TIBA-TIBA saja suasana menjadi hening dan mereka pun memutuskan untuk makan siang sebelum jam istirahat kantor selesai.
Diam-diam Tantri menyenggol lengan Jeanne kemudian berkata dengan sangat-sangat pelan. "Pak Alan tadi beneran lagi ngelamar lo?"Walaupun sudah dikatakan dengan sangat pelan, tapi Alan yang duduk di samping Jeanne, mepet lagi, jelas bisa ikut mendengar pertanyaan itu. Bahkan Glen di pojokan pun sanggup mendengarnya dan turut memasang kupingnya baik-baik.Jeanne menoleh dengan wajah datar. Dia itu sejatinya tidak suka berbohong, tapi bukan berarti dia tidak bisa. Dia hanya jarang melakukannya kecuali memang sedang kepepet saja. Dia lebih suka mulutnya mengatakan apa pun yang saat itu sedang melintas di kepalanya."Lo mikir yang tadi lamaran? Gue mikirnya itu sindiran." Jeanne mendengkus keras. "Kalau beneran lamaran, kurang niat banget dia! Masa iya dia ngelamar anak orang di depan bawahannya dan cuma di ruangan kantornya pula," c"LO serius mau ke apotek?" tanya Alan sewaktu mereka sudah berada di mobil.Gosip soal mereka yang dekat atau bahkan memiliki affair sudah mulai tersebar memenuhi kantor. Sebagian dari mereka ada yang percaya, tapi kebanyakan dari mereka berani menyangkal kebenarannya. Lantaran baik Jeanne dan Alan sudah pernah mengonfirmasi kalau keduanya hanya teman biasa. Anak-anak dari divisi pemasaran pun berani membenarkannya."Ya serius, lah!" Jeanne menatapnya kesal. "Gue butuh obat kontrasepsi gara-gara lo yang katanya udah ahli dan udah pengalaman, nyatanya nidurin anak orang masih nggak pakai pengaman," cibirnya sambil duduk nyaman berharap mobil akan segera berjalan.Alan hanya tersenyum mendengar cibirannya. Dia bukannya lupa tidak memakai pengaman, tapi saat itu pengamannya sedang habis. Dia pun berpikir tidak apa-apa menebar benihnya sesekali, toh orang yang akan dia tiduri adalah Jeanne."Bukannya nggak pakai, tapi pengaman gue lagi abis waktu itu.
Jeanne merasa dirinya seperti sedang diperintah untuk segera masuk ke apartemen Alan. Punggungnya seperti tengah didorong. Walaupun terasa sangat pelan dan samar, tapi dia bisa merasakan sedikit kekasaran pria itu saat menyuruhnya masuk.Jeanne menelan ludahnya dengan susah payah. Apa dia minta maaf saja pada Alan sekarang, ya? Rasanya kali ini dia benar-benar akan berada dalam bahaya. Tidak seperti kemarin-kemarin saat Alan ingin menidurinya, kali ini pria itu terlihat seperti sedang memendam amarahnya.Lagian, kenapa sih dia bisa menjadi semarah itu? Memangnya apa yang sudah Jeanne perbuat sampai bisa membuatnya jadi seperti itu? Perasaan dia tidak melakukan apa pun yang bisa membuat Alan menjadi marah, kecuali memang mulutnya ....Jeanne menelan ludah susah payah saat menyadari Alan telah mengunci pintu di belakangnya. Dia pun teringat pada ucapan Alan sebelum mengantarnya ke apotek tadi."Mulut lo kayaknya perlu diberi pelajaran.""La
JEANNE merasa bersyukur setengah mati saat Alan tidak meminta jatahnya lagi selama beberapa hari terakhir. Alhasil Jeanne bisa istirahat dengan cukup, meminum obat kontrasepsi dengan rutin, dan benar-benar merasa fresh untuk menyambut kedatangan sang kekasih."Malam mingguan nih, Je? Lo mau hangout sama Pak Alan atau mau malam minggu sendirian?" Tantri bertanya saat mereka dalam perjalanan pulang.Alan yang tidak meminta jatah, maka dia tidak akan menampakkan wajah. Walaupun berulang kali Alan masih mengirimkan pesan dan bertanya bagaimana keadaannya, tapi Jeanne membalas pesannya dengan sekenanya saja.Dia cukup belajar untuk menahan diri, terutama menahan mulut lancangnya saat berhadapan dengan Alan gegara peristiwa sebelumnya. Dia tidak mau kejadian terakhir sampai terulang kembali padanya. Dia tidak siap kehilangan fungsi kedua kakinya selama beberapa saat gegara perbuatan pada tubuhnya."Sama pacar, dia katanya mau ke sini setelah pulang kerj
ALAN tahu doanya sama sekali tidak terkabul saat melihat Jeanne sedang bersama pria asing sore itu. Dia tidak mendekati mereka. Tidak pula menyapa, berbasa-basi, ataupun berkenalan dengan rivalnya. Karena Alan tidak ingin menyadari kekalahan telaknya.Walaupun dia menang dari segi materi, tapi dari segi fisik dia tentu kalah jauh dari kekasih Jeanne itu. Alan memiliki tubuh tinggi yang terbilang kurus. Tubuhnya memang padat, tapi bukan berisi dan berotot seperti binaragawan, karena Alan memang tidak pernah melakukan olah raga seperti mereka.Alan hanya mendalami ilmu bela diri dan cara menggunakan senjata, terutama pistol dan senapan laras panjang. Itu pun dia lakukan karena papanya memaksa Alan untuk melakukannya. Papanya punya ambisi untuk menjadikan Alan seorang tentara. Sayangnya Alan sama sekali tidak tertarik dan tidak menginginkannya.Hidup pas-pasan dengan mengandalkan uang dari pensiunan setelah kehilangan anggota tubuh atau malah kehilangan nyawa
JEANNE tidak menemukan Fredy saat dia keluar dari kamar mandi. Padahal Jeanne kira Fredy sedang menunggu di kamarnya, karena pria itu ingin segera menggunakan kamar mandi bergantian dengannya. Namun ternyata, kekasih bebeknya itu tidak ada di sana.Setelah menyisir rambutnya yang basah tanpa repot-repot mengerikannya seperti biasa, Jeanne keluar dari kamar dan mencari keberadaan Fredy di apartemennya.Di ruang tamu tidak ada. Jeanne berpindah menuju dapur dan Fredy berada di sana. Dia sedang duduk dengan tenang di salah satu kursi sambil menyesap sebuah kopi instan yang baru saja diseduh olehnya.Jeanne memang menyimpan kopi instan, teh, dan juga mie. Dia sengaja menyetoknya agar dia bisa memakan atau meminumnya saat dia sedang ingin makan sesuatu di malam hari."Gue udah selesai, nih. Lo mau mandi sekarang apa nanti?" Jeanne mendekat tanpa rasa curiga sedikit pun.Fredy hanya diam saja. Tanpa menolehkan kepala dan tak terusik sedikit pun
JEANNE sedang memesan makanan saat pesan Alan masuk ke ponselnya. Jeanne langsung mengernyitkan dahi saat melihat ada sebuah foto yang dikirim pria itu padanya.Karena penasaran, Jeanne pun membuka pesan dari Alan. Penampakan foto pria itu yang sedang telanjang di atas ranjang sukses membuat Jeanne refleks menjatuhkan ponsel sembarangan."Gila!" makinya, mengatur napas dan detak jantungnya sebelum memungut kembali ponselnya yang untungnya tidak rusak.Dia menghapus foto itu dari kotak pesannya sebelum memberikan balasan.Jeanne : Udah gila lo, ya?Jeanne : Nomor lo mau gue blokir aja apa gimana?Alan : Kangen.Jeanne : Cari pacar sana, Lan. Biar yang lo kangenin pacar lo sendiri, bukan pacar orang.Tidak ada jawaban. Jeanne langsung menghapus seluruh pesan Alan yang ada di ponselnya. Takut kalau si bebek mau pinjam ponsel dan melihat isi pesannya, eh malah menemukan pesan tidak senonoh dari CEO di kantornya.Alan : Cowok lo mana?Jeanne mendesah, kenapa Alan mengirim pesan lagi, sih?
SEPANJANG malam Jeanne tidak bisa memejamkan mata. Walaupun sejak tadi dia bisa menyembunyikan semuanya dengan berpura-pura, nyatanya hati dan tubuhnya tidak sedang baik-baik saja.Jeanne menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan mengelana entah ke mana. Bayangan percintaan mereka masih membekas dalam ingatannya. Bukan karena percintaan panas mereka yang begitu luar biasa, melainkan kebalikannya.Jeanne merasa sangat kecewa, tapi dia mencoba menyakinkan dirinya jika itu bukan apa-apa. Namun, kenyataan bahwa Jeanne tidak bisa merasakan apa pun saat Fredy menyentuh tubuhnya benar-benar membuat hatinya terluka.Jeanne memejamkan mata, mengembuskan napas panjang dan mencoba mengingat kembali apa yang membuatnya mau menerima Fredy menjadi pacarnya.Fredy adalah pria dewasa. Dia mapan dan sangat bisa diandalkan. Dan yang paling penting, tentu saja karena Fredy mau menerima Jeanne beserta semua kekurangan yang dia punya.Dia mau menerima Fredy bukan sekadar karena pria itu tampan, mapan,
JEANNE merasa dirinya sangat bodoh ketika dia sampai di depan pintu apartemen Alan. Untuk apa dia datang ke sini? Untuk apa dia kemari? Untuk meminta kepuasan dari seorang bajingan bernama Alan begitu?Pria sialan itu pasti akan tertawa terpingkal-pingkal saat melihatnya datang lebih dulu. Apalagi dia datang untuk memohon agar bisa ditiduri olehnya.Walaupun sudah tahu bagaimana akhirnya, nyatanya Jeanne tetap membunyikan bel apartemen bersuara auman harimau yang mengerikan itu. Berulang kali dia membunyikan bel, tapi tak ada tanda-tanda bila pintu apartemen itu akan terbuka untuknya."Jangan bilang dia lagi nggak ada di apartemennya," kata Jeanne lebih kepada dirinya sendiri.Dia membunyikan bel sekali lagi dan tak ada tanggapan apa pun yang menyambutnya di sana. Jeanne menghela napas lelah. Lengkap sudah kebodohannya hari ini, karena sudah datang ke sini hanya untuk bisa dipuaskan oleh seorang bajingan bernama Alan.Nyatanya, Jeanne masih mencoba membunyikan belnya sekali lagi hingg
AKHIR-AKHIR ini Alan jadi sering disebut zombie. Dia tidak protes dengan julukan itu, karena dia pun mengakuinya sendiri. Hidup tanpa Jeanne membuat harinya terasa sepi, seperti hidupnya sudah tak berarti lagi. Namun dia tahu dengan pasti kalau Jeanne sedang menantinya kembali.Lalu akhirnya, semua penderitaannya selama ini akan berakhir hari ini. Dengan rindu yang memenuhi dada dan membuatnya merasa sesak yang begitu menyiksa. Alan memandangi pantulan dirinya yang dibalut jas putih bersih dengan senyum tipis menghias bibirnya.Semoga tidak ada drama lain yang bisa membatalkan acara pernikahannya atau dia benar-benar akan gila."Kamu masih belum siap juga?" Arnold melihat putranya yang sedang berkemas dan tak kunjung selesai sejak tadi.Penampilan Alan hari ini terlihat lebih baik dari hari kemarin. Mungkin karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya setelah tiga minggu lebih mereka tidak pernah berhubungan lagi.Arnold sebenarnya cukup khawatir saat Jeanne tidak bisa
SEMALAM Alan terpaksa harus tidur di sofa ruang tamu, karena kamarnya benar-benar sudah tidak layak huni. Pagi harinya dia hanya bisa menatap kepergian Jeanne serta kedua orang tuanya seperti zombi.Tubuhnya terasa lelah dan remuk redam, tapi kini dia harus ditinggalkan sendirian. Walaupun demi kebaikan, tapi tetap saja rasanya menyesakkan.Apalagi saat dia tiba di kantor, masalah yang tersisa kemarin ditambah dokumen menumpuk di atas meja kerjanya ... Alan merasa pusing langsung menyerang kepalanya."Selamat pagi, Pak!" Glen menyapa seperti biasa.Alan memang selalu datang lebih awal, tapi dia akan berhenti di parkiran untuk mengecek kabar terbaru tentang perusahaan. Jadi dia bakal terlambat masuk ke ruangannya."Pagi," jawabnya lelah. "Untuk sementara waktu, tolong kosongkan jadwal temu saya dengan klien. Saya mau menyelesaikan semua dokumen dan masalah yang masih tersisa hari ini. Dan juga, tolong bantu Tantri agar bisa menjadi sekretaris sementara saya yang baik."Glen mengernyitk
"JADI, kalian mau langsung menikah saja bulan depan?" Bulan tersenyum bahagia saat mengatakannya. Itu berarti, sebentar lagi Jeanne akan resmi menjadi menantunya dan dia bisa segera menggendong cucu yang sudah lama diidam-idamkannya.Jeanne ganti menoleh ke sisi lain tubuhnya. "Jangan dong, Tante! Saya masih pengin melajang dulu sampai bulan depan, minimal samp—ai ..."Jeanne menelan ludahnya susah payah saat Alan langsung memajukan wajah hingga berada di depan wajahnya. Tangan pria itu entah sejak kapan sudah memegangi tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat."Melajang gimana maksudnya, ya? Perasaan hubungan kita masih baik-baik aja dan nggak ada masalah apa pun akhir-akhir ini?" katanya dengan nada tajam. Kalau terus dibiarkan, Jeanne bisa makin seenaknya saja dan rencana pernikahan mereka bakal molor lama.Padahal Alan sudah ingin mengikat wanita ini agar bisa terus bersamanya setiap hari. Kalau dia masih mau mengulur waktu lagi, Jeanne pasti akan mencari pria lain lagi setelah i
ALAN memejamkan matanya. Menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Tidak bisa. Dia tidak boleh melakukannya. Dia sudah berjanji untuk menjadi pria setia, maka dia harus menepati janjinya apa pun yang terjadi nantinya.Alan menarik tangannya tepat saat ponsel yang ada di mejanya bergetar. Dia mengambil ponselnya dan membuka sebuah pesan yang masuk ke sana.Arnold : Sayang sekali kamu tidak mau pulang malam ini, kalau pulang, kamu pasti bisa merasakan bagaimana rasa masakan calon istrimu ini.Pesan dari papanya itu sukses membuat Alan langsung mengernyitkan dahi. Masakan calon istri ... maksudnya masakan Jeanne? Memangnya Jeanne bisa memasak?Seingatnya, Jeanne tidak bisa memasak dan tidak bisa melakukan pekerjaan rumah. Makanya dia mau mencari calon suami yang kaya raya agar dia tidak dibuat repot mengurus masalah rumah, karena dia bisa menyewa asisten rumah tangga.Lalu, siapa maksud calon istri di sini? Dia benar-benar Jeanne kekasihnya atau wanita lain y
JEANNE menyerah. Dia memang paling tidak cocok melakukan pekerjaan rumah. Walaupun untuk cuci piring dia sudah bisa menguasainya, tapi tetap saja masih ada satu atau dua gelas yang pecah karena ulahnya. Jeanne memang tidak dimarahi, tapi dia merasa tidak enak hati.Sepertinya dia memang harus membatalkan niat untuk menjadi calon menantu di rumah ini atau dia akan menghabiskan semua piring dan gelas kesayangan calon mertua baiknya ini.Jeanne mengembuskan napasnya lelah. Padahal dia hanya membantu cuci piring dan gelas. Dia memang sedang diajari memasak juga katanya, karena sejak tadi dia hanya disuruh mengupas sayuran, mengiris cabai dan bawang, lalu disuruh menggorengnya di wajan.Sisanya Bulan yang membereskan untuknya, karena Jeanne benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan bahan-bahan yang sekarang sudah berada di wajan.Bahkan dia juga tidak tahu apa yang Bulan tambahkan ke dalam wajan. Mungkin saja bumbu dapur seperti garam dan sedikit penyedap rasa atau mungkin j
ALAN merasa kepalanya mau pecah. Satu masalah muncul, masalah lainnya langsung bertebaran. Setelah menyelesaikan harga saham dan persoalan video yang kekasihnya perankan, Alan menyadari dirinya sedang butuh seorang teman. Dia butuh hiburan, tapi kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Padahal dia hanya butuh ditemani. Dibiarkan menyender dengan manja untuk menyingkirkan pusing dan lelah yang dia derita. Dia hanya butuh hal yang sederhana, seperti menyampaikan sedikit keluh kesah yang sedang dirasakannya atau mungkin hanya diam saja dan tiduran di paha kekasihnya.Namun kenyataannya Jeanne tidak ada di sana. Kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Alan melirik jam di tangannya. Sebentar lagi jam makan siang usai. Jarak dari kantor dan apartemen memang tidak terlalu jauh, tapi tidak akan cukup untuk dia bermanja-manja dengan kekasihnya, karena Alan pasti ingin melakukannya sampai puas.Alan sudah menghubungi Jeanne, berniat meminta Jeanne datang ke sana dan menemaninya bekerja, tapi sialnya pon
RUMAH ini ternyata benar-benar luar biasa. Walaupun terlihat tenang dan nyaman dari luar, nyatanya dalamnya penuh senjata. Baik pistol maupun senapan laras panjang menjadi hiasan dindingnya.Jeanne menelan ludah susah payah. Ini kalau ada yang niat maling bakal langsung dibunuh di tempat, kah?"Ini senjata beneran atau imitasi, Om?" Jeanne refleks bertanya pada Arnold yang berjalan di belakangnya.Pria tua itu berhenti melangkah, karena Jeanne sedang menghentikan langkah untuk memandangi setiap koleksi simpanannya. Tubuh aslinya tinggi tegap, tapi dia harus kehilangan kaki kiri di tugas terakhirnya. Walaupun kini dia memakai sebelah kaki palsu, tapi Arnold masih suka membawa tongkat saat dia berjalan."Senjata asli, tapi nggak ada pelurunya."Jeanne berdecak kagum, kemudian tersenyum manis saat berkata, "Wah, kalau dijual bakal mahal nih, Om!""Nggak akan saya jual, soalnya buat koleksi sekaligus kenang-kenangan." Arnold menjawab dengan tenang, suaranya tegas dan jelas.Jeanne terkesi
"SEJAK kapan lo tinggal sama Jeanne?" Alva bertanya begitu dia berjumpa dengan Alan di ruangannya.Alva baru saja selesai mengantar Jeanne pulang, lalu dia kembali ke perusahaan itu untuk mengantar dokumen langsung ke sepupunya serta mencari tahu kabar viral yang sedang beredar pagi ini. Terlebih Jeanne sebelumnya berasal dari kantor cabang tempat dia bekerja. Alva juga yang merekomendasikan Jeanne dimutasi ke sana. Kalau Jeanne sampai kena masalah, sepertinya dia harus ikut turun tangan untuk bertanggung jawab bersamanya.Glen yang ada di sebelah bosnya langsung melotot tajam mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut seseorang yang sedang mengantar laporan dari kantor cabang Bandung untuk atasannya.Hari ini dia sudah cukup terkejut dengan berita viral soal video asusila Jeanne. Sekarang dia makin dibuat terkejut oleh kenyataan kalau atasannya dan Jeanne selama ini tinggal bersama. Bagaimana bisa? Bukannya atasannya masih mengincar Jeanne tempo hari, ya?"Setelah pacaran," jawabnya
DENGAN serempak mereka menoleh. Zion salah seorang teman divisi yang selama ini terang-terangan melempar kode pada Jeanne sedang mendekati mereka. Dengan wajah mesum, tatapan melecehkan, dan sebuah seringai menyebalkan."Lo jangan kurang ajar, ya!" Tantri langsung membela, karena bagaimanapun juga Jeanne adalah temannya. "Belum tentu juga itu video punya dia!"Jeanne hanya tersenyum miris. Itu memang dia. Itu memang video dirinya. Jeanne tidak mungkin melupakan wajahnya sendiri. Jadi, itu memang benar-benar dirinya. Dia tidak akan bisa menyangkal, karena dia pun dapat mengenali siapa pria yang mengambil video tersebut.Pria itu adalah mantan pacarnya. Salah satu pria yang pernah dicampakkan olehnya. Pria itu pula yang pernah membuat Jeanne trauma dan menjadi wanita matre plus realistis soal uang hingga sekarang."Lo masih mau nyangkal juga? Padahal yang punya video diem aja." Zion menyeringai.Tantri menatap Jeanne yang hanya diam saja dengan senyum tipis terukir di bibirnya. Jeanne m