Jam pulang sekolah, Axel dan Alea berjalan beriringan menuju area parkir. "Kak, gimana mamanya Rina, mau enggak kerja di rumah tante Nida?" tanya Alea saat masuk ke dalam mobil. "Aku belum tau. Belum sempat nanyain ke Bang Gilang. Rencananya sebelum pulang ke rumah, aku mau ke cafe dulu.""Sekarang?" "Iyalah, masa besok. Kenapa? Kamu enggak mau ikut? Kalau gak mau ikut, pulangnya naik taksi," ujar Axel pada adik kandungnya. Bibir Alea mengerucut mendengar penuturan Axel. "Di cafe jangan lama-lama!""Serah akulah!" sangat cuek, Axel menimpali ucapan adiknya. Tiba di cafe, suasana ramai. Rata-rata pengunjung cafe anak-anak sekolah. "Lea, Axel!" Rupanya Arfan yang memanggil. Alea lantas menghampiri lelaki yang tengah duduk di depan laptop. Sedangkan Axel hanya melambaikan tangan dan melanjutkan langkah mencari keberadaan Ferry atau Gilang. "Idih, pantesan jam terakhir bolos, ternyata ada di sini," ucap Alea duduk di kursi samping Arfan. Lelaki itu terkekeh, lalu menjawab, "Aku m
"Silakan minum dulu," ujar Nida saat mereka sudah berada di dalam rumah."Terima kasih, Non."Tina menunggu Nida ke ruangan lain. Dia pikir, Nida mau mengganti pakaian ternyata menyuguhkan minuman segar untuk istri Ferry itu. Tina sempat berpikir, kenapa rumah sebesar ini tidak ada security atau tidak ada asisten rumah tangga. "Jadi, Mbak yakin mau kerja di rumah saya?" tanya Nida setelah Tina meletakkan jus jeruk di tempat semula. "Sangat yakin, Non. Insya Allah saya akan bekerja dengan baik," jawab Tina tanpa keraguan sedikitpun. Paling tidak, jika Tina bekerja di rumah ini, dia ada kegiatan lain yang dapat menghasilkan uang. Tina ingin sekali anak semata wayangnya kuliah di kedokteran. Ia tahu, jika kuliah kedokteran memerlukan banyak biaya. Oleh karenanya, Tina tidak boleh berpangku tangan di rumah, membiarkan suaminya saja yang bekerja. Gaji Ferry sebagai karyawan cafe hanya mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Sulit bagi mereka dapat menabung banyak. "Lalu, kapan Mbak bisa
Sepulang dari rumah Nida, wajah Tina sangat sumringah. Keluarga Bragastara memang orang-orang yang baik dan ramah. Tina teringat almarhumah Gauri dan almarhum Daniel. Dua orang yang pernah merasakan cinta di masa lalu dan berakhir dipisahkan karena tahta dan harta. Mereka memendam cinta hingga keduanya jatuh cinta pada orang lain. Namun, pertemuan yang tak disangka, membuat Daniel dan Gauri sempat merasakan cinta yang pernah terpendam. Beruntung, Daniel tidak terjerat akan cinta masa lalunya. Ia tetap setia pada istrinya bernama Namira Rashid. Kini, sudah bertahun-tahun telah berlalu, Tina dipertemukan kembali dengan keturunan Bragastara. Bahkan keluarga itulah yang memberikan Tina dan Ferry pekerjaan. Tiba di rumah, Rina anak semata wayang Ferry dan Tina menunggu di kursi teras depan rumah. Rina amat mencemaskan keadaan ibunya yang tak memberi kabar. "Assalamualaikum," ucap Tina yang dijawab oleh gadis berusia belasan tahun itu. "Waalaikumsalam. Ya Allah, Ibu ... Sebetulnya Ibu da
Ferry dan Tina terkejut mendengar pertanyaan anak mereka. Keduanya saling melempar pandang. Tina menelan saliva sebelum menjawab. Kenapa Rina berpikiran jika dirinya akan bekerja di perusahaan. "Rina, kamu kan tau, kalau pendidikan Ibu keperawatan bukan pembisnis. Bukan yang bekerja di kantoran begitu," jawab Tina lembut. Kening Rina mengkerut, ia tampak berpikir. "Kalau bukan kerja di kantoran, terus Ibu kerja di mana? Kerja sebagai apa?"Ferry menghela napas berat. Sepahit apapun kenyataan atau sebuah kejujuran, harus disampaikan. "Rina, Ibumu kerja di rumah non Nida sebagai asisten rumah tangga."Kedua mata Rina membeliak. Terkejut, mendengar jawaban ayahnya. "Asisten rumah tangga? Maksudnya jadi ... ja-jadi pembantu?"Suara Rina bergetar menyampaikan pertanyaan itu. Sungguh, jika itu benar, Rina tak menyangka sama sekali jika ibunya rela menjadi pembantu di rumah Nida. "Iya, Nak. Ibu jadi pembantu di rumah non Nida.""Ya Allah, Buuuuu ...." Tangisan Rina pecah. "Rina, maafka
Axel dan Alea terkejut melihat Bianca sudah pulang ke rumah lebih dulu. Tatapan wanita itu begitu tajam ke arah mereka. Axel menghela napas berat. Ia sudah menduga akan kena omelan wanita yang telah merawatnya sejak kecil itu."Kalian dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?" Pertanyaan berintonasi dingin itu membuat Alea merundukkan kepala. "Kami dari cafe. Tadi aku yang ngajak Lea ke sana."Jawaban Axel tak lantas membuat Bianca berhenti bertanya. "Lea, ingat! Di cafe Axel kamu jangan mau didekati bujangan lapuk itu! Kamu itu enggak pantes deket-deket sama dia!" Tiba-tiba saja Bianca membahas Gilang. Alea tentu saja terkejut. "Maksud Mama bang Gilang?" Alea sekadar memastikan. "Iya. Bujangan lapuk di cafe itu kan cuma si Gilang! Kalau perlu, kamu enggak usah ke cafe-cafe lagi. Nanti kalau kamu kena bujukan rayu si Gilang, kamu bisa jatuh cinta sama dia! Mama enggak mau punya menantu modelan cowok enggak jelas itu!"Sangat sinis, Bianca berbicara. Axel sebagai sahabat Gilang mera
Pukul jam lima Subuh, mobil box yang dikirim Nida sudah berada di depan gang rumah Ferry. Lelaki itu memindahkan barang-barangnya ke dalam mobil menggunakan sepeda motor lebih dulu karena mobil box tidak bisa masuk ke dalam gang rumah kontrakan Ferry. Setelah semuanya selesai diangkut, Ferry, Tina dan Rina menemui pemilik kontrakan untuk membayar sewa kontrakan bulan ini dan juga berpamitan. "Mas Ferry, kontrakannya enggak usah dibayar saja. Sekarang kan masih awal bulan. Ambil lagi aja uangnya," ucap bu Haji Asih mengembalikan uang pemberian Ferry. "Enggak apa-apa, Bu Haji. Ambil saja. Kami mengucapkan banyak terima kasih karena selama ini Bu Haji sangat pengertian pada kami. Sebelumnya kami sering telat bayar kontrakan, tapi Bu Haji tetap memberi tenggang waktu, enggak mengusir kami. Terima kasih banyak. Semoga kebaikan Bu Haji diganti oleh Allah SWT. Aamiin," tutur Ferry panjang lebar. "Aamiin ya Allah. Sama-sama Mas Ferry, Mbak Tina. Semoga ditempat yang baru, rezeki kalian di
Usai menyantap sarapan bersama Nida, Tina dan Rina bergegas merapikan meja makan serta mencuci peralatan dapur. Sedangkan Ferry, membantu memindahkan barang-barangnya dari mobil box ke paviliun. "Mbak Tina, Rina, nanti saja cuci piringnya. Kalian baru sampe, istirahatlah dulu!" tegur Nida, merasa tak enak hati pada ibu dan anak itu. "Enggak apa-apa, Non. Kami senang bisa bekerja di rumah ini," ujar Tina tersenyum bahagia. Sungguh, dirinya sangat beruntung bisa diterima kerja di rumah keluarga Bragastara meskipun sebagai asisten rumah tangga. "Ya sudah kalau itu mau kalian. Saya pamit ke kamar dulu.""Baik, Non."Rencananya hari ini, Nida ingin ke rumah sakit menemui papanya. Selagi libur kerja, Nida ingin menggantikan Shella menjaga dan menemani Yuda. Kasihan Shella, sudah beberapa hari tinggal di rumah sakit. Pukul tujuh pagi, Nida baru keluar kamar lagi. Ia tersenyum melihat Tina sedang menyapu."Mbak Tina?" sapa Nida saat berada di ujung anak tangga. "Iya, Non?" Setengah membu
Hesti sangat terkejut mendengar tanggapan Bianca atas permintaannya. Tak menyangka jika Bianca berkata demikian. Dia pikir, Bianca dengan senang hati membawanya pulang dari tempat panti jompo."Bu-bukan begitu, Nak. Mama cuma ingin .. sisa hidup Mama bersamamu. Bersama suami dan anak-anakmu." Suara Hesti bergetar. Wanita tua itu pun tak mengetahui jika sebetulnya Bianca belum dikaruniai anak. Ia hanya tahu jika Axel dan Alea adalah cucunya yang dilahirkan Bianca. "Ck, jangan bohong, Ma! Aku tau betul, dari dulu Mama enggak pernah mau tinggal bersamaku kan? Udahlah, Ma! Jangan bikin aku pusing, jangan bikin aku repot lagi! Sekarang lebih baik Mama tinggal di sini. Di sini kan banyak tuh, teman-teman Mama. Tadi aku lihat di luar sana, banyak wanita tua yang kayak Mama." Tanpa memikirkan perasaan Hesti, Bianca berbicara. Sekarang Hesti sudah tua. Tak bisa memarahi anak semata wayangnya itu. Memang, Hesti tak berhak menyalahkan atas sikap Bianca padanya saat ini. Dulu, dia tidak pernah
Haifa menggelengkan kepala. Ia benar-benar tak tahu kemana perginya ibu Ros. "Kalau kata kak Nifa, mungkin mama tinggal di rumah lainnya. Mungkin sebenarnya diam-diam mama punya rumah lain soalnya kan dulu Mbak sering kasih uang ke mama," kata Haifa, teringat ucapan kakak kaduanya. Nida menghela napas berat. "Ya semoga saja. Mama kamu kan udah tua, Fa. Kasihan kalau hidupnya luntang-lantung. Kemarin itu, kata Kak Bianca, mama kamu sempat datang ke kantor, nyariin Mbak. Cuma kak Bian enggak kasih alamat tempat proyek kerjaku. Aku sekarang kerja di dalam kantor dan di lapangan," ujar Nida mengingat cerita yang disampaikan Bianca kemarin sore saat ia pulang dari proyek."Mungkin aja, Mbak. Soalnya kemarin itu mama dan mbak Nifa sempat bertengkar hebat. Mereka adu mulut bahkan kata Mbak Nifa, dia sampai mengobrak-abrik pakaian mama di lemari."Gerakan tangan Nida yang hendak menyuap roti tawar terhenti. Menatap lekat mantan adik iparnya. "Obrak-abrik pakaian mama? Mau ngapain?" tanya N
Pagi hari, Rina terkejut dengan anak kecil yang keluar dari kamar tamu. "Hei, kamu siapa, tampan? Mau cari siapa?" tanya Rina pada Rafa yang berdiri di dinding pembatas dapur dan ruang makan. Tina yang sedang mencuci piring menoleh pada anaknya. Rina membungkukkan badan di depan anak berusia sekitar lima tahunan. "Aku lapel, Ante ...." Jawaban bocah yang masih cadel itu membuat Tina dan Rina tersenyum. Rina dengan penuh kasih sayang menggendong Rafa, mendudukkan di atas kursi dapur. "Bu, apakah anak ini anaknya Mbak Haifa yang semalam Ibu ceritain?" tanya Rina setengah berbisik pada wanita yang telah melahirkannya. "Iya, Nak. Kamu buatin dia susu dulu. Ibu mau masak buat sarapannya.""Iya, Bu. Sebentar ya, Adek. Ante bikinin susu yang enaaakk sekali. Adek mau?"Dengan cepat, Rafasya menganggukkan kepala. "Mau, Ante."Walaupun baru mengenal dan bertemu dengan Rafasya tapi Rina sangat mudah membuat anak kecil itu merasa nyaman di dekatnya. ""Ya Tuhan, Rafa! Mama kira kamu kemana?"
"Maksud Friska bukan ngejadiin kamu pembantu, Nifa," ralat Hanif, khawatir kemarahan adiknya itu meledak malam-malam. Walau sebetulnya maksud Friska memang demikian. Sampai jam sebelas malam Hanif tak bisa tidur karena memikirkan pesan Friska untuk Hanifa. "Bukan jadi pembantu gimana?" tentang Hanifa melipat kedua tangan di depan dada. "Udah jelas, dia nyuruh aku bantuin Mbok Tarmi masak dan beres-beres rumah. Kalau bukan pembantu terus apa? Asisten rumah tangga? Sama aja, Mas!" tukas Hanifa sengit. Hanif panik dengan intonasi suara Hanifa yang meninggi. Dia menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya agar Hanifa dapat bicara pelan, tidak berisik. Sesekali Hanif melongok ke atas, memastikan jika istrinya tidak keluar kamar. "Bicaramu pelan aja, Nifa. Nanti kalau Friska bangun, bisa ribut tengah malam," tegur Hanif pada adik pertamanya. Muka Hanifa melengos ke arah lain. Ia benar-benar tak suka dengan Friska yang sombong itu. "Masih untung, Friska mau menerimamu tinggal di rumah i
"Mbak, tadi aku bilang ke mas Rangga kalau kami akan menunggunya di halte. Duh, Mbak. Gimana kalau dia ....""Astaghfirullahalazhim, Haifa," sela Nida saat adik kandung Hanif itu masih saja mencemaskan suami yang sudah berulang kali mengkhianati cintanya. "Haifa, kamu masih mencemaskan laki-laki itu? Bukankah dia udah berulang kali selingkuh?"Sungguh, Nida tak habis pikir pada Haifa. Dia tahu betul kalau Rangga sudah berulang kali berselingkuh bahkan ada yang sudah punya anak. Namun, Haifa benar-benar dibutakan oleh cintanya pada Rangga. "Maaf, Mbak. Kata mas Rangga, dia mau berubah." Suara Haifa terdengar pelan, namun masih bisa terdengar di telinga Nida. Nida memijat pelipis. Ia baru satu kali diselingkuhi Hanif saja, sangat jijik jika harus menjalin rumah tangga lagi. Ini Haifa, sudah berulang kali bahkan Rangga terang-terangan telah menghamili wanita lain. "Berubah apanya? Kamu tau enggak, sekarang suamimu ada di mana?" tanya Nida menoleh sekilas pada adik Hanif itu. Ya sebetu
Hati Haifa begitu sakit, ditelantarkan oleh kakak kandungnya sendiri. Padahal saat ini selain sang suami, Hanifa-lah yang dijadikan Haifa bergantung. Mendengar pertanyaan anaknya, Haifa agak berjongkok, membelai wajah Rafasya. "Nak, kita akan tinggal di tempat baru. Kita tunggu papa datang dulu, ya? Sekarang kita duduk di situ." Haifa mengajak anak semata wayangnya duduk di kursi panjang halte bus. Ia berusaha menahan air mata. Tidak ada tempat baginya untuk berlindung selain pada Rangga. Haifa mencoba menghubungi lelaki yang tengah asik minum-minuman bersama wanita lain. Gelak tawa Rangga terhenti mendengar handphone-nya kembali berdering. Lelaki tukang selingkuh itu memberi isyarat pada dua wanita paenghibur agar tidak bersuara. Suara musik juga di-mute. "Udah dapat tempat tinggal yang baru?" tanya Rangga tanpa basa-basi. Haifa merunduk, menghela napas berat, berusaha tetap tegar. "Be-belum. Mas, bisa enggak ke sini dulu? Aku dan Rafa di halte dekat lokasi proyek. Nanti aku share
"Mbak, emangnya Mbak jarang setor ke Bank?" cecar Haifa yang berjalan di belakang kakaknya. "Enggak. Mbak kan enggak ada uang, Fa.""Tapi, kan ... tiap bulan Mbak Nida kasih kita uang, Mbak. Baru bulan ini dia enggak kasih uang. Harusnya uang dari Mbak Nida sebagian buat setor ke Bank. Kenapa sih Mbak ceroboh banget? Udah begini, kita mau tinggal di mana, Mbak?""Diam!" sentak Hanifa tak terima diingatkan adiknya. Haifa terkejut, menelan saliva. Tubuhnya seketika menegang. "Jangan banyak omong. Sekarang cepat kemasi pakaianmu! Kita harus pergi dari sini.""Ma, kita pergi kemana?"Pertanyaan anaknya tak dihiraukan Hanifa. Anak kedua ibu Ros itu tampak kebingungan. Hanifa masuk ke dalam kamar, begitu pula Haifa. Mereka bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper. Hampir lima belas menit, kakak beradik serta anak-anaknya keluar rumah. Membawa dua koper. Satu koper berisi pakaiannya dan satu koper lagi berisi pakaian anak-anak. Langkah kaki Haifa terhenti. Ia berbelok masuk ke dalam kamar
"Enggak ...." Tentu saja ibu Ros berkilah akan tuduhan Bianca. "Enggak minta uang. Tante juga tau diri, Bianca. Sekarang kan Nida bukan menantu Tante lagi," sambung ibu Ros tersenyum kaku. Bianca tak sepenuhnya percaya. Dulu, Nida pernah bercerita jika mertuanya selalu minta uang. "Masa? Sukurlah kalau Tante tau diri. Lah terus, ngapain Tante pengen ketemu sama Nida?" Bianca penasaran. Bertanya lagi tentang alasan ibu Ros yang tiba-tiba datang ke kantor. Ibu Ros sempat salah tingkah namun ia berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat gugup di depan Bianca yang tak lain saudara Nida. "Tante pengen ketemu dia mau nanyain kapan jadwal sidang perceraiannya. Tante mau datang," ujar ibu Ros tersenyum kaku. "Kenapa nanyainnya ke Nida? Kenapa enggak tanya sama anak Tante yang tukang selingkuh itu?" sindir Bianca yang tak ingin pergi meninggalkan ibu Ros. Dari dulu, Bianca tak suka dengan wanita yang telah melahirkan Hanif. Bianca masih ingat betul saat dirinya berkunjung ke
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be