Angkasa tidak pernah menjadi secerewet ini sebelumnya. Dia tipe orang yang tidak begitu banyak bicara sebenarnya, tapi dia juga tidak sedingin itu. Dia berada di tengah-tengah. Namun, ini benr-benar kali pertama dirinya menceritakan tentang dirinya sendiri tanpa diminta. Biasanya orang-orang akan selalu penasaran tentang dirinya dan menanyakan banyak hal padanya. Bukannya sombong, tapi para gadis memang selalu mendekati dirinya, ditambah sekarang dia menjabat sebagai Ketua BEM. Bisa gila juga. Namun Kaila tidak menunjukkan ketertarikan pada Angkasa, dan itu semakin membuatnya penasaran dan menyukainya. “Gue mau denger,” ucap gadis itu. “Lo bisa ngomong apa aja, gue mau denger tentang lo.”Angkasa tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Dia tersenyum di tempatnya seraya menatap Kaila yang juga menatapnya. “Sejujurnya gue capek,” jawabnya kemudian. “Kuliah dan organisasi, keduanya sama-sama padat. Gue sering banget kewalahan,” lanjutnya seraya mengaduk mie ayamnya. "Ya iya, sa
“Masih sakit gak perut lo?” tanya Angkasa dan duduk di samping Kaila.Sekarang mereka sudah berada di apartemen, tepatnya di depan televisi. Tadi Kaila hendak pergi ke balkon tapi dihentikan oleh Angkasa. Ia takut kalau Kakaknya Kaila masih ada di sekitar sini dan melihat mereka di balkon, meskipun mereka ada di lantai enam, tapi jaga-jaga saja.Kaila menggeleng. “Sakit bentaran doang karena lari,” jawabnya dan bersandar di sofa.Mereka memutuskan untuk menonton Netflix di televisi dan sekarang Kaila sedang mencari-cari apa yang harus mereka tonton sekarang, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat, tapi mereka baru mau mulai menonton.Kaila sedikit heran dengan dirinya. Otaknya terus-terusan menyuruhnya untuk menjaga jarak dengan Angkasa, tapi tindakannya melakukan yang sebaliknya. Dia malah duduk di sini dan hendak menonton film dengan Angkasa, menghabiskan malamnya dengan pemuda ini.“Mau nonton film horor gak?” tanya Angkasa karena melihat Kaila sedari tadi hanya mencar
“Gue,” jawabnya. “Lo nyium gue.” Kaila tidak bereaksi selama beberapa detik. Dia mengerjapkan matanya dan kemudian mendorong pundak Angkasa. “Eii, jangan bohong deh,” sahutnya. Namun Angkasa tidak tertawa maupun mengubah ekspresinya. Dia masih menatap Kaila dengan serius dan seolah-olah kalau yang dia katakan memang apa adanya, bukan kebohongan belaka. Kaila merasakan dirinya mulai sedikit gugup melihat tatapan serius dari Angkasa. Dia mencoba untuk mengingat kejadian itu, tapi dia tidak bisa mengingatnya sama sekali. Sebelumnya ia tidak pernah semabuk ini sampai benar-benar hilang kesadaran. “Bohong, kan?” tanya Kaila yang sudah mulai sedikit ragu, tapi dia menolak mempercayai omongan Angkasa. Dia mencium Angkasa? Well, ini memang bukan kali pertama dia mencium orang karena dia tiap ke bar hampir selalu mencium orang yang ia temui di bar. Namun, ini jelas berbeda. Dia Angkasa. Ya, dia Angkasa. Jadi, ini sangat berbeda. “Emang kenapa? Lo mau ini bohong?” tanya Angkasa menatap
“Gue tahu lo pasti gak bakalan secepat ini tidurnya,” seru Angkasa dari luar. Dia masih berdiri di sana meskipun tidak mendapat jawaban dari Kaila, ia juga tahu kalau gadis itu sudah mematikan lampunya. Namun ia juga tahu kalau Kaila tidak akan tidur secepat itu, terlebih lagi setelah menciumnya. “Buka atau gue dobrak?” ancam Angkasa. “Mau ngapain sih? Gue mau tidur!” teriak Kaila dari dalam karena mendengar ancaman dari Angkasa barusan. "Udah nyium gue malah pergi, enak aja. Tanggung jawab!” Kaila menutup telinganya dengan bantal. Ia tidak ingin mendengar ucapan Angkasa karena dia benar-benar malu saat ini. Wajahnya mungkin sudah memerah saat ini. Dia memang sudah sering berciuman, tapi itu selalu dilakukan di saat dia mulai sedikit mabuk dan juga dilakukan pada orang yang bukan siapa-siapa. Namun kali ini jelas berbeda. Dia melakukannya dalam keadaan sadar, dan terlebih lagi dia melakukannya pada Angkasa. Sekali lagi, Angkasa berbeda. Dia punya sedikit perasaan pada pe
“Sinting!”Angkasa tertawa mendengarnya sedangkan Kaila menatap Angkasa tidak percaya. Dia sedikit mengerutkan dahinya juga yang membuat Angkasa dengan segera menepuk dahi Kaila dengan pelan, ia menepuknya alih-alih mengelusnya.“Boleh gak?” tanya Angkasa masih dengan senyum menyebalkan miliknya.“Gak!” sahut Kaila.Angkasa terkekeh. “Jam berapa pergi ke kafe hari ini?” tanyanya yang mengubah topik pembicaraan.Jujur saja, Kaila merasa sangat lega karena perubahan topik ini. Angkasa sepertinya tidak begitu buruk, dia memahami kalau Kaila malu setengah mati.Kaila melihat ke arah jam dinding mereka. “Jam dua kayaknya,” sahutnya dan kembali menatap Angkasa yang masih berdiri di depannya dengan senyuman itu.“Apa sih senyum-senyum mulu?” tanya Kaila yang mulai risih.“Gue sebenarnya penasaran,” ujar Angkasa. “Lo kenapa nyium gue semalam?” tanyanya lagi.Kaila baru saja berterima kasih karena Angkasa mengganti topik pembicaraan mereka, namun pemuda itu kembali membawa topik ini dan malah
“Ngapain lo ke sini?” tanya Popi ketika ke depan dan mendapati Bumi ada di sana. Popi tidak tahu kalau Bumi melihat dirinya yang menangis, dan Bumi serta Kaila juga tidak ingin membicarakan itu. Mereka berdua tidak memberitahu Popi. “Lho, emang kenapa? Gak seneng lo?” sahut Bumi sedikit sewot, tapi bercanda. Popi dan Bumi sudah semakin akrab saja, pertama karena mereka berdua seumuran, dan kedua karena sudah sering bertemu dan karakter mereka juga cocok dengan satu sama lain. Sudah seperti teman yang sudah lama tidak bertemu. “Beberapa hari ini gak ke sini soalnya, kirain gak bakalan ke sini lagi,” ujar Popi. “Sibuk gue kemarin tuh,” sahut Bumi dan duduk di dekat Bang Yansa. “Kai,” panggil Angkasa. Kaila menoleh. “Apa?” sahutnya tidak ramah sama sekali. Ia juga tidak berjalan mendekat ke arah Angkasa. “Lho, kenapa nih? Kalian berdua berantem?” tanya Popi. Kaila menggeleng. “Gak kok, emang gak deket aja,” sahut Kaila dan Angkasa terkekeh mendengarnya. “Eh bang, gue gak ngelia
“Punya helm gak lo, Sa?” tanya Yansa ketika mereka berdua hendak menuju motor Angkasa.“Lho iya, ada satu doang, Bang,” sahutnya dan menepuk kepalanya pelan.“Nih, punya gue,” ujarnya dan melemparkan satu buah helm pada Angkasa yang untungnya bisa ditangkap oleh pemuda itu. “Helm buat cewek gue, tapi gak papa pake aja, besok balikin tapi.”“Siap bang, makasih ya,” ujarnya.“Makanya kalo ngajak cewek balik tuh ya siapin helm atuh bang,” sahut Altar yang sudah berada di dalam mobilnya dengan jendela yang terbuka.Angkasa mengangguk beberapa kali. “Siap siap,” ujarnya dan kemudian memberikan helm Yansa pada Kaila.Kaila menerimanya dan langsung memasangnya.“Hati-hati, Kak,” ujar Popi.“Ya, lo juga hati-hati,” sahut Kaila.Setelah itu, satu per satu dari mereka mulai pergi dari sana dan hanya menyisakan Angkasa serta Kaila yang entah kenapa butuh waktu yang lama untuk pergi dari sana.“Ayo naik, nunggu apaan emang?” tanya Angkasa karena Kaila tidak kunjung naik juga padahal tinggal merek
“What should i do with this feeling, Sa?” Angkasa menoleh. “Hah?” Kaila terkejut. Perasaannya dia mengatakan itu di dalam hatinya, kenapa Angkasa bisa mendengarnya? Jangan bilang kalau dirinya baru saja mengatakannya lewat mulutnya? “Apa?” tanya Kaila pura-pura tenang, padahal jantungnya sudah berdegup dengan sangat kencang saat ini. Dia ingin sekali memukul mulutnya karena sudah menyuarakan isi hatinya yang hanya untuk disimpan sendiri. Kejadian bodoh apa lagi ini, Kaila? Otaknya seakan memberontak. Logika itu kembali muncul. “What feeling?” tanya pemuda itu. Damn. Dia benar-benar mendenganya. “Your feeling towards me?” tanyanya lagi. “Ya, gue mau nabok lo soalnya. Perasaan pengen nabok,” sahut Kaila cepat. Angkasa menaikkan alisnya mendengar jawaban Kaila barusan. Tidak masuk akal dan sedikit aneh, tapi Angkasa tidak memperpanjangnya. Mungkin Kaila memang sudah sangat mengantuk dan kesadarannya sudah tersisa sedikit, makanya ngomong ngawur. “Hujannya makin deres nih keknya
"Mama tau gak kalo mereka berdua tinggal dalam satu apartemen yang sama?" Mama Angkasa mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan yang baru saja diajukan oleh Henni. "Siapa?" tanya Mamanya Angkasa. "Siapa yang tinggal dalam satu apartemen yang sama?" ulangnya lagi. "Angkasa sama Kaila, Ma," jawab Henni melirik dua orang yang ada di samping Mama. "Mereka memang tinggal dalam satu gedung apartemen, memangnya kenapa?" Henni menghela napas terlihat sangat kesal. "Bukan gitu Ma maksudnya," balasnya. "Mereka tinggl di unit yang sama. Satu ruangan." Penjelasan dari Henni tadi berhasil membuat Mamanya Angkasa melirik dua orang yang ada di sampingnya, ia bisa melihat kalau Angkasa dan juga Kaila terlihat sangat gugup dengan ucapan Henni barusan. Menunjukkan kalau yang Henni katakan memang benar. Mereka tinggal dalam satu apartemen yang sama. "Oh, itu saja?" tanya Mamanya Angkasa yang membuat ketiga orang itu mengangkat alisnya. "Kalo itu aja, yaudah, silakan pergi."Bukan hanya Henni yan
Angkasa berjalan menghampiri Kaila yang duduk sendirian di ujung sana."Hei, kenapa sendirian?" tanyanya menyentuh pundak Kaila.Kaila tampak terkejut. Ia menggeleng dengan cepat. "Gak papa kok, pengen sendirian aja," balasnya sekenanya.Angkasa mengangguk dan duduk di samping Kaila. "Masih gugup?" tanyanya.Kaila mengangguk. "Banget, malah makin gugup," sahutnya. "Aku gak kebiasa banget dikelilingi orang banyak kayak gini, mana baik-baik semua lagi."Angkasa bingung harus merasa senang atau menyesal.Ia senang karena keluarganya menyambut Kaila dengan hangat dan baik, tapi ia juga sedikit menyesal karena secara tidak langsung dia memaksa Kaila keluar dari zona nyamannya.Ia tahu Kaila harus mulai belajar perlahan-lahan, tapi ia masih merasa tidak enak."Maaf ya," ujar Angkasa kemudian. Ia memutuskan untuk meminta maaf.Kaila mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Kenapa malah minta maaf?" tanya Kaila bingung."Kamu pasti terpaksa ke sini ya," ujarnya. "Aku maksa kamu banget buat ikut k
Sedari tadi jantung Kaila berdetak dengan sangat cepat, terlebih lagi ketika dia sudah melihat tempat yang mereka tuju.Gedungnya berada tepat di depan, dan Kaila merasakan jantungnya semakin menggila. Rasanya ia ingin pergi saat ini juga. Dia masih belum bisa menghadapi orang-orang, terlebih lagi itu adalah keluarganya Angkasa. Seakan mengerti dengan apa yang dikhawatirkan oleh Kaila, Angkasa menggenggam tangan pacarnya dan mengelusnya pelan. "It's okay, ada aku, Kai," ujarnya menenangkan Kaila. Angkasa tahu kalau Kaila pasti sangat tegang dan gugup saat ini. Ia bisa melihatnya dengan sangat jelas. "Keluarga aku pada baik kok, kamu gak usah khawatir."Kaila masih tidak bisa tenang meskipun sudah mendengar kalimat dari Angkasa. Kaila berpikir, kalau keluarganya tahu mereka berpacaran, artinya mereka tidak lagi backstreet dong? Atau backstreetnya sama anak-anak kampus saja?Ah, Kaila pusing. Dia ingin pergi.Ia ingin lari saat ini juga. "Ayo," ajak Angkasa. Telat. Kaila tidak a
"Lho, kok udah pulang?" tanya Kaila ketika masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Angkasa yang sedang duduk di sofa sembari menonton Upin & Ipin. "Iya nih, agak cepet, soalnya besok juga bakalan ke sana lagi," balasnya dan menyuruh Kaila untuk duduk di sampingnya. "Lah, kalo mau ke sana lagi ngapain pulang deh?" tanya Kaila bingung seraya mendudukkan dirinya di sofa samping Angkasa. Angkasa tidak menjawab beberapa saat. Dia mengambil tangan Kaila dan menggenggamnya, membuat Kaila mendadak bingung dengan tindakan pacarnya barusan. Pasalnya dia memegang tangan Kaila dan menarik napas panjang. "Apa?" tanya Kaila. "Kamu mau ngomong apa?" tanyanya lembut. Kaila bisa merasakan kalau Angkasa sedang ingin mengatakan sesuatu tapi terlihat ragu. "Besok kan sepupu aku nikah," ujarnya. Kaila mengangguk. "Iya, terus?" "Kamu mau ikut gak?" tanyanya. "Kondangan bareng aku, Mama juga mau ketemu kamu." Angkasa tidak bohong mengenai Mamanya yang ingin bertemu dengan Kaila. Tadi Angkasa bert
"Aromanya enak banget nih brownies." Angkasa menghampiri Kaila yang berdiri di depan oven, menunggu browniesnya matang. "Iya kan, enak kan baunya," sahut Kaila penuh semangat karena ia sedari tadi memang sudah pengen makan tapi belum matang. "Tapi gak usah diliatin terus-terusan gini dong, nanti jadinya makin lama," ujar Angkasa. "Mending nonton aja deh selagi nunggu." Angkasa menarik Kaila menjauh dari sana, dan dengan berat hati Kaila menurut meskipun pandangannya masih pada ovennya yang sedang menyala dan tersisa lima belas menit lagi sebelum matang merata. "Nonton apa emang?" tanyanya setelah duduk di sofa. "Eh, tapi gimana kalo kita nonton drakor aja?" usul Kaila. "Drakor apaan?" tanya Angkasa menoleh. Remot di tangannya sudah siap untuk mencari drama yang akan Kaila sebut. "King Two Hearts, mau gak? Aku pengen rewatch," ujar Kaila. "Semalem tiba-tiba keinget sama drakor lama itu. Jadi kangen." Sepanjang Kaila berbicara, sepanjang itulah Angkasa tersenyum. Ia benar-benar
Angkasa kembali ke apartemennya di jam sepuluh malam dan belum mendapati Kaila di sana. Ia mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menelepon Kaila, mungkin saja gadis itu ingin ia menjemputnya, tapi baru saja ia hendak menelepon Kaila, suara langkah kaki Kaila terdengar. Angkasa memilih untuk bersembunyi dan berniat untuk mengejutkan Kaila. Dia bersembunyi di dekat pintu toilet luar dan melihat Kaila yang sedang melepas sepatunya. "Lho, belum pulang ya?" ujarnya pada diri sendiri ketika melihat apartemen mereka masih gelap, tanpa tahu kalau Angkasa sedang bersembunyi dan siap untuk mengagetkannya. Angkasa berjalan perlahan, mendekat pada Kaila yang sedang membelakanginya. Dengan kecepatan yang tidak begitu cepat, Angkasa memeluk Kaila dari belakang. Kaila menjerit kaget dan tangannya memukul sembarangan, tepat ke kepala Angkasa dan membuat pemuda itu mundur kesakitan. "Kai, ini gue," ujarnya dengan tangan yang memegang kepalanya yang baru saja kena pukul oleh pacarnya sendir
Angkasa kembali ke apartemennya setelah berurusan dengan Altar dan Popi yang mengajukan banyak pertanyaan. Ia melihat Kaila yang sedang memainkan ponsel di kamarnya. Matanya masih sayu karena mengantuk tapi dia berusaha untuk membuka matanya, dan sesekali ponsel itu hampir terjatuh mengenai wajahnya. "Tidur lagi aja kalo masih ngantuk," ujar Angkasa memasuki kamar Kaila. Kaila tertawa kecil. "Lo dari mana?" tanyanya. "Beli bubur ayam nih," sahutnya dan menunjuk dua wadah bubur ayam yang ada di atas meja. "Sana cuci muka, abis itu kita makan."Kaila mengangguk dan mengangkat tangannya, meminta bantuan pada Angkasa untuk menariknya berdiri. Angkasa terkekeh dan menarik tangan Kaila hingga gadis itu langsung berdiri di depannya. Kaila mencium pipi Angkasa singkat dan pergi ke toilet setelahnya. Senyum mengembang di wajah Angkasa. "Dasar."Dia kembali ke dapur dan membuka bubur ayam untuk mereka berdua. Tidak lama kemudian, Kaila keluar dari toilet dan menghampiri Angkasa."Lo abis
"Lho, Kak Kai juga tinggal di sekitaran sini sih." Angkasa mulai merasa gugup karena percakapan dua orang di depannya saat ini, terlebih lagi ketika Popi menanyakan apartemen Angkasa di mana. "Apartemen Kak Asa yang mana emang?" tanyanya. Angkasa tidak menjawab, tapi Altar menjawab mewakili dirinya. Ah, ia menjadi menyesal keluar dari apartemennya. "Itu," jawab Altar dan menunjuk gedung apartemen yang disewa oleh Angkasa. Popi membulatkan matanya. "Kak Kai juga nyewa apart di gedung itu lho," balas Popi yang tidak percaya kalau keduanya berada di gedung yang sama. "Ah, pantes kalian berdua deket ya, ternyata satu gedung apartemen," ujar Altar mengangguk dan menyenggol tubuh Angkasa. Angkasa terkekeh pelan. "Tapi jarang ketemu sih kami, itu juga gue baru tahu dua bulan yang lalu kalo ternyata dia tinggal di sini." "Oh, padahal Kak Kai udah cukup lama di sini katanya, sekitar hampir enam bulan sih kayaknya, apa lima bulan ya, lupa gue," balas Popi menatap gedung apartemen
Kaila baru saja duduk dan hendak beristirahat ketika mendengar Popi yang memanggilnya. "Kak," panggilnya. "Kak Kai." "Ya?" sahut Kaila sedikit berteriak karena ia masih berada di belakang sedangkan Popi ada di depan sana. "Sini dong, mumpung kafe sepi nih," suruhnya. "Ada Kak Asa sama Kak Altar juga ini," lanjutnya dengan suara yang sedikit nyaring. "Ah iya," balas Kaila dan berdiri dari duduknya. Dia melepas sarung tangannya yang masih terpasang di tangan dan berjalan ke depan dengan mulut yang menguap. "Ngantuk Bu?" tanya Yansa terkekeh. Kaila mengangguk. "Iya, ngantuk banget dah," jawabnya dan duduk di dekat Yansa padahal Angkasa ada di meja yang berada tidak jauh darinya. "Kok duduk sini?" tanya Yansa. "Duduk sana deket Angkasa, Altar dan Popi," suruhnya. "Kok gak boleh gue duduk di sini sih?" tanya Kaila. "Ya ampun," balas Yansa. "Ya udah duduk sini aja, temenin gue." Belum juga satu menit Yansa ngomong begitu, tapi Popi sudah menyeret Kaila untuk duduk di samping Angka