Di tengah keramaian pelelangan yang mewah, Jordi menatapku dengan tatapan yang mencari jawaban. “Apakah kita seharusnya menyapa mereka?” bisiknya, sambil menunjuk ke arah Keenan dan ibunya, Tante Belinda, yang ada di seberang tempat kami berada.Aku menelan ludah, merasakan detak jantungku yang berpacu. Keenan, mantan kekasihku yang namanya saja sudah cukup untuk membawa gumpalan kesedihan ke dalam hatiku. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya di sini, di acara yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan.“Sebenarnya, aku tidak tahu Keenan akan datang,” jawabku pelan. “Kalau saja aku tahu, mungkin aku akan memilih untuk tidak hadir.”Jordi menggenggam tanganku, memberikan dukungan tanpa kata. Aku tahu dia mengerti, dia selalu mengerti. Kami berdua berdiri di sana, terpaku, sementara Keenan dan Tante Belinda mulai berbaur dengan tamu lainnya.Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian. “Mungkin kita harus menyapa mereka. Itu yang sopan, bukan?” ujarku, meski da
Malam ini, setelah gema pelelangan mereda, aku dan Jordi melangkah keluar dari ruangan yang penuh dengan cerita. Kami berjalan di depan gedung pelelangan, di bawah langit yang terhampar indah dengan bintang-bintang yang berkelipan. Angin malam yang sejuk menyapa, dan Jordi, dengan kelembutan yang selalu membuatku merasa terlindungi, melepaskan jasnya dan mengenakannya di tubuhku.“Kamu pasti dingin,” ujarnya, suaranya lembut di tengah hembusan angin.Aku tersenyum, merasakan kehangatan yang tidak hanya berasal dari jas yang kini melindungi tubuhku. “Terima kasih,” kataku, suaraku nyaris tertelan oleh keheningan malam.Jordi menatapku, matanya seperti mencari jawaban atas pertanyaan yang telah lama menggantung di antara kami. “Apa kamu akan tetap tinggal di Indonesia?” tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang tidak terucap.Aku menghela napas sambil merenung. “Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Aku masih ingat betul dulu aku kembali ke Indonesia karena ingin mengurus butik yang
Pov. KeenanDi tengah hiruk-pikuk kantor yang sibuk, pintu ruang kerjaku tiba-tiba ada yang mengetuk. “Keenan!” seru Bagas dengan suara yang membawa urgensi. “Masuklah,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari monitor.Bagas melangkah masuk, tangannya menggenggam erat sebuah koper. “Apa itu?” tanyaku, rasa penasaran menggantikan fokusku pada pekerjaan.“Kiara mengembalikan uang yang sudah kamu berikan kepadanya,” kata Bagas, suaranya datar, seolah membawa kabar yang sudah diduga.Aku tersenyum sinis, mencoba menyembunyikan rasa penasaran yang muncul. “Kenapa? Apa uang itu belum cukup baginya?” ucapku dengan nada mencemooh.Bagas menggeleng, matanya menatapku dengan kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. “Keenan, Kamu sudah terlalu jauh pada Kiara. Kamu tidak seharusnya seperti itu,” katanya dengan nada suara yang meninggi.“Lalu aku harus seperti apa? Haruskah aku bersikap baik kepadanya?” Aku berdesis, tak tahu bagaimana jalan pikiran Bagas. “Dia sudah membuat hatiku terluka. Dia
Waktu telah menunjukkan pukul 11 siang saat aku melirik arloji yang ada di tangan kiriku. Pikiranku tertuju pada Kenzie, yang seharusnya sudah pulang sekolah. Beberapa saat kemudian, aku melihat beberapa anak-anak mulai keluar dari gedung sekolah dengan senyum tersungging di wajah mereka. Senyumku pun tak terelakkan ketika aku melihat Kenzie yang juga sudah keluar dari sana. Aku segera membuka pintu mobil untuk keluar dan mendekatinya."Kenzie, kamu sudah pulang?" tanyaku sambil tersenyum.Kenzie mengangkat pandangannya ke arahku dengan mata yang berbinar. "Paman, kenapa Paman ada di sini?" tanyanya heran."Aku sangat merindukanmu, sudah lama kita tak jumpa. Apa kau tak merindukanku?" godaku sambil memperhatikan wajahnya.Kenzie tersenyum manis. "Aku juga sangat merindukan Paman," jawabnya.Aku menyambut rindu itu dengan membungkukkan tubuhku untuk meraih tubuhnya yang mungil. "Kalau begitu, ayo peluklah aku," pintaku.Kenzie pun menuruti perkataanku dan langsung memelukku erat. Rasany
Aku benar-benar bahagia. Ini adalah hadiah terindah yang pernah Tuhan berikan untukku: memiliki anak seperti Kenzie membuatku sangat beruntung. Pasalnya, aku tidak pernah menyangka bahwa perbuatan bejatku dulu telah melahirkan anak setampan dan juga lucu seperti Kenzie. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya, terlebih selama ini Kiara selalu menyembunyikan kebenaran tentang Kenzie.Selama enam tahun, Kiara telah pergi dari hidupku, meninggalkanku tanpa penjelasan apa pun. Namun, dia tiba-tiba kembali dengan membawa Kenzie. Awalnya, aku tidak tahu mengapa Kiara bisa berbuat seperti itu, menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya. Namun, ketika Kiara mengklaim bahwa Kenzie bukanlah anakku, hatiku hancur.Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Aku bersikeras untuk melakukan tes DNA sekali lagi, karena aku yakin bahwa Kenzie adalah darah dagingku sendiri. Dan hasilnya, ketika tes DNA dilakukan untuk kedua kalinya, memastikan bahwa Kenzie adalah anak
Aku menatap Kiara dengan tatapan tajam, amarah dalam diriku sudah tak terbendung. Hatiku berkecamuk, setelah mengetahui bahwa Kenzie adalah putraku, yang telah disembunyikan oleh Kiara selama enam tahun."Selama enam tahun kamu sudah menyembunyikan Kenzie dariku, kamu sudah terlalu banyak membohongiku, dan kali ini, aku tidak akan terus menerus membuatmu bisa seenaknya kepadaku," ujarku dengan nada tegas. Aku ingin mengingatkan Kiara bahwa kebohongan itu tidak bisa terus berlanjut.Kiara terlihat merenung sejenak, ekspresinya seperti dirundung oleh penyesalan dan kekhawatiran. "Keenan, aku mohon jangan ambil Kenzie dariku," pintanya dengan suara yang penuh rasa takut.Namun, aku sudah tidak bisa menyembunyikan kemarahanku lagi. "Aku akan melakukan apa pun untuk Kenzie," ujarku dengan suara yang kian tegas. "Tapi kamu harus tahu bahwa aku tidak akan terus membiarkan diriku dipermainkan dan dikhianati.""Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar, Keenan," ucap Kiara dengan suara yang
POV. Kiara"Kenzie, ayo makan, Sayang. Mommy sudah masakkan makanan kesukaanmu, Ken, Kenzie …," panggilku dengan penuh kasih sayang.Namun, tidak ada jawaban dari Kenzie. Aku merasa kebingungan dan makin cemas saat tak mendengar suara dari putraku. Aku kemudian bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk mencarinya. Namun, ketika sudah berada di dalam kamar, aku baru sadar bahwa Kenzie sudah tidak berada di rumah.Aku lupa bahwa Kenzie sedang berada di rumah Keenan. Jujur saja, ketika aku mengetahui bahwa Keenan telah mengetahui bahwa Kenzie adalah anaknya, hatiku begitu resah. Aku merasa bersalah karena selama ini sudah menutupi kebenaran tentang Kenzie kepada Keenan.Sudah 6 tahun aku membesarkan Kenzie sendirian tanpa suami di sampingku. Awalnya, aku merasa tidak siap menjadi seorang ibu, terlebih lagi keluargaku tidak memiliki apa-apa. Namun, beruntunglah aku karena memiliki Ibu yang selalu memberikan kekuatan dan dukungan kepadaku."Ara, kamu kenapa, Nak?" Lamunanku terhenti ketika Ib
Aku merasa terpukul dengan kata-kata Tante Belinda yang tiba-tiba menawarkan aku untuk membesarkan Kenzie bersama Keenan. Aku begitu bingung dengan perubahan sikapnya dan tidak mengerti maksud di balik penawarannya."Apa maksud Tante berkata seperti itu?" tanyaku dengan kebingungan kepada Tante Belinda. Aku merasa terombang-ambing dengan perasaan bingung terhadap tindakan tiba-tiba Tante Belinda yang ingin menghidupkan kembali keterlibatan Keenan dalam kehidupanku dan Kenzie.Tante Belinda menatapku dengan penuh penyesalan di matanya. "Begini, Kiara. Aku tahu selama ini aku sudah berbuat salah kepadamu. Aku menyesal telah menyuruhmu meninggalkan anakku, Keenan, enam tahun yang lalu. Maaf bila semua itu telah menyakiti perasaanmu," ujar Tante Belinda dengan suara yang lembut.Mendengar penjelasan Tante Belinda, hatiku semakin memanas dan rasa emosi yang terpendam selama ini mulai muncul. Aku merasa marah dan terluka dengan apa yang Tante Belinda katakan. Bagaimana mungkin Tante Belinda
"Kiara, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang sudah ada di dekatku.Aku mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ibu, tetapi rasanya sulit. "Aku merasa mual, Bu. Mungkin kecapekan," kataku sambil mengelap wajah dengan handuk.Ibu mengerutkan kening. "Mungkin kamu perlu istirahat lebih. Kalau mual terus, kita periksa ke dokter, ya."Aku mengangguk pelan, merasa bersyukur memiliki Ibu yang begitu perhatian. "Iya, Bu. Aku istirahat dulu sebentar."Kembali ke kamar, aku berbaring di tempat tidur, berharap rasa mual ini segera hilang. Tapi di tengah kegelisahanku, pikiranku melayang ke satu kemungkinan yang tak pernah terpikir sebelumnya. Dengan hati-hati, aku mencoba mengingat kapan terakhir kali aku haid. Benar saja, sudah beberapa minggu terlambat.Jantungku berdebar lebih cepat. Apakah mungkin …?Aku memutuskan untuk menunggu hingga Keenan pulang dan membicarakan ini dengannya. Aku begitu cemas memikirkan semua ini. Aku mencoba memejamkan mata sebentar.Beberapa saat kemudian, aku terkesiap k
Aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya hatiku ketika Keenan, lelaki yang sudah menjadi suamiku kini, memberiku kunci butik yang telah lama kutinggalkan. Keenan memintaku untuk kembali mengurus butik yang dulu aku bangun dengan susah payah. Dengan perasaan yang begitu haru dan sekaligus bahagia, aku mengingat mimpi lamaku menjadi seorang desainer. Mimpi yang tak mudah kugapai, namun penuh perjuangan dan kerja keras. Enam tahun lalu, aku berangkat ke Singapura, dan menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar dengan para desainer terkenal di sana. Keputusan itu diambil dengan penuh keberanian, meninggalkan semua yang kucintai di Indonesia, termasuk Keenan, lelaki yang sangat aku cintai. Aku membawa Ayah yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Meski berat, aku yakin bahwa kesempatan ini akan membuka pintu yang lebih besar di masa depan, dan Ayah pasti akan sembuh. Namun, rencana Tuhan berbeda dengan harapanku. Satu tahun setelah berada di Singapura, aku menerima kabar d
Marissa hanya tertawa sinis mendengar perkataanku. "Haha, kembali seperti dulu?" katanya dengan nada sinis. "Apakah kamu tidak melihat bagaimana aku sekarang, Kiara? Aku berada di tempat yang kotor dan hina. Aku kehilangan segalanya. Tapi kamu, kamu malah hidup enak dan memiliki segalanya yang seharusnya menjadi milikku!" Aku terkejut dan sedih mendengar kata-kata Marissa. Aku bisa merasakan kekesalan dan kebencian yang terpendam di balik kata-katanya. Namun, aku mencoba untuk tetap tenang dan memahami perasaannya. "Marissa, aku sangat menyesal melihat kondisimu sekarang," ujarku dengan suara lembut. "Sebagai teman, aku ingin membantumu agar bisa bangkit dan memulai kembali. Aku ingin membuka lembaran baru bagi kita semua." Marissa memandangku dengan tatapan tajam. "Bukankah kamu bisa memahami betapa sulitnya posisiku?" katanya dengan emosi yang masih terasa dalam suaranya. "Kehidupan ini tidak adil, tidak adil bahwa aku harus berada di tempat seperti ini sementara kamu hidup dalam
Kesempatan untuk bertemu dengan Marissa akhirnya terbuka bagiku, dan hatiku bergetar dengan rasa bahagia dan cemas. Meskipun Marissa telah melakukan kesalahan yang besar terhadap kami, aku tidak bisa melupakan masa-masa indah yang kami lewati bersama saat kami masih sekolah dulu. Kami adalah teman baik, berbagi tawa, cerita, dan impian bersama. Sekarang, dengan keputusanku untuk menemui Marissa, aku berharap kami bisa memulihkan hubungan yang ada di antara kita.Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Aku bersiap untuk pergi menemui Marissa, memilih pakaian dengan hati-hati, mencoba tampak tenang dan berbicara dengan hati yang terbuka. Aku berdoa agar pertemuan ini bisa membawa kedamaian dan kesembuhan baik bagi diriku maupun Marissa.Sepasang tangan kekar tiba-tiba merangkulku dari belakang, menyapu rasa kantukku dengan kehangatan yang akrab. Aku tersenyum dan berbalik memandang Keenan yang sudah bangun tidur, selalu ada dalam pelukannya."Kenapa kamu tidak membangunkanku?" tanya Keenan de
Aku melepaskan sedikit rasa kantukku saat melihat seorang lelaki dengan tangan kekar yang memeluk perutku. Senyuman terukir di wajahku ketika aku menyadari bahwa itu adalah Keenan, suamiku yang tidur di sampingku. Matanya yang tertutup oleh bulu alis yang tebal begitu indah, hidungnya yang mancung memberikan pesona tersendiri.Dalam keadaan itu, aku tertegun sejenak, mengamati wajahnya yang damai saat terlelap. Rasa cinta yang mendalam muncul dalam hatiku, melihat Keenan sebagai sosok yang melengkapi hidupku.Teringat akan janji pernikahan kami yang baru terucap beberapa hari yang lalu, saat kami bersatu menjadi suami istri. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku bahagia bisa berbagi hidup dengan Keenan, orang yang telah berada di sampingku sejak lama.Aku mencium udara pagi dengan perasaan yang penuh syukur. Aku merasakan kehangatan dan keamanan dalam pelukan Keenan. Rasa terima kasih terucap dalam hatiku, untuk kami berdua dan keberuntungan yang telah Tuhan anugerahkan kepadaku.Sejenak a
Keenan mengangkat kepalanya dan tiba-tiba mencium bibirku dengan lembut. Suasana di apartemen Keenan menjadi hening, hingga hanya terdengar detak jarum jam yang mengisi ruangan. Aku terbuai dalam kelembutan ciumannya, merasakan kenyamanan yang timbul dan melupakan segala sesuatu di sekitar kami.Namun, aku segera menyadari situasi kami dan mendorong tubuh Keenan agar menjauh dariku. "Apa kita akan melakukannya di sini?" tanyaku, hatiku berdebar ketika mengingat keberadaan kamera CCTV di ruangan ini.Keenan bangun dari posisi tidurnya dan duduk di sampingku. "Memangnya kenapa kalau di sini? Di apartemen ini hanya ada kita," ucapnya dengan senyuman.Aku menunjuk ke arah CCTV yang terpasang di sudut ruangan. "Lihatlah, ada CCTV di sini. Aku tidak ingin kegiatan kita terekam dan diketahui oleh orang lain."Keenan hanya tersenyum dan mengangguk mengerti. "Baiklah, aku akan membawa tuan putriku ini ke kamar. Di sana kita bisa bebas dan tenang," ucapnya sambil mengangkat tubuhku dengan lembu
Keenan terlihat kesal karena Kenzie belum tidur hingga malam tiba. Sudah berbagai cara Keenan lakukan agar Kenzie bisa tidur, tetapi nyatanya semua usahanya tak berhasil membuat anak kami tertidur. Aku hanya tersenyum melihat wajah kesalnya. Mulai dari saat kami meninggalkan kamar hotel hingga sekarang, ketika kami sudah berada di apartemenku, Keenan masih terlihat murung. Ya, setelah hari pernikahanku dengan Keenan selesai, kami memutuskan untuk kembali tinggal di apartemen yang pernah aku beli dulu. Kenzie begitu sangat bahagia ketika kami memutuskan untuk kembali lagi ke apartemen ini. "Terima kasih, Tante Sissi, sudah mau memberi tumpangan kepada kami," kata Kenzie, berlari ke arah Sissi dan memeluknya erat. "Sama-sama, Ken. Tante Sissi juga senang bisa membantu kalian bertiga. Apalagi rumah tante Sissi jadi ramai. Oh iya, lain kali kamu juga bisa main ke rumah tante Sissi." Kenzie melepaskan pelukannya. "Terima kasih, Tante. Aku sangat sayang pada Tante. Maafkan aku yang sela
"Kenapa? Apa yang kamu bicarakan dengan Om Beni?" tanyaku pada Keenan setelah ia mengakhiri sambungan teleponnya dengan ekspresi yang terlihat agak cemas."Tidak apa-apa, Om Beni hanya mengucapkan selamat kepada kita," jawab Keenan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana."Para tamu sudah pulang semua?" tanyanya sambil memandang sekeliling ruangan yang sudah kosong.Aku mengangguk. "Sudah pada pulang. Kenzie juga sudah pergi bersama Sissi dan Bagas.""Pergi ke mana?" tanyanya penasaran."Kenzie bilang dia ingin beli es krim.""Malam-malam begini?" tanyanya terlihat agak cemas.Aku mengangguk. "Ya, Kenzie selalu menginginkan sesuatu dan Sissi akhirnya merasa kasihan padanya, jadi dia membawa Kenzie untuk membeli es krim.""Tapi nanti giginya sakit lagi," ujar Keenan sambil menggeleng."Aku juga sudah melarangnya, tapi kamu tahu sendiri Kenzie pasti akan merengek terus."Keenan mengangguk setuju, tapi ekspresinya terlihat agak khawatir. "Ya, itu masalahnya. Tetapi, sepertinya m
"Iya, itu memang cincin yang aku dapatkan dari pelelangan," jawab Keenan sambil tersenyum menatapku.Aku merasa bingung mengapa Keenan memberikan cincin itu kepadaku. "Tapi … kenapa kamu memberikannya untukku?" tanyaku yang masih bingung."Kiara, cincin itu adalah turun-temurun dari nenek moyang kami dulu, dan sekarang cincin itu memang sepantasnya untukmu," terang Tante Belinda."Tapi … kenapa harus untukku, Tante?""Mommy, kenapa Mommy terlihat bingung? Mommy sudah melahirkan aku, jadi cincin itu sekarang Mommy yang simpan. Kalau nanti aku udah besar, Daddy bilang nanti cincin itu aku yang simpan, iya, 'kan, Daddy?" ujar Kenzie dengan polos."Lihat, anakmu saja mengerti, kenapa kamu tidak mengerti," terang Keenan."Jadi … maksudnya, kamu ….""Iya, malam ini, aku ingin melamarmu, Kiara. Di depan keluarga kita," ucap Keenan yang membuatku tersipu malu. "Kamu mau 'kan menikah denganku, kita membesarkan Kenzie bersama?"Aku melihat ke arah Ibu, Ibu mengangguk tanda setuju, lalu aku meli