Jika bukan karena masih memiliki hubungan darah, Sila segan untuk mengerjakan pesanan mendadak dari Dora. Ia heran mengapa Dora selalu memesan makanan kepadanya secara tiba-tiba. Persis kemarin petang, Dora menghubunginya untuk memesan lima puluh porsi nasi kuning lengkap dengan lauk yang harus diselesaikan pada pagi hari ini. Bukannya ia menolak rejeki, tetapi jika mendadak seperti ini akan membuatnya kalang kabut. Ia tidak suka diburu waktu. Dengan mengandalkan sisa-sisa rasa hormatnya kepada Dora, ia mengorbankan jam tidurnya untuk menyelesaikan pesanan. Merasa perlu bantuan, akhirnya subuh tadi ia meminta Biroh, pembantu rumah tangga Dora, untuk datang membantunya.
Sila baru saja mematikan kompor yang ia gunakan untuk menanak nasi kuning, “Akhirnya”, bisiknya. Ia melirik Biroh yang sedang menggoreng ayam dan tempe yang sudah diungkep semalam. Dengan ini berarti lengkap sudah pesanan Dora ia kerjakan.
“Mbak, ini langsung dibawa aja, ya?” tanya Biroh yang telah menggoreng habis seluruh potongan ayam dan tempe.
“Iya, Bi, nanti aku pindahkan ke wadah, ya.” jawab Sila.
“Nggih, Mbak, nanti langsung hubungi Ibu aja, biar Pak Wan yang ambil pakai mobil.” ujar Biroh mengutip pesan dari Dora.
“Siap.” Jawab Sila singkat.
Tepat pukul delapan kurang tiga puluh menit pagi, bersama dengan Biroh dan Pak Wan, semua pesanan dibawa menuju rumah Dora. Tidak lupa ia menitipkan satu lembar uang seratus ribu rupiah sebagai tanda terima kasih kepada Biroh.
Lelah fisiknya makin terasa seiring bergantinya angka yang menunjukan waktu di ponsel. Hampir satu jam berlalu Sila habiskan dalam lamunan. Memiliki kecakapan di bidang kuliner ternyata tidak sepenuhnya membantu jika staminanya kurang memadai. Di banding melanjutkan aktifitasnya hari itu, Sila lebih memilih untuk b erbaring di atas sofa panjangnya, merebahkan jiwa dan raganya dari penatnya hari ini. Bermacam-macam hal datang silih berganti dalam diamnya. Tentang masa kecil, kehidupan di kampus, hingga asmara. Entah mengapa semenjak Ninet membicarakan topik ini beberapa bulan lalu, ia jadi sering melamun. Satu sosok yang ada dilamunannya masih sama. Seorang pria yang pernah dekat dengannya dahulu.
Andri bukanlah segalanya bagi Sila. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan cinta platonik mereka memang sempat mengisi hatinya. Ia jatuh cinta begitu dalam oleh sosok yang tidak pernah ia jumpai secara langsung. Sosok yang selalu ia ceritakan kepada Ninet. Hubungan yang terjalin hanya lewat layanan pesan singkat dan suara tersebut berlangsung selama delapan bulan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu tepat pada hari ulang tahunnya. Di hari itulah Sila mengubur segala perasaannya tentang Andri.
Hanya Tuhan yang tahu kapan tepatnya Sila tertidur pulas. Yang ia tahu saat ini waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Ia terbangun akibat dering panggilan masuk dari nomor yang tidak ia kenal. Empat panggilan tidak terjawab dari nomor tersebut.
Sila berusaha bangun dari sofa namun otot kakinya tidak merespon perintah otaknya, ia merasa lemas, lututnya bergetar pelan, kini ia merasakan nyeri di kepalanya yang cukup hebat. Sejenak ia membaringkan tubuhnya kembali. Mencari sisa-sisa kekuatan untuk menghubungi seseorang lewat pesan singkat. Satu-satunya nama yang langsung terlintas adalah Ninet, sayangnya, ia sadar bahwa Ninet masih berada di Bali.
Suara kendaraan berhenti tepat di depan rumah Sila, ia mendengar suara panggilan dari seseorang dari balik pagar rumahnya, namun ia tidak memiliki cukup daya untuk memeriksa si pemilik suara tersebut.
"Selamat malam, Sila, kamu ada di rumah?" suara itu kian mengeras.
Sila mengernyitkan dahinya sebelum membalas berteriak "Iya, maaf, saya lagi kurang fit, nggak bisa keluar rumah." "anda siapa, ya? ada perlu apa?" secepat itu ia menyambung pernyataannya dengan pertanyaan.
"Kamu sakit?" balas pria itu tanpa menjawab pertanyaan Sila.
Sila tidak sempat membalas pertanyaan tadi karena beberapa detik kemudian pria tersebut sudah berada di balik pintunya.
"Sila, ini aku, Hans, kamu sakit apa?" Hans bertanya sembari mengetuk pintu pelan.
Sila yang langsung mengenali siapa Hans yang dimaksud segera memaksakan diri untuk membuka pintu. "Maaf Hans, kayaknya cuma kelelahan." ujarnya sembari membukakan pintu untuk Hans.
Hans memandangi Sila sesaat setelah pintu terbuka. Tidak banyak yang berubah dari penampilannya secara fisik selain saat ini ia mengenakan jilbab. "Kamu pucet banget, Sil, aku antar ke dokter, ya?" tanya Hans begitu mendapati wajah Sila yang terlihat jelas menahan sakit.
"Sebenarnya aku nggak enak, kamu baru datang malah harus repot-repot mengantar aku ke dokter, tetapi aku yakin kamu nggak bakal langsung pergi kalau ngelihat aku begini, aku minta tolong, ya, Hans." Jawab Sila pasrah.
Hans mengangguk, "Mau langsung jalan?".
"Sebentar, aku ambil tas dulu." jawab Sila pelan.
_____
Empat jam telah berlalu dengan cepat. Kini mereka telah kembali ke rumah Sila. Hans tidak tega membiarkan teman lamanya itu sendiri malam ini. Ia memutuskan untuk tetap tinggal sampai besok pagi. Meskipun Sila sudah memintanya untuk pulang namun melihat Sila yang tidak berdaya sendiri di rumah membuatnya khawatir.
Hans membiarkan Sila beristirahat di kamarnya, berkat efek samping obat, kini ia tertidur pulas. Bukan tanpa maksud Hans datang ke rumah Sila. Ia sempat diberi tahu oleh Ninet tentang bisnis kuliner yang dimiliki Sila. Kedatangannya kali ini pun dengan tujuan untuk memesan makanan untuk acara arisan ibunya minggu depan. Melihat Sila yang sedang sakit membuatnya lupa akan niat awalnya.
Tiba-tiba suara pintu kamar terbuka, Sila muncul dari balik pintu "Kamu lapar?" tanya Sila.
"Nggak, kok" jawab Hans.
"Jangan bohong, nggak perlu sungkan, Hans, kayak sama siapa aja." ujar Sila yang terlihat sedikit lebih segar dari sebelumnya.
"Eh, bukannya begitu, tapi aku memang sudah lama nggak makan malam" jawab Hans.
Jawaban tadi membuat Sila tersadar akan sesuatu yang berbeda dari temannya itu. Ia mendekat ke arah Hans yang sedang duduk di Sofa.
"Kenapa?" Hans merasa sedang diperhatikan oleh Sila.
Sila tidak menjawab, tetapi matanya tetap tertuju pada Hans "Astaga, kamu beda banget!".
Hans mengerti apa yang sedang Sila bicarakan dan hanya bisa membalasnya dengan tawa garingnya.
"Keren!" puji Sila
"Terima kasih." jawab Hans sedikit terbata.
Hampir satu jam mereka berbincang sebelum akhirnya Sila mempersilakan Hans untuk beristirahat di kamar tamu, bekas kamar ayahnya.
Hans kembali mengingat perkataan Sila barusan, sejujurnya ia sempat mengira bahwa bukan hanya penampilan fisiknya saja yang telah berbeda. Namun malam ini ia tersadar bahwa ada satu hal yang masih sama. Sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam karena sebuah perbedaan yang menghalangi. Malam ini Hans kalah, perasaannya yang telah lama ia kubur seakan bangkit untuk membalas dendam, kali ini gilirannya yang akan terkubur.
Ninet sedang menunggu namanya dipanggil untuk masuk ke dalam ruang konsultasi, di sebelahnya, Pilar sibuk membalas beberapa pesan yang masuk di ponselnya sambil sesekali memandangi layar monitor yang menampilkan informasi terkait antrean hari ini. Hanya tersisa satu pasien di depan nomor antrean Ninet, yang berarti jika tidak ada kendala, kemungkinan sekitar dua puluh menit lagi Ninet akan bertatap muka dengan Jun, salah satu dokter obgyn di rumah sakit tersebut. Tiba-tiba beberapa bulir keringat di dahi Pilar berjatuhan. Tubuhnya sedikit bergemetar, kepalanya seakan berputar pelan, membuat isi perutnya seakan mau keluar. Pilar menahan rasa mualnya sesaat, ia meraih punggung tangan Ninet seraya mengusapnya lembut, "Aku mau beli minum, kamu mau nitip?" tanya Pilar. "Nggak, Mas" Ninet melirik Pilar, "Jangan kelamaan, ya, ini sebentar lagi giliran kita." "Iya, aku cuma beli minum aja, kok." Jawab Pilar berbohong. ____ Se
Sepasang kaki berjalan lengkah demi langkah menuju ke suatu tempat. Tepat di depan sebuah kedai kopi yang terletak di dalam pusat perbelanjaan di tengah kota, langkah kaki Ninet terhenti, dari luar ia melihat ke sekitar untuk menemukan sosok lelaki yang telah menunggunya. Kalau bukan karena cerita Pilar bahwa Hansen Purnama, teman dekatnya saat di kampus dahulu, kini sudah menyusut secara fisik, ia tidak akan percaya dengan apa yang matanya tangkap saat ini, sesosok pria berkacamata yang sedang fokus dengan ponselnya, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru, tampak rapih dengan rambut klimis bak eksekutif muda. Benar, ini bukan Hans yang ia kenal sebelumnya. Ninet pun masuk ke dalam. "Aku tahu kamu pasti muak dengar ini, but you look different." kalimat pertama yang keluar dari bibir Ninet. Hans yang sedikit terkejut dengan kehadiran Ninet, langsung memasukkan poselnya ke dalam saku celana, "Eh, silakan, Net." ucap Hans mempersilakan. Ninet duduk
Ninet masih ragu untuk menyampaikan permintaannya kepada Pilar. Apalagi ini bukan permintan yang bisa diterima nalar manusia pada umumnya. Wanita gila mana yang meminta suaminya untuk menikah dengan orang lain sebagai kado ulang tahun pernikahan? Tidak waras adalah kata yang tepat untuk keputusan Ninet.-Sil, makanannya udah sampai, nih, aku belum coba, tapi aku yakin enak--tengkyu, yaa-Barisan teks yang Ninet kirim setelah pesanan lauk pauknya datang tepat waktu.Waktu menunjukan pukul lima sore. Ninet bergegas mencari kontak di ponselnya untuk ia hubungi.Pilar langsung melontarkan pertanyaan ketika terhubung dengan Ninet lewat udara, “Sayang, kamu serius kali ini nggak mau dinner di luar?”“Nggak, Mas, aku udah siapin makanan, kita makan di rumah aja.” jawab Ninet.“Nggak spesial, dong. Sama aja makan malam reguler.” Pilar sedikit protes.“Spesial, kok, ini makana
Sekitar empat bulan yang lalu.“Nanti kabarin aku kalau mau pulang, ya?” ujar Pilar sebelum masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan ke kantor.Tepat pukul delapan lewat sepuluh pagi, Ninet sudah berada di depan rumah sahabat lamanya. Sahabat yang sudah lima tahun tidak ia jumpai karena kepindahannya ke luar kota. Rumah yang menyimpan banyak kenangan itu kini akan ia masuki tanpa harus memandangi dari luar jika ia kebetulan melewati. Pagar besi itu masih sama seperti dahulu, hanya kini lebih berkarat dan sedikit sulit didorong saat ia mencoba membukanya.“SELAMAT PAGI IBU PRISILA ANINDYA HARIADI” Ninet sengaja mengeraskan suaranya tepat di depan pintu rumah. Tidak ada jawaban dari dalam. Ia mencoba mengetuknya berkali-kali. Masih tidak ada jawaban. Lebih dari lima menit Ninet menunggu sampai akhirnya ia mencoba menghubungi Sila lewat sambungan telepon.“Yah, kok, nggak diangkat?” bisiknya.Dua puluh menit
“Pak Pilarjati?” seorang lelaki gemuk dengan seragam hitam datang menghampirinya. “Iya, Pak, ini saya.” Pilar menjawab. “Viviere, ya, Pak?” tanya lelaki itu mengonfirmasi. “Betul, Pak.” Ninet yang berada di sebelah Pilar hanya diam menyaksikan percakapan antara Pilar dan lelaki yang ia Yakini adalah karyawan dari resort yang sudah suaminya pesan. “Ayo, kita ke mobil” Lelaki itu mengajak kedua pasangan ini untuk mengikutinya menuju mobil jemputan fasilitas dari resort. Ninet dan Pilar tiba di bandara sekitar sepuluh menit yang lalu. Ninet mengenakan blus corak batik tanpa lengan yang panjangnya tidak lebih dari lima senti di bawah perut, ia mengombinasikannya dengan celana jin pendek yang hanya menutupi setengah bagian pahanya, sedangkan Pilar hanya memakai kaus polo berwarna merah dan celana jin panjang andalannya. Setelah memasukkan beberapa koper bawaan ke bagasi, mereka langsung naik ke dalam mobil berwarna putih yang dengan
Sepasang kaki berjalan lengkah demi langkah menuju ke suatu tempat. Tepat di depan sebuah kedai kopi yang terletak di dalam pusat perbelanjaan di tengah kota, langkah kaki Ninet terhenti, dari luar ia melihat ke sekitar untuk menemukan sosok lelaki yang telah menunggunya. Kalau bukan karena cerita Pilar bahwa Hansen Purnama, teman dekatnya saat di kampus dahulu, kini sudah menyusut secara fisik, ia tidak akan percaya dengan apa yang matanya tangkap saat ini, sesosok pria berkacamata yang sedang fokus dengan ponselnya, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru, tampak rapih dengan rambut klimis bak eksekutif muda. Benar, ini bukan Hans yang ia kenal sebelumnya. Ninet pun masuk ke dalam. "Aku tahu kamu pasti muak dengar ini, but you look different." kalimat pertama yang keluar dari bibir Ninet. Hans yang sedikit terkejut dengan kehadiran Ninet, langsung memasukkan poselnya ke dalam saku celana, "Eh, silakan, Net." ucap Hans mempersilakan. Ninet duduk
Ninet sedang menunggu namanya dipanggil untuk masuk ke dalam ruang konsultasi, di sebelahnya, Pilar sibuk membalas beberapa pesan yang masuk di ponselnya sambil sesekali memandangi layar monitor yang menampilkan informasi terkait antrean hari ini. Hanya tersisa satu pasien di depan nomor antrean Ninet, yang berarti jika tidak ada kendala, kemungkinan sekitar dua puluh menit lagi Ninet akan bertatap muka dengan Jun, salah satu dokter obgyn di rumah sakit tersebut. Tiba-tiba beberapa bulir keringat di dahi Pilar berjatuhan. Tubuhnya sedikit bergemetar, kepalanya seakan berputar pelan, membuat isi perutnya seakan mau keluar. Pilar menahan rasa mualnya sesaat, ia meraih punggung tangan Ninet seraya mengusapnya lembut, "Aku mau beli minum, kamu mau nitip?" tanya Pilar. "Nggak, Mas" Ninet melirik Pilar, "Jangan kelamaan, ya, ini sebentar lagi giliran kita." "Iya, aku cuma beli minum aja, kok." Jawab Pilar berbohong. ____ Se
Jika bukan karena masih memiliki hubungan darah, Sila segan untuk mengerjakan pesanan mendadak dari Dora. Ia heran mengapa Dora selalu memesan makanan kepadanya secara tiba-tiba. Persis kemarin petang, Dora menghubunginya untuk memesan lima puluh porsi nasi kuning lengkap dengan lauk yang harus diselesaikan pada pagi hari ini. Bukannya ia menolak rejeki, tetapi jika mendadak seperti ini akan membuatnya kalang kabut. Ia tidak suka diburu waktu. Dengan mengandalkan sisa-sisa rasa hormatnya kepada Dora, ia mengorbankan jam tidurnya untuk menyelesaikan pesanan. Merasa perlu bantuan, akhirnya subuh tadi ia meminta Biroh, pembantu rumah tangga Dora, untuk datang membantunya. Sila baru saja mematikan kompor yang ia gunakan untuk menanak nasi kuning, “Akhirnya”, bisiknya. Ia melirik Biroh yang sedang menggoreng ayam dan tempe yang sudah diungkep semalam. Dengan ini berarti lengkap sudah pesanan Dora ia kerjakan. “Mbak, ini langsung dibawa aja, ya?” tanya
“Pak Pilarjati?” seorang lelaki gemuk dengan seragam hitam datang menghampirinya. “Iya, Pak, ini saya.” Pilar menjawab. “Viviere, ya, Pak?” tanya lelaki itu mengonfirmasi. “Betul, Pak.” Ninet yang berada di sebelah Pilar hanya diam menyaksikan percakapan antara Pilar dan lelaki yang ia Yakini adalah karyawan dari resort yang sudah suaminya pesan. “Ayo, kita ke mobil” Lelaki itu mengajak kedua pasangan ini untuk mengikutinya menuju mobil jemputan fasilitas dari resort. Ninet dan Pilar tiba di bandara sekitar sepuluh menit yang lalu. Ninet mengenakan blus corak batik tanpa lengan yang panjangnya tidak lebih dari lima senti di bawah perut, ia mengombinasikannya dengan celana jin pendek yang hanya menutupi setengah bagian pahanya, sedangkan Pilar hanya memakai kaus polo berwarna merah dan celana jin panjang andalannya. Setelah memasukkan beberapa koper bawaan ke bagasi, mereka langsung naik ke dalam mobil berwarna putih yang dengan
Sekitar empat bulan yang lalu.“Nanti kabarin aku kalau mau pulang, ya?” ujar Pilar sebelum masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan ke kantor.Tepat pukul delapan lewat sepuluh pagi, Ninet sudah berada di depan rumah sahabat lamanya. Sahabat yang sudah lima tahun tidak ia jumpai karena kepindahannya ke luar kota. Rumah yang menyimpan banyak kenangan itu kini akan ia masuki tanpa harus memandangi dari luar jika ia kebetulan melewati. Pagar besi itu masih sama seperti dahulu, hanya kini lebih berkarat dan sedikit sulit didorong saat ia mencoba membukanya.“SELAMAT PAGI IBU PRISILA ANINDYA HARIADI” Ninet sengaja mengeraskan suaranya tepat di depan pintu rumah. Tidak ada jawaban dari dalam. Ia mencoba mengetuknya berkali-kali. Masih tidak ada jawaban. Lebih dari lima menit Ninet menunggu sampai akhirnya ia mencoba menghubungi Sila lewat sambungan telepon.“Yah, kok, nggak diangkat?” bisiknya.Dua puluh menit
Ninet masih ragu untuk menyampaikan permintaannya kepada Pilar. Apalagi ini bukan permintan yang bisa diterima nalar manusia pada umumnya. Wanita gila mana yang meminta suaminya untuk menikah dengan orang lain sebagai kado ulang tahun pernikahan? Tidak waras adalah kata yang tepat untuk keputusan Ninet.-Sil, makanannya udah sampai, nih, aku belum coba, tapi aku yakin enak--tengkyu, yaa-Barisan teks yang Ninet kirim setelah pesanan lauk pauknya datang tepat waktu.Waktu menunjukan pukul lima sore. Ninet bergegas mencari kontak di ponselnya untuk ia hubungi.Pilar langsung melontarkan pertanyaan ketika terhubung dengan Ninet lewat udara, “Sayang, kamu serius kali ini nggak mau dinner di luar?”“Nggak, Mas, aku udah siapin makanan, kita makan di rumah aja.” jawab Ninet.“Nggak spesial, dong. Sama aja makan malam reguler.” Pilar sedikit protes.“Spesial, kok, ini makana