Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.
Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang
“Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i
Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
“Aa Yusuf…” Lirih suara Loulia memanggil nama pemuda yang dicintainya itu. Dibukanya mata yang entah berapa lama terpejam hingga terasa berat dan rapat. “Emh…” lenguh Loulia seraya berpaling dari cahaya yang menyorotnya tajam. Loulia kembali berusaha membuka mata perlahan dibantu telapak tangannya demi menghalau cahaya yang menyilaukan itu.“Di mana ini?” gumamnya dengan tenggorokan sakit karena kering. Loulia menatap langit-langit yang terasa asing baginya. Ini pastilah sebuah kamar, yakinnya dalam hati setelah menyadari dirinya tengah terbaring di atas kasur empuk berselimut tebal.Masih menghalangi wajahnya dengan telapak tangan, Loulia mulai mengamati keadaan sekitar. Pandangan Loulia berkeliling demi mencari secercah petunjuk di mana dirinya berada saat ini. Dilihatnya dinding berwarna putih, gorden, meja, lampu… lampu studio? Loulia terheran ketika melihat lampu studio berdiri di depan ranjang. Monitor? Kam
Di depan monitor, duduk Deon bersilang kaki sambil mengelus-elus dagunya yang kasar bekas cukuran. Deon mengamati setiap lekuk tubuh milik gadis cantik bernama Loulia itu dari layar monitor hasil tangkapan kamera yang telah ia setting sebelumnya. Tubuh itu ibarat buah yang masak di pohon, yang segar dan sedang ranum-ranumnya, begitu menggoda untuk segera dipetik.Sleptch… Deon menelan air liur. Sebetulnya ia kuasa menyalurkan hasratnya segera, tetapi ia mendambakan sebuah permainan demi mencapai kesenangan dan kepuasan yang lebih.“Loulia sayang, menarilah untukku…” pinta Deon pada gadis itu.“Ahihi…” Loulia tertawa kecil. Ia beringsut dari tempat duduknya di tepi kasur. Tak segera memenuhi permintaan Deon, ia malah kembali menarik selimutnya yang jatuh ke lantai. “Tidak mau ah,” ucap Loulia seraya menggelengkan kepala.“Tak usah malu. Untuk kekasihmu, kau akan memberikan segalanya, k
Bola mata Loulia melotot mau keluar. Ia meronta dengan segenap tenaga yang tersisa, melawan dekapan pemuda bertubuh lebih besar darinya dari belakang. Pemuda itu barusan membawanya berlari tanpa alasan yang jelas. Setelah Loulia lemas, sosok misterius itu perlahan melepaskan tangannya yang membekap Loulia.Loulia menghela napas berkali-kali. Ingatannya masih segar bahwa tadi itu ia sedang asyik menari di hadapan kekasihnya. Lalu, tiba-tiba pemuda ini mengacaukannya, menghajar kekasihnya juga para laki-laki berpakaian hitam.Klak!Pintu terbuka! Dengan gerakan cepat pemuda di belakangnya itu menekan kepala Loulia, memaksa gadis itu mengikuti gerakannya merunduk dan berjalan merangkak ke barisan lemari paling belakang.“He he he he he he…” Di ambang pintu Deon tertawa terkekeh sendiri. “Biarlah mereka di sini, mati perlahan karena kedinginan, he he he he…”Suara itu membuat gentar Loulia namun sekaligus men
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
“Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i
Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang
“Lilis!” Gelagat salah tingkah masih melekat, namun Farhan berusaha menyapunya dengan buru-buru merespon panggilan Lilis. “Aku sedang memilih baju malam yang cantik untukmu.”Ucapan Farhan bagai suara lalat terbang, hampir tak dapat ditangkap oleh gendang telinga Lilis. Itu karena perempuan di samping Farhan lebih menarik perhatiannya. Perempuan itu tersenyum begitu menyadari kedatangan Lilis.“Kamu…” Lilis mengingat-ingat.“Aku Erna, Teh,” sambung perempuan itu segera.“Oh iya, kamu yang baru seminggu kerja di Kebun Wisata Cihejo, kan? Aku hampir lupa.”“Iya, betul. Hee…”“Lalu…” Lilis menggantung kalimatnya, pandangannya beralih ke baju-baju malam yang bergelantung rapi, lalu sekilas ke arah Farhan.“Erna sedang mencari gaun malam, kado untuk saudara yang akan menikah.” Erna menjawab raut wajah penuh tanya itu, Lilis
“Permisi, boleh saya lihat?” “Hmmh?” Gadis itu tak langsung menjawab. Ia sedikit terhenyak lalu tertegun beberapa saat ketika sekelumit pikiran berkutat di kepalanya. Mereka saling tarik menarik, antara mempertahankan aurat atau menuruti permintaan dokter muda itu. Lilis lupa, kondisinya yang mulai terbiasa menjaga permukaan tubuh dari pandangan orang lain bukan berarti tertutup pula bagi dokter. Bukankah ia sengaja datang untuk memeriksakan diri atas luka yang tetiba kambuh setelah empat tahun sembuh. Tiba-tiba saja, Lilis merasa bodoh. Apa yang kupikirkan, maki Lilis pada diri sendiri. “Emh… iya, tentu saja.” Lilis menyingkap bagian bawah roknya; memperlihatkan sebelah kiri bagian betisnya. Dokter muda itu membungkuk sampai berlutut sebelah kaki. Sejenak setelah mengamati betis jenjang nan mulus itu, ia melirik ke arah Lilis. “Terlihat baik-baik saja, bukan? Tapi sungguh, belakangan ini sering terasa sakit. Apalagi saat mandi di pagi hari, saat terk
“Siapa yang melakukan ini?”Bibir Lilis bergetar dengan sinar kemarahan di matanya. Mendapati bangkai kucing dengan torehan luka yang ganjil sungguh membuat panas kepala Lilis. Makhluk kecil menggemaskan yang sering hilir mudik di sekitar kebunnya itu teronggok kaku di bawah meja kompor. Darah merah mengering di helai-helai bulu lebatnya yang seputih kapas, terlebih di bagian leher yang diduga kuat menjadi sebab kucing itu mati.“Ini bukan ulah ular atau binatang buas lainnya,” gumam Lilis ketika melihat luka memanjang di bagian leher. “Ada yang menyembelihnya.”“Hiiiy… Orang macam apa yang tega membunuh makhluk kesayangan Nabi?” Buk Martinah bergidik ngeri di sudut pintu dapur. Ia tak berani mendekat. Butuh waktu bagi Buk Martinah mengatur debaran di dada setelah melihat bangkai kucing itu.Lilis tertegun. Entah apa itu, seperti ada yang menyinggung logikanya ketika Lilis mendengar pertanyaan ibunya.