjukkan bukti perselingkuhan mereka. Kali ini dia tidak akan bisa mengelak lagi karena buktinya sudah jelas.“Kenapa diam? Kenapa kamu tega melakukan itu sama aku, Mas? Apa kurangnya aku selama ini? Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik. Apa pun kemauan kamu selalu dituruti. Tapi seperti ini balasan kamu?!” Susah payah merangkai kata agar air mata tidak menetes di depan lelaki pengkhianat itu. Air mataku terlalu berharga untuk menangisi dia.“Aku khilaf, Vel. Maaf!”“Mudah banget kamu bilang maaf. Apa kamu tidak pernah memikirkan perasaan aku? Apa kamu tidak takut kena karma, Mas? Kamu punya adik perempuan. Bagaimana perasaan kamu nanti jika adik kamu
“Dariel, Danis, ayo bangun jagoannya Mama. Sudah siang. Mama mau berangkat kerja dulu.” Membangunkan kedua malaikat kecil yang masih terlelap di atas peraduan.“Dariel nggak mau Mama kerja. Dariel maunya Mama di rumah nemenin Dariel main,” rengek bocah berusia empat setengah tahun itu manja, membuat hati ini mencelos hingga ke dasar. Sedih karena harus selalu berjauhan dengan anak-anak.“Sayang, Mama harus bekerja. Cari uang buat Abang Dariel sama dedek Danis.” Menggendong tubuh gembul anakku, membawanya ke kamar mandi lalu mengguyur tubuhnya perlahan menggunakan air hangat.“Mama, Mama, masa Tante Imel waktu masih tinggal di sini suka manja kaya dedek Danis. Minta dipangku sama Papa. Abang sama dedek aja kalau minta dipangku sama Papa malah dicubit.”“Kapan, Sayang?”“Setiap kali Mama belanja di pasar dan Papa libur kerja.”Aku menggelengkan kepala mendengar penuturan anakku. Ternyata selama ini Mas Bima suka bermesraan di depan anak-anak jika aku tidak ada di rumah. Sungguh keterlal
“Ayo, Vel. Jangan ladeni mereka. Kasihan anak-anak kalau harus liat ibu dan tantenya berkelahi,” ajak Pak Bahrudin seraya menarik tanganku menjauh dari dua insan menjijikkan itu.Aku terus mengikuti langkah pria berusia empat puluh delapan tahun itu, dan sesekali menoleh ke arah Mas Bima yang masih berdiri mematung sambil menatap kami. Bisa kulihat juga Imelda tengah marah-marah tetapi karena apa aku kurang tahu.Biarlah. Sudah bukan urusanku lagi sekarang. Terserah, mulai detik ini aku tidak akan pernah lagi peduli. Anggap saja mereka itu orang asing dalam hidupku.“Pak, maaf ya, atas ucapan saya tadi. Saya hanya kesal saja sama suami dan adik saya yang sudah mengkhianati saya, jadi berkata seperti itu di depan mereka. Sekali lagi saya minta maaf!” ucapku ketika kami sudah berada di stand gamis karena merasa tidak enak hati kepada Pak Bahrudin. Takut dia berpikir yang tidak-tidak tentang diriku karena ucapanku tadi.“Ucapan yang mana, Vel?” Dia malah balik bertanya.“Soal Bapak punya
“Lancang kamu mengatai suami kamu lalat dan mengusir aku dari rumah ini?!” Dia kembali mengangkat tangannya hendak menampar, akan tetapi dengan sigap kutangkis tangan tersebut lalu memelintirnya dengan sekuat tenaga.“Jangan terus sakiti hati dan fisik aku, karena Velly sekarang bukan seperti Velly yang dulu. Mataku sudah terbuka dan tidak akan lagi bucin juga nurut sama kamu. Aku juga sudah tidak lagi takut sama kamu, Mas!” Menendang senjata pamungkasnya lalu segera masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.***Suara alarm di ponsel terus menjerit-jerit, membangunkan diriku dari istirahat malam. Gegas membuka mata, mengerjap-ngerjap sambil mencoba mengumpulkan informasi yang aku bawa dari alam mimpi.Tidak lupa juga membaca doa setelah tidur dan segera turun dari tempat peraduan untuk memulai aktivitas seperti biasa.Kebetulan hari ini sedang kedatangan tamu bulanan, sehingga aku bisa langsung berjibaku di dapur walaupun jarum pendek jam masih menunjuk ke angka 04:30 pagi.Sep
Sesuai permintaan suaminya, Velly merubah penampilan menjadi lebih tertutup. Ia mulai mengenakan hijab sebab Bahrudin selalu mengatakan kalau semua dosa yang dia lakukan akan dipertanggung jawabkan oleh suaminya di akhirat kelak, termasuk jika Bahrudin terus membiarkan istrinya tetap membuka aurat.Makanya ia secara perlahan mulai mengubah tampilan, bukan karena keterpaksaan tetapi karena kesadaran juga dorongan hati untuk menjadi wanita yang lebih baik lagi. Velly juga mulai berhenti bekerja dan lebih fokus mengurus anak-anak serta bunda sebagai tanda baktinya kepada sang suami.“Mbak, sebelumnya aku minta maaf, aku sama Mas Rofiq niatnya pengen cari rumah kontrakan yang baru. Nggak enak kalau terus menerus numpang sama Mbak,” kata Imelda ketika mereka sedang santai bersama di ruang keluarga.“Lho, memangnya kenapa kalau kalian tinggal di sini? Kami nggak pernah merasa keberatan kok. Lagian saya sama Dek Velly juga mau
“Mel, aku mohon. Aku janji akan berubah. Aku mencintai kamu. Aku menderita hidup bersama Arzerti.”“Silakan nikmati hidup kamu bersama dia. Bukan kah kamu yang memilih untuk hidup bersama dia dan sudah membuang aku?”“Aku khilaf waktu itu.”“Tetapi aku sudah tidak percaya lagi sama kamu.”Bima mendesah kecewa mendengar jawaban dari Imelda. Padahal, tadinya dia berharap masih ada kesempatan kedua dari istrinya, sebab Bima merasa sudah tidak tahan dengan perlakuan Arzerti kepadanya dan ingin kembali merajut asa bersama Imelda serta putri mereka.“Tolong talak aku, Mas,” pinta Imelda lagi.“Tidak, Imel. Kalau kamu tidak mau kembali sama aku, aku juga tidak akan pernah menjatuhkan talak sama kamu. Biar status kamu menggantung terus dan tidak bisa menikah lagi dengan siapa pun!” jawab Bima dengan lugas.Imelda menggelengkan kepala sambil menangis. Melihat kejadian itu, Bahrudin segera menghubungi Arzeti, memberi
Hari ini Imelda sudah diperbolehkan pulang karena keadaannya sudah semakin membaik.Velly mengajak sang adik untuk tinggal di rumahnya, sebab takut terjadi sesuatu jika Imelda tinggal sendiri di rumah kontrakan, apalagi paska operasi seperti sekarang ini.Awalnya Imelda menolak. Akan tetapi Velly terus saja mendesak dan tidak mau ditolak. Akhirnya mau tidak mau Imelda pun menyerah dan menuruti semua permintaan kakaknya.Danis dan Dariel terlihat begitu senang ketika tantenya datang menggendong adik bayi. Mereka segera mengerubungi anak Imelda, menciumi pipi bayi berusia tiga hari itu secara bergantian.“Mama, kapan Dariel punya dedek kaya Tante Imel?” tanya bocah berusia lima tahun itu dengan polos.“Insyaallah secepatnya. Abang jangan lupa sering-sering minta sama Allah supaya di perut Mama bisa ada dedek bayinya,” jawab Velly seraya mengusap lembut rambut anaknya itu.“Abang Dariel, Dedek, ayo ikut Papa ke masjid. K
“Mbak Imel kenapa? Sakit? Kok wajahnya pucet banget?” tanya Rofiq yang sejak tadi sibuk memasukkan barang-barang yang akan dia bawa ke dalam tas obrok di motornya.“Nggak tahu, Mas. Dari semalam perut aku sakit. Ini malah makin terasa nyeri banget!” jawab Imelda seraya meringis kesakitan.“Jangan-jangan Mbak Imel mau melahirkan?”“Nggak tau, Mas. Emang HPL-ku sudah lewat tiga hari sih, dan baru sekarang ada tanda-tanda kaya mau melahirkan.”“Sudah hubungi Mbak Velly?”“Belum. Nanti saja kalau sakitnya sudah mulai berasa banget. Kasihan dia kalau direpotin terus.”“Tapi kan, Mbak. Daripada nanti kenapa-kenapa, mendingan Mbak kabari saja Mbak Velly sekarang.”“Iya.”“Sini nomernya Mbak Velly. Biar saya yang menghubungi dia!” Rofiq mengeluarkan ponsel lalu menekan dua belas digit angka yang disebutkan ole
Cup!Bahrudin tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengecup. Gemas melihat bibir sang istri yang dimajukan beberapa centimeter.“Nyosor mulu kaya bebek!” protes Velly pura-pura merajuk.“Aku kecanduan nyium kamu, Sayang.”“Memangnya aku obat bikin candu?”“Iya. Obat luka di hati aku.” Mengambil tangan istrinya, Bahrudin menautkan telapak tangan Velly di dada sambil mengunci netra perempuan itu dengan tatapannya.“Udah, ah! Pagi-pagi udah menggombal. Ayo, sarapan dulu. Malu sama Bunda kalau di kamar terus. Nanti dikira lagi ngapa-ngapain lagi!”“Memangnya kalau lagi ngapa-ngapain kenapa? Bunda juga pernah muda dan menjadi pengantin baru. Pasti beliau paham lah.”“Tapi aku laper...”“Oke. Ayo kita keluar.” Tangan Bahrudin merangkul pundak istrinya lalu segera keluar dari dalam bilik.Bunda melekuk senyum bahagia melihat kemesraan anak serta menantunya. Ia juga sangat bersyuku
Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Seluruh tamu undangan sudah pulang ke rumah masing-masing, pun dengan Bunda yang sudah sejak habis isya masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan oleh menantunya. Velly masuk ke dalam bilik, membuka kebaya yang melekat di tubuhnya lalu menggantinya dengan daster seperti biasa setiap mau tidur. Tidak lupa juga membersihkan wajah dari sisa make-up yang menempel menggunakan miccelar water dan dilanjut dengan mengoles sedikit krim malam. Dari pantulan cermin terlihat Bahrudin masuk ke dalam kamarnya, menerbitkan senyuman membuat jantung perempuan berambut sebahu itu berdetak tidak karuan. Bahrudin terus menelisik tampilan sang istri dari ujung kaki hingga ujung kepala, merasa ada yang aneh melihat Velly yang biasa berpakaian rapi hanya mengenakan daster sebatas lutut, membuat jakun laki-laki bertubuh tambun itu naik turun kala melihat kaki jenjang istrinya. “Kenapa liatinnya seperti itu, Mas? Aku jelek ya
Velly turun dari sepeda motor dan lekas mengayunkan kaki menuju halaman taman kanak-kanak tempat dimana Dariel mulai menimba ilmu.Bocah berusia lima tahun itu sudah menunggu di ruangan guru bersama wali kelasnya, dan langsung berlari ke luar saat melihat ibunya datang menjemput."Bye...Bye, Miss Titi. Aku pulang dulu ya?" Dariel menyalami tangan ibu guru lalu segera naik ke atas motor."Duluan, Miss," pamit Velly kemudian."Iya Bunda. Hati-hati!" Mantan istri Bima itu kembali menyalakan mesin sepeda motornya, melajukannya membelah jalanan kota sambil mengobrol panjang lebar dengan Dariel.Mereka kemudian berhenti di sebuah minimarket untuk membeli beberapa camilan juga kebutuhan pokok yang sudah habis di rumah, serta membeli ice cream seperti biasa."Apa kabar, Vel?" Wanita berambut sebahu itu menoleh ke arah sumber suara ketika mendengar suara berat seorang laki-laki. Dia terus menelisik tampilan orang y
“Siapa kamu ikut campur urusan rumah tangga saya?” Bima menunjuk wajah si pria sambil menahan amarah luar biasa.“Saya memang bukan siapa-siapa. Tetapi saya tidak akan membiarkan kamu menyakiti Imelda!” jawab pria yang bekerja sebagai kurir ekspedisi yang biasa mengambil barang jualan Imelda.“Saya ini suami dari perempuan itu. Jadi kamu tidak usah sok jadi pahlawan kesiangan di sini!”“Oh, jadi ini suami tidak tahu diri dan tidak bertanggungjawab itu? Berani muncul juga kamu setelah sekian lama menghilang tanpa jejak. Sudah dibuang kamu sama istri baru kamu sampai akhirnya kembali mencari orang yang sudah kamu campakkan?!”“Tahu apa kamu tentang saya dan istri saya?!”“Saya tahu segalanya!”“Pasti kamu yang sudah menjelekkan aku di depan orang ini, Imel? Dasar perempuan murahan. Pela**r. Bisa-bisanya menjelekkan suami di depan orang lain!” Bima berjalan menghampiri Imelda, melayangkan tangan hendak menampar, akan tet
“Coba ulangi sekali lagi ucapan kamu, Arzerti?” Bima mencengkram erat rahang istrinya.“Letoy!!” seru Arzeti sambil tertawa mengejek.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi perempuan yang tengah dipengaruhi minuman beralkohol itu. Ini kali pertamanya Bima berbuat kasar kepada Arzeti, sebab ia merasa kalau istri barunya telah menginjak-injak harga dirinya.Imelda memang bar-bar. Tetapi dulu ketika dia masih hidup bersama, istri sirinya itu tidak pernah sekali pun menghina dia, apalagi sampai menjatuhkan harga dirinya seperti itu.Terlebih lagi Velly yang selalu menghormati dia juga memperlakukan ia dengan teramat baik hampir tanpa cela. Hanya saja karena sifat serakah juga tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki Bima akhirnya mengkhianati cinta wanita yang telah memberi dia dua orang jagoan itu.Pun ketika sudah bersama Imelda yang sekarang sedang mengandung benih cintanya. Bima merasa bosan karena semakin hari istr