“Ada apa? Kamu yang melaporkan Doni ke polisi, kamu memperalat Desi untuk menjadi mata-mata kakaknya. Kamu pikir saya tidak tahu?”Aku menelan saliva. Bingung. Dari mana mereka tahu? Padahal file yang di copy dari laptop Doni hanya aku yang pegang. Aku juga tidak terang-terangan melaporkan Doni ke polisi. Aku pura-pura sebagai warga, melaporkan mereka yang sedang menggunakan narkotika.Aku menggeleng kecil. Bukan waktunya memikirkan itu sekarang.“Bulik Retno harusnya bersyukur. Memang sudah seharusnya dia diselamatkan sebelum terjerumus lebih dalam.” Aku mencoba bicara perlahan, meski kalimat yang tadi sudah membuat dadaku membara.“Diam! Kamu memangnya tahu apa?! Ibu mana yang suka anaknya di penjara, Ha?” mata Bulik Retno merah membara. Irisnya melotot sepenuhnya. Kedua tangan bertolak pinggang.“Saya tahu, tapi itu yang terbaik bagi dia.”Plak! Bulik Retno menamparku.“Lancang kamu Prasetio. Kamu menikam keluargaku dari belakang. Padahal dulu kamu bukan apa-apa. Aku yang menolong
Part 38. Bajingan itu DatangAku dan Mas Pras baru pulang saat ada telepon masuk dari Mamak.“Pras kamu buat ulah opo?” suara dari seberang sana bisa kudengar karena Mas Pras me-louspeaker suaranya.“Ulah apa, Mak?” tanya Mas Pras. Aku mendengarkan di sampingnya. Perasaan hari ini terlalu banyak masalah.“Lik Retno, barusan telpon, marah-marah. Ngatain Mamak miskin, Tidak punya apa-apa. Mamak banyak jasa katanya sama dia. Tapi buat masalah. Masalah opo to, Ragil?” Kata terakhirnya itu aku gak mengerti. Kok, panggil Ragil.“Itu, Mak, Sari. Aku ketahuan kalau aku yang melaporkan Doni.”“Walah, udah Mamak perkirakan, bahaya itu kalau ketahuan.”“Bulik bilang apa saja. Mamak tidak apa-apa?”“Ora, kamu yang hati-hati. Pasti Lik Retno ngamuk juga sama kamu toh.”“Ah, itu bukan masalah, cuma Desi sekarang yang diamuk terus sama mamanya.”“Lah iya, orang kamu libatin dia. Harus bantu mereka rukun lagi, Ragil.”“Iya, Mak.”“Mana Vivian?”“Ini ada di samping lagi dengerin.”“Aku ada, Mak, lagi
"Kenapa?" tanya Mas Pras datar."Aku abis telepon Sari, abis ngingetin dia biar gak menghubungi kamu lagi. Gadis desa tapi modus." Aku menyerahkan ponsel pada Mas Pras.Bukannya mengambil ponsel dia malah menggendongku."Ih, ih turunin Mas, Aku takut jatoh.""Cemburu terus dari semalam." Mas Pras berjalan membawaku kembali ke kamar."Bukan cemburu, aku tuh kesel.""Pagi-pagi udah ngomelin anak orang, istri siapa sih?" Mas Pras membaringkanku di atas kasur. Cepat kusimpan ponselnya di nakas takut terjatuh."Istrinya Mas Prasetio yang suka marah-marah juga, puas?""Enggak, Mas gak pernah marah-marah."Mas Pras mengunci kedua tanganku. Takut kabur mungkin."Idih, bohong banget. Orang sering marahin anak-anak teknisi juga.""Enggak," kilahnya."Ini udah jam berapa?" Mas Pras melirik ke dinding.Jam lima Pagi."Udah adan subuh, ya?""Dari tadi.""Kenapa gak bangunin.""Soalnya aku abis teleponan.""Eh, nakal, ya, kamu.""Udah sana solat!"Aku tahu apa yang dia mau kalau sudah mepet-mepet b
Part 39. Ketika si Penghina Mau Memohon.*Pov Vivian.Dia hanya berada satu langkah di depanku. Aku melempar pukulan padanya. Dia menangkap tanganku mudah.Aku pukul dengan tangan kiri, ditangkapnya juga. Kini kedua tanganku dikuncinya. Wajahnya terus mendekat. Aku terkunci. Apa yang harus kulakukan Ya Allah?Kaki. Ya, Kaki. Aku menendang kemaluannya dengan lutut. Alhasil dia merintih kesakitan. Memegangi area intimnya seraya mundur menjauh, mengaduh, jatuh di lantai.Aku cepat membuka pintu. Di kunci. Bagaimana bisa? Apa mungkin tadi aku tak sadar dia mengunci pintu? Di mana kuncinya?Ya Allah kalau di kantung celana pria itu bagaimana?Aku takut jika harus mendekatinya. Akhirnya kuambil kunci cadangan di lemari. Cepat.Dengan tangan bergetar aku memasukkan kunci. Sulit, tak masuk-masuk. Sedangkan Doni sudah berdiri kembali, berjalan sempoyongan ke sini."Ayo cepat!" pekikku memasukkan benda itu.Buka kuncinya. Putarkan, satu, dua.Dan ....Doni menarik pakaian belakangku. Dilemparka
POV Pras.Sejak berangkat perasaanku sudah tak enak.Beberapa kali kubuka ponsel saat meeting. Untuk apa? Tak tahu.Kukirim pesan berkali-kali pada Vivian. Kutelepon juga, tapi Vivian tidak mengangkat.Aku meminta Vikri menemani kakaknya. Dan dia menyetujui. Sampai setengah jam Vikri ternyata masih belum ke rumah juga. Pikiranku semakin tidak karuan. Akhirnya, terpaksa aku undur diri untuk pulang.Kusuruh Anton menengok Vivian, untuk mengecek kenapa dia tidak juga mengangkat telepon.Beberapa menit berselang. Anton menelepon. "Bos bahaya, ada tindak kejahatan di rumah."Cepat kupacu mobil di batas tertinggi. Ini firasat, ya, ini firasat. Kenapa aku harus mengabaikannya.Menit kemudian aku sudah berada di depan gang. Kondisi sepi, hening, terlalu hening. Di saat bersamaan, dari ujung gang sana seseorang berjalan mundur. Doni, menarik Vivian dengan pisau di leher.Pelan. Kuambil balok kayu yang ada si samping rumah orang lain.Buk! Sekali entakkan. Doni tergeletak. Tersungkur mencium ta
Part 40. Si Penghina Berubah Meminta.*Pov Author.Di rumah Bulik Retno. Seorang pengacara dengan berkasnya yang banyak, berserakan di meja.“Semua bukti yang ada tidak bisa di bantah, Bu Retno. Doni sudah melakukan tindak kejahatan upaya pembunuhan dan pemerkosaan. Saya akan mengupayakan semaksimal mungkin agar hukuman Doni diringankan. Tapi jika keinginan ibu, Doni harus terbebas dari hukuman. Itu tidak mungkin. Kecuali jika kalian ingin menyelesaikan secara kekeluargaan,” jelas pengacara itu.Bulik Retno menutup wajahnya. Pikirannya kalut, ia sudah mengeluarkan banyak uang untuk mengeluarkan Doni dari tahanan rehabilitasi. Sekarang malah terjerat kasus yang lebih berat.Wanita itu mulai menangis. Hidup seorang diri tidaklah mudah. Kepada siapa lagi ia mengadu sementara Desi, anaknya saja, sudah dia usir.“Apa saya harus meminta Prasetio untuk mencabut laporannya?” suaranya parau, mata merah dengan air menggenang.Pengacara mengangguk. “Harus segera sebelum kasusnya dilimpahkan ke p
“Sodara? Sejak kapan?” Pras tersenyum mengejek.“Pras?”“Bulik sendiri yang datang ke sini, bilang kalau saya bukan sodara kalian, saya hanya anak orang miskin yang kalian bantu.” Nada bicara Pras semakin tinggi.“Lagian nih, ya, Bulik Retno. Saya tinggal setahun di rumah Anda itu untuk diperkerjakan bukan untuk dibantu. Karyawan Anda dibayar, sedangkan saya tidak, hanya uang jajan sesekali, makan dan tempat tidur. Karyawan Anda bahkan diperlakukan lebih layak dari pada saya. Mereka hanya bekerja di rumah makan dengan upah, makan, dan uang jajan. Sedangkan saya harus kerja di dua tempat. Di rumah juga di rumah makan, hanya dikasih makan dan tempat tinggal. Lalu dengan pongahnya Anda terus mengungkit itu. Seolah saya anak pungut yang sengaja ditampung. Lucu!” Pras berkata cepat dan tinggi, serta peragaan tangan. Dia menepuk dadanya tiap kali berkata ‘saya’.“Bulik tahu—”“Tahu apa Bulik?” Pras memotong ucapan Bulik Retno. “Tahu kalau itu sebuah kejahatan. Tahu kalau itu kerja Rodi nama
Part 41.Gunungkidul SekarangSetelah kejadian malam itu, aku tidak bisa tenang jika harus meninggalkan Vivian sendiri. Sementara pekerjaanku untuk proyek baru juga menumpuk. Alhasil aku harus membawa pekerjaan ke rumah.Di sudut kamar berukuran sedang ini aku membuat tempat kerja sendiri. Satu meja mini malis putih dengan laptop di atasnya.Kugerakkan kursor, membuat garis-garis di layar. Merancang plan layout untuk pemasangan CCTV.“Yang.” Vivian mendekat. Berdiri menempelkan tubuh di pundak sebelah kananku.“Ya.”“Besok aku kerja, ya, udah bosan banget di rumah terus.”Sejenak kuhentikan gerakan tangan di atas mouse. Lalu melirik padanya. “Beneran?”“Iya aku udah sehat, kok. Besok sudah bisa kerja.” Ia menjeda. Lalu mencolek daguku. “Ya,” serunya menggoda.Aku menarik wanita yang berambut hitam pekat ini untuk duduk di atas paha. Seketika itu pipinya merona.“Beneran sudah sembuh? Mana kulihat.” Kuamati rahangnya yang kemarin memar, lalu goresan kecil di lehernya. Tiap melihat itu d
Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada
Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh
Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul
Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa
Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari
"Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar
Part 43. Warisan yang Selalu Menjadi Perdebatan“Mana anak juragan kontrakan?” Aku menyenggol pundak Vivian.“Orang gitu banget, ya. Menilai semua orang dari segi materi.”“Kebanyakan orang memang begitu apa lagi kalau tidak pernah susah. Di mata Tuhan manusia tidak berkasta-kasta. Tapi di mata manusia tetap saja.”“Iya, sih. Orang yang tidak pernah susah tidak peka terhadap orang susah.”Aku mengangguk kecil, kembali fokus melihat jalanan di depan. Ini hari ketiga kami di Gunungkidul. Keliling keluarga sudah. Rencana selanjutnya belum tahu apa lagi.“Main ke tempat bagus, yu, Dek!” ajakku jam delapan Malam.Vivian memicingkan mata, melihatku penuh tanda tanya. Seperti sedang membaca apa yang kupikirkan.“Kenapa?”“Bohong, ya? Pasti mau ngerjain.”“Enggak, lah. Ngerjain apa?”“Pasti tempat bagusnya kamar, hayo!” Mamak ikut tersenyum mendengar tuduhan menantunya ini.“Eh, pede. Memangnya yang kemarin kurang?”“Ih.” Vivian memukul pundakku. “Gak malu apa sama Mamak.”“Tidak apa-apa, pen
“Dek.”Vivian menoleh. Ia terlihat sedang berbincang dengan seseorang, setelah dekat baru aku sadari kalau itu ibunya Sari.“Ayo pulang, sudah sore.”“Iya, Yang. Bude ini nanyain keadaan Doni,” jelas istriku.“Bulik.” Kami salaman.“Pras, gimana Doni sekarang?”Aku agak tak enak mengatakan ini. Mungkin saja mereka masih berharap Doni menjadi menantunya. Aku melirik Vivian, menerka apa dia tahu siapa yang sedang ia ajak bicara.Vivian mengangkat alis, sendok ice cream masih menempel di bibirnya.“Emmm.” Aku menggaruk kepala belakang. “Doni dihukum lima belas tahun penjara, Bulik.“Apa?”“Itu sebenarnya lebih kecil dari tuntutan, karena kejahatan dia merupakan upaya pembunuhan dan pemerkosaan pada istriku.”“Ohh, kamu? Tapi kamu tidak apa-apa?” Mamaknya Sari memindai Vivian.“Tidak Bulik, Allah masih melindungi.”“Memang dasar si Doni, Wedus. Apa setiap wanita yang dekat dengan Pras dia dekati?”Vivian membulatkan mata kala mendengar itu. Ya, dia tahu kalau aku putus dengan Sari karena
42. Pamer Istri“Apa mau naik sepeda? Mas yang goes aku duduk di belakang.”Boleh juga idenya, minimalnya lebih cepat dari pada jalan kaki."Yaudah, mana?" Aku meraih sepeda. Duduk mantap di atasnya. Vivian duduk menyamping di belakang."Siap?""Cuuusss." Ia melingkarkan tangan di pinggang. Terdengar riang sekali.Pernah kukatakan bukan, kalau jalanan di sini bukan jalanan aspal. Namun, jalan coran dua jalur yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Untuk berada di satu jalur ini lumayan susah kalau boncengan, karena membawa beban cukup berat, kadang terlalu ke kanan, kadang terlalu ke kiri.Aku fokus melihat jalan, sementara Vivian di belakang bercerita riang."Di sini tuh enak, suasananya masih asri, udaranya sejuk, banyak pohon-pohon. Coba kalo deket, aku balik tiap bulan. Eh, iya. Kenapa dari tadi tiap lewat depan rumah orang Mas nunduk sambil bicara apa itu?""Nuwun sewu nderek langkung.""Artinya?""Permisi numpang lewat.""Emang harus gitu, tiap lewat di depan rumah orang lain,