"Maaf, Mas. Saya belum punya uang." "Kalau tidak punya uang jangan bertingkah. Sudah miskin harta, miskin adab pula. Datang ke rumah orang langsung teriak-teriak dan melempari batu." "Sekali lagi saya minta maaf. Saya melakukan itu karena kesal sama penghuni rumah yang lama." "Kenapa merasa kesal? Bukannya kamu yang sudah merebut suami pemilik rumah itu? Harusnya dia yang kesal sama kamu." Imelda menunduk malu mendengar ucapan Roger. "Sudah. Sekarang kamu bayar ganti ruginya. Total tujuh juta. Kalau tidak kamu saya laporkan ke kantor polisi!" ancam pria itu kemudian. "Tapi saya nggak punya uang, Mas. Bagaimana kalau Mas bawa saja saya ke rumah, menemani Mas, dan kita anggap urusan kita selesai. Impas." Pria berambut panjang itu tertawa mendengar penawaran Imelda. "Saya sudah punya kekasih dan tidak berminat sama barang bekas!" ujarnya kemudian begitu menusuk hati lawan bicaranya. "Sini, bayar uang ganti ruginya. Saya nggak mau tahu!"
"Ampun, Bu. Sakit. Jangan perlakukan saya seperti ini. Saya ini manusia bukan binatang!" pekik Imelda sembari mencoba melepaskan diri dari jambakkan perempuan yang ternyata istrinya Petra itu. Kepalanya terasa kebas saking kerasnya si perempuan menjambak, bahkan di sela-sela jari wanita itu banyak sekali rambut yang terbawa."Kamu memang bukan binatang. Tapi kelakuan kamu sudah persis seperti binatang liar!" sungut istri Petra sambil terus membawa perempuan itu keluar dari hotel, mendudukkannya di parkiran kemudian dengan emosi yang sudah meninggi dan tidak bisa terkendali dia mencukur rambut gundik suaminya hingga menyisakan sedikit saja."Berani kamu mengganggu suami saya lagi, saya tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih kejam daripada ini!" ancam istri Petra kemudian.Wanita dengan jambul katulistiwa itu kemudian kembali masuk, kali ini menarik suaminya lalu memasukkannya ke dalam mobil sambil menampar wajah Petra berkali-kali.
Tanpa dikomando buliran-buliran air bening meluncur begitu saja dari balik kelopak, membasahi pipinya yang kian putih bersih, lalu segera dia hapus menggunakan punggung tangan.“Ya Allah, Sayang. Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu menjadi seperti ini?” tanya Velly seraya mengusap kepala adiknya dengan perasaan prihatin.“Pasien mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara memotong urat nadi di pergelangan tangan. Beruntung nyawa beliau dan juga bayi dalam kandungannya masih bisa diselamatkan,” terang suster sembari memeriksa selang infus.“Terus, bagaimana keadaan adik saya sekarang, Sus?”“Alhamdulillah Bu Imelda sudah melewati masa kritisnya. Insyaallah beliau tidak apa-apa, Bu. Untuk lebih jelasnya biar nanti dokter yang menerangkannya kepada Ibu.”“Terima kasih, Suster.”“Sama-sama, Ibu. Yasudah. Kalau begitu saya permisi dulu mau memeriksa pasien yang lainnya.”“Baik, Sus.”Velly
“Memangnya kriteria calon suami yang kamu impikan itu seperti apa, Vel?” tanya Bahrudin kemudian.“Belum terpikirkan, Pak. Masih ingin fokus mengurus anak-anak. Belum berani juga, karena takut kembali dikecewakan juga dikhianati. Sakit tahu, Pak. Bikin trauma untuk menikah lagi!” Kini mata Velly sudah dipenuhi kabut, dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur begitu saja melewati pipinya.Bahrudin ingin sekali menghapus air mata itu, juga mengatakan kepada Velly kalau jika ia diberi kesempatan untuk menjadi pendamping hidupnya, akan ia jadikan Velly sebagai ratu di hatinya, juga permata paling berharga yang akan selalu dia jaga.Namun, lagi-lagi kata-kata itu hanya tertahan di bibir. Umurnya yang sudah kepala empat dan hampir mendekati kepala lima membuat pria itu tidak memiliki keberanian mengungkapkan perasaan.Takut ditolak, itu yang selalu dia khawatirkan.“Bapak sendiri, kapan Bapak akan mengakhiri masa duda Bapak? Memangnya nggak kepengen apa punya pendamping hi
Setelah mobil Ramon meninggalkan parkiran rumah sakit, ia bergerak mengikuti mobil tersebut, ingin tahu ada hubungan apakah antara Velly dan rekan bisnisnya itu.Karena tidak sanggup menunggu, sang pemilik hidung mancung akhirnya menghubungi nomer sekretarisnya, berpura-pura mengabari ingin menjemput ingin tahu reaksi Velly.“Maaf, Pak. Saya sudah otewe pulang diantar Pak Ramon. Tadi kebetulan kami bertemu di lobby. Saya pesen taksi juga nggak dapet-dapet. Jadi sekarang beliau yang mengantar saya pulang,” jawab sang sekretaris membuat hati Bahrudin sedikit merasa lega.“Kan sudah saya bilang. Kabari saya kalau sudah mau pulang. Biar nggak usah merepotkan orang lain, Vell!” protes Bahrudin.“Iya, Pak. Sebenarnya saya juga tidak mau terus menerus merepotkan Bapak.”“Tapi saya suka direpotkan dan dilibatkan dalam segala hal yang menyangkut diri kamu. Sekarang tolong bilang sama Pak Ramon suruh dia berhenti di halte. Kamu pindah ke
“Maaf, Pak. Untuk saat ini saya belum siap menikah lagi. Saya masih trauma dan takut gagal. Saya tidak mau menjadi janda untuk yang ke dua kalinya.” Mendadak mata Velly terasa menghangat. Pandangannya mengabur terhalang oleh genangan air mata.“Insyaallah saya akan menjadi suami yang baik juga setia.”“Kalau Bapak memang mencintai saya, tunggulah setidaknya sampai satu tahun saya menjadi janda. Supaya Bapak bisa menimbang-nimbang juga meyakinkan diri Bapak kalau saya ini memang wanita yang pas buat bapak.”“Satu tahun? Itu terlalu lama Vel. Aku tidak mau terus menerus memetik dosa setiap kali menatap wajah kamu juga mengaguminya. Aku ingin segera menghalalkan kamu, supaya kapan pun saya menatap kamu tidak menjadi ladang dosa buat aku.” Kini Bahrudin mulai menggunakan kata aku kamu kepada Velly.“Aku pikir-pikir dulu, Pak.” Pria berhidung mancung itu menghela napas. Kini dia harap-harap cemas, takut Velly menolak dirinya, dan ya
Pulang kerja Velly terlebih dahulu mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Imelda. Tentu saja ditemani oleh Bahrudin yang semakin tidak berani mengizinkan Velly jalan sendiri. Pokoknya ke mana-mana harus diantar, sebab dia takut ada yang mengganggu sang kekasih hati.“Nggak usah dibukain pintu kaya Cinderella juga kali, Mas,” ucap Velly saat Bahrudin membukakan pintu mobil untuknya.“Kamu lebih dari itu, Vel. Cinderella mah lewat!” jawab Bahrudin sembari tersenyum.“Gombal!”Lagi, Bahrudin melekuk senyum menatap wanita yang teramat dicintainya.Mereka kemudian berjalan beriringan masuk ke rumah sakit, menyusuri lorong menuju kamar Imelda dan segera mengetuk pintunya secara perlahan.Bibir Velly melekuk senyum ketika melihat sang adik tengah duduk di atas ranjang sambil menikmati semangkuk bubur yang disediakan oleh perawat.“Mbak Velly, Pak Rudi?” sapa Imelda tanpa berani menatap wajah kakak juga lelaki yang
“Aku tidak boleh menjadi budak cinta. Aku harus melangkah ke depan. Melupakan Mas Bima dan menata hidup yang baru. Demi calon buah hatiku yang teramat berharga,” gumamnya dalam hati. Ia lalu meletakkan kembali gawai miliknya di atas tempat tidur, mengobrol panjang lebar dengan Velly hingga tanpa terasa hari telah menjelma menjadi petang.Velly pun pamit pulang dan berjanji akan datang menjenguk dia di akhir pekan nanti bersama anak-anaknya.Di tempat lain.“Mas, tolong ambilkan sepatu aku dong?” perintah Arzeti sembari menunjuk rak sepatu, sementara tangannya terus saja bergulir di layar ponsel.“Masa ambil sepatu aja kamu nyuruh aku, Yang,” protes Bima tidak terima.“Memangnya kenapa kalau aku nyuruh kamu? Nggak terima?!” bentak Arzeti sambil berkacak pinggang dan menatap kesal ke arah Bima.“Aku ini suami kamu, bukan budak kamu!”“Sudah deh, nggak usah banyak protes. Kalau tidak terima y
Sesuai permintaan suaminya, Velly merubah penampilan menjadi lebih tertutup. Ia mulai mengenakan hijab sebab Bahrudin selalu mengatakan kalau semua dosa yang dia lakukan akan dipertanggung jawabkan oleh suaminya di akhirat kelak, termasuk jika Bahrudin terus membiarkan istrinya tetap membuka aurat.Makanya ia secara perlahan mulai mengubah tampilan, bukan karena keterpaksaan tetapi karena kesadaran juga dorongan hati untuk menjadi wanita yang lebih baik lagi. Velly juga mulai berhenti bekerja dan lebih fokus mengurus anak-anak serta bunda sebagai tanda baktinya kepada sang suami.“Mbak, sebelumnya aku minta maaf, aku sama Mas Rofiq niatnya pengen cari rumah kontrakan yang baru. Nggak enak kalau terus menerus numpang sama Mbak,” kata Imelda ketika mereka sedang santai bersama di ruang keluarga.“Lho, memangnya kenapa kalau kalian tinggal di sini? Kami nggak pernah merasa keberatan kok. Lagian saya sama Dek Velly juga mau
“Mel, aku mohon. Aku janji akan berubah. Aku mencintai kamu. Aku menderita hidup bersama Arzerti.”“Silakan nikmati hidup kamu bersama dia. Bukan kah kamu yang memilih untuk hidup bersama dia dan sudah membuang aku?”“Aku khilaf waktu itu.”“Tetapi aku sudah tidak percaya lagi sama kamu.”Bima mendesah kecewa mendengar jawaban dari Imelda. Padahal, tadinya dia berharap masih ada kesempatan kedua dari istrinya, sebab Bima merasa sudah tidak tahan dengan perlakuan Arzerti kepadanya dan ingin kembali merajut asa bersama Imelda serta putri mereka.“Tolong talak aku, Mas,” pinta Imelda lagi.“Tidak, Imel. Kalau kamu tidak mau kembali sama aku, aku juga tidak akan pernah menjatuhkan talak sama kamu. Biar status kamu menggantung terus dan tidak bisa menikah lagi dengan siapa pun!” jawab Bima dengan lugas.Imelda menggelengkan kepala sambil menangis. Melihat kejadian itu, Bahrudin segera menghubungi Arzeti, memberi
Hari ini Imelda sudah diperbolehkan pulang karena keadaannya sudah semakin membaik.Velly mengajak sang adik untuk tinggal di rumahnya, sebab takut terjadi sesuatu jika Imelda tinggal sendiri di rumah kontrakan, apalagi paska operasi seperti sekarang ini.Awalnya Imelda menolak. Akan tetapi Velly terus saja mendesak dan tidak mau ditolak. Akhirnya mau tidak mau Imelda pun menyerah dan menuruti semua permintaan kakaknya.Danis dan Dariel terlihat begitu senang ketika tantenya datang menggendong adik bayi. Mereka segera mengerubungi anak Imelda, menciumi pipi bayi berusia tiga hari itu secara bergantian.“Mama, kapan Dariel punya dedek kaya Tante Imel?” tanya bocah berusia lima tahun itu dengan polos.“Insyaallah secepatnya. Abang jangan lupa sering-sering minta sama Allah supaya di perut Mama bisa ada dedek bayinya,” jawab Velly seraya mengusap lembut rambut anaknya itu.“Abang Dariel, Dedek, ayo ikut Papa ke masjid. K
“Mbak Imel kenapa? Sakit? Kok wajahnya pucet banget?” tanya Rofiq yang sejak tadi sibuk memasukkan barang-barang yang akan dia bawa ke dalam tas obrok di motornya.“Nggak tahu, Mas. Dari semalam perut aku sakit. Ini malah makin terasa nyeri banget!” jawab Imelda seraya meringis kesakitan.“Jangan-jangan Mbak Imel mau melahirkan?”“Nggak tau, Mas. Emang HPL-ku sudah lewat tiga hari sih, dan baru sekarang ada tanda-tanda kaya mau melahirkan.”“Sudah hubungi Mbak Velly?”“Belum. Nanti saja kalau sakitnya sudah mulai berasa banget. Kasihan dia kalau direpotin terus.”“Tapi kan, Mbak. Daripada nanti kenapa-kenapa, mendingan Mbak kabari saja Mbak Velly sekarang.”“Iya.”“Sini nomernya Mbak Velly. Biar saya yang menghubungi dia!” Rofiq mengeluarkan ponsel lalu menekan dua belas digit angka yang disebutkan ole
Cup!Bahrudin tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengecup. Gemas melihat bibir sang istri yang dimajukan beberapa centimeter.“Nyosor mulu kaya bebek!” protes Velly pura-pura merajuk.“Aku kecanduan nyium kamu, Sayang.”“Memangnya aku obat bikin candu?”“Iya. Obat luka di hati aku.” Mengambil tangan istrinya, Bahrudin menautkan telapak tangan Velly di dada sambil mengunci netra perempuan itu dengan tatapannya.“Udah, ah! Pagi-pagi udah menggombal. Ayo, sarapan dulu. Malu sama Bunda kalau di kamar terus. Nanti dikira lagi ngapa-ngapain lagi!”“Memangnya kalau lagi ngapa-ngapain kenapa? Bunda juga pernah muda dan menjadi pengantin baru. Pasti beliau paham lah.”“Tapi aku laper...”“Oke. Ayo kita keluar.” Tangan Bahrudin merangkul pundak istrinya lalu segera keluar dari dalam bilik.Bunda melekuk senyum bahagia melihat kemesraan anak serta menantunya. Ia juga sangat bersyuku
Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Seluruh tamu undangan sudah pulang ke rumah masing-masing, pun dengan Bunda yang sudah sejak habis isya masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan oleh menantunya. Velly masuk ke dalam bilik, membuka kebaya yang melekat di tubuhnya lalu menggantinya dengan daster seperti biasa setiap mau tidur. Tidak lupa juga membersihkan wajah dari sisa make-up yang menempel menggunakan miccelar water dan dilanjut dengan mengoles sedikit krim malam. Dari pantulan cermin terlihat Bahrudin masuk ke dalam kamarnya, menerbitkan senyuman membuat jantung perempuan berambut sebahu itu berdetak tidak karuan. Bahrudin terus menelisik tampilan sang istri dari ujung kaki hingga ujung kepala, merasa ada yang aneh melihat Velly yang biasa berpakaian rapi hanya mengenakan daster sebatas lutut, membuat jakun laki-laki bertubuh tambun itu naik turun kala melihat kaki jenjang istrinya. “Kenapa liatinnya seperti itu, Mas? Aku jelek ya
Velly turun dari sepeda motor dan lekas mengayunkan kaki menuju halaman taman kanak-kanak tempat dimana Dariel mulai menimba ilmu.Bocah berusia lima tahun itu sudah menunggu di ruangan guru bersama wali kelasnya, dan langsung berlari ke luar saat melihat ibunya datang menjemput."Bye...Bye, Miss Titi. Aku pulang dulu ya?" Dariel menyalami tangan ibu guru lalu segera naik ke atas motor."Duluan, Miss," pamit Velly kemudian."Iya Bunda. Hati-hati!" Mantan istri Bima itu kembali menyalakan mesin sepeda motornya, melajukannya membelah jalanan kota sambil mengobrol panjang lebar dengan Dariel.Mereka kemudian berhenti di sebuah minimarket untuk membeli beberapa camilan juga kebutuhan pokok yang sudah habis di rumah, serta membeli ice cream seperti biasa."Apa kabar, Vel?" Wanita berambut sebahu itu menoleh ke arah sumber suara ketika mendengar suara berat seorang laki-laki. Dia terus menelisik tampilan orang y
“Siapa kamu ikut campur urusan rumah tangga saya?” Bima menunjuk wajah si pria sambil menahan amarah luar biasa.“Saya memang bukan siapa-siapa. Tetapi saya tidak akan membiarkan kamu menyakiti Imelda!” jawab pria yang bekerja sebagai kurir ekspedisi yang biasa mengambil barang jualan Imelda.“Saya ini suami dari perempuan itu. Jadi kamu tidak usah sok jadi pahlawan kesiangan di sini!”“Oh, jadi ini suami tidak tahu diri dan tidak bertanggungjawab itu? Berani muncul juga kamu setelah sekian lama menghilang tanpa jejak. Sudah dibuang kamu sama istri baru kamu sampai akhirnya kembali mencari orang yang sudah kamu campakkan?!”“Tahu apa kamu tentang saya dan istri saya?!”“Saya tahu segalanya!”“Pasti kamu yang sudah menjelekkan aku di depan orang ini, Imel? Dasar perempuan murahan. Pela**r. Bisa-bisanya menjelekkan suami di depan orang lain!” Bima berjalan menghampiri Imelda, melayangkan tangan hendak menampar, akan tet
“Coba ulangi sekali lagi ucapan kamu, Arzerti?” Bima mencengkram erat rahang istrinya.“Letoy!!” seru Arzeti sambil tertawa mengejek.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi perempuan yang tengah dipengaruhi minuman beralkohol itu. Ini kali pertamanya Bima berbuat kasar kepada Arzeti, sebab ia merasa kalau istri barunya telah menginjak-injak harga dirinya.Imelda memang bar-bar. Tetapi dulu ketika dia masih hidup bersama, istri sirinya itu tidak pernah sekali pun menghina dia, apalagi sampai menjatuhkan harga dirinya seperti itu.Terlebih lagi Velly yang selalu menghormati dia juga memperlakukan ia dengan teramat baik hampir tanpa cela. Hanya saja karena sifat serakah juga tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki Bima akhirnya mengkhianati cinta wanita yang telah memberi dia dua orang jagoan itu.Pun ketika sudah bersama Imelda yang sekarang sedang mengandung benih cintanya. Bima merasa bosan karena semakin hari istr