Sudah lima hari sejak Kaila menghilang. Angkasa sudah berusaha semampuanya untuk mencari tahu tentang Kaila, namun karena keterbatasan yang ia ketahui tentang gadis itu membuat dirinya tidak mendapatkan hasil apa-apa. Apartemennya terasa sepi sekarang, dan ia baru menyadari kalau kehadiran Kaila memang berdampak besar pada hidupnya beberapa bulan terakhir. Ocehan, keluhan, dan juga sikap dingin Kaila, ia merindukan itu. Ia bahkan merasa tidak masalah kalau Kaila mengabaikannya seharian, asal dia masih bisa melihat gadis itu di sini. Duduk di balkon dan menikmati serealnya di pagi hari, atau duduk di depan televisi dengan satu mangkok mie di tangan, atau juga mengeluh pada Angkasa karena tidak mencuci piring setelah masak. “Kamar lo dingin Kai,” ujar Angkasa menatap kasur yang sudah lama tidak ditiduri oleh Kaila. Meskipun Kaila sudah pergi selama lima hari, Angkasa tidak pernah sama sekali mencari-cari sesuatu di kamar Kaila. Ia hanya akan masuk dan menatap sekeliling saja dan se
Rasanya Kaila ingin teriak. Sekarang dia sudah berada di dalam mobil dan menuju ballroom tempat dirinya dan Om Tua itu akan bertunangan. Sinting. Semuanya sudah sinting. Setelah dikurung selama lima hari di dalam kamarnya, ini kali pertama Kaila keluar rumah dan bukan main, dia malah sudah akan bertunangan dengan seseorang. Diumurnya yang baru sembilan belas tahun, ia sudah akan bertunangan dengan orang tua yang umurnya sudah hampir setengah abad. “Ma, kalo mau nyuruh aku nikah sama orang kaya, minimal kasih yang ganteng dan muda,” ujar Kaila pada Mamanya. Dia mungkin tidak akan menolak kalau dijodohkan dengan orang yang masih berumur dua puluhan dan ganteng, tapi dengan orang tua itu.. hah. “Siapa yang bakalan suka sama cewek nakal kayak kamu, Kai? Ini untung ada yang mau,” sahut Mamanya acuh tak acuh. Kaila tersenyum miring. “Maksud Mama, siapa yang bakalan suka sama cewek yang orang tuanya punya skandal masing-masing?” ujar Kaila menatap Mamanya yang ada di sampingnya. “Tuka
Angkasa berjalan menjauh dari pintu, diikuti oleh Altar. Mereka berdua berhenti di dekat kedua motor mereka yang terparkir di sana. Angkasa terlihat senang tapi juga tidak sepenuhnya senang karena artinya dia kembali kehilangan Kaila. Gadis itu kabur dan dia tidak tahu Kaila ada di mana saat ini, tapi dia juga senang karena gadis itu berhasil menghindari pertunangan yang tidak ia inginkan ini. “Kaila kabur, Sa,” ujar Altar. Angkasa mengangguk. “Tapi kabur ke mana?” “Tapi sebelum itu, jelasin dulu ke gue,” ujar Altar dan duduk di jok motornya menatap Angkasa dengan lekat. Angkasa menaikkan alisnya. “Apaan? Buru, soalnya kita perlu nyari Kaila juga, jangan sampe dia ketangkep sama orang-orang itu.” “Lo tau dari mana kalo Kaila tunangan? Dan kenapa dia tunangan sama orang tua?” tanyanya. Angkasa cukup terkejut dengan pertanyaan kedua dari Altar. “Lo tau dari mana?” tanyanya. “Tadi gue ngintip ke dalam dan gue bisa lihat calon tunangan Kaila itu mungkin seumuran bokap gue,” jawabn
Kaila merasakan pelukan Angkasa yang begitu erat. Pemuda itu memeluknya seakan-akan ia tidak akan melepaskan Kaila lagi, ia takut kalau ia melepaskannya, Kaila akan pergi darinya lagi. Tangan Angkasa mengelus pelan punggung Kaila, sementara Kaila menyandarkan kepalanya di dada bidang milik pemuda itu. Hangat. Hanya itu yang bisa Kaila rasakan dari pelukan Angkasa malam ini. Hangat dan nyaman. “Udah berapa lama nunggu di sini?” tanya Angkasa tanpa melepaskan pelukannya. Angkasa bisa merasakan kalau pipi gadis itu dingin, begitu juga dengan lengannya. Bagaimana tidak, Kaila memakai gaun tanpa lengan yang membuat gadis itu pasti kedinginan duduk di luar sini sendirian. “Dari jam lima,” jawabnya dengan suara teredam karena wajah Kaila benar-benar terbenam di dada Angkasa. Ia juga tidak berniat untuk bergerak menjauh, ia merasa nyaman dengan posisi ini. “Astaga Kai.” Angkasa hendak melepaskan pelukannya dan berniat untuk melihat wajah gadis itu, tapi Kaila menahan tangan Angkasa. “
Akhir-akhir ini, hujan selalu turun di tengah malam. Saat ini, Kaila berada di kamarnya sendirian setelah berbicara beberapa hal dengan Angkasa. Ia sudah mengganti bajunya dengan baju tidur tapi ia masih tidak bisa tidur meskipun jam sudah menunjukkan pukul satu lewat beberapa menit. Terdengar suara ketukan di pintu. "Ya?" sahut Kaila."Gue boleh masuk?" tanya Angkasa dari luar. "Boleh," sahutnya lagi. "Masuk aja, belum gue kunci."Setelah mendengar itu, Angkasa membuka pintu. Dia melihat Kaila yang sudang duduk menyandar di ranjangnya. Mata gadis itu terlihat sayu, tapi dia tersenyum. "Kenapa?" tanya Kaila. Angkasa masih berdiri di dekat pintu, dengan pintu yang sengaja ia biarkan terbuka. "Lo gak laper?" tanyanya. Tepat setelah Angkasa mengajukan pertanyaan itu, Kaila mendengar suara perutnya yang berbunyi. Kaila menunduk melihat perutnya kemudian terkekeh dan melihat Angkasa yang juga ikut terkekeh. "Mau gue masakin nasi goreng gak?" tanya Angkasa. Kaila mengerutkan dahin
“I miss you. I Really do.”Kaila mengatakannya dengan nada biasa, tapi Angkasa bisa melihat mata Kaila yang menatapnya dengan lekat. Pandangan mereka bertemu dan Kaila bisa merasakan ucapan tulus itu yang keluar dari mulut Kaila.Kaila juga tidak tahu kenapa dia mengatakan ini, padahal sebelumnya dia tidak ingin membahas sesuatu yang menyangkut perasaan mereka berdua. Namun sepertinya perasaannya tidak bisa dibohongi, Kaila benar-benar merindukan Kaila. Ia tidak pernah menyangka kalau ia merindukan kehadiran Angkasa.Angkasa tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatap Kaila.“Gue gak nyangka kalo gue bakalan kangen sama suara lo,” ujar Kaila lagi. “Mungkin karena beberapa bulan ini selalu denger suara lo kali ya,” lanjutnya yang mencoba untuk tidak terlalu serius apalagi ketika Angkasa hanya diam dan menatap dirinya dalam diam.“Beneran kangen gue?” tanya Angkasa kemudian.Kaila mengangguk. “Iya, gak boleh ya? Yaudah kangen sama balkon aja deh,” ujar Kaila sedikit terkekeh, dia mencoba
“Whoa, lihat siapa yang datang.”Kaila baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelasnya, tapi dia sudah disambut oleh tatapan mata dari seluruh orang yang ada di kelas ini.“Berani juga ya lo ke kampus,” ujar Ghina menatap Kaila dari atas sampai bawah.Kaila mengabaikannya dan duduk di kursi yang kosong, sebenarnya dia ragu untuk datang ke kampus, bukan karena takut karena omongan teman sekelasnya melainkan ia takut kalau nanti Mamanya akan ke sini. Namun dipikir-pikir, tidak mungkin Mamanya akan ke sini terlebih ketika gosip mengenai dirinya menjadi simpanan Rektor sudah meluas.Kaila juga mendengar kalau istrinya sang Rektor juga sudah menggugat cerai suaminya karena ketahuan selingkuh. Hah, Kaila muak. Jangan seret Kaila dalam masalah orang tuanya, dia tidak ingin ikut campur.Alasan Kaila datang ke kampus karena mulai hari ini mereka ujian akhir semester dan Kaila harus datang.“Gue denger-denger lo kabur dari pertunangan sama om-om ya, Kai?” tanya seseorang. Riri, salah sat
“Cukup ya, Kak?” Bumi mengatakan itu pada Ghina, nada suaranya terdengar pelan tapi Ghina dan Tania bisa merasakan kalau pemuda itu juga sudah sangat marah. Tatapan matanya juga sangat tajam. Ghina menarik tangannya dari genggaman Bumi. Gadis itu mengelus pelan pergelangan tangannya karena cengkeraman Bumi sangat kuat. “Ayo kita pergi,” ujar Ghina kemudian pada teman-temannya. “Kalian juga mending pergi,” ujar Bumi pada yang lainnya. “Dia pikir dia siapa ngusir-ngusir kita,” bisik seseorang yang berhasil didengar oleh Bumi. Pemuda itu menoleh dan menatap tiga kakak tingkatnya yang ada di sana. Bumi hanya menatapnya tapi tiga orang itu mengalihkan pandangannya dan pergi dari sana. Mereka semua pergi dari sana dan hanya tinggal Tania beserta Kaila yang masih terduduk di lantai. “Kai, you okay?” tanya Tania dan kembali berjongkok. Kaila mengangguk. “I’m okay,” sahutnya dan berusaha untuk berdiri tapi terjatuh karena kakinya terasa sakit dan gemetar. Kaila tidak pernah seperti in
"Mama tau gak kalo mereka berdua tinggal dalam satu apartemen yang sama?" Mama Angkasa mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan yang baru saja diajukan oleh Henni. "Siapa?" tanya Mamanya Angkasa. "Siapa yang tinggal dalam satu apartemen yang sama?" ulangnya lagi. "Angkasa sama Kaila, Ma," jawab Henni melirik dua orang yang ada di samping Mama. "Mereka memang tinggal dalam satu gedung apartemen, memangnya kenapa?" Henni menghela napas terlihat sangat kesal. "Bukan gitu Ma maksudnya," balasnya. "Mereka tinggl di unit yang sama. Satu ruangan." Penjelasan dari Henni tadi berhasil membuat Mamanya Angkasa melirik dua orang yang ada di sampingnya, ia bisa melihat kalau Angkasa dan juga Kaila terlihat sangat gugup dengan ucapan Henni barusan. Menunjukkan kalau yang Henni katakan memang benar. Mereka tinggal dalam satu apartemen yang sama. "Oh, itu saja?" tanya Mamanya Angkasa yang membuat ketiga orang itu mengangkat alisnya. "Kalo itu aja, yaudah, silakan pergi."Bukan hanya Henni yan
Angkasa berjalan menghampiri Kaila yang duduk sendirian di ujung sana."Hei, kenapa sendirian?" tanyanya menyentuh pundak Kaila.Kaila tampak terkejut. Ia menggeleng dengan cepat. "Gak papa kok, pengen sendirian aja," balasnya sekenanya.Angkasa mengangguk dan duduk di samping Kaila. "Masih gugup?" tanyanya.Kaila mengangguk. "Banget, malah makin gugup," sahutnya. "Aku gak kebiasa banget dikelilingi orang banyak kayak gini, mana baik-baik semua lagi."Angkasa bingung harus merasa senang atau menyesal.Ia senang karena keluarganya menyambut Kaila dengan hangat dan baik, tapi ia juga sedikit menyesal karena secara tidak langsung dia memaksa Kaila keluar dari zona nyamannya.Ia tahu Kaila harus mulai belajar perlahan-lahan, tapi ia masih merasa tidak enak."Maaf ya," ujar Angkasa kemudian. Ia memutuskan untuk meminta maaf.Kaila mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Kenapa malah minta maaf?" tanya Kaila bingung."Kamu pasti terpaksa ke sini ya," ujarnya. "Aku maksa kamu banget buat ikut k
Sedari tadi jantung Kaila berdetak dengan sangat cepat, terlebih lagi ketika dia sudah melihat tempat yang mereka tuju.Gedungnya berada tepat di depan, dan Kaila merasakan jantungnya semakin menggila. Rasanya ia ingin pergi saat ini juga. Dia masih belum bisa menghadapi orang-orang, terlebih lagi itu adalah keluarganya Angkasa. Seakan mengerti dengan apa yang dikhawatirkan oleh Kaila, Angkasa menggenggam tangan pacarnya dan mengelusnya pelan. "It's okay, ada aku, Kai," ujarnya menenangkan Kaila. Angkasa tahu kalau Kaila pasti sangat tegang dan gugup saat ini. Ia bisa melihatnya dengan sangat jelas. "Keluarga aku pada baik kok, kamu gak usah khawatir."Kaila masih tidak bisa tenang meskipun sudah mendengar kalimat dari Angkasa. Kaila berpikir, kalau keluarganya tahu mereka berpacaran, artinya mereka tidak lagi backstreet dong? Atau backstreetnya sama anak-anak kampus saja?Ah, Kaila pusing. Dia ingin pergi.Ia ingin lari saat ini juga. "Ayo," ajak Angkasa. Telat. Kaila tidak a
"Lho, kok udah pulang?" tanya Kaila ketika masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Angkasa yang sedang duduk di sofa sembari menonton Upin & Ipin. "Iya nih, agak cepet, soalnya besok juga bakalan ke sana lagi," balasnya dan menyuruh Kaila untuk duduk di sampingnya. "Lah, kalo mau ke sana lagi ngapain pulang deh?" tanya Kaila bingung seraya mendudukkan dirinya di sofa samping Angkasa. Angkasa tidak menjawab beberapa saat. Dia mengambil tangan Kaila dan menggenggamnya, membuat Kaila mendadak bingung dengan tindakan pacarnya barusan. Pasalnya dia memegang tangan Kaila dan menarik napas panjang. "Apa?" tanya Kaila. "Kamu mau ngomong apa?" tanyanya lembut. Kaila bisa merasakan kalau Angkasa sedang ingin mengatakan sesuatu tapi terlihat ragu. "Besok kan sepupu aku nikah," ujarnya. Kaila mengangguk. "Iya, terus?" "Kamu mau ikut gak?" tanyanya. "Kondangan bareng aku, Mama juga mau ketemu kamu." Angkasa tidak bohong mengenai Mamanya yang ingin bertemu dengan Kaila. Tadi Angkasa bert
"Aromanya enak banget nih brownies." Angkasa menghampiri Kaila yang berdiri di depan oven, menunggu browniesnya matang. "Iya kan, enak kan baunya," sahut Kaila penuh semangat karena ia sedari tadi memang sudah pengen makan tapi belum matang. "Tapi gak usah diliatin terus-terusan gini dong, nanti jadinya makin lama," ujar Angkasa. "Mending nonton aja deh selagi nunggu." Angkasa menarik Kaila menjauh dari sana, dan dengan berat hati Kaila menurut meskipun pandangannya masih pada ovennya yang sedang menyala dan tersisa lima belas menit lagi sebelum matang merata. "Nonton apa emang?" tanyanya setelah duduk di sofa. "Eh, tapi gimana kalo kita nonton drakor aja?" usul Kaila. "Drakor apaan?" tanya Angkasa menoleh. Remot di tangannya sudah siap untuk mencari drama yang akan Kaila sebut. "King Two Hearts, mau gak? Aku pengen rewatch," ujar Kaila. "Semalem tiba-tiba keinget sama drakor lama itu. Jadi kangen." Sepanjang Kaila berbicara, sepanjang itulah Angkasa tersenyum. Ia benar-benar
Angkasa kembali ke apartemennya di jam sepuluh malam dan belum mendapati Kaila di sana. Ia mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menelepon Kaila, mungkin saja gadis itu ingin ia menjemputnya, tapi baru saja ia hendak menelepon Kaila, suara langkah kaki Kaila terdengar. Angkasa memilih untuk bersembunyi dan berniat untuk mengejutkan Kaila. Dia bersembunyi di dekat pintu toilet luar dan melihat Kaila yang sedang melepas sepatunya. "Lho, belum pulang ya?" ujarnya pada diri sendiri ketika melihat apartemen mereka masih gelap, tanpa tahu kalau Angkasa sedang bersembunyi dan siap untuk mengagetkannya. Angkasa berjalan perlahan, mendekat pada Kaila yang sedang membelakanginya. Dengan kecepatan yang tidak begitu cepat, Angkasa memeluk Kaila dari belakang. Kaila menjerit kaget dan tangannya memukul sembarangan, tepat ke kepala Angkasa dan membuat pemuda itu mundur kesakitan. "Kai, ini gue," ujarnya dengan tangan yang memegang kepalanya yang baru saja kena pukul oleh pacarnya sendir
Angkasa kembali ke apartemennya setelah berurusan dengan Altar dan Popi yang mengajukan banyak pertanyaan. Ia melihat Kaila yang sedang memainkan ponsel di kamarnya. Matanya masih sayu karena mengantuk tapi dia berusaha untuk membuka matanya, dan sesekali ponsel itu hampir terjatuh mengenai wajahnya. "Tidur lagi aja kalo masih ngantuk," ujar Angkasa memasuki kamar Kaila. Kaila tertawa kecil. "Lo dari mana?" tanyanya. "Beli bubur ayam nih," sahutnya dan menunjuk dua wadah bubur ayam yang ada di atas meja. "Sana cuci muka, abis itu kita makan."Kaila mengangguk dan mengangkat tangannya, meminta bantuan pada Angkasa untuk menariknya berdiri. Angkasa terkekeh dan menarik tangan Kaila hingga gadis itu langsung berdiri di depannya. Kaila mencium pipi Angkasa singkat dan pergi ke toilet setelahnya. Senyum mengembang di wajah Angkasa. "Dasar."Dia kembali ke dapur dan membuka bubur ayam untuk mereka berdua. Tidak lama kemudian, Kaila keluar dari toilet dan menghampiri Angkasa."Lo abis
"Lho, Kak Kai juga tinggal di sekitaran sini sih." Angkasa mulai merasa gugup karena percakapan dua orang di depannya saat ini, terlebih lagi ketika Popi menanyakan apartemen Angkasa di mana. "Apartemen Kak Asa yang mana emang?" tanyanya. Angkasa tidak menjawab, tapi Altar menjawab mewakili dirinya. Ah, ia menjadi menyesal keluar dari apartemennya. "Itu," jawab Altar dan menunjuk gedung apartemen yang disewa oleh Angkasa. Popi membulatkan matanya. "Kak Kai juga nyewa apart di gedung itu lho," balas Popi yang tidak percaya kalau keduanya berada di gedung yang sama. "Ah, pantes kalian berdua deket ya, ternyata satu gedung apartemen," ujar Altar mengangguk dan menyenggol tubuh Angkasa. Angkasa terkekeh pelan. "Tapi jarang ketemu sih kami, itu juga gue baru tahu dua bulan yang lalu kalo ternyata dia tinggal di sini." "Oh, padahal Kak Kai udah cukup lama di sini katanya, sekitar hampir enam bulan sih kayaknya, apa lima bulan ya, lupa gue," balas Popi menatap gedung apartemen
Kaila baru saja duduk dan hendak beristirahat ketika mendengar Popi yang memanggilnya. "Kak," panggilnya. "Kak Kai." "Ya?" sahut Kaila sedikit berteriak karena ia masih berada di belakang sedangkan Popi ada di depan sana. "Sini dong, mumpung kafe sepi nih," suruhnya. "Ada Kak Asa sama Kak Altar juga ini," lanjutnya dengan suara yang sedikit nyaring. "Ah iya," balas Kaila dan berdiri dari duduknya. Dia melepas sarung tangannya yang masih terpasang di tangan dan berjalan ke depan dengan mulut yang menguap. "Ngantuk Bu?" tanya Yansa terkekeh. Kaila mengangguk. "Iya, ngantuk banget dah," jawabnya dan duduk di dekat Yansa padahal Angkasa ada di meja yang berada tidak jauh darinya. "Kok duduk sini?" tanya Yansa. "Duduk sana deket Angkasa, Altar dan Popi," suruhnya. "Kok gak boleh gue duduk di sini sih?" tanya Kaila. "Ya ampun," balas Yansa. "Ya udah duduk sini aja, temenin gue." Belum juga satu menit Yansa ngomong begitu, tapi Popi sudah menyeret Kaila untuk duduk di samping Angka