Pov. KiaraPagi ini, aku bersiap-siap untuk pergi ke butik. Akhir-akhir ini, hidupku begitu dipenuhi oleh kesibukan sebagai desainer. Setiap hari selalu ada tuntutan baru, proyek-proyek yang harus segera diselesaikan, dan klien-klien yang menantikan kreasi terbaik dari diriku.Kulirik jam yang ada di atas meja. “Ternyata sudah jam lima,” gumamku lirih sambil menutup mulut yang menguap.Aku bangun dari tempat tidur dengan perasaan yang agak lelah, namun semangatku untuk mengejar impianku tetap membara di dalam diriku. Aku mencuci wajahku dengan air dingin, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menyelinap di mataku.Setelah membersihkan tubuh ini. Kemudian, aku berjalan ke lemari dan memilih busana yang tepat untuk hari ini. Setelah memilih baju yang pas, aku duduk di depan cermin, menyisir rambutku dengan hati-hati. Rambut panjangku diatur sedemikian rupa, menciptakan tampilan yang rapi dan profesional. Aku ingin terlihat percaya diri di hadapan klien-klien dan rekan kerjaku.Aku me
Setelah sambungan telepon dari Sissi berakhir, aku segera beranjak pergi meninggalkan rumah menuju butik. Di dalam mobil, aku mengendarai dengan cepat, pikiranku dipenuhi oleh pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Keenan. Sissi bilang tiba-tiba Keenan datang ke butik sambil marah-marah, tapi aku tidak tahu apa yang menyebabkan kemarahannya.Aku merasa gelisah saat memikirkan situasi tersebut. Melihatnya marah seperti itu membuatku khawatir. Apakah ada sesuatu yang terjadi yang membuatnya begitu kesal? Ataukah ada masalah lain yang sedang dia hadapi?Aku berusaha mengingat-ingat apakah ada tanda-tanda keanehan dari Keenan belakangan ini, tapi aku tidak bisa mengingat apa pun yang mencurigakan. Namun, pikiranku terus menerus dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Aku merasa semakin gelisah ketika aku mendekati butik. Aku hanya berharap bahwa semuanya baik-baik saja dan bahwa aku bisa membantu Keenan jika dia sedang menghadapi masalah.Ketika akhirnya aku tib
“Mulai besok kamu tidak boleh lagi ada di butik ini. Begitu juga kamu harus meninggalkan apartemen!” Suara Keenan memekik, menggelegar di seluruh ruangan.Aku merasa dunia seakan runtuh di atasku. Tidak pernah terbayangkan olehku bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. Air mataku terus mengalir, namun aku berusaha untuk tetap tegar di hadapan Keenan, meskipun hatiku hancur dan remuk karena semua yang telah terjadi.“Apa kamu benar-benar serius, Keenan?” tanyaku dengan suara yang gemetar, mencoba memahami apa yang baru saja diucapkannya.Keenan menatapku dengan tatapan yang dingin dan tajam. “Aku tidak bercanda,” ujarnya dengan suara yang keras dan tegas. “Ini bukan waktu untuk lelucon. Aku sudah cukup bersabar denganmu, dan sekarang aku tidak bisa lagi membiarkanmu mengambil segalanya dariku.”Aku merasa seolah-olah aku terjatuh ke dalam jurang yang gelap dan dalam. Semua yang aku miliki, semua yang aku cintai, semuanya akan hilang dalam sekejap mata. Aku merasa tak berdaya, tak ber
Aku mengarahkan langkahku menuju pintu masuk apartemen yang telah menjadi rumahku selama beberapa tahun terakhir. Setiap langkah terasa seperti beban yang semakin berat, membawa ingatan tentang segala momen manis dan pahit yang telah aku lewati di tempat ini.Ketika aku tiba di depan pintu, aku berhenti sejenak untuk menghirup udara. Udara sejuk malam menyentuh wajahku, mengingatkanku pada betapa jauhnya perjalanan hidupku sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di apartemen ini.Aku menghela napas berat saat membuka pintu. Ruangan apartemen itu terbentang di hadapanku, tampak begitu sepi dan sunyi. Setiap sudutnya mengandung kenangan yang tak terlupakan bagiku.Aku melangkah masuk ke dalam apartemen, menghirup aroma familiar dari ruang tamu yang pernah menjadi tempat kami berkumpul sebagai keluarga. Aku memandang sekeliling dengan tatapan penuh nostalgia, mengingat setiap momen indah yang pernah aku alami di sini.Namun, kali ini, suasana yang dulu hangat dan menyenangkan itu terasa
“Ara, kamu sedang apa?” tanya Sissi tiba-tiba saat ia muncul di sampingku.Aku tersenyum melihat ke arahnya, fokus kembali pada kerajinan tangan yang sedang kutamatkan. “Aku sedang merajut kain,” jawabku sambil terus melanjutkan pekerjaanku.Sissi mengernyitkan keningnya. “Kamu akan membuat apa?”“Aku membuat topi untuk bayi,” jawabku singkat.“Topi untuk bayi?” ulang Sissi dengan ekspresi heran.Aku mengangguk. “Ya, topi untuk bayi.”Namun, ekspresi heran Sissi tidak berubah. “Tapi siapa yang memiliki bayi?” tanyanya dengan rasa penasaran.Aku tersenyum lalu berkata, “Dulu … ketika aku sedang mengandung Kenzie dan suasana hatiku sedang sedih, aku selalu merajut seperti ini.” Aku mengingat kembali masa-masa sulit ketika aku mengandung Kenzie membuatku terdiam sejenak, membiarkan ingatanku membawaku kembali ke masa lalu.Ketika aku mengetahui bahwa aku hamil, awalnya aku merasa sedih dan kecewa. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan bahwa aku akan menjadi ibu. Meskipun aku tahu bahwa
“Aku sengaja ingin memberimu kejutan,” kata Jordi sambil menyerahkan bunga yang ia bawa kepadaku.“Sungguh?” tanyaku terkejut sambil menerima bunga tersebut. “Darimana kamu tahu kalau aku ada di sini?” tanyaku lagi ingin tahu.“Tante yang memberitahu aku,” jawab Jordi sambil tersenyum.“Kamu pasti begitu lelah habis perjalanan jauh,” ucapku sambil memperhatikan mata Jordi yang lelah.“Lelahku sudah hilang saat melihatmu,” kata Jordi sambil tersenyum.Aku hanya bisa tersenyum bahagia menerima kejutan dari Jordi.“Apa mau jalan?” ajak Jordi tiba-tiba.Aku mengangguk setuju. Lalu aku melihat ke arah Sissi. “Apa kamu mau ikut?” tanyaku.Sissi menggeleng. “Tidak, aku pulang saja. Kalian bersenang-senanglah,” tolaknya sambil berjalan menuju mobilnya.Setelah melihat kepergian Sissi, Jordi mengajakku berjalan-jalan di taman yang indah. Kami berdua berjalan beriringan, sambil sesekali tertawa dan berbicara tentang berbagai hal. Cahaya rembulan yang terang dan segarnya udara membuat perjalanan
Di tengah keramaian pelelangan yang mewah, Jordi menatapku dengan tatapan yang mencari jawaban. “Apakah kita seharusnya menyapa mereka?” bisiknya, sambil menunjuk ke arah Keenan dan ibunya, Tante Belinda, yang ada di seberang tempat kami berada.Aku menelan ludah, merasakan detak jantungku yang berpacu. Keenan, mantan kekasihku yang namanya saja sudah cukup untuk membawa gumpalan kesedihan ke dalam hatiku. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya di sini, di acara yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan.“Sebenarnya, aku tidak tahu Keenan akan datang,” jawabku pelan. “Kalau saja aku tahu, mungkin aku akan memilih untuk tidak hadir.”Jordi menggenggam tanganku, memberikan dukungan tanpa kata. Aku tahu dia mengerti, dia selalu mengerti. Kami berdua berdiri di sana, terpaku, sementara Keenan dan Tante Belinda mulai berbaur dengan tamu lainnya.Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian. “Mungkin kita harus menyapa mereka. Itu yang sopan, bukan?” ujarku, meski da
Malam ini, setelah gema pelelangan mereda, aku dan Jordi melangkah keluar dari ruangan yang penuh dengan cerita. Kami berjalan di depan gedung pelelangan, di bawah langit yang terhampar indah dengan bintang-bintang yang berkelipan. Angin malam yang sejuk menyapa, dan Jordi, dengan kelembutan yang selalu membuatku merasa terlindungi, melepaskan jasnya dan mengenakannya di tubuhku.“Kamu pasti dingin,” ujarnya, suaranya lembut di tengah hembusan angin.Aku tersenyum, merasakan kehangatan yang tidak hanya berasal dari jas yang kini melindungi tubuhku. “Terima kasih,” kataku, suaraku nyaris tertelan oleh keheningan malam.Jordi menatapku, matanya seperti mencari jawaban atas pertanyaan yang telah lama menggantung di antara kami. “Apa kamu akan tetap tinggal di Indonesia?” tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang tidak terucap.Aku menghela napas sambil merenung. “Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Aku masih ingat betul dulu aku kembali ke Indonesia karena ingin mengurus butik yang
"Kiara, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang sudah ada di dekatku.Aku mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ibu, tetapi rasanya sulit. "Aku merasa mual, Bu. Mungkin kecapekan," kataku sambil mengelap wajah dengan handuk.Ibu mengerutkan kening. "Mungkin kamu perlu istirahat lebih. Kalau mual terus, kita periksa ke dokter, ya."Aku mengangguk pelan, merasa bersyukur memiliki Ibu yang begitu perhatian. "Iya, Bu. Aku istirahat dulu sebentar."Kembali ke kamar, aku berbaring di tempat tidur, berharap rasa mual ini segera hilang. Tapi di tengah kegelisahanku, pikiranku melayang ke satu kemungkinan yang tak pernah terpikir sebelumnya. Dengan hati-hati, aku mencoba mengingat kapan terakhir kali aku haid. Benar saja, sudah beberapa minggu terlambat.Jantungku berdebar lebih cepat. Apakah mungkin …?Aku memutuskan untuk menunggu hingga Keenan pulang dan membicarakan ini dengannya. Aku begitu cemas memikirkan semua ini. Aku mencoba memejamkan mata sebentar.Beberapa saat kemudian, aku terkesiap k
Aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya hatiku ketika Keenan, lelaki yang sudah menjadi suamiku kini, memberiku kunci butik yang telah lama kutinggalkan. Keenan memintaku untuk kembali mengurus butik yang dulu aku bangun dengan susah payah. Dengan perasaan yang begitu haru dan sekaligus bahagia, aku mengingat mimpi lamaku menjadi seorang desainer. Mimpi yang tak mudah kugapai, namun penuh perjuangan dan kerja keras. Enam tahun lalu, aku berangkat ke Singapura, dan menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar dengan para desainer terkenal di sana. Keputusan itu diambil dengan penuh keberanian, meninggalkan semua yang kucintai di Indonesia, termasuk Keenan, lelaki yang sangat aku cintai. Aku membawa Ayah yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Meski berat, aku yakin bahwa kesempatan ini akan membuka pintu yang lebih besar di masa depan, dan Ayah pasti akan sembuh. Namun, rencana Tuhan berbeda dengan harapanku. Satu tahun setelah berada di Singapura, aku menerima kabar d
Marissa hanya tertawa sinis mendengar perkataanku. "Haha, kembali seperti dulu?" katanya dengan nada sinis. "Apakah kamu tidak melihat bagaimana aku sekarang, Kiara? Aku berada di tempat yang kotor dan hina. Aku kehilangan segalanya. Tapi kamu, kamu malah hidup enak dan memiliki segalanya yang seharusnya menjadi milikku!" Aku terkejut dan sedih mendengar kata-kata Marissa. Aku bisa merasakan kekesalan dan kebencian yang terpendam di balik kata-katanya. Namun, aku mencoba untuk tetap tenang dan memahami perasaannya. "Marissa, aku sangat menyesal melihat kondisimu sekarang," ujarku dengan suara lembut. "Sebagai teman, aku ingin membantumu agar bisa bangkit dan memulai kembali. Aku ingin membuka lembaran baru bagi kita semua." Marissa memandangku dengan tatapan tajam. "Bukankah kamu bisa memahami betapa sulitnya posisiku?" katanya dengan emosi yang masih terasa dalam suaranya. "Kehidupan ini tidak adil, tidak adil bahwa aku harus berada di tempat seperti ini sementara kamu hidup dalam
Kesempatan untuk bertemu dengan Marissa akhirnya terbuka bagiku, dan hatiku bergetar dengan rasa bahagia dan cemas. Meskipun Marissa telah melakukan kesalahan yang besar terhadap kami, aku tidak bisa melupakan masa-masa indah yang kami lewati bersama saat kami masih sekolah dulu. Kami adalah teman baik, berbagi tawa, cerita, dan impian bersama. Sekarang, dengan keputusanku untuk menemui Marissa, aku berharap kami bisa memulihkan hubungan yang ada di antara kita.Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Aku bersiap untuk pergi menemui Marissa, memilih pakaian dengan hati-hati, mencoba tampak tenang dan berbicara dengan hati yang terbuka. Aku berdoa agar pertemuan ini bisa membawa kedamaian dan kesembuhan baik bagi diriku maupun Marissa.Sepasang tangan kekar tiba-tiba merangkulku dari belakang, menyapu rasa kantukku dengan kehangatan yang akrab. Aku tersenyum dan berbalik memandang Keenan yang sudah bangun tidur, selalu ada dalam pelukannya."Kenapa kamu tidak membangunkanku?" tanya Keenan de
Aku melepaskan sedikit rasa kantukku saat melihat seorang lelaki dengan tangan kekar yang memeluk perutku. Senyuman terukir di wajahku ketika aku menyadari bahwa itu adalah Keenan, suamiku yang tidur di sampingku. Matanya yang tertutup oleh bulu alis yang tebal begitu indah, hidungnya yang mancung memberikan pesona tersendiri.Dalam keadaan itu, aku tertegun sejenak, mengamati wajahnya yang damai saat terlelap. Rasa cinta yang mendalam muncul dalam hatiku, melihat Keenan sebagai sosok yang melengkapi hidupku.Teringat akan janji pernikahan kami yang baru terucap beberapa hari yang lalu, saat kami bersatu menjadi suami istri. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku bahagia bisa berbagi hidup dengan Keenan, orang yang telah berada di sampingku sejak lama.Aku mencium udara pagi dengan perasaan yang penuh syukur. Aku merasakan kehangatan dan keamanan dalam pelukan Keenan. Rasa terima kasih terucap dalam hatiku, untuk kami berdua dan keberuntungan yang telah Tuhan anugerahkan kepadaku.Sejenak a
Keenan mengangkat kepalanya dan tiba-tiba mencium bibirku dengan lembut. Suasana di apartemen Keenan menjadi hening, hingga hanya terdengar detak jarum jam yang mengisi ruangan. Aku terbuai dalam kelembutan ciumannya, merasakan kenyamanan yang timbul dan melupakan segala sesuatu di sekitar kami.Namun, aku segera menyadari situasi kami dan mendorong tubuh Keenan agar menjauh dariku. "Apa kita akan melakukannya di sini?" tanyaku, hatiku berdebar ketika mengingat keberadaan kamera CCTV di ruangan ini.Keenan bangun dari posisi tidurnya dan duduk di sampingku. "Memangnya kenapa kalau di sini? Di apartemen ini hanya ada kita," ucapnya dengan senyuman.Aku menunjuk ke arah CCTV yang terpasang di sudut ruangan. "Lihatlah, ada CCTV di sini. Aku tidak ingin kegiatan kita terekam dan diketahui oleh orang lain."Keenan hanya tersenyum dan mengangguk mengerti. "Baiklah, aku akan membawa tuan putriku ini ke kamar. Di sana kita bisa bebas dan tenang," ucapnya sambil mengangkat tubuhku dengan lembu
Keenan terlihat kesal karena Kenzie belum tidur hingga malam tiba. Sudah berbagai cara Keenan lakukan agar Kenzie bisa tidur, tetapi nyatanya semua usahanya tak berhasil membuat anak kami tertidur. Aku hanya tersenyum melihat wajah kesalnya. Mulai dari saat kami meninggalkan kamar hotel hingga sekarang, ketika kami sudah berada di apartemenku, Keenan masih terlihat murung. Ya, setelah hari pernikahanku dengan Keenan selesai, kami memutuskan untuk kembali tinggal di apartemen yang pernah aku beli dulu. Kenzie begitu sangat bahagia ketika kami memutuskan untuk kembali lagi ke apartemen ini. "Terima kasih, Tante Sissi, sudah mau memberi tumpangan kepada kami," kata Kenzie, berlari ke arah Sissi dan memeluknya erat. "Sama-sama, Ken. Tante Sissi juga senang bisa membantu kalian bertiga. Apalagi rumah tante Sissi jadi ramai. Oh iya, lain kali kamu juga bisa main ke rumah tante Sissi." Kenzie melepaskan pelukannya. "Terima kasih, Tante. Aku sangat sayang pada Tante. Maafkan aku yang sela
"Kenapa? Apa yang kamu bicarakan dengan Om Beni?" tanyaku pada Keenan setelah ia mengakhiri sambungan teleponnya dengan ekspresi yang terlihat agak cemas."Tidak apa-apa, Om Beni hanya mengucapkan selamat kepada kita," jawab Keenan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana."Para tamu sudah pulang semua?" tanyanya sambil memandang sekeliling ruangan yang sudah kosong.Aku mengangguk. "Sudah pada pulang. Kenzie juga sudah pergi bersama Sissi dan Bagas.""Pergi ke mana?" tanyanya penasaran."Kenzie bilang dia ingin beli es krim.""Malam-malam begini?" tanyanya terlihat agak cemas.Aku mengangguk. "Ya, Kenzie selalu menginginkan sesuatu dan Sissi akhirnya merasa kasihan padanya, jadi dia membawa Kenzie untuk membeli es krim.""Tapi nanti giginya sakit lagi," ujar Keenan sambil menggeleng."Aku juga sudah melarangnya, tapi kamu tahu sendiri Kenzie pasti akan merengek terus."Keenan mengangguk setuju, tapi ekspresinya terlihat agak khawatir. "Ya, itu masalahnya. Tetapi, sepertinya m
"Iya, itu memang cincin yang aku dapatkan dari pelelangan," jawab Keenan sambil tersenyum menatapku.Aku merasa bingung mengapa Keenan memberikan cincin itu kepadaku. "Tapi … kenapa kamu memberikannya untukku?" tanyaku yang masih bingung."Kiara, cincin itu adalah turun-temurun dari nenek moyang kami dulu, dan sekarang cincin itu memang sepantasnya untukmu," terang Tante Belinda."Tapi … kenapa harus untukku, Tante?""Mommy, kenapa Mommy terlihat bingung? Mommy sudah melahirkan aku, jadi cincin itu sekarang Mommy yang simpan. Kalau nanti aku udah besar, Daddy bilang nanti cincin itu aku yang simpan, iya, 'kan, Daddy?" ujar Kenzie dengan polos."Lihat, anakmu saja mengerti, kenapa kamu tidak mengerti," terang Keenan."Jadi … maksudnya, kamu ….""Iya, malam ini, aku ingin melamarmu, Kiara. Di depan keluarga kita," ucap Keenan yang membuatku tersipu malu. "Kamu mau 'kan menikah denganku, kita membesarkan Kenzie bersama?"Aku melihat ke arah Ibu, Ibu mengangguk tanda setuju, lalu aku meli