Ketika Malam Datang. Aku memandang keluar dari jendela apartemen, dengan pandangan kosong seolah tak tahu apa yang ingin kukatakan. Sudah beberapa botol wine yang kuhabiskan malam ini, namun rasa sakit yang menghujam hatiku tak kunjung berkurang. Keresahanku semakin menjadi-jadi ketika melihat lampu-lampu yang terang bersinar, memberi kesan bahwa di balik dinding-dinding gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, ada kebahagiaan dan damai yang selalu merindukan hatiku.Aku terus berpikir dan memikirkan kejadian beberapa waktu lalu. Tes DNA yang mengejutkan. Hasilnya mencantumkan bahwa anak yang selama ini kukehendaki bukanlah anakku. Kenzie, anak yang kusayangi, bukanlah putraku. Aneh, karena jika kulihat wajahnya dan kesukaan kami sama, semua itu begitu mirip denganku. Semirip pinang dibelah dua.Hati ini merasa sangat pilu. Kenapa ini terjadi? Apa yang salah dengan diriku hingga Kenzie bukanlah putraku? Apakah selama ini aku salah menganggapnya sebagai anak kandungku? Kenzie yang
Pov KiaraAku duduk di balkon apartemenku, menikmati keheningan malam. Namun, kesedihan dan kebingungan memenuhi pikiranku. Hasil tes tersebut memperlihatkan bahwa Kenzie bukanlah anak Keenan. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dan siapa yang telah memanipulasi hasil tes itu.Ketika aku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, tiba-tiba Sissi memanggil namaku. "Kiara." Aku menoleh padanya yang sudah berdiri di belakangku."Apa kamu sedang memikirkan hasil tes itu?" tanyanya.Aku mengangguk dan melirik ke bawah, memandangi jalan raya yang ramai meskipun sudah malam. "Aku tidak bisa mempercayai hasil tes itu," ujarku.Sissi duduk di sampingku. "Mengapa kamu merasa begitu?""Aku tahu betul Kenzie memiliki kesamaan dengan Keenan, baik dari wajah hingga sifatnya. Namun, hasil tes ini justru menunjukkan sebaliknya.""Aku mengerti perasaanmu, Ara," katanya mengulurkan tangan dan meletakkannya di punggung tanganku. "Tapi, apa pun hasil tes itu, Kenzie masih tetap sama seperti sebel
Ketika pagi hari tiba, kulihat Bi Indri sedang sibuk di dapur memasak sarapan pagi. Sejak beberapa hari terakhir, Bi Indri bergabung menjadi anggota keluarga kami sebagai asisten rumah tangga. Aku merasa senang melihat Ibu menjadi lebih santai karena Bi Indri membantunya dalam setiap pekerjaan rumah tangga. Meskipun Ibu pandai dalam memasak, aku merasa tidak enak melihatnya terus bekerja keras di usia yang sudah tua. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mencari bantuan dengan merekrut Bi Indri untuk membantu kami.Sambil memperhatikan Bi Indri yang sibuk memasak, aku pun ikut membantu mempersiapkan makan pagi. "Bi, tolong buatkan teh hangat untuk Ibu, ya?" "Baik, Nyonya." Bi Indri pun langsung mengiyakan permintaanku dan mulai membuat teh hangat untuk Ibu."Ayo, Ken, sarapan dulu, Sayang," seruku kepada Kenzie yang tengah asyik menonton kartun di TV.Kenzie pun mengangguk dan segera turun dari sofa. Ia lalu duduk di kursi dan tersenyum kepadaku. "Terima kasih, Mom."Aku senang meli
Tepat pada pukul 20:25 malam, kami sampai di sebuah restoran yang terletak di Tuban. Restoran ini memiliki pemandangan indah yang memukau kami semua. Kami dapat melihat pantai yang cantik di malam hari dengan ombak yang menyenangkan terdengar begitu syahdu.Kami berempat duduk di kursi yang menghadap ke pantai. Walaupun udara dingin mulai terasa, tapi ini semua tak berarti tergantikan dengan keindahan pemandangan yang ada. Kami menikmati keindahan yang dipersembahkan oleh restoran tersebut."Ken, kamu mau pesan seafood?" tanya Jordi kepada Kenzie yang sedang terdiam.Namun, Kenzie hanya menggeleng tegas dan berkata, "Malam ini aku tidak mau makan seafood."Jordi seperti penasaran dengan alasan Kenzie yang berbeda dari biasanya. "Kenapa kamu tidak ingin makan seafood? Biasanya, kamu sangat suka dengan seafood, kan?"Kenzie hanya diam dan tak berkata apa-apa. Sejak dia mengetahui hasil tesnya dengan Keenan yang tak sama, Kenzie menjadi lebih pendiam, cuek, dan terlihat sedih. Aku tidak t
Aku segera menghampiri putraku. Pandangan mataku terasa kabur, tanganku gemetar, dan rasa sesak terasa memenuhi dadaku. Aku terjatuh di aspal dingin sambil memeluk tubuh Kenzie yang lemah. Hatiku remuk dan serpihan tidurku dilanda mimpi buruk yang takkan pernah hilang."Kenzie …."Hiks!Dalam sekejap, impian indah kami berdua pupus. Kenzie, putraku yang paling berharga dan penopang hidup aku, telah pergi meninggalkan sejuta impian, kenangan manis. Aku tahu aku tidak bisa melawan takdir, tapi jantungku tak mampu menerima apa yang terjadi pada anakku."Kenzie ... maafkan mommy. Maafkan mommy yang tak bisa melindungimu," gumamku dengan suara tercekat yang terus berulang-ulang.Sambil memeluk tubuh Kenzie yang beku, aku berlutut di tengah aspal jalan yang padat kendaraan sambil menangis tersedu-sedu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan karena tanganku terlalu lemah untuk mengembalikan anakku yang sudah tak sadarkan diri. Tubuhnya yang lemah dan banyak darah segar yang mengalir membuat
Ketika aku memasuki ruangan apartemen Keenan, ada sesuatu yang membuat hatiku terasa sakit. Aku tidak pernah berpikir akan melihat pemandangan yang seperti ini. Di depanku, Keenan dan Marissa sedang saling berciuman. "Keenan …" gumamku lirih ketika melihat Keenan dan Marissa tengah bercumbu mesra.Sesaat setelah mereka menyadari keberadaanku, senyum kebahagiaan di bibir mereka menjadi tergantikan dengan wajah tidak senang. "Kiara …" cetus Marissa dengan nada yang seperti terkejut.Mereka segera melepaskan satu sama lain dan menatapku heran. Aku mencoba mempertahankan ketenangan."Mengapa kau datang kemari? Apa kedatanganmu hanya untuk mengganggu kami berdua?" tanya Keenan dengan nada yang menyakitkan.Aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak tahu kalau kalian sedang bersama.""Mengapa kamu tidak menekan bel terlebih dahulu? Setidaknya, kamu bisa lebih sopan santun." Keenan bertanya dengan sikap sinis."Iya, aku sudah menekannya dari tadi, tapi kalian tak kunjung membuka pint
Setelah menunggu beberapa jam lamanya, akhirnya Keenan keluar dari ruangan transfusi darah. Aku berniat untuk segera mendekatinya dan menanyakan kabar. Namun, Marissa sudah terlebih dahulu menghampiri Keenan dengan wajah begitu cemas. "Sayang, kamu pucat sekali, apa kamu baik-baik saja?" Marissa bertanya sambil membantu Keenan untuk duduk.Keenan hanya menggumam dengan lemah. "Aku baik-baik saja."Aku merasa prihatin melihat wajah pucat Keenan. Aku tidak tahu berapa banyak kantong darah yang telah Keenan donorkan untuk Kenzie, namun aku sangat berterima kasih dengan pengorbanannya karena nyawa anakku terselamatkan. Aku segera mengambil botol minuman yang sudah diberikan oleh Sissi dan berjalan menuju kursi tempat Marissa dan Keenan duduk."Keenan, minumlah," ujarku sambil menyodorkan botol minuman ke arah Keenan.Keenan menatapku sekilas, ia kemudian mengambil botol tersebut dari tanganku sambil mengucapkan terima kasih dengan lemah. Saat ini, aku merasa lega dan bersyukur karena semu
Aku menatap putraku, Ken dengan wajah nanar. Dalam keadaan belum sadarkan diri, aku hanya mampu berharap agar putraku segera membuka kedua matanya yang indah. Dengan lembut aku mengusap wajah putraku, aku merasa senang bahwa wajah Ken sudah semakin berangsur tak pucat lagi."Ken, bangunlah, Sayang, mommy ingin melihat senyummu lagi," gumamku lirih sambil memperhatikan putraku.Aku lantas duduk di sebelah putraku, aku merasakan segenap jiwa dan ragaku memperjuangkan kesembuhannya. Melihat makhluk Tuhan yang begitu sangat aku sayangi, yang begitu berarti dalam hidupku, aku tak ingin kehilangannya karena ia adalah alasanku untuk bertahan selama ini.Namun, ketika kejadian mengerikan itu melanda, kekuatan itu mungkin saja tidak cukup. Kepalaku yang penat dan khawatir akhir-akhir ini membuatku kesulitan untuk tidur. Namun, itu tidak sebanding dengan kondisi Keenan, yang terlihat sangat lelah dan pucat di sampingku."Kamu belum ngantuk?" tanya Keenan."Aku tidak bisa tidur," jawabku lirih s