“Duduklah!” Fairuz menarikkan kursi untuk Viza.Sikap hangat itu membuat Viza patuh dan menghempas duduk di kursi yang ditarik. Fairuz tampak sangat bijaksana dan lembut, sikap dingin yang awalnya ditampilkan, kini lenyap tak berbekas.Meja makan sudah diisi dengan beberapa jenis lauk bergizi, enak semua.“Ayo, makan! Pengantin baru itu harus makan yang bergizi supaya badan tetap fit.” Fairuz mengambilkan nasi dan lauk untuk Viza.“Bu, apakah Tuan Leo nggak akan marah kalau kita duduk di meja makan begini bahkan makan tanpa seijinnya?” Rasa sungkan Viza mulau kambuh. Ia terbiasa ditindas dan dikucilkan, dianggap bahwa hidupnua tak pantas. Pada akhirnya ia meseringan merasa kerdil dan tak pantas dimana pun berada.Fairuz menatap Vikram, lalu tersenyum. “Di sini nggak ada istilah sungkan. Ibu dan Vikram ini sudah seperti keluarga sendiri bagi Leo. Dan Leo juga sudah menganggap ibu seperti orang tuanya sendiri. Fasilitas di sini dianggap seperti rumah sendiri ya!”Viza mengangguk meski t
Di kamar, Viza mengawasi seisi ruangan. Mewah. Kamar juga luas. Ternyata Leo itu orang yang baik. Buktinya pria itu memberikan fasilitas yang bagus untuk seorang supir. Biasanya, ukuran kamar antara supir dan bos itu berbeda. Tapi tidak untuk Vikram. Kamarnya malah seperti kamar pemilik rumah.Tiba-tiba pintu kamar itu dibuka. Seseorang mendorongnya dari luar. Fairuz tersenyum di pintu.“Viza, kemarilah!” titah Fairuz sambul menganggukkan kepala.“Iya, Bu.” Viza bergegas memenuhi panggilan mertuanya. Ia melangkah menyusul keluar.“Viza, Ibu mau perkenalkan kamu sama para asisten rumah tangga di sini.”Sudah ada seorang wanita tua dan dua wanita muda yang berdiri di hadapan Fairuz.“Nah, ini adalah Mbok Parmi.” Fairuz menepuk pundak wanita paling tua bertubuh gemuk. “Panggil aja simbok.”Mbok Parmi menganggukkan kepala sembari melempar senyum kepada Viza, dibalas dengan sikap yang sama oleh Viza.“Ini Partun dan Juni.” Fairuz menunjuk dua wanita muda lainnya. “Nah, jadi mereka ini k
Pagi itu Viza berdiri di tepi jalan, tepat dimana ia dan Vikram pernah duduk berdua makan wedang ronde.Viza tadi berpamitan pada Vikram untuk belanja ke minimarket, suaminya menyetujui.Sebelum ke minimarket, ia menunggu Pak Salim melintas di sana. Tapi sudah hampir satu jam duduk manis di sana, ia belum juga melihat bapak tua itu melintas. Keringat mulai bercucuran di pelipis. Lumayan gerah. Padahal ia sudah berlindung di bawah pohon, tapi suhu di sekitar sana memang panas. Matahari terik.Apakah mungkin Pak Salim tidak berjualan hari ini?Viza akhirnya meninggalkan lokasi itu. Tujuannya kini ke minimarket. Dinginnya ac langsung menyambut saat ia memasuki minimarket. Viza memasukkan beberapa bungkus barang belanjaan ke dalam keranjang. Di seberang rak sana, ia melihat sosok yang dia kenal. Viza menggeser langkah untuk memperjelas pandangan. Benarkah yang ia lihat itu adalah Mones?Tapi kalau benar itu Mones, kenapa wanita itu terlihat modis dengan pakaian serba bagus?Selama ini
Viza bingung bagaimana menjelaskan kepada security tentang sosok Mones. Ia menatap gedung bertuliskan PT. Agung sejahtera. Rupanya itu adalah sebuah gedung perusahaan.“Perempuan yang tadi barusan turun dari mobil hitam metalik, lewat sini pakai jilbab putih, baju warna abu-abu. Nah itu tuh orangnya!” Viza menunjuk Mones yang berjalan masuk ke gedung dan hilang di balik pintu kaca.“Oh itu Mbak Nesya. Maksud saya Monesya.”“Iya saya mau ketemu dia.”“Sudah bikin janji?”Viza cemberut. Bakalan susah kalau sudah begini. “Belum.”“Maaf, Mbak. Nggak bisa.” Security tersenyum ramah.“Sebentaaaaar aja,” bujuk Viza.“Duh, untung cantik, jadi bisa sabar.” Security menggaruk dagu sambil tersenyum. “Di sini ada peraruran yang mesti diterapkan, Mbak. Orang asing dilarang masuk. Mbak bisa bikin janji atau jadwal tertentu untuk memastikan bahwa Mbak ini orang yang dibutuhkan dan tidak membahayakan.”Viza mengangkat alis. Ketat sekali perusahaan ini.“Monesya itu kerja di sini kan? Dia itu temanku
Viza tak kuasa melanjutkan ngambek jika sudah begini. Pelukan Vikram sangat hangat dan menenangkan. Ia pun kesal pada dirinya sendiri, kenapa harus luluh saat mendapat pelukan begini. Seharusnya ia terus saja protes untuk menunjukkan rasa kesal. Tapi kehangatan Vikram memang tak ada tanding. Beberapa menit Vikram memeluk Viza. Ia tak tahu entah apa yang membuat istrinya jadi ngambek begini, sikap Viza benar-benar jauh berbeda. Tak pernah sebelumnya Viza bersikap begini.Namun, Vikram tak mau menanyakan hal itu. Baginya, melihat Viza tenang saja sudah cukup. Tak perlu lebih.“Sudah lebih baik?” tanya Vikram.Viza sebenarnya ingin lanjut ngambek, tapi kenapa tak berkutik saat Vikram memberikan kehangatan begini?Viza akhirnya mengangguk.Vikram melepas pelukan. Dia membingkai wajah istrinya dengan kedua telapak tangan. Duh, wajah istrinya cantik sekali. Mulutnya itu lho… mungil sekali. Menggemaskan.“Ada masalah?” tanya Vikram.Viza menggeleng.Vikram tahu kalau Viza enggan bercerita,
“Ya sudah, aku naik taksi aja nanti. Gaji Mas Vikram yang aku pegang masih banyak kok. Bisa untuk naik taksi,” ucap Viza. “Aku masuk dulu, Mas.”“Tunggu!” Vikram meraih lengan Viza. “Ya, Mas?”“Apakah tidak ada kata-kata untukku saat berpisah begini?” tanya Vikram.Viza mengernyit bingung. Maksudnya kata-kata apa yang diminta Vikram?“Misalnya see you, I love you, selamat malam, atau apa saja?” ucap Vikram membuat Viza mengulum senyum.“Selamat malam!” Viza memilih kata yang aman. Kemudian berlalu pergi.Vikram tersenyum menatap punggung istrinya sampai hilang dari pandangan.Malam ini Viza menghabiskan waktu dua jam untuk jam kuliah. Sepanjang jam kuliah, ia malah teringat Vikram. Masih banyak pertanyaan mengenai suaminya yang belum terjawab. Dia harus bisa mencari jawabannya.Vikram memang misterius. Terlalu banyak yang disembunyikan. Bahkan malam ini pun Viza dibikin tercengang saat melihat suaminya sudah menunggu di dekat gerbang setelah jam kuliah selesai.Keberadaan Vikram menj
“Tuan Leo nggak ada di dalam rumah.” Viza tidak berbohong, sebab Leo sedang mencuci mobil di luar rumah.“Nggak usah tarik-tarik,” sungut Runa. “Mbak Viza itu cuma numpang di rumah besar ini, Mbak. Rumah ini milik Tuan Leo, jangan sombong! Hidup numpang pun gaya belagu berasa jadi majikan!”Viza tak menanggapi. Tatapannya lekat ke wajah adiknya yang tengah kesal itu. Ia tak mungkin ridha jika Leo menjalin hubungan dengan Runa. Viza sudah sangat mengenal Runa. Hidup Leo bisa apes jika sampai dekat dengan adiknya itu. Yang ada Viza hanya akan menanggung malu akibat tingkah laku adiknya.Runa melangkah menuruni teras. Ia menoleh saat mendengar suara kucuran air. Seketika matanya mebelalak melihat Leo sedang asik mencuci mobil.Dari jarak jauh, ia melihat Leo tengah berdendang menyanyikan lagu dangdut, tangan memegangi selang, mengarahkan air yang mengucur dari mulut selang ke mobil. Bok0ng digoyang-goyang, sesekali bersiul. “Aku lagi syantik, aku memanglah syantik. Syantik syantik ini
Beberapa minggu kemudian.“Bu, aku udah jadian sama Tuan Leo!” Runa girang bukan main. Sambil melompat-lompat di lantai, ia menceritakan semuanya kepada Mulan.“Waah… syukurlah. Terus terus?” Mulan tak kalah bersemangat. Sesekali ia meneguk air putih untuk menghilangkan dahaga, seharian ia bekerja jadi buruh tanam padi di pinggiran kota. Upah tiga puluh ribu.“Yaaa… pokoknya, Tuan Leo bilang bakalan ngawinin aku, Bu.” Runa membayangkan dirinya digandeng Leo, berjalan di atas permadani merah panjang, mengenakan gaun pengantin ala puteri Inggris, disiram kelopak bunga yang bertaburan di atas kepala, disaksikan oleh lautan manusia, kilatan kamera bertubi-tubi membidiknya.“Waow… jadi Tuan Leo beneran jatuh cinta sama kamu? Ini pasti nggak lepas dari kejadian pas kamu tabrakan di warung dan kalian jatuh berdua. Posisi kalian itu tentu bikin Tuan Leo sulit melupakannya.”“Ternyata pesonaku mampu meluluhkan hati seorang pria hebat kayak Tuan Leo. Ya ampun aku nggak nyangka banget.”“Si Viza
Viza mendorong meja mengikuti OB yang sudah lebih dulu mendorong meja lain. Runa menyusul, mendorong meja mengiringi langkah Viza.“Ternyata Mbak Viza pantes juga pakai seragam itu! Hi hiii…” Runa mengejek Viza.Yang diejek tak merespon.Viza terus mendorong meja tanpa sedikit pun menoleh ke arah Runa yang mengiringi langkahnya.“Di sini ternyata banyak yang membuli Mbak Viza ya? Mbak Viza itu sial makanya dimana-mana nggak disukai orang, mereka bahagia sekali setiap kali melihatmu menderita,” imbuh Runa.Tak ada tanggapan dari Viza. Buang-buang tenaga bila harus menanggapinya. Biarkan saja Runa terus mengoceh sampai mulut berbuih. Palingan bete sendiri karena dicuekin.“Mbak Viza boleh aja nggak mau bantuin aku untuk bisa menikah dengan Tuan Leo, tapi sebentar lagi Mbak Viza akan kaget saat aku benar-benar dinikahi olehnya. Percayalah, aku sebentar lagi akan menjadi istri Tuan Leo yang terhormat. Ibu sudah siapkan rencana hebat untuk membuat Tuan Leo bersimpuh dan memohon kepadaku,”
“Ada Tuhan yang mengatur hidupku. Bahkan perusahan ini juga ada dalam genggaman-Nya. Seenteng apa pun caraku mengurus perusahaan ini, jika Tuhan berkehendak untuk mensukseskannya, maka perusahaan ini akan semakin besar. Sebaliknya, segigih apa pun aku berusaha, jika Tuhan berkehendak lain, maka perusahaan ini juga akan runtuh.”Mones terdiam. Pria ini memang luar biasa. “Ini bagaimana? Sudah disusun semua?” Vikram menunjuk kertas di mejanya.Mones menatap kertas yang ditunjuk. Isinya berupa daftar susunan acara pesta besar perayaan atas pembukaan pabrik milik Vikram di Sumatera, lengkap dengan anggaran yang tersedia. Sudah ditanda tangani. Pesta diselenggarakan hari ini di sebuah indoor kantor yang luasnya mencapai hampir setengah hektar, mampu menampung lima ratus orang lebih. Sayap kesuksesan Vikram melebar. Dia pemuda yang gigih dan cerdas. Dalam waktu sekejap, mampu mengubah keadaan dengan mudah.“Aku salut padamu, baru kemarin aku melihatmu seperti gelandangan, tapi sekarang s
“Kau lihat tadi? Mereka menuntut pertanggung jawabanmu!” Vikram menatap Leo datar.Yang ditatap menunduk, mukanya memucat pias.“Kesalahanmu fatal, Leo. Fatal! Kehamilan Runa membuatku jadi serba salah dalam mengambil tindakan!” Vikram meneguk minuman kaleng. Ia berdiri tak jauh dari jendela kamar Leo. Kini tatapannya tertuju ke luar. Rintik gerimis mulai turun di luar sana.Mungkin Runa dan orang tuanya kehujanan. Peduli amat. Vikram tak mau tahu soal itu.Leo masih menunduk, tak berani angkat suara.“Aku menginginkan kehancuran Johan dan keluarganya, aku ingin melihat mereka tersungkur, bahkan terseok, sampai hancur, tapi bukan untuk kehancuran bayi di kandungan Runa. Bayi itu suci, tidak bersalah. Maka tidak seharusnya menderita atas pebuatan orang tua jahanam yang menyengsarakanya. Kasihan sekali dia harus terlahir dari hubungan gelap kalian!” lanjut Vikram jengah.“Saya harus apa?” Leo berkata lirih.“Aku sebenarnya senang melihat Runa menderita saat tidak ada lelaki yang menikah
“Pantas sekali keturunanmu model begini. Sifatnya pasti menurun dari orang tuanya. Tidak sopan!” Fairuz ketus.“Runa, diam! Kita ke sini untuk hal penting, kau jangan malah mengacaukan!” ucap Johan merasa tak nyaman pada Fairuz.“Loh, mereka itu di sini cuma numpang hidup, masak kamu malah patuh sama mereka? Kita nggak ada urusan sama supir dan perempuan ini!” gerutu Mulan menatap sinis pada Fairuz. “Percuma kalian kemari! Bawa pulang aib memalukan itu dan jangan pernah kembali! Kalian akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih memalukan!” ucap Fairuz dengan suara bergetar hebat. Dia ingin sekali menjambak Mulan yang datang tanpa merasa bersalah, juga Johan yang plintat plintut, serta Runa yang angkuh dan tak tahu diri. Tapi tenaganya tak ada lagi, tenaganya terkuras oleh rasa panas yang membara dalam dada.“Kau sudah bertemu dengan putrimu. Itu maumu kan? Maka, kupikir masalah sudah selesai,” ucap Johan canggung, merasa tak nyaman.Enteng sekali lidah Johan berkata begitu. Lantas, se
“Ada apa ini? Aku tidak pernah mengijinkan orang asing masuk ke rumah ini!” tegas Vikram. Meski tatapannya tajam penuh kebencian, namun ia tetap terlihat tenang dengan kedua tangan yang masuk ke kantong celana, dagu terangkat.Dia lupa kalau saat ini dia sedang menyamar menjadi supir. Seharusnnya bersikap seolah rumah itu bukanlah rumahnya. Tapi ia malah keceplosan, bersikap kalau ia adalah pemilik rumah.“Tidak usah kau bicara! Ini urusanku dengan Tuan Leo. Lagi pula apa hakmu atas ijin di rumah ini? Ini adalah rumah milik Tuan Leo?” sungut Johan.Gara-gara emosi, dia sampai berani marah-marah pada Vikram. Dia lupa kalau pukulan Vikram mampu memberikan dua pilihan pada korbannya. Kalau tidak rumah sakit, ya kuburan. Vikram tetap tenang. Kemarahan Johan tidak memberikan efek apa pun terhadapnya. Bahkan dia malah lanjut makan sosis di tengah keadaan genting begini.Beberapa orang keamanan muncul, berlari cepat mendekat pada Johan hendak mengamankan si biang keributan.“Sudah! Biarkan
“Tuan Leo…!” “Aku mengantuk dan harus beristirahat!” Leo memutus ucapan Viza yang berpapasan dengannya di ruang tamu. Leo ingat pesan Vikram yang memintanya supaya menghindari Viza, jangan bicara apa pun, apa lagi membahas Runa. Leo mematuhi bosnya, tak mau sampai slah bicara dan membuat Vikram makin ngamuk. Viza sebenarnya ingin bicara soal Runa, tapi ia tak berkutik melihat Leo melenggang naik ke lantai atas meninggalkannya begitu saja. Viza tak berani bertindak lebih atau memaksa Leo untuk bicara lebih banyak, takut dianggap ngelunjak. Sudah menumpang hidup, masih berani mengganggu tuan rumah.Viza melangkah lemas menuju ke ruang depan. Apakah Runa berjata benar bahwa dia sungguh-sungguh hamil? Lalu bagaimana caranya supaya Leo mau bertanggung jawab? Tapi… ah kenapa Viza harus ikutan berpikir mengenai hal itu? Bukankah Runa adalah sosok yang selalu kejam terhadapnya?Viza berhenti saat berpapasan dengan Vikram. Duh, rumah ini padahal luas. Tapi kenapa sih ketemu Vikram terus?
Viza menghela napas sepeninggalan mobil Vikram. Entah kenapa ia merasa Vikram sedang mempermainkan hidupnya. Ada banyak hal yang disembunyikan Vikram dan ia tak tahu itu apa.Bahkan ia merasa kalau kebaikan Vikram terhadapnya bukan semata-mata karena rasa sayang, tapi ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu. Vikram menyayangi Viza hanya demi menyelesaikan misi lain. Langkah Viza terus gontai menyusuri trotoar. Peluh mulai membasuh tubuh. Wajah pun basah oleh siraman peluh. “Mbak Viza!”Suara ini lagi, Viza sangat mengenalnya meski tanpa harus menoleh pada si empunya suara dari arah belakang. “Mbak!” Runa berlari mengejar, lalu berdiri di hadapan Viza. Napasnya ngos-ngosan. Adiknya itu tidak lagi mengenakan seragam office girl. Sepertinya dia malu mengenakannya saat di luar kantor sehingga harus melepas dan menyimpan di loker. “Dipanggil dari tadi nggak dengar apa?” ketus Runa.“Aku nggak ingin berurusan denganmu, Runa. Kamu selalu bikin masalah sama aku. Setelah tadi kamu s
“Jangan sentuh Viza!” tegas Vikram dingin, suaranya datar sekali.Sontak Mawar membelalak hebat. “Kamu itu supir ya! Beraninya menentangku!” Wanita itu menaikkan dagunya, angkuh.“Jangan kaitkan status sosial. Itu tidak ada sangkut pautnya!” Vikram datar sekali.“Hei, kamu nggak tau permasalahannya. Jangan asal main bela orang sembarangan. Perempuan sialan ini sudah merusak dokumenku! Lihat ini!” Mawar menunjukkan kertas yang basah dengan emosi, urat wajahnya sampai menegang. “Cara bicaramu menunjukkan kualitasmu!” Vikram melenggang pergi menggandeng Viza, tak peduli Mawar yang terus berteriak memaki mengucapkan kata-kata umpatan. Segala jenis nama-nama kebun binatang diserukan.Mawar emosi sekali akibat dokumen miliknya yang rusak.Vikram membawa Viza menjauh, lalu melepaskan tangan itu begitu saja. Dia berjalan menjauh tanpa mengatakan apa pun.Viza menatap punggung pria itu hingga menjauh. “Jangan diam kalau dibuli!” seru Vikram sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Bahkan
Ternyata benar apa kata orang. Dunia magang itu keras. Akan ada banyak rintangan dan tak luput dari pembulian. Ini yang perludigaris bawahi. Jadi mesti kuatkan mental jika ingin lulus.Memang tidak semua, tapi di sini salah satunya. Melihat tatapan seram dari para senior saja sudah cukup membuat Viza memahami situasi, bahwa ia masuk di lingkungan yang tak sehat. Harus kuat mental.Seluruh staf disibukkan dengan pekerjaan. Viza memulai pekerjaan dengan sangat buruk. Dugaannya akan mendapatkan pembulian tidak meleset.Dua wanita yang menjadi pembimbingnya itu memperlakukannya dengan semena-mena. Menghardik, membentak, menyuruh-nyuruh, memaki dan menghujat. Viza harus kebal, berusaha menebalkan kuping meski rasanya kesal sekali. Dalam hati mendoakan semoga para manusia zalim ini akan mendapatkan balasan setimpal.“Hei, curut busuk! Antar tuh dokumen ke ruangan personalia!” titah Mawar menunjuk dokumen.Viza mematuhi, ia mengambil dokumen yang ditunjuk. “Ruangan personalia dimana, Kak?”