“Sial!” geram Kenedict. Ia mendorong kepalan tangannya kebawah. Tubuh pria itu berbalik. Ia berlari menghampiri kolam renang. Tak berpikir lagi, pria itu langsung menjatuhkan dirinya kedalam kolam. Tangan jenjangnya langsung meraih tubuh mungil yang tak lagi bergerak di dalam air.
“Sial!” Ia mengumpat lagi. Kent mengangkat tubuh mungil itu hingga ke pinggiran kolam. Ia bergegas naik. Duduk di samping tubuh mungil itu dengan perasaan cemas. Kent bergegas memberikan pertolongan. Ia tahu jika gadis ini masih bernapas. Lagi pula hanya beberapa menit. Tidak mungkin ia mati.
Kent meletakkan kedua telapak tangannya di depan dada Ilona. Ia menarik napas dan membuangnya seiring dengan menekan kedua tangan yang tumpang tindih di atas dada Ilona. Ia menekannya sebanyak tiga puluh kali dan ia melakukannya dengan cepat. Setiap dorongan membutuhkan waktu sebanyak satu detik. Untuk tiga puluh kali dorongan, pria itu melakukannya dalam waktu tiga puluh detik.
‘Tahu apa kalimat yang cocok untukmu?’Lagi-lagi Kent menengok bayangan itu. Ia semakin kesal.‘Jatuh cinta.’Kent terkekeh sinis. Ia menggelengkan kepala kemudian tertawa.“Astaga …,” gumamnya.Pria jenius itu tak percaya jika sekarang dia sedang berdebat dengan batinnya. Lagi pula apa-apaan pemikirannya barusan.“Jatuh cinta?” Kent mengulang kalimat itu, kali ini dengan bibirnya. Ia tersenyum kecut kemudian menertawai dirinya sendiri. Sambil berkacak pinggang, pria itu terus saja menggoyangkan kepala.“Jangan gila,” gumamnya lagi. Masih dengan menggelengkan kepala.Bergulat dengan batinnya sendiri. Namun, di saat bersamaan jantungnya malah berdetak dua kali lebih cepat. Rasanya begitu gugup saat membayangkan wajah Ilona yang seolah berada tepat di depannya. Pria bermata zamrud itu menepis bibirnya. Ia menggeleng untuk terakhir kali lalu bergegas meninggalkan d
Ilona mengernyit kemudian terdengar suara serak yang berubah menjadi erangan lirih. Bulu matanya tampak bergerak begitupun dengan kelopak mata yang perlahan terbuka. Ilona mengusap tenggorokkannya yang tersekat dan terasa begitu kering.Tubuhnya sangat lemas, demikian dengan napasnya. Terasa begitu panas di depan wajah. Ilona menarik napas lalu membuangnya dengan cepat. Sekuat tenaga ia berusaha untuk membalikkan tubuh, berharap ada segelas air di atas nakas.“Eh?” Gadis itu kembali mengernyit saat melihat tangan seseorang melingkari pingganggnya. Segera setelah dia membalikkan tubuh sepenuhnya, ia jadi begitu kaget.“Mr. Kent?” gumamnya dengan suara parau.Ilona menatap pria yang sedang tertidur dengan posisi terduduk di atas lantai. Hanya wajahnya yang berada di tepi ranjang sementara tangan kanannya berada di atas tubuh Ilona. Melingkar pada pingang rampingnya.“Mr. Kent,” bisik Ilona. Ia kembali mengernyit sa
Ilona menarik napas dalam-dalam. Ada senyuman yang menghiasi wajah itu, walau kelopak matanya masih tertutup. Kesadarannya belum terkumpul sempurna, hanya saja pagi ini hatinya begitu lega. Ada perasaan senang juga, yang mungkin datang dari alam bawah sadar sang gadis.Semalam ia bermimpi jika dirinya sedang sakit dan Kenedict berubah menjadi pria baik hati yang bersedia memberikannya makan malam. Rasanya Ilona tidak ingin bangun. Bermimpi saja seperti ini sepanjang hari. Mimpi ini terlalu indah. Ia tak ingin sadar dan menghadapi kenyataan. Tidak begini saja untuk beberapa lama.Senyum makin lebar di wajah gadis berdarah Indonesia itu. Namun ketika bunyi gordeng yang di tarik paksa terdengar dan membuat cahaya matahari masuk serentak, Ilona harus menutup wajahnya dengan bantal. Ia menggeram.Pasti itu Kent. Memangnya siapa lagi. Tidak mungkin Louis. Namun, saat mendengar suara ketukan sepatu tak seperti langkah kaki Kent, Ilona langsung menyibakkan bantal yang m
TING TONG ….Suara bel pintu makin terdengar. Ilona berlari menggapai pintu raksasa berwarna putih di depannya. Tanggan gadis itu tepat berada pada gagang pintu. Ia menarik napas seraya menarik gagang pintu.Sekelabat angin menerpa wajah Ilona ketika ia berhasil membuka pintu rumah. Senyum selebar wajah ia pertahankan.“Hai …,” sapa seseorang. Pria bertubuh tegap atletis tepat berada di depan Ilona. Tak kalah dengan senyumannya, pria itu juga memberikan senyum terbaik untuk Ilona.Namun, bukannya semakin senang, wajah Ilona malah berubah murung. Senyumannya perlahan memudar. Dalam hati ia merasa begitu kecewa.‘Ternyata bukan dia. Lagi pula kenapa aku sangat berharap dia ada di sini. Tidak mungkin dia kembali secepat itu.’ Batin gadis itu. Tanpa sadar ia pun berdecak kesal membuat pria di depannya mengerutkan dahi.“Kenapa? Kau seperti kecewa melihat aku yang berdiri di sini. Apa kau menantikan ses
Roskilde – Denmark11.27 PM_________________Kenedict membanting tubuh ke atas sofa persegi panjang. Hari ini ia benar-benar lelah. Well, setiap hari memang melelahkan bagi seorang konglongmerat muda setara Kenedict Archer hanya saja hari ini entah kenapa menjadi satu dari sekain banyak hari melelahkan –yang paling melelahkan– baginya.Berkeliling ke tiga negara di Eropa dalam sehari sebenarnya hal yang biasa. Bagi Kent, terjun ke perusahaan bukan sekedar untuk melihat bagaimana kinerja para pekerja di perusahaannya namun juga melihat tingkat keberhasilan dari setiap perusahaan yang ia kelola. Sebagai Presiden Direktur, Kenedict Archer selalu memposisikan dirinya sebagai pengendali. Semua harus sesuai porsi dan standar dari sang bos.Jadi, semua perusahaan yang bernaung di bawah nama besar Archer’s Group, mau tidak mau harus mengikuti keinginan sang Presdir. Dan ia juga cukup bangga, mengetahui teknologi yang di
Christian akhirnya berhasil membawa Ilona ke Indonesia menggunakan pesawat jet miliknya. Selama dalam perjalanan pulang, Ilona hanya bicara seperlunya. Wajah gadis itu terus saja murung. Ilona benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan Kenedict. Sekedar untuk memastikan jika keputusan yang telah ia ambil telah benar.‘Semoga Mr. Kent baca surat yang kutulis,’ gumam Ilona.****Sam Ratulangi, International Airport09.33 PM______________Hampir 17 jam berada dalam pesawat terbang, membuat Ilona mengalami jet lag. Maklum saja, gadis itu tidak pernah naik pesawat sebelumnya. Ketika ia di bawa ke San Diego, Ilona tidak sadarkan diri di tambah konflik yang ia alami setelah terbangun di Pub The Lion. Serangan jet lag seolah tertutup dengan siksaan bertubi-tubi yang ia alami saat itu.“You okay?” tanya Christian. Ilona merespon dengan anggukkan kepala. “Ayo, kau masih bisa berjala
Ilona bergegas memakai pakaian yang di berikan oleh Chris. Setelah memakainya, gadis itu berniat untuk menghampiri Christian untuk segera berpamitan. Walau bagaimanapun, Chris telah menolongnya. Ilona tidak enak pergi begitu saja tanpa pamit.“Louis,” panggil Ilona. Ia mengerutkan dahi saat melihat Louis supir pribadi Christian tengah berdiri di depan pintu kamarnya.“Tuan Chris menyuruhku menjemput Anda,” ucap Louis dengan ramah.“Baiklah.” Ilona mengangguk.Louis pun berbalik. Ilona mengikuti pria itu. Naik ke lift dan turun di lantai 1. Di sana, Christian telah menunggu. Ia duduk di salah satu tempat tersudut di restoran.Manik berwarna biru milik Christian telah menanti-nanti kedatangan Ilona hingga ketika pintu lift berbunyi, mata mereka langsung bertabrakan. Christian tersenyum sumringah. Ia melambaikan tangan ke udara sekedar untuk memperjelas keberadaannya dan memanggil gadis itu untuk segera menghampirin
Ilona berlari menyusuri koridor lantai lima sambil berderai air mata. Perkataan Claudia masih jelas terasa dalam rungunya. Sekejap Ilona merasa dunianya telah hancur.‘Gregory udah nikah.’‘Mereka nikahnya diam-diam.’‘Gila yah, nikahnya ama janda pula.’“Gak!” Ilona menjerit dalam kepedihan. Ia mendorong pintu di depannya dengan kuat. Membanting daun pintu dengan kasar lalu menabrakan punggungnya di sana. Gadis itu sengaja melukai punggungnya sendiri untuk melampiaskan rasa sakit yang saat ini ia alami.Air mata terus saja bercucuran di wajahnya. Sakit. Hatinya mencelos perih bagai terkena sayatan pisau. Ilona membawa kedua tangan semakin menekan dadanya. Ia membiarkan tubuhnya merosot lemah hingga jatuh ke lantai.Seperti baru kemarin Gregory memegang kedua tangannya. Masih teringat jelas bagaimana pria itu hampir setiap hari mengatakan jika Ilona adalah wanita yang akan menjadi ibu dari anak
Enam kemudian ><__________________San Diego – California USA Archer’s Mansion 07.23 PM_________ Ilona dan Jane begitu sibuk menata meja makan. Gadis itu sengaja turun ke dapur untuk membantu para pelayan mansion. Turun dari tangga, seorang pria bermata hijau dalam balutan sweater panjang berwarna abu-abu. Ia mengambil langkah panjang menghampiri dining room. Kedua kaki berhenti tepat saat tubuhnya tiba di pintu. “Katanya sup ayam mampu meningkatkan kekebalan tubuh saat hamil?” tanya Ilona. Ia membawa sesendok kuah ke mulutnya. Di sampingnya, Jane mengangguk. “Bagaimana rasanya?” Ilona menarik kedua sudut bibirnya ketika kelopak matanya melebar. “Mmmm …,” gumam gadis itu. Ia mengacungkan jempol. “Masakanmu selalu yang tebaik, Jane.” Jane tertawa. “Aku senang kau menyukainya, Nyonya.” “Em, em, em, em!” Hailey menggoyangkan telunjuk di depan wajahnya. “Sudah berkali-kali kubilang jangan pern
“Kalau begitu ayo kita mulai.” Hailey tersenyum penuh kemenangan. Melihat bagaimana manik berwarna biru milik suaminya kini berubah gelap membuat sesuatu dalam pangkal paha Hailey berkedut makin kencang. Embusan napas berat dari Christian menyapu kulit dadanya. Ditatapnya sang pria yang kini tengah melucuti bagian atas gaunnya dengan gerakan pelan. Seakan-akan tengah membuka kado spesial, Christian membukanya sepenuh hati. “Damn it,” gumam Christian ketika menatap bagian padat dan kenyal milik sang istri. Christian mendongak menatap Hailey lalu dilumatnya bibir istrinya dengan kasar. Hailey menghela napas di dalam mulut Christian lalu dengan cepat pria itu menarik bibirnya lagi. Tubuh Hailey menggeliat gelisah ketika Christian menempelkan lingualnya di leher wanita itu. “Oh, Chris. Mmmptthhh ....” Hailey mendesah. Kelopak matanya menutup sebagian manik berwarna cokelat itu. Tangan Hailey terangkat melepaskan jepit rambut. Membiarkan rambutnya
Christian menggendong pengantinnya dengan begitu lembut memasuki salah satu kamar mewah di hotel termegah kota ini. Desain serba putih dengan taburan bunga mawar merah di atas tempat tidur. Sementara sang pengantin wanita mengalungkan tangan ke leher Christian. Hailey memandang lelakinya lekat-lekat lantas ia menarik kedua sudut bibirnya. Hailey tersenyum. Hatinya dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Betapa tidak menyangkanya wanita itu mendapatkan Christian sebagai suaminya. Sepertinya ia harus sering berterimakasih kepada Kenedict yang telah mengirim Hailey kepada kakaknya. Walaupun pertemuan mereka dibilang tragedy, tetapi Hailey sungguh bersyukur. Ia tak menginginkan hal yang lain selain pria bermata biru yang kini sedang mendekapnya mesra. Christian menaruh tubuh istrinya dengan begitu lembut di atas ranjang. Sambil mengunci tatapan pada Hailey, Christian bergerak menudungi tubuh sang istri. Ia tetap menjaga bobot tubuhnya dengan kedua lutut dan satu ta
Hallo :)Dengan berakhirnya kisah romansa dewasa ini, aku mau mengucapkan terima kasih untuk seluruh pembacaku yang sudah mengikuti kisah ini dari awal sampai akhir. Terima kasih juga untuk kalian yang telah berbaik hati memberikan VOTE & RIVIEW untuk novel ini. Mohon maaf apabila Novel ini kurang memuaskan. Sekali lagi, novel ini hanyalah sebuah karangan yang datang dari imajinasi penulis. Tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata dan tidak ada maksud untuk menyinggung satu dan atau beberapa pihak/golongan. Apa pun yang tersuguhkan dalam novel ini, niatnya hanyalah untuk menghibur. Semoga ada pesan moral yang bisa diambil dari kisah Kenedict, Christian, Ilona dan Hailey. Sampai bertemu di karya-karyaku selanjutnya, yah :)Sehat terus. Jaga kesehatan dan semoga TUHAN MEMBERKATI :)Your lovely Author : DREAMER QUEEN
London – England09.23 AM________Kenedict mondar-mandir di dalam ruang ganti. Sementara di sudut ruangan terdengar embusan napas panjang dari Christian yang sedang duduk di kursi tunggal berwarna putih.“Kent, apa kau butuh popok?” cibir Christian. Pria itu gemas melihat tingkah Kent.“Sial!” Kent mendesis sambil menatap kakaknya dengan nyalang.Wajahnya pucat. Benar-benar pucat, tapi telinganya merah. Ia kembali berlari ke kamar mandi dan datang setelah sepuluh detik. Christian menggelengkan kepalanya. Pria itu akhirnya berdiri lalu mengambil jas berwarna hitam yang disampirkan ke sandaran kursi.TOK TOKKeduanya kompak menengok ke arah pintu. Hailey muncul dengan senyum sumringah.“Mempelai wanita telah siap,” kata Hailey.Christian tersenyum. Ia menjulurkan tangan saat Hailey berjalan cepat menghampirinya. Pria itu mendekap tubuh Ha
Dan sekarang aku sadar, jika sebenarnya ada tempat di mana seharusnya aku berada di sana. Berlari ke sana. Tempat yang pernah kuanggap sebagai sebuah kengerian. Kini berdiri di depanku sebagai penyembuhku.Christian Archer~______________Restoran di hotel mewah ini sedikit ramai, oleh karena para eksekutif global company memilih untuk makan siang di Ritz Carlton.Terdengar gelak tawa dari suara bass berat milik tuan Dune. Diikuti kekehan dari beberapa teman sebayanya. Mereka menikmati makan siang dengan santai. Berusaha menghilangkan formalitas yang mengikat.Namun, ada satu tempat dekat jendela yang suasananya sangat canggung. Dua orang muda memilih untuk duduk di tempat tersudut. Seolah-olah yang lain memang memberikan ruang bagi mereka. Sesekali mereka memandang pada pemandangan di luar jendela. Namun, semua itu sekadar untuk melepaskan gugup yang sedari tadi membalut suasana makan siang mereka.&ldq
Dua jam lebih duduk dalam posisi tegang. Gelisah. Gugup. Terus terdengar suara deheman berbalas-balasan.Sesekali saling mencuri pandangan lalu membuang muka saat tak sengaja bertabrak pandang . Seperti seorang pencuri yang sudah tahu akan tertangkap, tapi tetap ke sana.“Bagaimana dengan Anda, Mr. Chris?”Christian akhirnya bergeming. Pria itu menoleh ke samping. Ia bergumam lalu menaikkan kedua alis.“Apakah Anda punya ide lain?” tanya seorang pria pertengahan tiga puluh.Christian berdehem. Sejujurnya pria itu tak bisa berkonsentrasi. Ia telah berusaha selama dua jam penuh untuk membentuk konsentrasi di otaknya, akan tetapi Christian gagal. Otaknya berhenti berpikir. Terpusat pada bagaimana seorang Hailey McAvoy bisa berada satu ruangan dengannya. Dan kenapa dia sangat sialan cantik.“Ehem!”Entah Christian sadar atau tidak, wajah Adonisnya kini sedang berubah warna. Bagai udang yang terken
Christian menatap dirinya di depan cermin. Kameja berwarna putih dengan dasi hitam metalik tampak begitu gagah membalut tubuh kekarnya. Namun, wajah pria itu terlihat suram. Terdengar dari embusan napas panjang yang menggema di dalam deluxe room hotel mewah ini. “Sepertinya aku memang harus diet,” gumam Christian. Sekali lagi ia menatap dirinya dari pantulan cermin. Oke, Chris tak menyangka jika dirinya akan termakan ucapan manipulative adiknya sendiri. Akhirnya semalam Christian ke salon yang berada di dalam hotel ini. Dalam semalam, Chris bisa mengembalikan tampilannya. Dia terlihat makin tampan dengan tatanan rambut klasik yang telah menjadi ciri khasnya selama ini. Pria itu tak pernah mengganti gaya rambut sama sekali. Terlalu betah dengan potongan rambut crew cut. Tak lupa Christian juga mencukur kumis. Ah! Ini sungguh tidak adil. Sejauh ini Christian memang tak pernah memerhatikan dan memedulikan penampilannya. Hanya saja … entah mengapa
Milan – Lombardia, Italia. _____________________“Semua sudah siap, Tuan.” Seorang pria dalam balutan sweater rajut berwarna hitam dan celana jins berwarna biru bangkit dari atas bangsal rumah sakit yang telah selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalnya. “Terima kasih, Theo.” Dia berucap setelah asistennya memberikan over coat berwarna cokelat. Mereka bersiap meninggalkan rumah sakit ini. Setelah dokter ortopedi mengatakan jika Christian Archer telah sembuh dari cedera kakinya seminggu yang lalu. Tidak mudah. Selama enam bulan ini, Christian Archer menahan rasa sakit. Mengikuti fisio terapi bukanlah hal yang gampang bagi seseorang yang memiliki cedera kaki parah. “Tuan,” panggil Theo. Ia memberikan kruk kepada Christian. “Aku tidak membutuhkannya,” kata Christian. Asistennya tak dapat membantah. Melihat tuannya mampu berdiri dengan kedua kaki, membuat ia senang. Perjuangan sang tuan akhirnya