Bola mata Loulia melotot mau keluar. Ia meronta dengan segenap tenaga yang tersisa, melawan dekapan pemuda bertubuh lebih besar darinya dari belakang. Pemuda itu barusan membawanya berlari tanpa alasan yang jelas. Setelah Loulia lemas, sosok misterius itu perlahan melepaskan tangannya yang membekap Loulia.
Loulia menghela napas berkali-kali. Ingatannya masih segar bahwa tadi itu ia sedang asyik menari di hadapan kekasihnya. Lalu, tiba-tiba pemuda ini mengacaukannya, menghajar kekasihnya juga para laki-laki berpakaian hitam.
Klak!
Pintu terbuka! Dengan gerakan cepat pemuda di belakangnya itu menekan kepala Loulia, memaksa gadis itu mengikuti gerakannya merunduk dan berjalan merangkak ke barisan lemari paling belakang.
“He he he he he he…” Di ambang pintu Deon tertawa terkekeh sendiri. “Biarlah mereka di sini, mati perlahan karena kedinginan, he he he he…”
Suara itu membuat gentar Loulia namun sekaligus menyadarkannya -meskipun tak terlalu yakin, sebab ingatan jangka pendeknya perlahan kabur- bahwa dirinya sudah diperdaya oleh Deon, manajer cabul itu. Kecurigaan pun muncul terhadap sosok pemuda di belakangnya.
Mata Loulia terbelalak demi melihat wajah pemuda itu. Beragam pertanyaan mencuat seketika sampai terasa cenat-cenut di kepala. Ingin Loulia menumpahkan semua yang mengapung di permukaan pikiran, namun niatnya terbendung oleh sentuhan telunjuk pemuda itu di bibirnya.
“Sssstttt…” Yusuf menahan mulut yang terbuka mau bicara. “Dia pasti menunggu kita di luar, bersiap menangkap kita saat keluar…” bisik Yusuf sembari matanya terus berkeliling ruangan, memeriksa barangkali ada jalan lain. Sementara ia masih duduk di belakang Loulia. Dengan posisi duduk yang seperti itu, mereka jadi seperti sepasang kekasih yang sedang mojok bermesraan.
Sayangnya, kalau sepasang kekasih duduk sedekat itu biasanya sambil menikmati pemandangan alam, sedangkan di hadapan mereka yang ada justru kengerian.
Saat ini mereka terjebak di ruang pendingin bir. Tak ada jendela maupun pintu lain di ruangan itu, sementara Deon menunggui mereka di luar sana, sengaja hanya menutup dan tak mengunci pintu. Sah sudah tak ada jalan kabur bagi mereka.
Brrrr…. Tubuh Loulia menggigil. Hawa dingin menyusup ke dalam jiwanya, membekukan segala harapan yang semula ramah mengetuk hatinya.
Air mata Loulia jatuh, membasahi punggung tangan Yusuf. Yusuf jadi sadar, ia tanpa sengaja duduk sembari memeluk Loulia dari belakang. Dilepaskannya rangkulan eratnya di atas dada Loulia dengan gerakan kikuk.
Melihat bibir Loulia bersemu ungu karena kedinginan, Yusuf jadi teringat pada lingerie hitam yang menempel pada tubuh gadis itu. Suhu sedingin ini, ditambah pakaian tipis, tentu saja gadis itu menggigil dibuatnya.
“Aku tahu kalian di dalam. Aku hanya penasaran, sampai kapan kalian bisa bertahan? He he he he…” Suara Deon kembali terdengar.
Napas Yusuf seketika tercekat begitu Loulia dengan polosnya menyembunyikan wajah di lekuk lehernya yang berdenyut-denyut karena tindakan spontan gadis itu. Loulia terus memegangi ujung bajunya erat-erat. Menyadari tubuhnya yang berdesir-desir demi bereaksi terhadap tubuh yang menempel rapat pada tubuhnya, Yusuf berusaha tetap awas dan siaga.
Ini gila! Bagaimana mungkin aku melampiaskan hasratku yang terpendam padanya, pikir Yusuf. Gemuruh di dada ia tekan kuat-kuat, dan perasaan mendamba ia hempaskan meskipun gadis ini wanita pujaannya yang cantik, mulus, menggoda dan kerap hadir dalam imajinasinya tentang seluruh keindahan wanita. Yusuf masih bersikap hati-hati, bagaimana pun ia tak ingin Loulia berpikir ia mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Lagi pula sikapnya ini pastilah karena gadis itu benar-benar takut. “Kau tahu, anak buah Deon di luar juga tak sedikit. Bisa saja, dia langsung membunuh dan membuang kita.” Ucapan Yusuf membuat Loulia semakin takut. Gadis itu bergeser semakin merapat padanya.
“Apa kita akan mati di sini?” Loulia berbisik lirih. Air matanya kini jatuh membasahi baju Yusuf.
Yusuf berusaha fokus. Ia menepis pikiran-pikiran yang mengganggu. Gadis ini jelas-jelas ketakutan! Tangan Yusuf yang diam terangkat akhirnya menepuk-nepuk pelan pundak Loulia yang memeluknya, mencoba menenangkan Loulia sekaligus gemuruh di dadanya.
Sayangku, setelah kita menikah setiap saat kau pasti akan kupeluk, bisik Yusuf dalam hati. Tapi sekarang, jangankan berpikir untuk memadu kasih, bisa keluar dan selamat dari tempat ini saja sudah suatu anugerah, pikir Yusuf lagi.
“Kita pasti selamat. Aku akan berusaha mencari cara, tak akan kubiarkan mimpi indah kita pupus di rumah ini,” ucap Yusuf.
Perlahan Loulia mengangkat wajahnya. Menatap nanar pada sepasang mata yang meneduhkan itu. Mendengar ucapan Yusuf, hatinya tersayat ngilu. Ia terlambat menyadari, bahwa ambisinya telah menggiring mereka pada nasib tragis ini.
Batin Loulia menjerit, benarkah akan berakhir indah? Atau kisah ini hanya akan menjadi romansa tersedih sepanjang masa?
Beberapa bulan sebelumnya…Di bawah sinar mentari yang merangkak naik, wajah Yusuf semakin mengkilap sebab minyak di kulit. Lalu, tercoreng wajah itu oleh butiran tanah saat Yusuf mengusap peluh di pelipisnya. Tudung kepala yang terbuat dari anyaman bambu ia jadikan kipas. Sejenak matanya terpejam demi menikmati hempasan angin sejuk yang ia ciptakan.Yusuf kemudian senyum-senyum sendiri sembari menyiram tanaman stroberi yang mulai berbuah. Warna buah stroberi mengingatkannya pada bibir Lilis yang kemerahan lagi segar. Yusuf membayangkan bibir itu bisa ia gigit seperti buah-buah stroberi.Ah, pasti rasanya legit. Yusuf nyengir saat satu gigitan buah stroberi masuk ke mulutnya. Ia menjulurkan lidah. Rasa kecut buah stroberi menimbulkan efek kejut sesaat, membuyarkan lamunannya.Lilis, gadis cantik nan manis anak semata wayang Pak Jajang -pemilik kebun stroberi- sungguh memikat hati Yusuf, seorang pemuda yang dikenal lugu lagi gagap dal
“Lilis!” panggil Buk Martinah, ibunya Lilis. Itu adalah panggilan ketiga yang tidak juga mendapat respon sekalipun Buk Martinah berteriak kencang dari arah dapur. Urat-urat leher Buk Martinah sampai muncul saking kuatnya berteriak, beradu dengan suara dandang di atas kompor.Lilis bukannya tidak mendengar, tetapi sudah tabiatnya malas menyahut panggilan orangtua sebab, Lilis tahu betul kalau ibunya memanggil pastilah mau menyuruh sesuatu. Alih-alih menjawab panggilan ibunya, Lilis malah asyik berjoged di depan layar ponsel.Lilis mendekatkan wajahnya ke layar ponsel sambil menyibak rambut dan mengerlingkan mata. Lilis menggerak-gerakan mulutnya, kadang terbuka, kadang manyun, kadang nyengir, kadang tersenyum manis, kadang judes dan cemberut.Lilis kemudian bergerak mundur. Ia menarik hotpant ketatnya dan mengangkat buah dadanya ke atas sampai menyembul keluar memperlihatkan belahannya dari balik tanktop kuning bertali tipis. Lilis l
Ketegangan dari dalam rumah Pak Jajang rupanya merambat ke dada Yusuf yang berdegup-degup terbawa suasana. Pak Jajang yang dikenal berwibawa dan cukup dipandang di desanya itu rupanya masih bisa kena hardik anaknya sendiri.Lalu keluarlah Pak Jajang dari dalam rumah dengan wajah merah karena marah. Dan saat pria berusia empat puluh tahun itu menatap Yusuf, ia membatin. Bagaimana jika anaknya yang liar dijodohkan saja dengan pemuda rajin dan baik itu. Pemuda itu juga tidak jelek, hanya miskin dan kurang merawat badan. Jika terus aku bimbing, insyaallah ia menjadi pemuda yang pandai mengelola kebun ini. Dengan begitu aku punya pewaris usaha yang jujur lagi dapat diandalkan.“Yusuf, boleh kemari sebentar?” panggil Pak Jajang.Yusuf menoleh. “I-i-ya, Pak.” Yusuf menghampiri Pak Jajang sembari sedikit menundukkan kepalanya.“Bapak mau tanya, waktu itu kamu pernah cerita… kamu putus sekolah pas SMP, betul?”
Di kamar neneknya, ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, Yusuf berpose di hadapan cermin dengan tempelan lakban coklat yang memanjang di bagian tengah. Cermin yang terselip di kerangka rumah berbilik bambu itu tak lebih besar dari satu halaman buku tulis tetapi cukup membuat Yusuf terpana oleh bayangannya sendiri.Yusuf lupa terakhir kali bercermin. Selama ini ia memang menganggap hal itu tidaklah penting. Maka, ketika melihat rahang yang melebar dan lekuk wajah yang tegas Yusuf hampir tak percaya apakah seseorang di dalam cermin itu benar-benar dirinya.Yusuf melipat kerah kemeja flanel bermotif kotak warna hijau dan hitam yang ia beli di toko pinggir jalan, sepulangnya bekerja di kebun Pak Jajang. Terlihat kaos putih di bagian tengah, di antara belahan kemeja yang sengaja tidak dikancingkan.“Wih, kasep euy!” tutur Yusuf sambil mesem-mesem.Lengan kemeja dilipatnya sampai setengah siku. Lalu Yusuf memasukan kedua telapak ta
Pagi itu, tak seperti biasa Lilis sudah bangun bahkan sudah rapi dan wangi. Dua jam Lilis berdandan demi menonton syuting sinetron di kebun teh yang tak jauh dari rumahnya.“Hai! Ketemu lagi sama aku, Loulia Barsha,” riang Lilis menyapa orang-orang di dalam ponsel yang disebutnya ‘sahabat online’. “Hari ini aku mau ketemu sama idola aku… tebak siapa? Emh…pokoknya dia ganteng banget, cool… Ah, jadi nggak sabar. Hihihi,” ucap Lilis.Saat Lilis keluar kamar, Buk Martinah yang sedang sibuk beberes rumah menegur, “Wah, anak perawan ibu sudah cantik. Senangnya ibu ada yang bantuin masak di dapur.”“Ish, siapa yang mau masak? Lilis mau pergi yah. Mau ketemu artis,” jawab Lilis sambil memilah sandal di rak sepatu.“Loh, mau kemana? Mau ngapain? Sudah bilang belum sama Bapak?” tanya buk Martinah setengah berteriak.“Ah… Ibu banyak tany
Si gagap, dekil, miskin. Yusuf latah, ia langsung mencium aroma tubuhnya saat mendengar Lilis menyebutnya belewuk. Bagi Yusuf, belewuk adalah sebutan yang berlebihan dan menghina. Bukankah ‘belewuk’ adalah julukan untuk sesuatu yang kotor, jijik dan bau. Mendengarnya bahu Yusuf terkulai lemas.Sebegitu bencikah ia padaku? Ini di depan umum. Tak bisakah ia sedikit menjaga harga diriku. Biar begini, aku juga lelaki, batin Yusuf menjerit.Ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Lilis. Namun, sore itu semua kata-kata Lilis tentangnya, ia garis bawahi.Sementara, Lilis juga terhenyak oleh ucapannya sendiri. Ia tak menyangka laki-laki itu ada di belakangnya setelah temannya memberi tahu dengan tatapan resah.Lilis memang tidak suka pada Yusuf, terlebih ketika ia sering mendapati Yusuf mencuri-curi pandang padanya yang membuat Lilis merasa risih. Lalu, karena gelagat Yusuf yang amat kentara, maka Lilis sering dibercanda-i oleh tema
Enam bulan berlalu, dan Yusuf mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Hal itu terbukti ketika ada bule datang ke kebun wisata Pak Jajang atau minta diantar ke curug di sekitar kaki Gunung Salak. Yusuf tak canggung menemaninya. Berbekal keahlian barunya itu, Yusuf kini jadi seorang pemandu wisata yang kesohor di kawasan Taman Nasional Kaki Gunung Salak.Decak kagum sering kali Yusuf dapatkan dari orang-orang kampung terkait perubahannya yang signifikan. Yusuf yang sekarang tidak lagi menunduk saat berpapasan dengan orang di jalan, tidak juga cengengesan saat sedang diajak ngobrol. Yusuf selalu menampakkan sikap percaya diri dan pembawaan yang tenang. Yusuf kini bahkan sudah tidak gagap berkat terapi yang ia dapatkan di tempat kursus publik speaking.Yusuf yang semula cuek dengan penampilannya, kini lebih pandai merawat diri. Kesan lusuh, dekil dan bau tak lagi melekat. Yusuf sudah mampu membeli jaket, celana olahraga, kemeja, sandal gunung dan segala per
Malam itu Yusuf duduk sendiri di batu besar di pinggir sungai, tempat ia biasa nongkrong sendiri, merenungi jalan hidupnya. Awan mendung di langit sesekali melontar cahaya kilat bergemuruh. Namun Yusuf, bersikukuh menghabiskan sebatang lagi rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam lalu asap rokok dihembuskannya perlahan sembari teringat pada sosok Lilis.Sudah enam bulan berlalu, gadis itu ternyata berubah semakin cantik dan jelita. Tubuhnya berlekuk-lekuk indah, tinggi semampai dimahkotai rambut hitam lebat yang tergerai panjang, memikat. Kulitnya bening bersinar dan mulus seperti gelas kaca.Yusuf takut tak bisa mengendalikan sikapnya seperti dulu, yang terlalu jelas terlihat menyukai gadis itu. Ternyata, masih tersisa rasa rendah diri di hatinya. Tentulah karena hinaan yang pernah terlontar dari bibir manis milik Lilis, anak semata wayang Pak Jajang.Yusuf harus jujur, ia gagal menghapus bayang-bayang Lilis di benaknya. Selama ini ia terus dipenuhi perasaan galau tak
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
“Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i
Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang
“Lilis!” Gelagat salah tingkah masih melekat, namun Farhan berusaha menyapunya dengan buru-buru merespon panggilan Lilis. “Aku sedang memilih baju malam yang cantik untukmu.”Ucapan Farhan bagai suara lalat terbang, hampir tak dapat ditangkap oleh gendang telinga Lilis. Itu karena perempuan di samping Farhan lebih menarik perhatiannya. Perempuan itu tersenyum begitu menyadari kedatangan Lilis.“Kamu…” Lilis mengingat-ingat.“Aku Erna, Teh,” sambung perempuan itu segera.“Oh iya, kamu yang baru seminggu kerja di Kebun Wisata Cihejo, kan? Aku hampir lupa.”“Iya, betul. Hee…”“Lalu…” Lilis menggantung kalimatnya, pandangannya beralih ke baju-baju malam yang bergelantung rapi, lalu sekilas ke arah Farhan.“Erna sedang mencari gaun malam, kado untuk saudara yang akan menikah.” Erna menjawab raut wajah penuh tanya itu, Lilis
“Permisi, boleh saya lihat?” “Hmmh?” Gadis itu tak langsung menjawab. Ia sedikit terhenyak lalu tertegun beberapa saat ketika sekelumit pikiran berkutat di kepalanya. Mereka saling tarik menarik, antara mempertahankan aurat atau menuruti permintaan dokter muda itu. Lilis lupa, kondisinya yang mulai terbiasa menjaga permukaan tubuh dari pandangan orang lain bukan berarti tertutup pula bagi dokter. Bukankah ia sengaja datang untuk memeriksakan diri atas luka yang tetiba kambuh setelah empat tahun sembuh. Tiba-tiba saja, Lilis merasa bodoh. Apa yang kupikirkan, maki Lilis pada diri sendiri. “Emh… iya, tentu saja.” Lilis menyingkap bagian bawah roknya; memperlihatkan sebelah kiri bagian betisnya. Dokter muda itu membungkuk sampai berlutut sebelah kaki. Sejenak setelah mengamati betis jenjang nan mulus itu, ia melirik ke arah Lilis. “Terlihat baik-baik saja, bukan? Tapi sungguh, belakangan ini sering terasa sakit. Apalagi saat mandi di pagi hari, saat terk
“Siapa yang melakukan ini?”Bibir Lilis bergetar dengan sinar kemarahan di matanya. Mendapati bangkai kucing dengan torehan luka yang ganjil sungguh membuat panas kepala Lilis. Makhluk kecil menggemaskan yang sering hilir mudik di sekitar kebunnya itu teronggok kaku di bawah meja kompor. Darah merah mengering di helai-helai bulu lebatnya yang seputih kapas, terlebih di bagian leher yang diduga kuat menjadi sebab kucing itu mati.“Ini bukan ulah ular atau binatang buas lainnya,” gumam Lilis ketika melihat luka memanjang di bagian leher. “Ada yang menyembelihnya.”“Hiiiy… Orang macam apa yang tega membunuh makhluk kesayangan Nabi?” Buk Martinah bergidik ngeri di sudut pintu dapur. Ia tak berani mendekat. Butuh waktu bagi Buk Martinah mengatur debaran di dada setelah melihat bangkai kucing itu.Lilis tertegun. Entah apa itu, seperti ada yang menyinggung logikanya ketika Lilis mendengar pertanyaan ibunya.