"Mas, aku hamil!" ucap Rania dengan wajah berbinar sambil menyodorkan benda pipih panjang bergaris dua.
"Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah," sahutku seraya mengelus perut datarnya kemudian menciuminya sambil tidak henti-hentinya mengucap hamdalah.
Namaku Azis Syafi'i. Aku dan Rania sudah menikah sekitar enam mingguan yang lalu.
Kabar kehamilan Rania istriku, menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Sebab, kami memang sengaja tidak menunda-nunda memiliki momongan. Aku ingin cepat memilik anak sebagai penguat ikatan suci pernikahan kami.
***
"Rania Hamil?" Ibu mengerutkan dahi ketika kami mengabarinya.
"Iya, Bu. Sebentar lagi mimpi Ibu untuk menimang cucu akan segera terkabul!" Aku mengulas senyum sambil menggenggam jemari Rania.
"Kok cepet banget, Zis? Mbakmu saja yang sudah menikah selama satu tahun belum ada tanda-tanda kalau dia sudah hamil loh!"
"Namanya juga rezeki, Bu."
"Iya juga sih!" Ibu menyungginkan bibir dan ikut mengusap perut datar istriku. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Aku merasa sangat bersyukur karena Allah langsung memberi amanah itu kepadaku.
Malam harinya, aku beserta Ibu membawa Rania ke rumah bidan Hapsari ingin mengecek kandungannya. Binar bahagia terpancar jelas di wajah Ibu, sebab dia memang sudah lama ingin memiliki cucu. Ibu terlihat sangat bersemangat ketika memasuki tempat praktek bidan langganannya dulu.
"Selamat malam, Ibu, Bapak, ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang bidan jaga yang aku taksir masih berusia sekitar dua puluh dua tahun itu.
"Saya mau memeriksakan kandungan mantu saya, Mbak. Bidan Hapsarinya ada?" sahut Ibu dengan semangat empat lima.
"Bu Hapsarinya lagi pergi, Bu. Mungkin dia kembali nanti malam. Sama saya juga sama saja kok, Bu." Wanita berambut sebahu itu kembali mengulas senyum kepada kami.
Ibu mangangguk setuju dan menyuruh Rania duduk di kursi untuk diperiksa tekanan darahnya.
"Kapan terakhir datang bulan, Bu?" tanya sang bidan setelah mengecek tekanan darah istriku.
"Tanggal tiga Agustus, Mbak!" jawab Rania dengan intonasi sangat lembut.
"Haid terakhirnya tanggal berapa, Bu?" Lagi, bidan bermata bulat itu menanyakan kapan terakhir istriku menstruasi.
"Sekitar tanggal sepuluhan, Mbak."
Bidan yang memperkenalkan diri bernama Dona itu mengambil buku kesehatan ibu dan anak, mencatat semua yang dia tanyakan lalu menyuruh istriku untuk berbaring di atas tempat tidur yang tersedia.
"Sudah jalan sepuluh minggu ya, Bu," ucapnya lagi, membuat seketika jantung ini seperti berhenti berdetak.
Sepuluh minggu?
Bagaimana bisa?
Sedang aku saja baru menikah dengan Rania enam minggu yang lalu.
Aku dan Ibu saling memandang, lalu tatapan kami berpindah ke wajah Rania yang sudah terlihat pias. Apa selama ini dia menipuku?
"Mbak, bagaimana bisa saya hamil sepuluh minggu. Semantara saya dan suami saya baru menikah selama enam minggu?!" Rania akhirnya angkat bicara.
"Kalau sebelum menikah sudah melakukan!" sahut si bidan bagai ribuan peluru yang menghujam tepat di jantung.
Kedua bola mata Rania sudah dipenuhi kaca-kaca. Wajah wanita yang teramat aku cintai itu terlihat pucat dengan mimik ketakutan. Aku tidak tahu kepada siapa harus percaya. Kepada bidan yang notabene sudah mahir menghitung kehamilan, ataukah kepada istriku sebab yang aku tahu saat malam pertama Rania masih suci dan aku yang pertama kali menyentuhnya.
Ya Allah. Cobaan apa ini?
"Ayo, Ziz. Kita pulang. Dari awal juga ibu sudah curiga kalau anak yang ada di dalam rahim Rania bukan benih kamu!" Ibu menarik kasar tanganku, membawaku keluar dari rumah bidan Hapsari.
"Mas, demi Allah. Aku tidak pernah melakukannya dengan laki-laki lain. Janin yang ada di perut aku itu anak kamu, Mas!" Rania menatatap mengiba ke arahku.
"Sudahlah, Rania. Kamu tidak usah bawa-bawa nama Allah. Lagian, mana ada maling ngaku!" sungut Ibu, menatap bengis wajah Rania yang sudah basah oleh air mata.
"Ayo, Azis. Ngapain kamu masih berdiri di sini. Kita pulang sekarang, dan tinggalkan Rania di tempat ini. Ibu tidak sudi mempunyai menantu pezina!"
"Bu, aku nggak pernah berzina, Bu. Demi Allah!" Lagi-lagi dia bersumpah atas nama Tuhan.
Aku hanya bisa diam tanpa mampu berkata apa-apa. Lidahku kelu. Hatiku juga teramat kecewa mendapati kenyataan, kalau ternyata istriku sudah mengandung sepuluh minggu.
Dengan perasaan gusar kutinggalkan Rania di rumah bidan langganan Ibu, walaupun sejujurnya aku merasa tidak tega meninggalkannya sendiri di sana.
Sepanjang perjalanan aku tidak bisa konsentrasi mengemudi karena terus memikirkan Rania. Ditambah lagi, Ibu terus saja mengomel tanpa henti, mengumpat serta menjelekkan istriku karena merasa sudah tertipu oleh sifat lugu wanita berusia dua puluh tiga tahun itu.
***
"Kenapa sih, Bu. Kok pulang dari bidan malah cemberut. Mana Rania?" tanya Mbak Zalfa ketika kami sampai di rumah.
"Ibu tinggal di rumah bidan!" jawab ibu kesal.
Aku yang sejak tadi terus memikirkan Rania, hanya bisa diam sebab bingung dengan keadaan kami saat ini. Aku masih yakin kalau Rania tidak pernah mengkhianatiku, akan tetapi buktinya dia sudah hamil sepuluh minggu.
Astaghfirullahaladzim....
"Kok ditinggal di rumah bidan, Bu?" timpal Fika adik bungsuku, yang sejak tadi terus saja sibuk dengan gawainya.
"Ibu kecewa dan kesal sama dia. Ternyata sebelum dia menikah dengan Azis, dia sudah hamil duluan. Pantas saja kedua orang tuanya terus saja mendesak Azis supaya cepat-cepat menikahi putrinya. Ternyata, dia lagi isi!" sungut Ibu muntab.
"Duh, kasihan banget kamu, Zis. Orang makan nangkanya, kamu yang dapat getahnya!" Mbak Zalfa menatap iba ke arahku.
"Sudahlah, Mba, Bu. Kan semuanya baru perkiraan. Besok aku akan membawa Rania ke dokter kandungan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi, supaya kita tahu berapa usia kandungan Rania sebenarnya. Aku yakin Rania tidak pernah mengkhianatiku!" Aku terus saja meremas jari jemariku, merasa takut kalau apa yang diperkirakan sang bidan ternyata benar.
"Kamu itu bagaimana, Zis. Sudah tahu istri kamu bukan wanita baik-baik, tapi masih saja kamu bela!" Ibu mencebik bibir.
"Wajar kalau aku membela dia, Bu. Rania itukan istri aku!"
"Tapi dia sudah mengkhianati kamu loh, Zis?!"
"Sepertinya ini cuma salah faham, Mbak. Demi Allah, saat kami melakukannya untuk yang pertama kali, Rania itu masih suci. Dia masih perawan!" belaku, sebab aku yang merasa mempertamainya.
"Memang buktinya apa, Zis?" Mbak Zalfa menatapku tajam.
"Bercak darah di seprai Rania, juga..." Menggantung kalimat, tidak mungkin membeberkan secara gamblang semua yang telah kami berdua lakukan di malam pertama.
"Mas Azis jangan terlalu bodoh, deh. Jaman sekarang ya, Mas. Banyak selaput dara palsu yang dijual di toko online. Bisa saja Mbak Rania menggunakan selaput dara palsu sebelum nyampur sama Mas!" sambung Fika lagi.
Aku menyipitkan mata mendengar ucapan si bungsu.
"Kalu nggak percaya, nih Mas lihat sendiri di e-commerce. Banyak tuh yang jual barang begituan!" Dia menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan beberapa toko yang memang menjual barang yang dia sebutkan.
Allahu Akbar...
Apa Rania benar-benar menipuku dengan cara seperti itu?
Tega sekali dia. Apa dia tidak tahu kalau aku sangat mencintainya, melebihi cintaku kepada nyawaku sendiri.
"Assalamualaikum!"
Semua mata tertuju ke arah sumber suara ketika mendengar seseorang mengucap salam. Rania berdiri diambang pintu dengan wajah penuh dengan peluh serta mata yang sudah basah oleh air mata.
Ingin rasanya aku menghambur memeluknya, mengusap butiran-butiran keringat yang ada di wajahnya dengan tanganku sendiri dan merengkuhnya.
Namun, bayangan Rania sedang melakukan perbuatan hina itu tiba-tiba menari di pelupuk mata, membuatku teramat jijik melihat wajah sok lugunya.
"Kamu masih berani pulang ke rumah, Rania?!" sambut Ibu dengan wajah memerah penuh amarah.
"Bu, Mas. Tolong percaya sama aku. Demi Allah, aku tidak pernah berzina dengan siapapun!" elaknya lagi, membuat Ibu beserta kedua saudara perempuanku bertambah marah kepadanya.
"Dih, aku nggak nyangka loh, Mbak. Ternyata Mbak Rania itu pembohong. Padahal dari segi tampilan, semua orang pasti tahunya Mbak wanita baik-baik. Ternyata...," cemooh Fika, menatap jijik ke arah Rania.
"Kamu itu perempuan loh, Fik. Apa kamu tidak takut kalau nanti kamu menikah dan diperlakukan seperti aku? Dituduh berzina, bahkan anak yang ada di dalam rahim kamu sampai tidak diakui suami sama mertua kamu!" sungut Rania sambil menyusut air mata dengan punggung tangan.
"Sudahlah, Rania. Nggak usah sumpah serapah. Fika putriku tidak mungkin melakukan hal memalukan seperti kamu!" Ibu menimpali sambil berkacak pinggang.
"Sekarang kamu ceraikan saja istri kamu ini, Azis. Di luaran sana masih banyak wanita yang pantas mendampingi kamu!" sentak Ibu membuatku semakin bingung.
Lagi. Aku hanya bisa diam. Kutarik Rania masuk ke dalam kamar, menyuruhnya istirahat karena malam kian beranjak larut.
"Mas, apa kamu mempercayaiku?" Perempuan berparas ayu itu melingkarkan tangan di pinggangku.
"Aku capek, Ran. Tolong jangan ganggu aku dulu!" jawabku sembari menyingkirkan tangannya.
Wanita yang sudah menjadi istriku selama enam minggu itu memutar badan, memeluk guling membelakangiku. Aku tahu saat ini dia sedang menangis, sebab aku lihat bahu Rania berguncang.
Ya Allah. Sebenarnya aku tidak tega melihat istriku menangis seperti itu. Namun entahlah, kali ini aku tidak berniat untuk merayunya, sebab perasaanku sedang kalut saat ini.
***
"Ran, Mas mau bicara serius sama kamu." Duduk di bibir ranjang, menatap wajah istriku yang sudah terlihat sembab serta kuyu.
"Ada apa, Mas?" tanya wanita itu sembari menatapaku dengan mimik ketakutan.
"Tolong jawab dengan jujur, siapa ayah janin yang sedang kamu kandung, Ran?" Menatap tajam manik hitamnya, ingin tahu sedalam mana cinta Rania terhadapku.
"Ya Allah, Mas. Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Dua bulir air bening mulai berlomba-lomba meluncur dari kedua sudut netranya, membentuk jejak lurus di pipi putih Rania.
"Kamu tinggal jawab saja, siapa ayah janin yang ada di rahim kamu. Kalau kamu jujur kepadaku, insya Allah aku akan menerima dia sebagai anakku!"
"Dia anak kamu, Mas. Anak kita!" Rania masih saja mengelak.
"Tapi kita baru menikah enam minggu, dan kamu sudah hamil dua setengah bulan. Wajar kan kalau aku curiga sama kamu!"
Plak!!
Panas perih menjalar di pipi, karena Rania begitu keras menamparku.
"Kamu berani menamparku, Ran?" Mengepalkan tangan, merasa geram kepada wanita yang sudah menanamkan cinta begitu dalam di hati.
"Rania Humaira binti haji Zubair. Mulai hari ini, aku jatuhkan talak untuk kamu. Aku akan mengembalikan kamu kepada kedua orang tuamu, karena kamu sudah berzina dan juga berani berbuat kasar kepadaku!" sentakku lepas kendali.
Perempuan dengan bulu mata lentik tersebut menatap nanar ke arahku, sambil menyapu air mata yang berduyun-duyun meluncur dari ujung netranya.
"Baiklah, Mas. Kalau itu mau kamu. Aku pastikan setelah ini, kamu akan menyesal karena sudah tidak mempercayai semua ucapanku. Berjanjilah, jika suatu saat terbukti bahwa anak yang aku kandungan adalah darah daging kamu, kamu tidak akan memintaku untuk kembali kepadamu, sebab aku sudah tidak sudi lagi mempunyai suami yang tidak mempercayai ucapan istrinya.
Terima kasih atas cinta dan luka yang telah kamu torehkan di hati. Aku pastikan, kamu tidak akan bisa melihat anakmu seumur hidup kamu. Aku akan pergi!" ucap Rania seraya menegakkan kepala, membereskan semua pakaiannya lalu keluar dari rumah dan pulang ke rumah orang tuanya.
POV Rania.Membuka lemari pakaian, mengeluarkan beberapa lembar baju yang aku punya dan memasukkannya ke dalam tas. Aku akan pergi dari rumah ini, sebab Mas Azis sudah menjatuhkan talak untukku. Meskipun aku tahu, jika seorang lelaki telah menjatuhkan talak satu kepada istrinya, sang istri belum diperbolehkan pulang ke rumah orang tuanya, sebab masih ada kesempatan untuk rujuk kembali.Tapi, untuk apa aku harus bertahan dengan laki-laki yang sudah tidak mempercayaiku, bahkan telah menuduhku telah berzina. Sungguh keji fitnah yang telah dia tuduhkan kepadaku."Aku pulang sekarang, Mas. Terima kasih sudah mau menjadi pendamping hidupku selama enam pekan!" pamitku seraya menahan air mata, agar tidak luruh di depan Mas Azis.Hening. Mas Azis menatap lurus ke tembok tanpa mau menoleh.Ya Allah. Sakit sekali melihat sikapnya saat ini. Terlalu hinakah aku di mata pria
"Astaghfirullahaladzim, Bunda!" pekikku melihat wanita yang telah melahirkanku jatuh pingsan.Mas Azis segera membopong tubuh Bunda, membawanya masuk ke dalam mobil dan mengangtarku pulang ke rumah."Loh, ada apa ini. Kenapa Bunda kamu pingsan?" tanya Ayah ketika kami sampai di rumah.Aku hanya bisa menelan ludah, tidak mampu menjawab pertanyaan Ayah. Aku sungguh takut karena pasti Ayah juga akan syok mendengar kabar kehamilanku yang sudah menginjak minggu ke sepuluh, disaat pernikahanku baru mulai memasuki minggu ke enam."Begini ya, Mas Zubair, tadi saya nggak sengaja ketemu sama Ambar dan Rania di jalan. Saya langsung menghampiri mereka dan meminta mahar anak saya dikembalikan. Eh, Ambar malah pingsan!" ucap Ibu tanpa basa-basi."Loh, kenapa Mbak Sulis meminta kami mengembalikan mahar yang sudah Nak Azis berikan. Bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang lelaki saat mempers
Ayah menepikan mobil di depan rumah sakit ibu dan anak, lalu menyuruhku beserta Bunda turun.Jujur, aku sangat takut jika hasil pemeriksaan di rumah sakit ini juga sama seperti saat aku cek kandungan di klinik bidan Hapsari.Bismillah...Semoga saja hasilnya berbeda, sebab aku merasa tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti yang keluarga Mas Azis tuduhkan."Nggak usah takut, Ran. Ada Bunda di samping kamu." Wanita berhijab panjang menjuntai itu mengusap tanganku, seolah mengerti kegundahan yang sedang mendera hati sang putri.Aku mengangguk yakin.Setelah mengisi data pasien, memeriksa tekanan darah serta menimbang berat badan. Aku duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan kepala yang terasa berat di pundak Bunda. Hatiku mencelos melihat para ibu hamil yang terlihat begitu disayangkan oleh suami-suami mereka. Tidak sepertiku yang malah dibuang dala
"Ikut ke mana, Mas?" tanyaku sambil menundukkan pandangan, tidak mau terpesona dengan ketampanan wajah Mas Azis.Bunda duduk di teras, membiarkan kami bicara berdua, tidak mau mencampuri masalah rumah tangga anaknya."Ke dokter kandungan, Ran. Aku penasaran, ingin tahu apakah kamu benar-benar hamil setelah menikah denganku, ataukah...." Dia menggantung kalimat, akan tetapi aku faham dengan maksud perkataannya."Tidak perlu, Mas. Toh, kamu sudah tidak percaya sama aku. Kamu sudah tidak ada urusan lagi sama aku dan calon bayi aku. Kamu tidak usah repot-repot mengeluarkan uang untuk kami!" tolakku kesal."Ran, ayolah. Kamu jangan keras kepala. Aku masih suami kamu, loh. Jadi kamu harus menuruti ucapanku." Mas Azis menggengam jemariku."Kamu sudah mentalakku, Mas. Kamu juga sudah mengusir aku dari rumah. Kalau kamu masih punya hati serta perasaan, silakan pergi dari rumah ini.
Sekilas aku masih mendengar suara kepanikan ayah serta Bunda. Merasa bahwa tubuh ini sedang digotong dan dibawa menjauh dari rumah. Mungkin kedua orang tuaku membawaku ke rumah sakit. Ya Allah. Lindungi aku dan juga janin yang ada di dalam perut. Jangan ambil dia. Calon bayi ini sumber kekuatanku, walaupun tidak diakui oleh Mas Azis. Beberapa menit setelah menempuh perjalanan, aku merasa tubuhku kembali diangkat, direbahkan diatas brankar karena aku yakin saat ini sudah berada di rumah sakit, sebab aku bisa mencium aroma khas obat-obatan. *** Pelan-pelan membuka mata, merasa ngilu di punggung tangan sebelah kanan karena ada jarum yang menancap di pembuluh darah vena, berserta selang yang terhubung dengan cairan intravena yang menggantung di standar infus. "Kamu sudah bangun, Ran?" Bunda mengulas senyum sembari membelai lembut kepalaku yang terbungkus hijab. Wajah perempuan berusia empat puluh lima tahun itu terlihat sendu. Matanya basah serta memerah. Bunda pasti merasa sedih me
Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari kedua sudut netra.Ya Illahi Rabbi. Ternyata Rania benar-benar mengandung anakku, dan sekarang Engkau telah mengambil kembali amanah yang telah Kau berikan kepadaku.Ampuni aku ya Allah....Masuk ke dalam mobil, duduk bersandar sambil menangis meratapi kepergian calon anakku. "Ran, maafin Mas. Maafkan suamimu ini karena sudah tidak percaya sama kamu!" Menangis tersedu sambil mencengkram erat kemudi. Semua ini salahku. Rania kehilangan bayinya karena keegoisanku. Aku lembek, tidak berani membantah Ibu meskipun tahu Rania tidak bersalah. Kenapa juga kemarin harus mempercayai ucapan Fika dan Mbak Zalfa. Ya Allah. Harusnya aku lebih percaya kepada istriku. Aku seorang kepala rumah tangga, yang mengatur serta memutuskan segalanya. Bukan diatur juga menuruti semua perkataan Ibu juga saudariku. Aku kembali keluar dari mobil. Mengetuk pintu pagar rumah Mbak Mela, menanyakan di mana Rania di rawat. "Wah, kurang tahu ya, Mas. Soaln
"Sudah, Azis. Sekarang lebih baik kamu pulang. Kamu urus saja Ibu kamu. Jangan urusi hidup putri saya lagi!" usir Ayah dengan wajah memerah menahan amarah."Ayah, saya mohon!" Terus saja mengiba."Azis. Jangan buat saya bertambah marah!" Wajah Ayah kian memerah, dengan rahang mengeras dan gigi menggertak.Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu lalu melangkah pergi meninggalkanku yang masih duduk terpekur di lantai depan rumahnya, tidak perduli dengan permohonan serta tangisanku. Mungkin hatinya sudah tertutup oleh rasa benci yang mengelusup ke dasar hatinya.Ponsel dalam genggamanku terus saja berdering. Mbak Zalfa memanggil. Aku mengabaikannya karena sedang merasa kesal kepada dia dan juga Ibu.Lunglai aku berjalan, masuk ke dalam mobil menyenderkan kepala sambil menangis.Ya Allah, Rania. Maafkan suamimu yang dulu tidak mau mempercayai kamu. J
Dua orang berseragam hitam-hitam keluar dari dalam rumah pria paruh baya itu dan menarik tubuh ini. Meninju perut dan rahangku hingga terasa nyeri hingga ke ulu hati."Jangan macam-macam sama bos saya!" ucap salah satu bodyguard lelaki tua tersebut.Lagi, dia mendaratkan tinju di perut hingga aku terbatuk dan hampir muntah."Bos saya sudah membayar Nona Fika mahal. Sudah booking perempuan itu untuk menemani dia selama satu minggu. Jadi, untuk saat ini Nona Fika masih menjadi haknya si bos. Kalau Anda mau berkencan dengan Nona Fika, Anda harus mengantri!"Booking?Apa selama ini adikku menjadi bookingan om-om?Ya Tuhan. Apa kata orang jika mereka tahu selama ini Rafika bekerja sebagai wanita penghibur.Sambil memegangi perut yang terasa sakit, kutarik Rafika masuk ke dalam mobil. Ibu harus tahu apa yang dilakukan oleh putri kesayangannya s
“Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas
“Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia
“Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m
Beberapa bulan kemudian.Memantas diri di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang terlihat cantik memesona dengan balutan hijab putih serta kebaya buatan Tante Nafsiah. Rasanya bagaikan mimpi karena hari ini aku akan resmi menyandang status nyonya Hamzah. Semoga saja rumah tangga yang kami bina langgeng sampai maut menjemput. Aamiin.Melalui pengeras suara, terdengar pembawa acara mulai membacakan susunan acara. Suara sang Qori terdengar begitu menyejukkan hati, membuat mata ini tanpa terasa sudah menitikkan air hangat nan asin saking merdunya.Hingga tiba waktunya yang paling ditunggu-tunggu yaitu ijab qobul, dimana Kak Hamzah akan mengambil alih tanggung jawab serta dosa-dosaku, mengucap janji suci dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi juga kerabat serta tetangga.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Humaira binti Haji Zubair dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Kak Hamzah dengan lantang tanpa hambatan, lalu para hadirin ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Alhamd
“Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r
Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k
Setelah berbasa-basi sebentar dan Pak ustaz yang dipinta Om Beni sebagai perwakilan keluarganya menyampaikan maksud tujuan mereka datang dan Ayah menerima lamaran Kak Hamzah, Tante Nafsiah segera menyematkan cincin berlian di jari manisku, mendaratkan kecupan di puncak kepala serta menghujani pipi ini ciuman penuh dengan kasih sayang.“Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu benar-benar akan menjadi menantu tante. Terima kasih sudah bersedia menerima pinangan putra semata wayang Tante ya, Ran,” ucap perempuan bermata teduh dengan aura surga itu dengan intonasi sangat lembut.“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Tante dan Om merestui hubungan kami berdua,” jawabku sambil menoleh sekilas ke arah Kak Hamzah yang ternyata sedang memperhatikan kami, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, menghadirkan debar-debar aneh di dalam dada.“Jangan dipandangi terus, Zah. Belum halal. Sabar!” celetuk Om Beni membuat pria tampan itu terlihat salah tingkah.Pun dengan diriku yang segera
Ting!Ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Kak Hamzah.[Assalamualaikum, calon istriku. Sudah tidur? Lusa Ummi dan Abi rencananya akan datang ke rumah untuk melamar kamu secara resmi. Kamu siap-siap ya. Kamu juga jangan khawatir kalau aku akan memberi harapan palsu sama kamu, sebab aku tidak mau menambah luka di hati kamu. Kakak justru akan menjadi penyembuh luka kamu, Ran. Selamat malam.]Aku mengulum senyum membaca pesan dari Kak Hamzah. Rasanya sudah seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Padahal ini lamaran keduaku, setelah dulu menerima lamaran dari Mas Azis dan menjalani pernikahan selama enam pekan.Secepat inikah perasaan untuk Kak Hamzah timbul di hati, ataukah ini hanya cinta sesaat saja? Apakah Tuhan akan kembali menakdirkan aku menjadi janda setelah menikah dengan laki-laki itu?Tidak! Aku harus menepis jauh-jauh segala prasangka buruk terhadap Kak Hamzah. Dia seorang laki-laki yang begitu baik serta perhatian. Dia tidak akan mungkin menorehkan luka seperti m
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala