Hari ini adalah pemeriksaan kedua wanita itu. Aku sengaja tidak turut serta ke rumah sakit. Bagiku, berdekatan lama-lama dengan wanita seperti mereka bisa membuat martabatku turun. Jadi, hanya Mas Azlan saja yang mengurus semuanya.Cukup lama aku menanti. Hingga lewat tengah hari, barulah mobil Azlan datang. Bergegas aku keluar rumah, datang menghampiri dia yang baru saja turun dari mobil."Gimana hasilnya, Mas?" tanyaku tidak sabaran ingin tahu hasil pemeriksaan kedua wanita itu."Kita bicara di dalam, Sayang. Mas haus dan laper, jadi mau makan dulu, ya."Aku mendengkus. Sungguh tidak asyik suamiku ini. Lagi kepo kepo-nya malah dengan santai meninggalkan aku dengan rasa penasaran tingkat dewa.Aku berharap, Flora yang terpilih. Entah kenapa, aku merasa kurang cocok dengan wanita yang satunya. Wanita itu tampak terlalu menggoda bagi Azlan, aura sensual itu begitu kuat. Sebagai seorang istri, tentu saja aku takut jika Azlan benar-benar tergoda.Setengah berlari, aku susul Azlan. "Mas m
Benar kata Azlan, kepergian kami ke Bali justru membuat hati ini semakin sakit. Aku harus mengantarkan suamiku ke kamar wanita lain, hanya demi menikmati malam pertama mereka.Jujur, aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka menikmati percintaan itu. Aku tidak mampu membayangkan bagaimana wanita itu mendesah keenakan, menikmati setiap sentuhan Azlan."Kamu yakin, El?" tanya Azlan saat aku hendak mengantarnya ke kamar Nara."Mas ... dari hati yang terdalam, aku memang belum bisa menerima semua ini. Tapi kalau aku tidak merelakan kamu dengan Nara, maka rumah tangga kita akan hancur. Saat ini aku berada di antara dua jurang, aku tidak memiliki pilihan lagi, Mas."Tangisku kembali pecah. Aku menangis tersedu di bahu Azlan, dia merengkuhku, memeluk dengan erat. Aku bisa merasakan bahwa dia pun sangat berat melakukan itu semua.Azlan memang laki-laki yang sangat berbeda. Kesetiaannya, rasa cintanya, kasih sayangnya, semua benar-benar telah teruji dan begitu besar padaku."Dengar, Elina.
Perginya Nara yang lebih dari tiga hari membuatku khawatir. Pasalnya, waktuku tersisa hanya tinggal dua bulan lagi. Rasanya tak akan mungkin terkejar jika aku terus mengulur waktu.Flora, dia juga terus menekanku dengan mengatakan bahwa kepergian Nara karena sikapku. Dia bilang, aku terlalu banyak membuang waktu.Seharian ini aku mengurung diri di kamar, mencoba merenungkan semua peristiwa yang terjadi. Kembali menimang apakah keputusanku sudah benar atau belum, hingga akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan rencana.Baiklah, jika permintaan wanita pengeretan dan tidak tahu diri itu mengharuskan aku merelakan berbagi suami. Aku tak ada pilihan. Hanya saja, aku tak ingin lepas kendali atas suamiku. Semua harus aku atur kembali, memilih strategi agar tetap aman dari insiden yang di luar perkiraan.Sore itu, aku putuskan untuk kembali ke Jakarta. Aku yakin, Nara dan Flora sudah bersekongkol untuk kembali ke Jakarta juga.Benar tebakanku, ternyata Nara sudah ada di Jakarta. Informasi itu
POV NaraSudah hampir tiga minggu sejak Azlan meninggalkan aku. Ya, waktu satu minggu telah berlalu dengan begitu cepat. Seperti apa kata Elina, aku dan Azlan hanya diberi waktu bulan madu selama satu minggu. Setelah itu, Azlan harus kembali ke rumah.Entah apa yang terjadi, sehingga Azlan hanya menuruti permintaan Elina. Hingga sekarang dia belum juga menemuiku. Terakhir chat, dia hanya menyampaikan jika dirinya dan Elina akan menunggu hingga tiga minggu sampai ada kepastian kabar kehamilanku.Drttt ... drtttt ....Ponselku bergetar, sebuah panggilan dari Azlan. Tanpa sadar aku tersenyum, dalam hati bersyukur akhirnya dia telepon."Hallo, Azlan," sapaku dengan suara riang.Namun, kebahagiaan itu seketika sirna ketika suara di seberang bukan suara Azlan. Melainkan suara Elina yang menyapa dengan begitu ramah. "Hai, Nara. Gimana kabarnya?" basa-basi yang basi menurutku, entah kenapa ada rasa kecewa yang menyelinap karena ternyata bukan Azlan."Baik," jawabku singkat."Nanti sore kamu
"Aku merindukanmu, Azlan." Kalimat itu yang meluncur begitu saja dari bibir ini.Kubenamkan wajah ke dada bidang lelaki itu, begitu masyuk. Entah sejak kapan aku begitu menyukai aroma tubuh Azlan, bahkan aku tak peduli ketika Azlan berusaha menjauhkan wajahku dari tubuhnya."Biarkan aku menikmati aroma tubuh yang kurindukan ini, Azlan."Azlan akhirnya hanya diam dan membiarkan diriku membaui dada hingga lehernya. Rasa mual yang kurasakan dari pagi pun mulai berkurang, begitu rileks dan menyenangkan."Nara, kita harus periksa ke dokter. Waktu kita nggak banyak."Aku menghentikan aksiku, lalu mendongak ke arah wajah Azlan. Begitu lekat tatapan ini, sehingga membuat Azlan salah tingkah. Dapat kutemukan perbedaan sikap Azlan sekarang dengan sebelumnya.Kembali aku tersadar, bahwa Azlan yang sekarang bukan Azlan yang sedang menjalani peran seperti tiga minggu lalu. Perlahan aku melepas pelukan, lalu menjauh. Bahkan ekspresi bahagiaku seketika sirna berganti ribuan luka akibat kecewa.Kehid
Mobil Azlan memasuki pintu gerbang yang dibuka oleh sekuriti, kemudian berhenti tepat di hadapan sebuah rumah mewah. Ya, rumah yang pernah kudatangi dua bulan lalu. Bahkan pernikahan tanpa pesta itu pun juga terjadi di rumah itu.Kepalaku mendongak ke arah balkon, tampak wanita dengan dandanan yang begitu elegan menatapku. Kali ini bukan tatapan sinis atau penuh rasa tidak suka, melainkan ada senyum dan dengan begitu riang menyapaku.Setelah melambaikan tangan ke arahku, wanita itu kembali masuk dan muncul lagi di ambang pintu masuk."Nara!!!" Dia menghambur dan memelukku begitu erat.Sikap Elina sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. "Ayo masuk, aku sudah menyiapkan jamuan untuk kamu. Kita rayakan kehamilan kamu, Ra."Elina menggandengku. Sikapnya membuatku termangu, ragu dengan apa yang aku lihat saat ini.Benar saja, di meja makan telah tersedia berbagai macam menu. Semua masakan yang begitu menggugah selera. Tahu sendiri lah, makanan orang kaya memang luar biasa enak."Kalian meny
Suasana terasa seperti film horor. Aku sendiri takut jika harus mengalami penghinaan lagi. Bagiku, menerima kata-kata kasar dan caci maki tetaplah dapat menyakiti hati ini. Aku belum bisa setangguh Flora, dia sudah terlampau sering dilabrak istri om om yang dia pacari."Aku seperti dejavu saat melihat wajahmu. Sepertinya, sudah lama sekali aku mengenal wajah ini." Tangan ibunya Azlan menyentuh pipiku, tiba-tiba sikap dia berubah melow.Aku semakin tak mengerti dengan apa yang dia maksud."Ma, dia ini calon sekretaris Azlan. Kebetulan, ayah dia ada kerja sama juga dengan perusahaan Azlan. Jadi, dia menitipkan putrinya ke sini." Azlan berusaha mencari alasan.Namun, kali ini alasannya membuat mataku membulat."Ooh ... anak konglomerat ternyata. Ini baru wanita dari kelas sosial tinggi, dilihat dari penampilannya kelihatan banget. Semoga betah di sini, ya!" celoteh wanita itu dan kurasa dia sedang menyindir Elina."Oh ya, Elina ... ehm ... selama kamu belum bisa membuktikan kehamilan itu
Semilir angin malam membelai wajahku, memainkan anak rambut hingga ke wajah. Malam ini aku menikmati kesendirian di balkon kamar. Kembali langit bertabur bintang menjadi saksi kegalauan yang tak berujung.Entah mengapa, kalimat Bu Wijaya terus saja terngiang dan bermain di pikiranku. Dari penuturan dia yang pernah melihatku, sampai keinginan dia mengundangku dalam perjodohan itu.Kedua hal itu sangat mengganggu pikiranku. Di satu sisi, aku takut dan merasa malu jika ketahuan siapa sebenarnya aku. Sedangkan Azlan melindungiku dengan sebuah kebohongan besar, menjadikan aku sebagai wanita dari kelas sosial atas.Di sisi lain, ada terselip rasa tidak terima jika harus menerima perjodohan itu. Azlan adalah suamiku, entah sejak kapan perasaan cinta ini tumbuh. Ya, aku telah jatuh cinta pada Azlan. Bukan lagi tentang bayaran satu milyar, tetapi kenyamanan saat bersamanya yang membuatku candu.Bayangan setelah anak lahir pun melintas. Aku akan kehilangan anak dan juga suami. Pernikahanku akan
Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma
Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k
Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja
Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna
POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal
Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d
POV AzlanKeesokan hari ....Aku berpamitan pada Nara untuk ke kantor sebentar, dengan alasan ada dokumen yang harus aku tanda tangani dan ketemu dengan klien penting. Seperti biasa, Nara tak banyak menuntut waktuku. Dia sangat memahamiku.Sebenarnya aku tidak benar-benar ke kantor. Itu hanyalah alasan yang aku buat-buat agar bisa ke rumah Mama bareng Om Fadli.Hari ini masalah harus segera tuntas. Aku tidak ingin saat Nara pulang, dia harus menghadapi sikap dingin dan ketus Mama. Sesuai kesepakatan, aku dan Om Fadli mendatangi rumah Mama. Tampak Om Fadli membawa sebuah amplop panjang di tangannya. Aku yakin, itu adalah bukti test DNA Nara.Saat kami datang, Mama yang tengah duduk di belakang rumah, menikmati secangkir teh sembari melihat seluruh tanaman kesukaannya. Om Fadli segera melempar amplop panjang itu ke atas meja, tepat di hadapan Mama. Hal tersebut membuat Mama terkejut dan mendongakkan kepala. "Kamu ini, Mas. Kalau datang nggak usah bikin kaget, bisa kan?""Ratih, aku ng
Tampak wajah Della menunjukkan rasa tidak percaya. Dia menggeleng, menampik semua kenyataan yang aku sampaikan."Kalian pasti hanya ingin memfitnah Budhe Ros! Kalian jahat! Orang sebaik Budhe Ros tidak akan melakukan hal sehina itu!" teriak Della tidak terima."Sekarang ikut aku, akan aku tunjukkan di mana Nara. Kamu bisa tanya dia, dan di sana juga ada ayahnya Nara!" tantangku seraya menarik lengan Della.Gadis muda itu masih menolak ajakanku. Dia berusaha menepis tangan dengan sangat kasar. Della benar-benar tidak terima dengan apa yang aku jelaskan."Kalian itu sama saja! Buat apa aku percaya kalian yang baru saja aku kenal? Aku ... aku yang sekian lama mengenal Budhe Ros! Dia orang yang baik!" Della masih bersikukuh dengan pendapatnya."Baiklah kalau kamu tidak percaya. Kamu tidak mau juga aku ajak ketemu Nara untuk mengetahui kebenaran. Lebih baik, tanyakan pada Budhe-mu itu saja!" ujarku seraya tersenyum sinis.Gadis lugu itu terdiam sesaat. Ada keraguan di sorot matanya. "Kena
POV AzlanAku melangkah kembali ke ruang operasi. Menunggu Nara selesai pemulihan dan diantar ke ruang rawat inap.Tepat saat kaki berdiri di depan ruang itu, dua petugas keluar membawa Nara menggunakan brankar. Aku membuntuti dari belakang. Wajah Nara begitu sayu, aku tak tahu hal apa yang sudah dia lewati di dalam sana. Yang aku tahu hanya satu, perutnya terluka demi melahirkan anak keturunanku.Ingin sekali kupeluk dia, memberikan tempat ternyaman dari segala kelelahan. Namun, saat ini mata Nara hanya terpejam. Ada bulir bening yang diam-diam menetes dari sudut matanya.Aku harap, itu adalah air mata bahagia karena anak ketiga telah lahir dengan selamat. Sesampainya di ruang VVIP, Nara dipindahkan ke tempat yang tersedia. Mama memang baik, memberikan fasilitas terbaik untuk menantunya.Setelah selesai, petugas pun berpamitan. Tak lupa aku ucapkan pada dua petugas itu.Suasana begitu tenang, tak ada hiruk pikuk suara berisik mengganggu. Aku mendekat ke Nara, kemudian duduk di kursi