Aku mengambil skripsi. Lumayan tebal juga. Masih banyak coretan. Terlepas dari itu ada beberapa typo yang mungkin belum ditemukan dosennya.Aku mengetik. Vivian mendikte. Hingga dua poin dari bab satu selesai.Terdengar ada beberapa orang di depan rumah. Mereka membuka pintu tanpa permisi. Ada tiga orang yang datang.Seorang ibu, wanita usia remaja, dan laki-laki usia SD atau SMP.“Siapa ini, Vi?” tanya wanita paruh baya itu.“Pemilik servis komputer dekat jembatan penyebrangan itu, Bu. Lagi bantuin Vivi buat skripsi.” Vivian bangun, meraih tangan ibunya. Lalu membantu membawakan barang-barang yang entah apa. Gadis songong itu ternyata sopan juga pada orang tua.“Oh, Maaf, ya, di sini kumuh,” tandas si ibu membuatku tak enak hati.“Eh, tidak apa-apa, Buk. Di sini bagus, tidak kumuh.”“Bagus bagaimana orang berantakan begini.”“Eh, iya, tapi … tak apa-apa, saya tak enak sudah menghilangkan file Vivian.” Aku menggaruk kepala, bicara serba salah. Lalu berdiri, meraih tangannya, salaman.
Part 28. Debaran tak BiasaSeseorang berjalan menghampiri, mengayunkan kaki di sepanjang jalan berpaving sampai berdiri tepat di hadapanku. Dia memakai rok pink muda, sweter kebesaran, dan kerudung seperti biasa. Tidak membawa tas bagai mahasiswa lainnya.Tanpa diperintah, Vivian duduk di sampingku.“Lu gak jadi sidang hari ini?”“Syarat buat sidang harus lunas tunggakan. Gue gak bisa ikut.”Seketika aku menengok pada gadis di sampingku. Ucapannya barusan berhasil membuatku menahan napas. Sungguh miris untuk seorang gadis. Vivian berjuang sendiri tanpa uluran tangan ayahnya.Sering kubanggakan perjuangan yang pernah dilalui dulu. Aku pun sama, harus kuliah dari uang sendiri. Tapi melihat gadis di sampingku ini ... sungguh perjuanganku tak ada apa-apanya.Aku mengamati setiap garis wajah itu. Tidak ada sedikit pun sedih yang kubaca. Iya tersenyum seakan tak ada masalah. Irisnya jauh memandang ke jalan yang sisinya dihiasi Cemara berjajar. Netranya pindah ke langit cerah. Lalu melirik p
“Vivian!” Aku teriak.Dia yang sedang menunduk langsung tengok kanan-kiri.“Vivian!” teriakku lagi.Dia melihat ke sini. Itu benar Vivian.Vivian melempar pandang, lalu gegas pergi membawa alat-alat kebersihannya.Aku turun dari mobil. Mengejar.“Vi, Vivian!”“Tin! Tin! Tin!”Ah, sial! Suara klakson mobil di belakangku sudah berisik. Lampu berubah kuning lalu hijau. Aku cepat balik badan, kembali ke arah mobil. Putar arah. Menyusuri jalan ke mana arah Vivian. Sayangnya dia sudah menghilang entah ke mana.Apa pekerjaan dia jadi tukang bersih-bersih? Tak adakah pekerjaan yang lain? Ini semakin mengganggu pikiranku.***Di jalanan sepi dan gelap ini aku diam. Menunggu gadis itu pulang. Untuk apa? Entahlah aku pun tak tahu. Yang jelas aku tak suka hal semacam ini terjadi di depan mata.Jam delapan orang yang aku tunggu sudah datang. Terlihat dari spion mobil. Langkahnya semakin mendekat. Ini saatnya aku membuka pintu.“Vi!”Dia berhenti, kaget. Lalu tangannya memainkan tas yang menyilang
Part 29. Gubuk yang Disulap Jadi Kraton*POV AuthorKembali ke Gunungkidul.Para pekerja cekatan itu membangun rumah Mamak dengan cepat. Sebulan waktu yang mereka butuhkan. Rumah usang berdinding batu bata itu disulap menjadi rumah joglo modern.Perpaduan antara bangunan khas Jogja yang memiliki atap tinggi, dipadukan dengan gaya modern yang memiliki kaca-kaca lebar di bagian depannya.Ubinnya terang mengkilat, Cat cokelat terang di tiang-tiang dan bilik kayu bagian depan. Rumah itu dibuat lebih tinggi dari dasar yang sebelumnya. Perlu melewati tiga tangga untuk menginjak lantai itu.Gorden tebal membentang, lampu-lampu kristal tertempel di dinding sekitar rumah. Tak menunjukkan kemewahan, tapi dari perpaduan antara klasik dan modern yang pas, membawa nuansa seni yang indah. Semua mengakui, biaya pembangunan rumah itu pasti tak murah.Memasuki dalam rumah. Ruangan depan terbentang luas. Kursi-kursi jati berukiran indah menyambut. Ada tiga kamar dan satu dapur, juga dapur tungku di bag
Di rumah bercat kuning itu. Jamiatun menatap nanar ke arah hamparan sawah. Di ujung sana, terlihat besarnya rumah Prasetio."Sari, opo kamu ora bisa dekati Pras lagi. Nelongso nasib kamu. Lihat Pras sukses begitu!"Sari meruncingkan bibirnya. Memainkan ponsel seraya duduk bersila. Dari belakang rumah, atap bangunan Prasetio terlihat cukup jelas. Seperti kraton yang ada di tengah sawah."Gara-gara Mas Doni. Aku jadi kehilangan Mas Pras.""Bukannya gara-gara Doni. Gara-gara kamu sendiri. Jadi perempuan itu harus setia toh. Bukannya selingkuh sana selingkuh sini. Mentang-mentang ganteng kamu mau saja.""Mamak juga awal dia ke sini suka sama Mas Doni. Kok, aku yang disalahin, toh.""Lah kamu kan yang tahu sendiri Usaha Pras di sana sebesar apa. Bandingkan sama usaha Doni. Lebih bagus yang mana. Jadi perempuan itu harus pintar. Jangan kayak Mamak, dapat bapakmu yang blangsak itu." Jamiatun berbicara dengan peragaan tangan juga."Mana kutahu, Mak. Orang ketemu Mas Doni juga di acara nikahan
Part 30. Gadis Luar BiasaVivian gadis yang pintar. Sekali diberitahu dia langsung mengerti. Tidak pernah ribet bertanya ini-itu. Cara bicara pada konsumen pun lancar. Tidak banyak basa-basi. Serius tapi ramah.Dia juga mudah bergaul. Anton dan Supri terlihat nyaman bekerja dengannya. Vivian bukan hanya menjaga toko, tapi juga membantu pekerjaanku. Kalau ada barang yang baru datang, ia langsung mendatanya dan membuat pembukuan.Ini bagus untuk toko. Tapi tidak bagiku, berada di sampingnya aku seperti ‘tidak dibutuhkan’..Tiupan angin AC di leher belakang terasa dingin. Jam menunjukkan pukul dua belas kurang tiga puluh menit. Aku sedang membujuk wanita di hadapanku untuk makan siang bersama. Tapi dia menolak karena jam istirahat setengah jam lagi.Peraturan dari mana itu? Aku tidak pernah membuat peraturan semacam itu.Vivian fokus memandangi layar. Sesekali membuka buku di sampingnya. Lalu menekan huruf-huruf. Aku duduk tumpang kaki seraya memainkan ponsel.“Supri, coba lihat bos kit
Kami berdua melangkahkan kaki seirama di atas trotoar. Berpayungkan langit malam yang berhiaskan bulan sabit dan ribuan bintang. Sisi kiri merupakan bahu jalan yang sering digunakan untuk parkir mobil mendadak. Biasanya pemiliknya turun untuk berkunjung ke salah satu toko. Sebelah kirinya lagi merupakan jalanan empat jalur, dengan pembatas tengah yang dihiasi bunga-bunga. Sebelah kanan jajaran ruko. Rerata punya halaman parkir yang luas. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya kondisi di sini.Tak ada yang bicara sampai kami menaiki jembatan penyebrangan.“Ibu ada di rumah, Vi?” seruku mengawali bicara.“Sekarang masih jualan, agak malam pulangnya.” Gadis dengan tunik berwarna sama dengan kerudung itu memegang pagar pembatas.“Sekarang mau ke tempat mangkal ibu atau mau ke rumah?”“Langsung ke rumah. Ibu dibantu ade-ade.”“Anak pertama harus kuat, ya, Vi.”“Banget, Mas.”“Suka ngeluh, enggak?”“Namanya manusia, ngeluh, sih, pasti Mas. Tapi bukan mengeluh karena tanggung jawab, tapi ya ...
Part 31. Andai Mas Pras Bisa Kumakan.*Pov Vivian“Nikah, yu, Vi!”“Nikah, yu, Vi!”“Nikah, yu, Vi!”Perkataan itu mengaung terus di telinga. Tidak bisa hilang meskipun aku sudah mengalihkan konsentrasi berkali-kali. Sedangkan mata dipenuhi bayangan Mas Pras yang begitu ringan mengatakannya. Pria tinggi dengan bibir seksinya. “Nikah, yu, Vi!”Duh, mana mungkin aku bisa menolak. Buat gadis miskin, jelek, dan bodoh, ini seperti ketiban durian runtuh. Dia gagah, tampan, pekerja keras, dan manis. Oh may God. Mimpi apa aku. Kucubit tangan untuk memastikan takut hanya ilusi.“Aw.” Aku menggosok tangan. Ternyata sakit juga.Oh, Mas Pras. Aku kelepek-kelepek. Teringat begitu manisnya dia. Apalagi saat teleponan dengan ibunya. Ya ampun itu amazing banget. Dia sopan dan lembut. Jarang di dunia ini ada orang seperti itu. Hanya satu yang tidak aku sukai darinya. Sesekali kadang dia merokok, mungkin bisa kujadikan syarat kalau aku mau menikah dengannya.Hey, Vivian, sadar. Buka mata kamu lebar-leb
Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada
Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh
Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul
Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa
Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari
"Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar
Part 43. Warisan yang Selalu Menjadi Perdebatan“Mana anak juragan kontrakan?” Aku menyenggol pundak Vivian.“Orang gitu banget, ya. Menilai semua orang dari segi materi.”“Kebanyakan orang memang begitu apa lagi kalau tidak pernah susah. Di mata Tuhan manusia tidak berkasta-kasta. Tapi di mata manusia tetap saja.”“Iya, sih. Orang yang tidak pernah susah tidak peka terhadap orang susah.”Aku mengangguk kecil, kembali fokus melihat jalanan di depan. Ini hari ketiga kami di Gunungkidul. Keliling keluarga sudah. Rencana selanjutnya belum tahu apa lagi.“Main ke tempat bagus, yu, Dek!” ajakku jam delapan Malam.Vivian memicingkan mata, melihatku penuh tanda tanya. Seperti sedang membaca apa yang kupikirkan.“Kenapa?”“Bohong, ya? Pasti mau ngerjain.”“Enggak, lah. Ngerjain apa?”“Pasti tempat bagusnya kamar, hayo!” Mamak ikut tersenyum mendengar tuduhan menantunya ini.“Eh, pede. Memangnya yang kemarin kurang?”“Ih.” Vivian memukul pundakku. “Gak malu apa sama Mamak.”“Tidak apa-apa, pen
“Dek.”Vivian menoleh. Ia terlihat sedang berbincang dengan seseorang, setelah dekat baru aku sadari kalau itu ibunya Sari.“Ayo pulang, sudah sore.”“Iya, Yang. Bude ini nanyain keadaan Doni,” jelas istriku.“Bulik.” Kami salaman.“Pras, gimana Doni sekarang?”Aku agak tak enak mengatakan ini. Mungkin saja mereka masih berharap Doni menjadi menantunya. Aku melirik Vivian, menerka apa dia tahu siapa yang sedang ia ajak bicara.Vivian mengangkat alis, sendok ice cream masih menempel di bibirnya.“Emmm.” Aku menggaruk kepala belakang. “Doni dihukum lima belas tahun penjara, Bulik.“Apa?”“Itu sebenarnya lebih kecil dari tuntutan, karena kejahatan dia merupakan upaya pembunuhan dan pemerkosaan pada istriku.”“Ohh, kamu? Tapi kamu tidak apa-apa?” Mamaknya Sari memindai Vivian.“Tidak Bulik, Allah masih melindungi.”“Memang dasar si Doni, Wedus. Apa setiap wanita yang dekat dengan Pras dia dekati?”Vivian membulatkan mata kala mendengar itu. Ya, dia tahu kalau aku putus dengan Sari karena
42. Pamer Istri“Apa mau naik sepeda? Mas yang goes aku duduk di belakang.”Boleh juga idenya, minimalnya lebih cepat dari pada jalan kaki."Yaudah, mana?" Aku meraih sepeda. Duduk mantap di atasnya. Vivian duduk menyamping di belakang."Siap?""Cuuusss." Ia melingkarkan tangan di pinggang. Terdengar riang sekali.Pernah kukatakan bukan, kalau jalanan di sini bukan jalanan aspal. Namun, jalan coran dua jalur yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Untuk berada di satu jalur ini lumayan susah kalau boncengan, karena membawa beban cukup berat, kadang terlalu ke kanan, kadang terlalu ke kiri.Aku fokus melihat jalan, sementara Vivian di belakang bercerita riang."Di sini tuh enak, suasananya masih asri, udaranya sejuk, banyak pohon-pohon. Coba kalo deket, aku balik tiap bulan. Eh, iya. Kenapa dari tadi tiap lewat depan rumah orang Mas nunduk sambil bicara apa itu?""Nuwun sewu nderek langkung.""Artinya?""Permisi numpang lewat.""Emang harus gitu, tiap lewat di depan rumah orang lain,