Nida dan Hanif sudah pulang dari rumah Bragastara. Mereka membawa kendaraan masing-masing. Awalnya Hanif ingin satu mobil dengan Nida, mobilnya diantarkan supir pribadi Bianca. Namun, Nida menolak. Ia tak mau nantinya Bianca akan marah. Akhirnya Hanif mengikuti kendaraan Nida dari belakang. "Ma, minum dulu airnya," ucap Alea menyodorkan segelas air pada Bianca. Wanita yang masih terlihat emosi itu menoleh, mengambil alih gelas dari tangan Alea. "Terima kasih, Lea," kata Bianca berusaha tersenyum. Alea jadi bingung dengan pemikiran dan sikap Bianca. Gadis itu berpikir kalau sikap Bianca sangat egois dengan membiarkan dirinya dan Axel tidak mengenal ibu kandung. Namun, sisi lain Alea juga merasa kasihan pada Bianca karena sekarang Axel telah menilai buruk Bianca. "Alea, kamu enggak akan ninggalin Mama kan, Nak?"Bahkan sudah dikasih tahu Evan jangan menyuruh Alea atau Axel memanggilnya Mama, Bianca justru mengabaikan. Ia tetap ingin dipanggil Mama oleh Alea dan Axel. "Enggak, Ma. Ak
Axel terdiam mendengar cerita yang disampaikan adiknya. Mulai bimbang akan keputusannya. Satu sisi, Axel masih marah dan kecewa dengan Bianca. Sisi lain, Axel merasa kasihan pada Nida. Selama ini Nida selalu baik dan perhatian pada mereka. "Nanti aku pikirin lagi."Tanpa menunggu tanggapan Alea, Axel mematikan sambungan telepon. Ia menarik napas panjang, berusaha menetralisir kemarahan. Axel menoleh pada Gilang yang membuat kopi untuk pelanggan. Ia beranjak, mendekati Gilang. "Bang, boleh enggak aku pulang duluan?" tanya Axel agak segan karena sekarang dia numpang di kos an Gilang. "Boleh, Xel. Tuh kuncinya di saku jaket Abang.""Oke. Makasih, Bang.""Xel, kamu udah telepon Alea?" tanya Gilang mengingat kedatangan Alea ke cafe. "Baru aja aku telepon Lea.""Tadi dia ke sini sama tante Nida." Gilang memang sudah mengetahui keluarga besar Bragastara. Axel yang mengenalkan Gilang pada mereka. "Oh tante Nida tadi ke sini?""Iya. Mereka cemasin kamu."Axel terdiam sesaat, lalu pamit pu
Nida berharap, Axel masih mau mendengar sarannya. Biar bagaimanapun, tak enak sekali jika sesama saudara bermusuhan. Hubungan Bianca dan Nida selama ini sangat baik. Mereka begitu saling menyayangi dan memberi perhatian. Apakah hanya karena Nida mengungkapkan kebenaran, hubungan yang terjalin baik itu akan rusak?"Ya udah, aku akan pulang ke rumah. Aku akan menganggap tidak ada yang terjadi dan aku akan tetap memanggap mereka adalah kedua orang tuaku bukan kakakku," ucap Axel mengambil keputusan. Nida dan Hanif tersenyum bahagia mendengar keputusan Axel. Nida hanya ingin keluarga Bragastara selalu bahagia, tidak ada pertengkaran atau kesalahpahaman. "Terima kasih, Axel. Kamu memang anak yang baik."Hanif merangkul pundak istrinya. Berusaha menenangkan Nida yang meneteskan air mata. Hanif tak menyangka jika istrinya itu sedang dihadapkan masalah. Dia pikir, Nida di rumah baik-baik saja dan hanya dihadapkan dengan permasalahan ibu Ros. "Kalau begitu, aku pamit pulang. Malam ini juga,
"Hah? Kak Axel ada di rumah ... di depan rumah ki--""Iya, Bawel! Cepetan buka pintunya!" Axel mematikan sambungan telepon. Menunggu Alea datang membuka pintu. "Kenapa, Nak? Axel ada di sini? Axel udah pulang?" tanya Bianca sumringah. Menatap lekat Alea yang tengah tersenyum. Evan juga penasaran, ia menunggu jawaban adik iparnya itu. "Iya, Ma, Pa. Sekarang kak Axel ada di depan rumah. Sebentar, aku bukain dulu pintunya, aku suruh dia masuk!"Bianca menganggukkan kepala, membiarkan Alea ke depan, membuka pintu untuk kembarannya. "Disuruh buka pintu, malah lama!" sungut Axel saat pintu rumah sudah dibuka Alea. Gadis itu sangat senang, menghambur dalam pelukan kakaknya. "Alhamdulillah ya Allah ... akhirnya si keras kepala mau pulang lagi ke rumah," ujar Alea ditengah pelukan. Axel kesal, melepaskan pelukan adiknya. "Berisik!" kata Axel masuk lebih dulu ke dalam rumah. Alea mengunci kembali pintu, berjalan, mensejajari langkah kaki kakaknya."Kalau aku suruh, cepat kamu laksanain! K
Sejak Hanif pulang dari keluar kota, sikap Nida berubah drastis. Menjadi lebih pendiam dan tampak tak peduli apalagi perhatian. Seperti pagi ini, Nida sibuk sendiri. Sedari bangun tidur, sampai sekarang di meja makan, tidak ada tegur sapa dari anak kandung Yuda dan Dania itu. "Dek ...," panggil Hanif memandang istrinya yang duduk di kursi bersebrangan. Nida mendongak sembari mengunyah roti panggang. "Iya?" sahut Nida membalas tatapan suaminya. "Kenapa sikapmu berubah? Apa karena permintaan mamaku?" Hanif hanya berprasangka. Sebab dia tahu, perempuan mana yang mau dipoligami apalagi hanya karena mereka belum dikarunia anak. Nida tak langsung menjawab, menegak segelas air putih hingga setengah."Hm ... Aku cuma bingung aja," kata Nida menumpu kedua tangan di atas meja. "Aku bingung menghadapi mama kamu. Seingatku, selama ini aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Tapi, kenapa mamamu masih saja mencari kesalahanku bahkan dengan urusan yang bukan menjadi kuasaku. Masalah
Semua yang ada di ruang meja makan terkejut mendengar jawaban Axel. Terutama Bianca. Hatinya merasa tersisihkan dengan perbuatan Axel yang baru saja mengunjungi makam kedua orang tuanya. Alea diam, tak bicara lagi. Dia tak mau membuat Bianca bersedih. Begitu pula Evan. Memilih diam, tak menimpali jawaban Axel. Sarapan pagi ini diselimuti keheningan. Mereka seolah bergelut dengan pikiran masing-masing. Usai sarapan, si kembar pamit masuk ke dalam kamar, setelahnya berangkat ke sekolah. "Kak, kenapa enggak ngajak aku kalau mau ke makam mama papa?" tanya Alea saat keduanya sudah berada di dalam mobil. Pandangan Axel lurus ke depan. Lelaki yang baru berusia 18 tahun itu duduk di balik kemudi. Ia tak ingin diantar supir ke sekolah. "Memangnya kamu mau?" "Maulah, Kak! Masa berziarah ke makam kedua orang tua kita enggak mau," celetuk Alea mengalihkan pandangan ke depan. "Aku pikir, kamu masih menganggap orang tua kandung itu Kak Evan dan Kak Bianca." Alea menoleh cepat, menatap tak
"Astaghfirullah, Nida ... istighfar. Kamu jangan ngomong cerai-cerai! Enggak baik, Nak. Pokoknya selama bisa diselesaikan baik-baik, kamu harus bertahan. Kalian selama ini baik-baik saja kan? Masalah permintaan ibu mertuamu, enggak usah kamu pikirin!" Sebisa mungkin Shella menenangkan hati Nida dan melarang anak sambungnya itu untuk menggugat cerai Hanif."Ya udah, Ma. Aku mau balik ke ruangan dulu. Makasih ya Ma, udah mau dengerin curhatanku," kata Nida bahagia memiliki ibu sambung yang merangkap sebagai kakak dan sahabat. Shella benar-benar menjadi tempat yang nyaman bagi Nida untuk berbagi cerita. Tidak seperti Gita, ibu sambungnya dulu. Sangat jahat dan licik. "Iya, sama-sama. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Mama. Oke?"Sebetulnya Nida juga ingin bercerita tentang keluarga Bragastara, terutama tentang sikap Bianca padanya. Akan tetapi, jika diceritakan di kantor, rasanya kurang baik. "Iya, Ma. Nanti aku mau cerita lagi.""Oke!"Nida beranjak, keluar ruangan Shella m
"Sok tau kamu!" timpal Bianca kesal, tak terima dengan alasan Nida yang mengatakan kebenaran itu pada Axel dan Alea. Wanita itu lantas keluar, menuju ruangannya. Nida menarik napas panjang, menetralisir amarah yang telah mengusai diri. Nida menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tak terasa, air matanya mengalir, Nida menangis. Menangisi kehidupannya yang kerap kali disalahkan orang lain dan orang-orang yang terdekat. Setelah meluapkan emosi lewat tangisan, Nida melanjutkan pekerjaan. Ia ingin fokus menyelesaikan pekerjaannya. *** Bukannya masuk ke ruangannya, Bianca justru berbelok ke ruangan sang suami, Evan. "Aku kesal banget sama si Nida. Sok tau! Sok jadi pahlawan," gerutu Bianca tiba-tiba masuk ke ruangan. Evan terkejut melihat kedatangan istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Evan lembut pada wanita yang duduk di sofa sudut ruangan. Bianca bersidekap, mendongak, membalas tatapan Evan. "Tadi aku habis ngajak Nida ngobrol tapi ya gitu deh. Sok merasa pali
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang