Hari berlanjut, tak baik-baik saja. Ternyata ujian pernikahan benar adanya. Cukup membuat dilema. Setiap ada satu hal yang harus dirampungkan, selalu ada perdebatan. Aku dan ibu cukup pusing merencanakan ini dan itu. Sedangkan saat semua rencana sudah di rancang. Mas Pras tidak mau.Perdebatan itu dari mulai tanggal. Tempat, WO, katering, sampai fitting baju. Selalu ada perdebatan. Aku yang sering ceroboh, cukup kalang kabut mengejar Mas Pras yang harus perfect dan detail. Bagus sih, bisa menutupi kekuranganku, tapi yang berat adalah meredam kekesalan diri sendiri.Seperti pada saat pemilihan kartu undangan. Kami datang ke tempat percetakan. Beberapa macam surat undangan di jejerkan oleh pemiliknya. Aku mengamati satu per satu. Tertera harga juga di sana.Mas Pras duduk seraya memainkan ponsel. Sesekali menelepon seseorang, dari caranya bicara sepertinya ia sedang teleponan dengan teknisi CCTV.“Mau harga yang berapa?” tanyaku.“Lima ribu aja,” tandasnya.Aku pun memilah undangan yang
Part 35. AkadDi Gunungkidul. Wanita tambun berkulit putih itu berjalan cepat. Nyaris tersandung teras rumah karena terburu-buru.“Pak, Pak!” panggilnya tertahan.“Opo sih, Bu. Kaya ada setan saja,” seru Paklik Suroto.“Pras mau nikah, sama gadis kota.”Iris Paklik Suroto membulat. “Kata siapa?”“Yo, kata Mba Yu Ningrum toh.”“Yo bagus kalau dia mau nikah. Memangnya mau jadi bujang lapuk selamanya,” timpal Paklik Suroto. Kabar Pras mau menikah tidak penting baginya.“Iya, tapi nganu.” Bulik Hasma berbicara ragu.“Nganu opo?”“Nganu, Pak.”“Opo?” Paklik Suroto membulatkan mata.“Mbayu nagih.”“Nagih opo?”“Nangih utangku.” Bulik Hasma tersenyum malu-malu.“Ibuk punya hutang sama Nungrum?”“Iyo.”“Berapa?”...Paklik hampir pingsan saat mendengarnya.***Aneka kudapan sudah dipersiapkan. Berita Pras yang akan menikah dengan gadis kota menyebar. Para tetangga menyangkutpautkan dengan rumah yang belum lama di bangun.Pras sekarang sudah sukses. Punya usaha besar. Menikah sama konglomerat.
“Ayah ....” Suara serak dan berat itu memenuhi ruangan, dari ujung ke ujung bisa mendengar. Pemilik suara itu, orang yang tidak kenal sekalipun, bisa membaca, suara itu berasal dari wanita yang kuat.“Vivian minta maaf selama ini sering lancang pada ayah. Vivian minta maaf, telah meminta waktu ayah yang berharga, hubungan kita selama ini mungkin tidak seperti ayah dan anak pada umumnya, tapi jauh di lubuk hati yang paling dalam. Vivian sangat-sangat mencintai ayah. Kalau bukan karena ayah, tidak mungkin Vivian ada di sini dalam keadaan sehat.”Vivian menjeda. Mengambil nafas panjang, kalimatnya terputus karena sesak. Pak Broto menelan saliva. Melihat ke arah samping menghindari Vivian. Tamu undangan saling berbisik. Mulai bertanya-tanya, ada apa dengan kehidupan mempelai wanita dengan ayahnya.“Sekarang Vivian mohon rido dan keikhlasan ayah menikahkan Vivian dengan kekasih pilihan Vivian. Pria yang Vivian cintai. Mas Prasetio.Vivian juga mohon doa restu ayah. Semoga rumah tangga Vivi
Part 36. Malam PertamaSejak dari kemarin perasaan ini tidak karuan, khawatir luar biasa takut acara tidak bisa berjalan lancar. Lalu perasaan khawatir itu langsung berubah sedih, sedih yang teramat, sampai aku bisa meneteskan air mata, bahkan menangis berlinang. Setelahnya, hanya dalam hitungan menit, semua berubah jadi bahagia.Ya, aku bahagia akhirnya bisa bersanding dengan Mas Pras. Orang yang bisa membuat jantungku berdebar kencang, tapi napas seperti berhenti.Aku terbiasa dengan kerasnya kehidupan, lalu ada seseorang yang berjanji akan membahagiakan, ada yang siap melindungi dan menjadi imam. Rasanya sungguh tak dapat diuntaikan oleh kata-kata.Acara usai, proses buka kado selesai. Tinggallah aku berdua dengannya dalam kekakuan. Aku bahkan bisa mendengar detup jantungku sendiri.Mas Pras tersenyum, bibirnya, matanya, hidungnya, dada bidang itu. Aku melihat ke sisi lain untuk menyembunyikan wajah yang menghangat.“Ayo tidur, sudah malam!” Mas Pras berbaring.Aku mematikan lampu
“Kalau perjalanan hidup Mas bagaimana? Kok, aku terus yang cerita. Bisa jadi bos di usia muda juga pasti, kan, ada cerita luar biasa.”Mas Pras melepaskan pelukannya. Tidur telentang dengan sebelah tangan antara bantal dan kepala, sedangkan tangan yang satunya memegang tanganku.Aku yang sudah nyaman dengan kedekatan ini, balas memeluk lengannya. Menyandarkan pipi di pundak Mas Pras.“Mas juga sama punya tekanan. Tapi bedanya dari keluarga jauh. Mas itu paling miskin, selalu di hina sama paman-bibi—adik-adiknya bapak. Susah lah hidup, Mas.” Mas Pras menjeda. Irisnya menatap ke atas. Lekuk wajahnya terlihat jelas, diterpa cahaya remang.“Tapi ada satu hal yang membuat Mas nekat banget. Jadi waktu itu, Mas masih kuliah, sambil kerja, lagi susah-susahnya. Mas Abi dan Mas Tio juga sama. Masih kere. Ternyata bapak jual pohon jati yang tumbuh di sudut sawah. Katanya itu pohon hasil nanam bapak, saat masih muda. Dijual. Ditebang. Laku belasan juta. Tahu-tahunya Bulik Endang. Adik pertama bap
Part 37. Sari Lagi, Sari lagi.❤❤❤Pacaran itu merusak keromantisan di masa depan.♥️♥️♥️Aku mendapati wanitaku terisak. Berbaring dalam selimut tanpa sehelai benang. Dia yang katanya pantang menangis, tetiba berlinang. Ini membuatku kaget juga takut. Apa dia menangis karena kesakitan, atau karena apa?Di antara rasa lemas yang menderu tubuh. Aku coba meraih kepalanya ke pelukan. Ia bersembunyi di dadaku. Menutup mata sembabnya dengan kedua telapak tangan.“Kenapa? Sakit?” tebakku tak mengerti. Aku mengangkat kepala sedikit untuk memindai wajahnya.Vivian menggeleng. “Aku takut.”“Takut kenapa?”“Aku sudah menyerahkan mahkotaku. Aku takut pernikahan kita tak lama.”Aku menghempaskan kepala kembali pada bantal. Menghela napas panjang.“Rumah tangga itu tidak ada gurunya, Dik. Semua orang belajar. Kita pun belajar. Setiap hari belajar. Mas belajar mengerti adik, adik juga belajar mengerti mas. Kalau mas marah adik diam. Kalau adik marah mas yang diam.” Aku menjeda. “Ya?”Vivian mengang
“Ada apa? Kamu yang melaporkan Doni ke polisi, kamu memperalat Desi untuk menjadi mata-mata kakaknya. Kamu pikir saya tidak tahu?”Aku menelan saliva. Bingung. Dari mana mereka tahu? Padahal file yang di copy dari laptop Doni hanya aku yang pegang. Aku juga tidak terang-terangan melaporkan Doni ke polisi. Aku pura-pura sebagai warga, melaporkan mereka yang sedang menggunakan narkotika.Aku menggeleng kecil. Bukan waktunya memikirkan itu sekarang.“Bulik Retno harusnya bersyukur. Memang sudah seharusnya dia diselamatkan sebelum terjerumus lebih dalam.” Aku mencoba bicara perlahan, meski kalimat yang tadi sudah membuat dadaku membara.“Diam! Kamu memangnya tahu apa?! Ibu mana yang suka anaknya di penjara, Ha?” mata Bulik Retno merah membara. Irisnya melotot sepenuhnya. Kedua tangan bertolak pinggang.“Saya tahu, tapi itu yang terbaik bagi dia.”Plak! Bulik Retno menamparku.“Lancang kamu Prasetio. Kamu menikam keluargaku dari belakang. Padahal dulu kamu bukan apa-apa. Aku yang menolong
Part 38. Bajingan itu DatangAku dan Mas Pras baru pulang saat ada telepon masuk dari Mamak.“Pras kamu buat ulah opo?” suara dari seberang sana bisa kudengar karena Mas Pras me-louspeaker suaranya.“Ulah apa, Mak?” tanya Mas Pras. Aku mendengarkan di sampingnya. Perasaan hari ini terlalu banyak masalah.“Lik Retno, barusan telpon, marah-marah. Ngatain Mamak miskin, Tidak punya apa-apa. Mamak banyak jasa katanya sama dia. Tapi buat masalah. Masalah opo to, Ragil?” Kata terakhirnya itu aku gak mengerti. Kok, panggil Ragil.“Itu, Mak, Sari. Aku ketahuan kalau aku yang melaporkan Doni.”“Walah, udah Mamak perkirakan, bahaya itu kalau ketahuan.”“Bulik bilang apa saja. Mamak tidak apa-apa?”“Ora, kamu yang hati-hati. Pasti Lik Retno ngamuk juga sama kamu toh.”“Ah, itu bukan masalah, cuma Desi sekarang yang diamuk terus sama mamanya.”“Lah iya, orang kamu libatin dia. Harus bantu mereka rukun lagi, Ragil.”“Iya, Mak.”“Mana Vivian?”“Ini ada di samping lagi dengerin.”“Aku ada, Mak, lagi
Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada
Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh
Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul
Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa
Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari
"Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar
Part 43. Warisan yang Selalu Menjadi Perdebatan“Mana anak juragan kontrakan?” Aku menyenggol pundak Vivian.“Orang gitu banget, ya. Menilai semua orang dari segi materi.”“Kebanyakan orang memang begitu apa lagi kalau tidak pernah susah. Di mata Tuhan manusia tidak berkasta-kasta. Tapi di mata manusia tetap saja.”“Iya, sih. Orang yang tidak pernah susah tidak peka terhadap orang susah.”Aku mengangguk kecil, kembali fokus melihat jalanan di depan. Ini hari ketiga kami di Gunungkidul. Keliling keluarga sudah. Rencana selanjutnya belum tahu apa lagi.“Main ke tempat bagus, yu, Dek!” ajakku jam delapan Malam.Vivian memicingkan mata, melihatku penuh tanda tanya. Seperti sedang membaca apa yang kupikirkan.“Kenapa?”“Bohong, ya? Pasti mau ngerjain.”“Enggak, lah. Ngerjain apa?”“Pasti tempat bagusnya kamar, hayo!” Mamak ikut tersenyum mendengar tuduhan menantunya ini.“Eh, pede. Memangnya yang kemarin kurang?”“Ih.” Vivian memukul pundakku. “Gak malu apa sama Mamak.”“Tidak apa-apa, pen
“Dek.”Vivian menoleh. Ia terlihat sedang berbincang dengan seseorang, setelah dekat baru aku sadari kalau itu ibunya Sari.“Ayo pulang, sudah sore.”“Iya, Yang. Bude ini nanyain keadaan Doni,” jelas istriku.“Bulik.” Kami salaman.“Pras, gimana Doni sekarang?”Aku agak tak enak mengatakan ini. Mungkin saja mereka masih berharap Doni menjadi menantunya. Aku melirik Vivian, menerka apa dia tahu siapa yang sedang ia ajak bicara.Vivian mengangkat alis, sendok ice cream masih menempel di bibirnya.“Emmm.” Aku menggaruk kepala belakang. “Doni dihukum lima belas tahun penjara, Bulik.“Apa?”“Itu sebenarnya lebih kecil dari tuntutan, karena kejahatan dia merupakan upaya pembunuhan dan pemerkosaan pada istriku.”“Ohh, kamu? Tapi kamu tidak apa-apa?” Mamaknya Sari memindai Vivian.“Tidak Bulik, Allah masih melindungi.”“Memang dasar si Doni, Wedus. Apa setiap wanita yang dekat dengan Pras dia dekati?”Vivian membulatkan mata kala mendengar itu. Ya, dia tahu kalau aku putus dengan Sari karena
42. Pamer Istri“Apa mau naik sepeda? Mas yang goes aku duduk di belakang.”Boleh juga idenya, minimalnya lebih cepat dari pada jalan kaki."Yaudah, mana?" Aku meraih sepeda. Duduk mantap di atasnya. Vivian duduk menyamping di belakang."Siap?""Cuuusss." Ia melingkarkan tangan di pinggang. Terdengar riang sekali.Pernah kukatakan bukan, kalau jalanan di sini bukan jalanan aspal. Namun, jalan coran dua jalur yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Untuk berada di satu jalur ini lumayan susah kalau boncengan, karena membawa beban cukup berat, kadang terlalu ke kanan, kadang terlalu ke kiri.Aku fokus melihat jalan, sementara Vivian di belakang bercerita riang."Di sini tuh enak, suasananya masih asri, udaranya sejuk, banyak pohon-pohon. Coba kalo deket, aku balik tiap bulan. Eh, iya. Kenapa dari tadi tiap lewat depan rumah orang Mas nunduk sambil bicara apa itu?""Nuwun sewu nderek langkung.""Artinya?""Permisi numpang lewat.""Emang harus gitu, tiap lewat di depan rumah orang lain,