Ayah menepikan mobil di depan rumah sakit ibu dan anak, lalu menyuruhku beserta Bunda turun.
Jujur, aku sangat takut jika hasil pemeriksaan di rumah sakit ini juga sama seperti saat aku cek kandungan di klinik bidan Hapsari.
Bismillah...
Semoga saja hasilnya berbeda, sebab aku merasa tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti yang keluarga Mas Azis tuduhkan.
"Nggak usah takut, Ran. Ada Bunda di samping kamu." Wanita berhijab panjang menjuntai itu mengusap tanganku, seolah mengerti kegundahan yang sedang mendera hati sang putri.
Aku mengangguk yakin.
Setelah mengisi data pasien, memeriksa tekanan darah serta menimbang berat badan. Aku duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan kepala yang terasa berat di pundak Bunda. Hatiku mencelos melihat para ibu hamil yang terlihat begitu disayangkan oleh suami-suami mereka. Tidak sepertiku yang malah dibuang dalam keadaan mengandung seperti ini
Kuatkan hati hamba-Mu ini, ya Allah.
"Ran, nama kamu dipanggil. Ayo kita masuk!" ucap Bunda menarikku dari lamunan.
"I–iya, Bun!" jawabku tergagap, merasa ragu memasuki ruangan sang dokter.
Seorang dokter berhijab ungu tersenyum menyapa kami, menyuruhku berbaring di atas brankar setelah memeriksa data pasien yang disodorkan oleh asistennya.
Sebenarnya aku agak sedikit risih saat asisten dokter menyingkap gamisku ke atas, menuangkan gel pelumas di perut bagian bawahku dan tidak lama setelahnya, dokter menempelkan transduser, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan sambil menatap layar LCD yang ada di depannya.
"Sudah terlihat kantung janin dan embrio di dalamnya ya, Bun. Ukurannya baru tujuh milimeter, karena janinnya masih berusia sekitar lima mingguan," terang dokter berwajah cantik itu membuatku bernafas lega.
Tanpa terasa dua bulir air bening meluncur begitu saja dari kedua sudut netraku, ketika dokter bernama Kayla Afrizkah, Sp.OG itu memperbesar gambar calon buah hatiku. Aku sungguh terharu karena Allah telah menunjukkan kebenaran, bahwa aku bukanlah seorang pezina.
***
Sepulang dari rumah sakit, Ayah membawaku ke rumah Mas Azis, ingin menunjukkan hasil USG yang telah kami lakukan, supaya Ibu tidak terus mengecapku wanita murahan. Ayah sangat tidak terima dengan tuduhan itu. Dia begitu marah, apalagi sekarang para tetangga sudah mulai membicarakan masalah kehamilanku ini. Pasti sebentar lagi mereka memojokkan aku karena termakan ucapan Ibu.
Menepikan mobil di depan rumah Ibu, mengetuk pintu pagar dan tidak lama kemudian Fika–adik iparku muncul sambil melipat tangan di dada serta memasang wajah angkuh.
"Mana Ibu kamu?!" tanya Ayah sedikit membentak.
"Ada, di dalam!" jawab perempuan berpakaian kurang bahan itu seraya membuang muka. Tidak sopan.
Tanpa mengucap salam atau permisi, Ayah menerobos masuk ke dalam lalu melemparkan foto hasil USG tersebut di depan Ibu yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu.
"Silahkan Mba Sulis lihat hasilnya. Anak saya itu baru hamil lima minggu, bukan sepuluh minggu!" sentak lelaki yang selalu memberiku limpahan kasih sayang itu. Wajah Ayah terlihat memerah padam menahan kesal.
"Halah, palingan juga Mas Zubair sudah memanipulasi hasilnya. Saya sudah tidak percaya lagi sama Mas Zubair dan anaknya Mas yang sok alim itu. Hati saya sudah terlanjur sakit, merasa ditipu oleh kalian semua. Sudahlah, sekarang bawa pulang perempuan nggak tahu malu itu. Sebentar lagi anak saya pulang!" hardik Ibu, lagi-lagi mencemoohku di depan Ayah dan Bunda. Sakit, sungguh nyeri seperti sedang dicacah-cacah hati ini.
Ya Allah, kuatkanlah hambamu untuk menghadapi semua masalah. Aku yakin dibalik semua ini, Sang Maha Rahim sedang menyiapkan skenario indah untukku. Sebab setiap kali ada hujan badai menerpa, pasti akan ada pelangi nan indah setelahnya.
Brak!!
Berjingkat kaget, ketika Ayah menggebrak meja dengan begitu keras.
"Jaga bicaramu, Mbak Sulis. Apa Mbak lupa kalau Mbak juga masih punya anak gadis. Jangan sampai Allah murka dan menegur Mbak dengan cara yang sama persis seperti yang sedang anak saya alami. Semoga saja Allah mengampuni dosa-dosa Mbak dan tidak membalas semua kelakuan Mbak terhadap anak saya!" sungut Ayah sambil menunjuk wajah Ibu yang berdiri angkuh di hadapan kami. Wanita dengan jambul tinggi menjulang itu hanya tersenyum, menatap mencemooh diriku sambil sesekali melirik Ayah.
"Saya itu wanita baik-baik, Om Zubair. Saya bukan wanita gampangan seperti Rania. Biar kata pakaian saya terbuka, tapi saya masih bisa jaga diri!" timpal Fika membusungkan dada, merasa bangga dengan pakaian yang dia kenakan.
Astaghfirullah...
Sungguh sulit sekali mereka diajak bicara baik-baik. Semuanya mudah terbakar emosi. Pikiran seluruh keluarga Mas Azis teramat kolot, padahal mereka dari keluarga berpendidikan tinggi.
"Ayo, Rania, kita pulang. Ayah tidak mau lama-lama berada di tempat ini. Bisa naik tensi darah Ayah menghadapi orang-orang yang otaknya nggak pernah dipake!" Ayah menarik tanganku kemudian membawaku kembali masuk ke mobil, melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah bidan Hapsari yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Ibu.
Wajah Ayah kian memerah ketika memarkirkan mobil di depan klinik bidan tersebut. Semoga saja pria berkopiah putih itu tidak terbawa emosi dan memaki bidan Hapsari, karena memang dia tidak terlibat dengan masalahku.
"Eh, Pak haji dan Bu hajah. Mari, silahkan masuk!" Sambut bidan berturban itu ramah, mempersilahkan kami masuk sambil melengkungkan bibir.
Tangan Ayah tidak lepas dariku. Laki-laki berusia lebih dari setengah abad tersebut membawaku masuk, memintaku duduk di kursi tunggu pasien lalu menyuruh bidan Hapsari memanggil asistennya.
"Sebenarnya ada apa, Pak Haji?" Bidan Hapsari menatap heran wajah Ayah.
"Gara-gara anak buah Ibu, rumah tangga anak saya jadi berantakan. Dia diusir dari rumah Sulis dengan cara tidak terhormat karena dituduh berzina oleh mertua dan suaminya. Semuanya gara-gara bocah itu!!" Ayah menujuk wajah bidan Dona yang sedang duduk di pojokan, tepat di samping bosnya.
"Maksud Pak Haji? Maaf, saya tidak tahu permasalahan ini. Mungkin ada salah faham antara asisten saya dan juga Mbak Rania!" sanggah bidan berwajah cantik meski usianya sudah tidak lagi muda itu.
"Dia bilang ke keluarganya Azis kalau anak saya sudah hamil sepuluh minggu, padahal, anak saya baru menikah selama enam minggu!" rutuk Ayah belum bisa meredam emosi.
"Apa benar, Dona?" tanya bu bidan seraya menatap perempuan berambut sebahu tersebut.
"Iya, Bu. Kan Mbak Rania terakhir menstruasi tanggal tiga Agustus. Sebulan sebelum dia dan Mas Azis menikah. Jadi, menurut perhitungan kita 'kan memang sudah memasuki sepuluh minggu. Terus, salah saya di mana ya?" Dona memindai wajahku dengan wajah datar, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Benar Pak, Bu, Mbak Rania. Kalau orang hamil itu dihitung dari hari petama haid terakhir. Jadi wajar kalau bidan Dona bilang kalau Mbak Rania sudah hamil sepuluh minggu. Untuk lebih tepatnya, Ibu dan Bapak segera mengajak Mbak Rania ke dokter spesialis kandungan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi." terang bidan Hapsari panjang lebar, dengan intonasi sangat lembut serta berwibawa.
"Saya faham, Bu. Istri saya juga sudah memeberi tahu saya tentang masalah itu. Saya juga sudah mengecek kandungan anak saya ke dokter kandungan. Yang ingin saya permasalahahkan di sini bukan masalah itu. Tapi masalah tuduhan si bidan abal-abal ini yang sudah menuduh anak saya sudah berzina!" Ayah beranjak dari duduknya, kembali menunjuk wajah si Dona membuat diri ini sedikit khawatir kalau Ayah akan lepas kendali dan berbuat kasar kepada asisten bidan Hapsari.
"Saya tidak pernah menuduh Mbak Rania berzina loh, Pak. Saya memeriksa dia sesuai prosedur!" elak Dona. Aku lihat wajah perempuan yang mungkin seumuran denganku itu sudah sangat ketakutan.
"Mbak memang tidak menuduh saya secara langsung. Tapi, Mbak bilang ke mertua dan suami saya kalau saya sudah melakukan hubungan badan sebelum menikah. Apa Mbak lupa dengan kata-kata itu?!" Aku ikut angkat bicara, tidak mau bidan Dona memenangkan kasus ini. Dia harus mendapat ganjaran atas apa yang sudah dia ucapkan, supaya nanti, tidak ada lagi korban kecerobohannya.
"Saya cuma bercanda loh, Mbak. Tidak usah diambil hati. Lagian, kalau Mbak tidak merasa melakukannya, kenapa Mbak musti marah!" sahut dia membuat semua orang yang ada langsung geleng-geleng kepala.
"Astaghfirullah, Dona. Bercanda kamu itu tidak lucu sama sekali. Saya pikir kamu bisa profesional walaupun masih magang. Ternyata kamu belum layak menjadi seorang bidan. Saya akan mengembalikan kamu ke yayasan supaya mereka menindaklanjuti kasus ini. Saya tidak mau nama baik saya tercemar gara-gara keteledoran kamu!" sentak bidan Hapsari, mulai ikut emosi.
"Saya juga akan menuntut dia karena kasus pencemaran nama baik. Saya tidak terima anak saya dihina sama orang-orang, dituding telah berzina bahkan sampai ditalak oleh suaminya!" Ayah menimpali.
Sedangkan Bunda, dia hanya diam saja tidak ikut angkat bicara. Namun, dari mimik wajah ayunya, aku dapat melihat rasa sakit yang teramat dalam di sana. Pasti Bunda juga sangat marah atas apa yang dikatakan oleh Dona.
***
Setelah urusan kami di klinik bidan Hapsari selesai, gegas Ayah mengajakku pulang, karena wajah ini sudah kian memucat dan kepala berputar seperti gasing. Beberapa kali aku membekap mulut, menahan hasrat ingin muntah yang terus saja mendesak perut. Apa semua orang hamil seperti ini?
Mobil yang aku tumpangi menepi di depan pagar rumah. Ayah sengaja menurunkan aku dan Bunda di halaman, karena dia hendak pergi ke kantor polisi untuk melaporkan asisten bidan Hapsari. Ayah memang orangnya sangat keras kepala dan tidak bisa dicegah jika sudah menginginkan sesuatu.
"Duh, kasihan ya si Rania. Baru nikah enam minggu sudah dikembalikan sama suaminya. Padahal kelihatannya dia itu alim banget loh, tapi ternyata, kata Bu Sulis dia sudah hamil duluan!" Bunda menarikku masuk tanpa memperdulikan bisikan sumbangan dari tetangga. Biar saja mereka berkata apa, sebab Allah akan menunjukkan kebenarannya. Aku yakin itu.
"Rania!" Aku dan Bunda menoleh secara serempak ketika mendengar Mas Azis memanggil namaku.
Ada apa lagi?
Belum puaskah dia menyakiti hatiku?
"Ayo ikut denganku, Ran!" Dia menatap netraku. Ada rindu samar terlihat di dalam sana. Apa Mas Azis akan merujukku?
"Ikut ke mana, Mas?" tanyaku sambil menundukkan pandangan, tidak mau terpesona dengan ketampanan wajah Mas Azis.Bunda duduk di teras, membiarkan kami bicara berdua, tidak mau mencampuri masalah rumah tangga anaknya."Ke dokter kandungan, Ran. Aku penasaran, ingin tahu apakah kamu benar-benar hamil setelah menikah denganku, ataukah...." Dia menggantung kalimat, akan tetapi aku faham dengan maksud perkataannya."Tidak perlu, Mas. Toh, kamu sudah tidak percaya sama aku. Kamu sudah tidak ada urusan lagi sama aku dan calon bayi aku. Kamu tidak usah repot-repot mengeluarkan uang untuk kami!" tolakku kesal."Ran, ayolah. Kamu jangan keras kepala. Aku masih suami kamu, loh. Jadi kamu harus menuruti ucapanku." Mas Azis menggengam jemariku."Kamu sudah mentalakku, Mas. Kamu juga sudah mengusir aku dari rumah. Kalau kamu masih punya hati serta perasaan, silakan pergi dari rumah ini.
Sekilas aku masih mendengar suara kepanikan ayah serta Bunda. Merasa bahwa tubuh ini sedang digotong dan dibawa menjauh dari rumah. Mungkin kedua orang tuaku membawaku ke rumah sakit. Ya Allah. Lindungi aku dan juga janin yang ada di dalam perut. Jangan ambil dia. Calon bayi ini sumber kekuatanku, walaupun tidak diakui oleh Mas Azis. Beberapa menit setelah menempuh perjalanan, aku merasa tubuhku kembali diangkat, direbahkan diatas brankar karena aku yakin saat ini sudah berada di rumah sakit, sebab aku bisa mencium aroma khas obat-obatan. *** Pelan-pelan membuka mata, merasa ngilu di punggung tangan sebelah kanan karena ada jarum yang menancap di pembuluh darah vena, berserta selang yang terhubung dengan cairan intravena yang menggantung di standar infus. "Kamu sudah bangun, Ran?" Bunda mengulas senyum sembari membelai lembut kepalaku yang terbungkus hijab. Wajah perempuan berusia empat puluh lima tahun itu terlihat sendu. Matanya basah serta memerah. Bunda pasti merasa sedih me
Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari kedua sudut netra.Ya Illahi Rabbi. Ternyata Rania benar-benar mengandung anakku, dan sekarang Engkau telah mengambil kembali amanah yang telah Kau berikan kepadaku.Ampuni aku ya Allah....Masuk ke dalam mobil, duduk bersandar sambil menangis meratapi kepergian calon anakku. "Ran, maafin Mas. Maafkan suamimu ini karena sudah tidak percaya sama kamu!" Menangis tersedu sambil mencengkram erat kemudi. Semua ini salahku. Rania kehilangan bayinya karena keegoisanku. Aku lembek, tidak berani membantah Ibu meskipun tahu Rania tidak bersalah. Kenapa juga kemarin harus mempercayai ucapan Fika dan Mbak Zalfa. Ya Allah. Harusnya aku lebih percaya kepada istriku. Aku seorang kepala rumah tangga, yang mengatur serta memutuskan segalanya. Bukan diatur juga menuruti semua perkataan Ibu juga saudariku. Aku kembali keluar dari mobil. Mengetuk pintu pagar rumah Mbak Mela, menanyakan di mana Rania di rawat. "Wah, kurang tahu ya, Mas. Soaln
"Sudah, Azis. Sekarang lebih baik kamu pulang. Kamu urus saja Ibu kamu. Jangan urusi hidup putri saya lagi!" usir Ayah dengan wajah memerah menahan amarah."Ayah, saya mohon!" Terus saja mengiba."Azis. Jangan buat saya bertambah marah!" Wajah Ayah kian memerah, dengan rahang mengeras dan gigi menggertak.Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu lalu melangkah pergi meninggalkanku yang masih duduk terpekur di lantai depan rumahnya, tidak perduli dengan permohonan serta tangisanku. Mungkin hatinya sudah tertutup oleh rasa benci yang mengelusup ke dasar hatinya.Ponsel dalam genggamanku terus saja berdering. Mbak Zalfa memanggil. Aku mengabaikannya karena sedang merasa kesal kepada dia dan juga Ibu.Lunglai aku berjalan, masuk ke dalam mobil menyenderkan kepala sambil menangis.Ya Allah, Rania. Maafkan suamimu yang dulu tidak mau mempercayai kamu. J
Dua orang berseragam hitam-hitam keluar dari dalam rumah pria paruh baya itu dan menarik tubuh ini. Meninju perut dan rahangku hingga terasa nyeri hingga ke ulu hati."Jangan macam-macam sama bos saya!" ucap salah satu bodyguard lelaki tua tersebut.Lagi, dia mendaratkan tinju di perut hingga aku terbatuk dan hampir muntah."Bos saya sudah membayar Nona Fika mahal. Sudah booking perempuan itu untuk menemani dia selama satu minggu. Jadi, untuk saat ini Nona Fika masih menjadi haknya si bos. Kalau Anda mau berkencan dengan Nona Fika, Anda harus mengantri!"Booking?Apa selama ini adikku menjadi bookingan om-om?Ya Tuhan. Apa kata orang jika mereka tahu selama ini Rafika bekerja sebagai wanita penghibur.Sambil memegangi perut yang terasa sakit, kutarik Rafika masuk ke dalam mobil. Ibu harus tahu apa yang dilakukan oleh putri kesayangannya s
Mengetuk kamar Ibu, niat hati ingin menanyakan masalah uangku yang hilang. Bukannya menuduh Ibu, akan tetapi hanya dia yang biasa keluar masuk ke dalam kamarku."Bu!" Tok! Tok! Tok!Kuketuk sekali lagi. Namun, Ibu tidak juga menyahut. Apa iya jam segini dia sudah tidur? Sepertinya tidak mungkin. Sebab Ibu selalu tidur hingga larut malam. Pun dengan Mbak Zalfa. Mereka berdua selalu menonton acara televisi hingga tengah malam."Mbak Zalfa!" Menarik tangan kakakku ketika dia lewat dan seperti sengaja menghindar."Ada apa, Zis?" tanyanya dengan mimik aneh. Seperti maling ketahuan mencuri."Mbak lihat uang aku yang di laci nggak?" tanyaku tanpa basa-basi."Enggak. Mbak nggak tahu. Mbak juga nggak ngambil uang kamu yang sepuluh juta!"Alisku bertaut mendengar jawaban Mbak Zalfa. Dari mana dia tahu kalau uang yang hilang berjumlah se
Aku mengulas senyum menatap Rafika, walaupun gadis itu tidak membalas senyumanku. Tak apalah, sudah biasa dia cuek dan jutek. Apalagi sekarang, aku dan Mas Azis sedang memiliki masalah dan dia juga ikut menjadi pemicu retaknya rumah tangga kami."Sudah jangan diliatin terus. Habisin esnya. Setelah ini kita pulang." Kak Dimas mengusap lembut kepalaku, menarik hidung ini karena gemas. Sudah kebiasaan dia menarik-narik hidungku seperti itu.Ketika aku menoleh, Fika sepertinya sedang mengarahkan kamera kepadaku. Sebab, ada cahaya keperak-perakkan yang menyilaukan mata, seperti blitz kamera yang lupa dia matikan. Biarlah. Mungkin dia sengaja mengambil gambarku saat berdua dengan Kak Dimas. Dia pikir aku selingkuh, mungkin. Sebab ketika aku menikah, Kak Dimas tidak bisa menghadiri acaraku, karena saat itu dia masih berada di luar kota menjalankan tugas dari kantornya dan tidak bisa izin walaupun hanya sehari.Rafika beranjak d
"Nglamun terus!" Hamzah menepuk pelan pundakku, namun mampu membuat diri ini berjengit kagetAh, Rania. Gara-gara terus memikirkan kamu jadi sering tidak fokus. Banyak masalah yang tiba-tiba mendera membuat hidup ini tidak tenang."Mobil elo kayanya nggak bisa kelar hari ini. Mending elo tinggal saja, Zis. Elo pulang bawa motor gue. Soalnya kalau elo nunggu di sini takut kelamaan!" ucap pria bertubuh tegap itu memberi usul, dan segera kusetujui."Ya sudah. Kalau sudah kelar elo kasih kabar. Teleponnya tapi jangan ke nomer gue, ke nomer telepon rumah saja. Hape gue mokat.""Siap!" Dia mengacungkan jempolnya yang sudah berlumuran oli.Untung saja dulu setelah lulus sekolah menengah atas aku langsung kuliah. Tidak seperti Hamzah yang langsung terjun ke dunia otomotif, menjadi montir, membuka bengkel kecil-kecilan yang pendapatannya tidak seberapa.Se
“Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas
“Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia
“Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m
Beberapa bulan kemudian.Memantas diri di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang terlihat cantik memesona dengan balutan hijab putih serta kebaya buatan Tante Nafsiah. Rasanya bagaikan mimpi karena hari ini aku akan resmi menyandang status nyonya Hamzah. Semoga saja rumah tangga yang kami bina langgeng sampai maut menjemput. Aamiin.Melalui pengeras suara, terdengar pembawa acara mulai membacakan susunan acara. Suara sang Qori terdengar begitu menyejukkan hati, membuat mata ini tanpa terasa sudah menitikkan air hangat nan asin saking merdunya.Hingga tiba waktunya yang paling ditunggu-tunggu yaitu ijab qobul, dimana Kak Hamzah akan mengambil alih tanggung jawab serta dosa-dosaku, mengucap janji suci dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi juga kerabat serta tetangga.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Humaira binti Haji Zubair dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Kak Hamzah dengan lantang tanpa hambatan, lalu para hadirin ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Alhamd
“Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r
Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k
Setelah berbasa-basi sebentar dan Pak ustaz yang dipinta Om Beni sebagai perwakilan keluarganya menyampaikan maksud tujuan mereka datang dan Ayah menerima lamaran Kak Hamzah, Tante Nafsiah segera menyematkan cincin berlian di jari manisku, mendaratkan kecupan di puncak kepala serta menghujani pipi ini ciuman penuh dengan kasih sayang.“Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu benar-benar akan menjadi menantu tante. Terima kasih sudah bersedia menerima pinangan putra semata wayang Tante ya, Ran,” ucap perempuan bermata teduh dengan aura surga itu dengan intonasi sangat lembut.“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Tante dan Om merestui hubungan kami berdua,” jawabku sambil menoleh sekilas ke arah Kak Hamzah yang ternyata sedang memperhatikan kami, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, menghadirkan debar-debar aneh di dalam dada.“Jangan dipandangi terus, Zah. Belum halal. Sabar!” celetuk Om Beni membuat pria tampan itu terlihat salah tingkah.Pun dengan diriku yang segera
Ting!Ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Kak Hamzah.[Assalamualaikum, calon istriku. Sudah tidur? Lusa Ummi dan Abi rencananya akan datang ke rumah untuk melamar kamu secara resmi. Kamu siap-siap ya. Kamu juga jangan khawatir kalau aku akan memberi harapan palsu sama kamu, sebab aku tidak mau menambah luka di hati kamu. Kakak justru akan menjadi penyembuh luka kamu, Ran. Selamat malam.]Aku mengulum senyum membaca pesan dari Kak Hamzah. Rasanya sudah seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Padahal ini lamaran keduaku, setelah dulu menerima lamaran dari Mas Azis dan menjalani pernikahan selama enam pekan.Secepat inikah perasaan untuk Kak Hamzah timbul di hati, ataukah ini hanya cinta sesaat saja? Apakah Tuhan akan kembali menakdirkan aku menjadi janda setelah menikah dengan laki-laki itu?Tidak! Aku harus menepis jauh-jauh segala prasangka buruk terhadap Kak Hamzah. Dia seorang laki-laki yang begitu baik serta perhatian. Dia tidak akan mungkin menorehkan luka seperti m
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala