Kaila bangun dari tidurnya di jam sembilan pagi. Dia mengumpulkan nyawanya terlebih dahulu dengan berbaring di kasurnya dan menatap langit-langit kamarnya sembari tangannya meraih ponselnya yang ada di sisi kanan. Ia membukanya dan mendapati satu buah pesan dari Angkasa. From: apartmate Gue gak pulang lagi malam ini, jangan lupa kunci balkon Dia tidak membalasnya lagi karena pesan itu adalah pesan semalam dan dia sudah tertidur saat itu. Kaila berangkat dari tidurnya dan segera memulai harinya dengan membersihkan kamarnya serta mengganti spreinya. Dia melakukan pekerjaan rumah, dan membersihkan seisi apartemen. Mumpung dirinya sedang semangat nih. Dia menghabiskan pagi sabtunya dengan membersihkan apartemennya. --- Tak banyak yang Kaila lakukan setelah membersihkan apartemennya. Ia hanya menonton televisi dan memesan banyak makanan karena ia hanya ingin menikmati hari liburnya. Dia berleha-leha di depan televisi sampai malam dan sampai Angkasa pulang dengan wajah yang pucat d
Kaila terbangun ketika mendengar suara Angkasa yang masih merintih. Dia memeluk dirinya sendiri dan tampak kedinginan dengan mata yang masih terpejam. Sedari tadi Kaila tidur di kamar Angkasa, tapi tidak di ranjangnya melainkan ia hanya duduk di samping ranjangnya dan merebahkan kepalanya di samping Angkasa karena tangan Angkasa masih menggenggam tangan Kaila semalam, namun kali ini sudah terlepas. “Kenapa, Sa?” tanyanya dan langsung mengecek keadaan Angkasa. Kaila menempelkan tangannya di dahi Angkasa dan panasnya sudah sedikit turun karena minum obat juga mungkin karena kompresan. Namun Angkasa berkeringat sedikit banyak. “Ennghhh.” Angkasa hanya merintih seperti orang demam kebanyakan. Ada orang yang ketika demam tidak mengeluarkan suara seperti ini, tapi ada juga yang seperti Angkasa, dan Kaila juga termasuk seperti Angkasa jadi kurang lebih dia tahu bagaimana rasanya. Kaila mengusap wajahnya karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia benar-benar tidak pernah merawat or
“Jangan jauhin gue ya.” Kaila membeku di tempatnya dengan posisi yang masih sama, sedikit membungkuk dan tangannya masih berada di dahi Angkasa. Dia benar-benar terlihat seperti patung yang bodoh karena ucapan Angkasa barusan. Semalam Angkasa juga mengatakan hal ini, namun semalam ia antara sadar dan tidak sadar jadi Kaila tidak begitu mempermasalahkannya, tapi kali ini Angkasa seratus persen sadar dan fakta kalau mereka berdua saling menatap satu sama lain membuat Kaila semakin kewalahan. Kaila menarik tangannya dari dahi Angkasa dan berdiri dengan benar. Ia menoleh ke sembarang arah asal jangan pada pemuda itu. Terlihat sekali kalau dirinya saat ini sedang kebingungan dengan ucapan Angkasa barusan. “Lo udah makan, ya?” tanya Kaila yang mengalihkan pembicaraan dan melihat ke westafel ada piring kotor di sana. Angkasa tidak menjawab. “Makan apa? mie?” tanyanya lagi dan melirik Angkasa sekilas, tapi setelah itu melihat ke arah westafel lagi padahal tidak ada yang menarik di sana.
Kaila merasakan jantungnya berhenti saat itu juga. Wajah Angkasa yang dekat sudah membuatnya kesulitan, dan ditambah dengan ucapan yang baru saja pemuda itu katakan. Dia tidak tahu harus apa. Dia ingin kabur dari sini dan mengunci dirinya di kamar, tapi Kaila tidak bisa. Angkasa masih mengurungnya. “Gue suka sama lo,” ujarnya sekali lagi. Kaila mengalihkan pandangannya dan mentap pundak Angkasa saja, ia tidak bisa menatap Angkasa tepat di matanya dengan jarak sedekat ini. “Lo demam, Sa. Jadi gue maklumin kalo lo ngawur,” ujar Kaila berusaha sekuat tenaga untuk membalas ucapan Angkasa barusan. “Gue udah sembuh,” sahut Angkasa. “Lo udah nyentuh dahi gue tadi kan? Dan panas gue udah turun seratus persen, Kai.” Ya, Kaila tahu itu. Ia tahu kalau panas Angkasa sudah turun sejak ia menyentuh dahi pemuda itu tadi, tapi dia hanya mengatakan itu untuk membohongi dirinya sendiri. Dia tidak ingin mengetahui kalau Angkasa menyukainya. Dia tidak ingin mempercayainya. “Gue harus apa, Kai?” ta
Terdengar suara ketukan di pintu. “Udah tidur belum?” tanya Angkasa dari luar sana. Kaila segera berdiri dari tidurannya dan membuka pintunya dengan cepat, ia mendapati Angkasa berdiri di depan pintunya. “Kenapa?” tanya Kaila di ambang pintu. “Mau ikut gue keluar gak? Cari angin sama cari makan,” ujar Angkasa dan menyandarkan tubuhnya di dinding samping kamar Kaila. Kaila melirik jam dinding mereka. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Kaila juga tertarik untuk keluar dan mencari jajanan atau mungkin angkringan karena terakhir makan tadi sekitar jam lima sore dan wajar saja kalau sekarang dia kembali lapar. “Mau deh,” sahut Kaila dan keluar dari kamarnya dengan cepat tapi dihentikan oleh Angkasa. “Kenapa?” tanya Kaila menatap heran. Angkasa tidak kalah heran. Ia menatap Kaila dari atas sampai ujung kakinya dan menaikkan alisnya. “Lo serius mau keluar pake baju dan celana pendek kayak gitu?” tanyanya. “Dingin lho,” lanjutnya dan Kaila baru tersadar. Dia memang mema
Angkasa benar-benar sinting. Hanya itu yang bisa Kaila katakan saat ini. Bagaimana tidak, dia bisa-bisanya mengatakan hal itu dengan enteng dan seakan ia benar-benar menyukai Kaila, sedangkan di sisi lain, Kaila berusaha dengan keras agar tidak jatuh pada Angkasa. “Jadi gak makan mie nya?” tanya Angkasa kemudian karena Kaila hanya diam saja sedari tadi. “Jadi, gue laper,” sahut gadis itu dan berjalan ke arah Bapak penjual mie ayam. Untung saja mereka kebagian tempat di sana karena memang sangat ramai. Kenapa deh tiap malam minggu selalu ramai kayak gini? Padahal malam lain juga bisa, ucap Kaila yang sebenarnya hanya kesal karena terlalu ramai di sini. Ia tidak menyukai keramaian tapi dia harus ke sini karena kelaparan. Pada akhirnya rasa lapar memang selalu menang. “Gimana kuliah lo?” tanya Angkasa tiba-tiba ketika mereka berdua sedang menunggu pesanan. “Tiba-tiba banget?” tanya Kaila balik karena memang ini tib-tiba banget Angkasa bertanya tentang kuliah Kaila. Biasanya pemud
Angkasa tidak pernah menjadi secerewet ini sebelumnya. Dia tipe orang yang tidak begitu banyak bicara sebenarnya, tapi dia juga tidak sedingin itu. Dia berada di tengah-tengah. Namun, ini benr-benar kali pertama dirinya menceritakan tentang dirinya sendiri tanpa diminta. Biasanya orang-orang akan selalu penasaran tentang dirinya dan menanyakan banyak hal padanya. Bukannya sombong, tapi para gadis memang selalu mendekati dirinya, ditambah sekarang dia menjabat sebagai Ketua BEM. Bisa gila juga. Namun Kaila tidak menunjukkan ketertarikan pada Angkasa, dan itu semakin membuatnya penasaran dan menyukainya. “Gue mau denger,” ucap gadis itu. “Lo bisa ngomong apa aja, gue mau denger tentang lo.”Angkasa tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Dia tersenyum di tempatnya seraya menatap Kaila yang juga menatapnya. “Sejujurnya gue capek,” jawabnya kemudian. “Kuliah dan organisasi, keduanya sama-sama padat. Gue sering banget kewalahan,” lanjutnya seraya mengaduk mie ayamnya. "Ya iya, sa
“Masih sakit gak perut lo?” tanya Angkasa dan duduk di samping Kaila.Sekarang mereka sudah berada di apartemen, tepatnya di depan televisi. Tadi Kaila hendak pergi ke balkon tapi dihentikan oleh Angkasa. Ia takut kalau Kakaknya Kaila masih ada di sekitar sini dan melihat mereka di balkon, meskipun mereka ada di lantai enam, tapi jaga-jaga saja.Kaila menggeleng. “Sakit bentaran doang karena lari,” jawabnya dan bersandar di sofa.Mereka memutuskan untuk menonton Netflix di televisi dan sekarang Kaila sedang mencari-cari apa yang harus mereka tonton sekarang, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat, tapi mereka baru mau mulai menonton.Kaila sedikit heran dengan dirinya. Otaknya terus-terusan menyuruhnya untuk menjaga jarak dengan Angkasa, tapi tindakannya melakukan yang sebaliknya. Dia malah duduk di sini dan hendak menonton film dengan Angkasa, menghabiskan malamnya dengan pemuda ini.“Mau nonton film horor gak?” tanya Angkasa karena melihat Kaila sedari tadi hanya mencar
"Mama tau gak kalo mereka berdua tinggal dalam satu apartemen yang sama?" Mama Angkasa mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan yang baru saja diajukan oleh Henni. "Siapa?" tanya Mamanya Angkasa. "Siapa yang tinggal dalam satu apartemen yang sama?" ulangnya lagi. "Angkasa sama Kaila, Ma," jawab Henni melirik dua orang yang ada di samping Mama. "Mereka memang tinggal dalam satu gedung apartemen, memangnya kenapa?" Henni menghela napas terlihat sangat kesal. "Bukan gitu Ma maksudnya," balasnya. "Mereka tinggl di unit yang sama. Satu ruangan." Penjelasan dari Henni tadi berhasil membuat Mamanya Angkasa melirik dua orang yang ada di sampingnya, ia bisa melihat kalau Angkasa dan juga Kaila terlihat sangat gugup dengan ucapan Henni barusan. Menunjukkan kalau yang Henni katakan memang benar. Mereka tinggal dalam satu apartemen yang sama. "Oh, itu saja?" tanya Mamanya Angkasa yang membuat ketiga orang itu mengangkat alisnya. "Kalo itu aja, yaudah, silakan pergi."Bukan hanya Henni yan
Angkasa berjalan menghampiri Kaila yang duduk sendirian di ujung sana."Hei, kenapa sendirian?" tanyanya menyentuh pundak Kaila.Kaila tampak terkejut. Ia menggeleng dengan cepat. "Gak papa kok, pengen sendirian aja," balasnya sekenanya.Angkasa mengangguk dan duduk di samping Kaila. "Masih gugup?" tanyanya.Kaila mengangguk. "Banget, malah makin gugup," sahutnya. "Aku gak kebiasa banget dikelilingi orang banyak kayak gini, mana baik-baik semua lagi."Angkasa bingung harus merasa senang atau menyesal.Ia senang karena keluarganya menyambut Kaila dengan hangat dan baik, tapi ia juga sedikit menyesal karena secara tidak langsung dia memaksa Kaila keluar dari zona nyamannya.Ia tahu Kaila harus mulai belajar perlahan-lahan, tapi ia masih merasa tidak enak."Maaf ya," ujar Angkasa kemudian. Ia memutuskan untuk meminta maaf.Kaila mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Kenapa malah minta maaf?" tanya Kaila bingung."Kamu pasti terpaksa ke sini ya," ujarnya. "Aku maksa kamu banget buat ikut k
Sedari tadi jantung Kaila berdetak dengan sangat cepat, terlebih lagi ketika dia sudah melihat tempat yang mereka tuju.Gedungnya berada tepat di depan, dan Kaila merasakan jantungnya semakin menggila. Rasanya ia ingin pergi saat ini juga. Dia masih belum bisa menghadapi orang-orang, terlebih lagi itu adalah keluarganya Angkasa. Seakan mengerti dengan apa yang dikhawatirkan oleh Kaila, Angkasa menggenggam tangan pacarnya dan mengelusnya pelan. "It's okay, ada aku, Kai," ujarnya menenangkan Kaila. Angkasa tahu kalau Kaila pasti sangat tegang dan gugup saat ini. Ia bisa melihatnya dengan sangat jelas. "Keluarga aku pada baik kok, kamu gak usah khawatir."Kaila masih tidak bisa tenang meskipun sudah mendengar kalimat dari Angkasa. Kaila berpikir, kalau keluarganya tahu mereka berpacaran, artinya mereka tidak lagi backstreet dong? Atau backstreetnya sama anak-anak kampus saja?Ah, Kaila pusing. Dia ingin pergi.Ia ingin lari saat ini juga. "Ayo," ajak Angkasa. Telat. Kaila tidak a
"Lho, kok udah pulang?" tanya Kaila ketika masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Angkasa yang sedang duduk di sofa sembari menonton Upin & Ipin. "Iya nih, agak cepet, soalnya besok juga bakalan ke sana lagi," balasnya dan menyuruh Kaila untuk duduk di sampingnya. "Lah, kalo mau ke sana lagi ngapain pulang deh?" tanya Kaila bingung seraya mendudukkan dirinya di sofa samping Angkasa. Angkasa tidak menjawab beberapa saat. Dia mengambil tangan Kaila dan menggenggamnya, membuat Kaila mendadak bingung dengan tindakan pacarnya barusan. Pasalnya dia memegang tangan Kaila dan menarik napas panjang. "Apa?" tanya Kaila. "Kamu mau ngomong apa?" tanyanya lembut. Kaila bisa merasakan kalau Angkasa sedang ingin mengatakan sesuatu tapi terlihat ragu. "Besok kan sepupu aku nikah," ujarnya. Kaila mengangguk. "Iya, terus?" "Kamu mau ikut gak?" tanyanya. "Kondangan bareng aku, Mama juga mau ketemu kamu." Angkasa tidak bohong mengenai Mamanya yang ingin bertemu dengan Kaila. Tadi Angkasa bert
"Aromanya enak banget nih brownies." Angkasa menghampiri Kaila yang berdiri di depan oven, menunggu browniesnya matang. "Iya kan, enak kan baunya," sahut Kaila penuh semangat karena ia sedari tadi memang sudah pengen makan tapi belum matang. "Tapi gak usah diliatin terus-terusan gini dong, nanti jadinya makin lama," ujar Angkasa. "Mending nonton aja deh selagi nunggu." Angkasa menarik Kaila menjauh dari sana, dan dengan berat hati Kaila menurut meskipun pandangannya masih pada ovennya yang sedang menyala dan tersisa lima belas menit lagi sebelum matang merata. "Nonton apa emang?" tanyanya setelah duduk di sofa. "Eh, tapi gimana kalo kita nonton drakor aja?" usul Kaila. "Drakor apaan?" tanya Angkasa menoleh. Remot di tangannya sudah siap untuk mencari drama yang akan Kaila sebut. "King Two Hearts, mau gak? Aku pengen rewatch," ujar Kaila. "Semalem tiba-tiba keinget sama drakor lama itu. Jadi kangen." Sepanjang Kaila berbicara, sepanjang itulah Angkasa tersenyum. Ia benar-benar
Angkasa kembali ke apartemennya di jam sepuluh malam dan belum mendapati Kaila di sana. Ia mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menelepon Kaila, mungkin saja gadis itu ingin ia menjemputnya, tapi baru saja ia hendak menelepon Kaila, suara langkah kaki Kaila terdengar. Angkasa memilih untuk bersembunyi dan berniat untuk mengejutkan Kaila. Dia bersembunyi di dekat pintu toilet luar dan melihat Kaila yang sedang melepas sepatunya. "Lho, belum pulang ya?" ujarnya pada diri sendiri ketika melihat apartemen mereka masih gelap, tanpa tahu kalau Angkasa sedang bersembunyi dan siap untuk mengagetkannya. Angkasa berjalan perlahan, mendekat pada Kaila yang sedang membelakanginya. Dengan kecepatan yang tidak begitu cepat, Angkasa memeluk Kaila dari belakang. Kaila menjerit kaget dan tangannya memukul sembarangan, tepat ke kepala Angkasa dan membuat pemuda itu mundur kesakitan. "Kai, ini gue," ujarnya dengan tangan yang memegang kepalanya yang baru saja kena pukul oleh pacarnya sendir
Angkasa kembali ke apartemennya setelah berurusan dengan Altar dan Popi yang mengajukan banyak pertanyaan. Ia melihat Kaila yang sedang memainkan ponsel di kamarnya. Matanya masih sayu karena mengantuk tapi dia berusaha untuk membuka matanya, dan sesekali ponsel itu hampir terjatuh mengenai wajahnya. "Tidur lagi aja kalo masih ngantuk," ujar Angkasa memasuki kamar Kaila. Kaila tertawa kecil. "Lo dari mana?" tanyanya. "Beli bubur ayam nih," sahutnya dan menunjuk dua wadah bubur ayam yang ada di atas meja. "Sana cuci muka, abis itu kita makan."Kaila mengangguk dan mengangkat tangannya, meminta bantuan pada Angkasa untuk menariknya berdiri. Angkasa terkekeh dan menarik tangan Kaila hingga gadis itu langsung berdiri di depannya. Kaila mencium pipi Angkasa singkat dan pergi ke toilet setelahnya. Senyum mengembang di wajah Angkasa. "Dasar."Dia kembali ke dapur dan membuka bubur ayam untuk mereka berdua. Tidak lama kemudian, Kaila keluar dari toilet dan menghampiri Angkasa."Lo abis
"Lho, Kak Kai juga tinggal di sekitaran sini sih." Angkasa mulai merasa gugup karena percakapan dua orang di depannya saat ini, terlebih lagi ketika Popi menanyakan apartemen Angkasa di mana. "Apartemen Kak Asa yang mana emang?" tanyanya. Angkasa tidak menjawab, tapi Altar menjawab mewakili dirinya. Ah, ia menjadi menyesal keluar dari apartemennya. "Itu," jawab Altar dan menunjuk gedung apartemen yang disewa oleh Angkasa. Popi membulatkan matanya. "Kak Kai juga nyewa apart di gedung itu lho," balas Popi yang tidak percaya kalau keduanya berada di gedung yang sama. "Ah, pantes kalian berdua deket ya, ternyata satu gedung apartemen," ujar Altar mengangguk dan menyenggol tubuh Angkasa. Angkasa terkekeh pelan. "Tapi jarang ketemu sih kami, itu juga gue baru tahu dua bulan yang lalu kalo ternyata dia tinggal di sini." "Oh, padahal Kak Kai udah cukup lama di sini katanya, sekitar hampir enam bulan sih kayaknya, apa lima bulan ya, lupa gue," balas Popi menatap gedung apartemen
Kaila baru saja duduk dan hendak beristirahat ketika mendengar Popi yang memanggilnya. "Kak," panggilnya. "Kak Kai." "Ya?" sahut Kaila sedikit berteriak karena ia masih berada di belakang sedangkan Popi ada di depan sana. "Sini dong, mumpung kafe sepi nih," suruhnya. "Ada Kak Asa sama Kak Altar juga ini," lanjutnya dengan suara yang sedikit nyaring. "Ah iya," balas Kaila dan berdiri dari duduknya. Dia melepas sarung tangannya yang masih terpasang di tangan dan berjalan ke depan dengan mulut yang menguap. "Ngantuk Bu?" tanya Yansa terkekeh. Kaila mengangguk. "Iya, ngantuk banget dah," jawabnya dan duduk di dekat Yansa padahal Angkasa ada di meja yang berada tidak jauh darinya. "Kok duduk sini?" tanya Yansa. "Duduk sana deket Angkasa, Altar dan Popi," suruhnya. "Kok gak boleh gue duduk di sini sih?" tanya Kaila. "Ya ampun," balas Yansa. "Ya udah duduk sini aja, temenin gue." Belum juga satu menit Yansa ngomong begitu, tapi Popi sudah menyeret Kaila untuk duduk di samping Angka