Tepat pada pukul 20:25 malam, kami sampai di sebuah restoran yang terletak di Tuban. Restoran ini memiliki pemandangan indah yang memukau kami semua. Kami dapat melihat pantai yang cantik di malam hari dengan ombak yang menyenangkan terdengar begitu syahdu.Kami berempat duduk di kursi yang menghadap ke pantai. Walaupun udara dingin mulai terasa, tapi ini semua tak berarti tergantikan dengan keindahan pemandangan yang ada. Kami menikmati keindahan yang dipersembahkan oleh restoran tersebut."Ken, kamu mau pesan seafood?" tanya Jordi kepada Kenzie yang sedang terdiam.Namun, Kenzie hanya menggeleng tegas dan berkata, "Malam ini aku tidak mau makan seafood."Jordi seperti penasaran dengan alasan Kenzie yang berbeda dari biasanya. "Kenapa kamu tidak ingin makan seafood? Biasanya, kamu sangat suka dengan seafood, kan?"Kenzie hanya diam dan tak berkata apa-apa. Sejak dia mengetahui hasil tesnya dengan Keenan yang tak sama, Kenzie menjadi lebih pendiam, cuek, dan terlihat sedih. Aku tidak t
Aku segera menghampiri putraku. Pandangan mataku terasa kabur, tanganku gemetar, dan rasa sesak terasa memenuhi dadaku. Aku terjatuh di aspal dingin sambil memeluk tubuh Kenzie yang lemah. Hatiku remuk dan serpihan tidurku dilanda mimpi buruk yang takkan pernah hilang."Kenzie …."Hiks!Dalam sekejap, impian indah kami berdua pupus. Kenzie, putraku yang paling berharga dan penopang hidup aku, telah pergi meninggalkan sejuta impian, kenangan manis. Aku tahu aku tidak bisa melawan takdir, tapi jantungku tak mampu menerima apa yang terjadi pada anakku."Kenzie ... maafkan mommy. Maafkan mommy yang tak bisa melindungimu," gumamku dengan suara tercekat yang terus berulang-ulang.Sambil memeluk tubuh Kenzie yang beku, aku berlutut di tengah aspal jalan yang padat kendaraan sambil menangis tersedu-sedu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan karena tanganku terlalu lemah untuk mengembalikan anakku yang sudah tak sadarkan diri. Tubuhnya yang lemah dan banyak darah segar yang mengalir membuat
Ketika aku memasuki ruangan apartemen Keenan, ada sesuatu yang membuat hatiku terasa sakit. Aku tidak pernah berpikir akan melihat pemandangan yang seperti ini. Di depanku, Keenan dan Marissa sedang saling berciuman. "Keenan …" gumamku lirih ketika melihat Keenan dan Marissa tengah bercumbu mesra.Sesaat setelah mereka menyadari keberadaanku, senyum kebahagiaan di bibir mereka menjadi tergantikan dengan wajah tidak senang. "Kiara …" cetus Marissa dengan nada yang seperti terkejut.Mereka segera melepaskan satu sama lain dan menatapku heran. Aku mencoba mempertahankan ketenangan."Mengapa kau datang kemari? Apa kedatanganmu hanya untuk mengganggu kami berdua?" tanya Keenan dengan nada yang menyakitkan.Aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak tahu kalau kalian sedang bersama.""Mengapa kamu tidak menekan bel terlebih dahulu? Setidaknya, kamu bisa lebih sopan santun." Keenan bertanya dengan sikap sinis."Iya, aku sudah menekannya dari tadi, tapi kalian tak kunjung membuka pint
Setelah menunggu beberapa jam lamanya, akhirnya Keenan keluar dari ruangan transfusi darah. Aku berniat untuk segera mendekatinya dan menanyakan kabar. Namun, Marissa sudah terlebih dahulu menghampiri Keenan dengan wajah begitu cemas. "Sayang, kamu pucat sekali, apa kamu baik-baik saja?" Marissa bertanya sambil membantu Keenan untuk duduk.Keenan hanya menggumam dengan lemah. "Aku baik-baik saja."Aku merasa prihatin melihat wajah pucat Keenan. Aku tidak tahu berapa banyak kantong darah yang telah Keenan donorkan untuk Kenzie, namun aku sangat berterima kasih dengan pengorbanannya karena nyawa anakku terselamatkan. Aku segera mengambil botol minuman yang sudah diberikan oleh Sissi dan berjalan menuju kursi tempat Marissa dan Keenan duduk."Keenan, minumlah," ujarku sambil menyodorkan botol minuman ke arah Keenan.Keenan menatapku sekilas, ia kemudian mengambil botol tersebut dari tanganku sambil mengucapkan terima kasih dengan lemah. Saat ini, aku merasa lega dan bersyukur karena semu
Aku menatap putraku, Ken dengan wajah nanar. Dalam keadaan belum sadarkan diri, aku hanya mampu berharap agar putraku segera membuka kedua matanya yang indah. Dengan lembut aku mengusap wajah putraku, aku merasa senang bahwa wajah Ken sudah semakin berangsur tak pucat lagi."Ken, bangunlah, Sayang, mommy ingin melihat senyummu lagi," gumamku lirih sambil memperhatikan putraku.Aku lantas duduk di sebelah putraku, aku merasakan segenap jiwa dan ragaku memperjuangkan kesembuhannya. Melihat makhluk Tuhan yang begitu sangat aku sayangi, yang begitu berarti dalam hidupku, aku tak ingin kehilangannya karena ia adalah alasanku untuk bertahan selama ini.Namun, ketika kejadian mengerikan itu melanda, kekuatan itu mungkin saja tidak cukup. Kepalaku yang penat dan khawatir akhir-akhir ini membuatku kesulitan untuk tidur. Namun, itu tidak sebanding dengan kondisi Keenan, yang terlihat sangat lelah dan pucat di sampingku."Kamu belum ngantuk?" tanya Keenan."Aku tidak bisa tidur," jawabku lirih s
Kenzie memperhatikan Keenan yang sedang makan dengan menggunakan tangan kirinya. Tiba-tiba ia bertanya, "Paman, kenapa makan menggunakan tangan kiri?"Keenan menjawab, "Tangan kananku kebas.""Tidak boleh makan pakai tangan kiri, Paman. Bagaimana kalau mommy-ku saja yang menyuapi Paman?" Kenzie menyarankan.Kenzie menoleh ke arahku dan bertanya, "Mommy mau kan menyuapi Paman? Kasihan dia harus makan menggunakan tangan kiri."Bibirku terkatup ketika mendengar kata-kata Kenzie, tidak tahu apa yang harus aku jawab. Aku terdiam sesaat sebelum melihat ke arah Keenan dan kemudian mengiyakan permintaan Kenzie."Ya, Sayang. Mommy senang bisa membantu Paman," ucapku dengan senyum ramah. Aku lantas meletakan piring Kenzie yang sudah habis di atas meja, lalu menghampiri Keenan."Biar aku yang menyuapimu," gumamku lembut sambil mengambil alih mangkuk yang ada di tangan Keenan.Keenan hanya memberikan anggukan lemah saat aku mulai menyuapinya. Ketika aku menyuapinya, aku merasa jantungku berdegup l
Perlahan tetapi pasti, aku merasakan jantungku semakin tidak terkendali ketika Keenan semakin mendekatiku. Aku meraih lehernya dan memeluknya erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang mengalir ke dalam diriku. Kami saling menatap dalam diam, tak ada kata yang terucap, tapi rasanya seperti ada bahasa cinta yang saling terucap antara kami.Aku memejamkan mataku untuk meresapi setiap sentuhan tangan Keenan di atas kulit wajahku. Perasaanku yang canggung dan kaku mulai hilang, digantikan dengan perasaan rindu yang mulai terobati.Ketika bibirku dan Keenan hampir bersentuhan, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan membuat aku terkesiap, begitu juga dengan Keenan. Kami berdua langsung melihat ke arah pintu. Lagi-lagi, aku terkesiap ketika melihat putraku, Kenzie, dan Bagas ada di ambang pintu. Segera saja aku menjauhkan diri dari Keenan, merasa canggung dengan situasi yang terjadi di antara kami.Kenzie dengan polosnya bertanya, "Kalian berdua lagi ngapain?"Keenan menggumam dengan suar
"Kenapa Mommy?" Kenzie bertanya padaku dengan wajah bingung.Aku tersadar dari lamunanku dan mencoba memberikan jawaban agar tidak mengkhawatirkannya. "Tidak apa-apa, Sayang"Kemudian, aku meletakkan ponsel di dalam tas dan akan bergegas pergi ke bagian administrasi. "Mommy akan ke bagian administrasi dulu, ya?"Kenzie mengangguk dan setuju akan hal tersebut.Ketika aku hendak melangkah ke luar, tiba-tiba Keenan sudah berada di hadapanku, dan berkata, "Tidak perlu, biar aku saja"Aku merasa ragu dengan usulannya dan mencoba menolaknya. "Tapi …," ujarku. Namun, Keenan dengan tegas dan menatapku sambil berkata, "Kamu bereskan saja barang-barang yang akan dibawa pulang. Biar aku yang kebagian administrasi." Meskipun ragu, aku merasa terharu dengan ketegasannya."Baiklah."Akhirnya, aku pun setuju dan Keenan pergi ke bagian administrasi. Sementara itu, aku memenuhi permintaannya untuk membereskan barang-barang yang akan kami bawa pulang dari rumah sakit. Aku merasa lega karena hari ini p