“Sudah makan belum, Vi?” Rini menjawil Revi sambil menunjukkan piringnya yang penuh. “Sana makan dulu, biar Pijar dijaga Rizal. Tuh dia baru selesai makan. Nanti kemalaman pulangnya loh.” Rini melambaikan tangan pada Rizal.“Kasian nanti anaknya loh, Mbak Kiran. Kalau kelamaan hamil, nanti pas anaknya lulus kuliah Mbak dan Mas Pras sudah tua. Jangan-jangan malah tidak sempat mendampingi saat anaknya menikah.” Revi mengabaikan Rini.“Ngomong apa kamu ini, Revi!” Linda melotot pada keponakannya. “Sudah mau pulang?” Linda tersenyum pada Kiran yang masih menunggu Pras bersalaman dengan keluarga lain.“Iya, Ma.” Kiran menyalami Linda. Dia membalas pelukan Linda saat mertuanya itu memeluknya erat.“Benarkan, Tante, apa kata Revi? Mbak Kiran jangan terlalu fokus ke kerjaan. Wanita karir mah begitu. Sudah merasa hebat karena ada uang sendiri, jadi agak susah diatur. Padahal kurang mapan apa Mas Pras coba?”“Ssshhh!” Linda melotot kembali pada Revi. “Pras! Ini Kiran sudah menunggu.” Linda meng
“BERHENTI MENGUCAPKAN NAMA HAIDAR DI DEPANKU!” Pras berteriak kencang. “KEPALAKU PUSING SETIAP MENDENGAR NAMA HAIDAR KELUAR DARI MULUTMU!”“AH!” Pras melepaskan Kiran dan memukul kemudi sekali lagi. Lelaki itu terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Di sampingnya, Kiran mulai terisak. Wanita itu terlihat sangat terkejut karena Pras tiba-tiba mengamuk.Semenit kemudian, Pras memilih keluar. Dia bersandar pada badan mobil dengan kepala mendongak. Di atas sana, beberapa bintang terlihat berkelip. Bayangan pohon-pohon tinggi dan rimbun di samping jalan sedikit menghalangi pandangannya.Pras menghembuskan napas kencang. Angin malam mulai terasa menusuk kulit. Daun-daun bergoyang pelan menimbulkan suara gemerisik. Pras menoleh pada lampu jalan di depan sana. Serangga malam terlihat berterbangan mengelilingi sekitar lampu.Pras menunduk. Lelaki itu menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Setelah merasa sedikit lebih tenang dan dapat mengemudikan mobil, Pras masuk kembali. Dalam di
“Tidak apa-apa.” Pras mengelus pelan kepala Kiran. “Ayo siap–siap? Hari ini jadwal kita main ke rumah Mama Papa.”“Ah iya, Kiran sampai lupa.”Jam sembilan pagi, mobil Pras dan Kiran memasuki halaman. Sakti dan Linda yang sedang duduk santai menunggu mereka langsung tersenyum lebar melihat anak dan menantunya tiba.“Ma.” Kiran memeluk Linda erat setelah menyalaminya.“Nginep ya?”“Bulan depan saja, Ma. Kiran bulan ini lagi padat. Kasian kalau berangkat kerja dari sini, jauh.” Pras langsung bergabung.“Jangan terlalu kecapean. Apa uang bulanan dari Pras kurang? Kalau kurang minta tambah saja. Banyak uangnya dia.” Linda mengedipkan mata pada Kiran hingga membuat menantunya itu tertawa-tawa. “Mama serius loh, Nak Kiran. Siapa lagi yang akan menghabiskan uang suami kalau bukan anak dan istri?”“Betul, Ma, betul.” Kiran mengangguk-angguk sambil melirik Pras yang menatap dengan mata menyipit. Kiran menjulurkan lidah hingga Pras ikut terkekeh akhirnya.“Ya memang seharusnya begitu. Lelaki ka
"Qāla rabbi annā yakụnu lī gulāmuw wa kānatimra`atī 'āqiraw wa qad balagtu minal-kibari 'itiyyā.” (QS. Maryam : 8)"Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mempunyai anak, padahal istriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai usia yang sangat tua?”"Qāla każālik, qāla rabbuka huwa 'alayya hayyinuw wa qad khalaqtuka ming qablu wa lam taku syai`ā.” (QS.Maryam : 9)"(Allah) berfirman, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.”Kiran menangis kencang saat membaca arti dari surat Maryam ayat ke delapan dan sembilan. Pras menarik napas panjang. Dia menutup Al-Qur’an dan meraih Kiran ke dalam pelukan. Pras membiarkan Kiran menumpahkan tangis sampai puas. Dia mengelus bahu istrinya pelan.“Sudah lega?” Pras melepaskan pelukan dan membingkai wajah Kiran dengan kedua tangan beberapa saat kemudian. Lelaki itu tersenyum lembut melih
“Jaga mulutnya ya, Mbak Lira!” Kiran menatap Lira tajam. “Kenapa? Masih jadi barisan sakit hati sama saya kalian, hah?!”“Ya kan saya bilang mungkin, Bu, kalau nggak ya sudah.” Lira terkekeh. “Tapi ya, Pak Pras itu aduuuuh, kalau saya jadi dia, mending cari yang masih gadis.” Lira menggeleng pelan. Dia terlihat sangat puas bisa menyindir Kiran habis-habisan.“Kenapa memang kalau janda?” Risdi menangkap umpan dari Lira. “Janda tuh, aduuuuh. Maksudku ‘kan Pak Pras masih lajang ya, tampan dan mapan pula, mau-maunya sama barang bekasan. Heran.”“Jaga ucapannya, Mbak Lira!” Kiran berkata tegas. Dia akhirnya memutuskan meladeni omongan dua seniornya itu.Kiran paham sekali, beberapa karyawan senior memang kurang menyukai dirinya. Bahkan menurut kabar yang dia dengar, mereka akan melakukan segala cara agar dia merasa tidak kerasan dan akhirnya keluar dengan sendirinya.“Lah? Memang iya ‘kan barang bekas?” Lira mengangkat bahu dan menoleh pada Risdi. “Nih ya, Ran, aku kasih tahu. Pandangan o
"Assalamualaikum, Ran?""Apa kabar?""Sehat?""Lama kita tidak saling sapa. Semenjak Mas pindah Bank, rasa-rasanya tidak ada topik pembicaraan yang bisa dijadikan alasan untuk berkirim pesan.""Semoga Kiran tidak marah ya karena Mas mendadak memutus kerjasama waktu itu.""Mas mau berkabar, in syaa Allah minggu depan Mas akan menikah. Datang ya, Ran? Nanti undangan resminya Mas kirim ke kantor.""Salam buat, Pras."Haidar menghembuskan napas pelan setelah mengirim pesan beruntun pada Kiran. Dia tersenyum saat melihat tanda terkirim walau belum dibaca. Haidar tahu, ini jam-jam sibuk bagi Kiran sehingga dia tidak menunggu jawaban. Paling nanti saat akan pulang baru mantan istrinya itu akan mengecek pesan.“Mas? Berangkat sekarang?”“Ah iya, sudah siap semua yang mau dibawa?” Haidar berdiri dan tersenyum lebar pada wanita berhijab hijau botol yang berjalan mendekatinya. Dia segera mengambil keranjang bunga dan kendi yang dibawa wanita itu.“Ah, sebentar, Mila lupa membawa ponsel. Nanti kh
“Pulang?” Haidar menatap Kamila yang menunduk. Entah apa yang ada di pikiran calon istrinya itu hingga sejak tadi terus memperhatikan sekitar. Haidar menarik napas lega saat melihat senyum di wajah gadisnya. Setelah membereskan semua, mereka kembali berjalan beriringan menuju tempat parkir.Di sini, terpisah jarak puluhan kilometer dari kuburan Raya, Kiran menyandarkan badan setelah seharian keliling melakukan kunjungan nasabah bersama para AO. Mereka sampai di kantor lagi setengah jam setelah waktu normal jam kantor selesai.Wanita itu mengambil ponsel pribadi dan mulai mengecek satu persatu pesan yang masuk. Dia tersenyum lebar melihat nama Pras ada diurutan paling atas.“Mih ”“Mih? Sibuk ya? Jangan lupakan aku yang disini merindukanmu.” Kiran tergelak membaca pesan dari suaminya. Walau hampir setiap hari Pras seperti ini, tapi Kiran selalu merasa senang setiap kali membaca pesan-pesan itu.“Mih, Mih, Mih, balas, Mih.”“Ya ampun, Ibu Manager sibuk amat dah sampe pesan suaminya d
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s
Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s