Meski sudah kudapat ciuman pertamamu, lantas bukan berarti kau bebas dicumbu lelaki lain. Ah gadis ini… bagaimana bisa ia mengerti, jerit hati Yusuf.
Detak jantung serasa memukul-mukul dadanya saat Yusuf mendengar keinginan Loulia. Di satu sisi, Yusuf bahagia mengetahui Loulia membalas cintanya, gadis yang selama ini hanya ada dalam hayalan hubungan suami istri, sebelum atau sesudah tidurnya. Sebentar lagi semua itu akan jadi kenyataan setelah mereka menikah. Namun di waktu bersamaan dadanya juga terasa sesak saat gadis itu berkeinginan teguh menempuh mimpinya.
“A, aku kembali ke ruang itu ya.”
Ambisi gadis itu menghalau perasaan tak enak yang memenuhi dadanya ketika sekilas melirik wajah Yusuf yang kembali memerah. Lama Loulia menunggu respon Yusuf, namun pemuda itu masih saja bergeming. Ketika Loulia berbalik ke arah pintu,
gep…
Yusuf menahannya sambil lirih berbicara di depan wajah Loulia. “Aku tak rela orang lain mencumbumu, bahkan kupasti
Yusuf telah tergoda setan. Karena tindakan beraninya itu, yang dibangkitkan Loulia, Yusuf merasa harus segera bertanggung jawab. Yusuf berjanji akan belajar dan bekerja lebih gigih demi wanita pujaannya ini. Perasaan cemburu yang besar membuatnya tak rela Loulia disentuh orang lain meskipun itu atas nama pekerjaan dan profesionalitas.
Loulia dan Yusuf memasuki ruang tempat dilakukannya casting, hati-hati dan waspada. Awalnya mereka berencana kabur, tapi tas mereka, yang berisi pakaian, ponsel juga sisa uang ada di ruangan itu, di sofa yang berhadapan dengan tempat Deon terduduk menanti Loulia. Lagi pula, rumah Deon memiliki penjagaan super ketat. Mereka tahu itu saat melirik sekilas beberapa laki-laki berbaju hitam di sudut-sudut rumah Deon saat Deon menuntun mereka masuk ke dalam rumah. Ke mana perginya orang-orang? Loulia bertanya-tanya dalam hati. Loulia tidak melihat Gibran, pun laki-laki dan perempuan yang sebaya dengannya tadi, pria bule Amerika itu pun tidak ada. Di ruang itu hanya tersisa beberapa laki-laki berbaju hitam dan tentu Deon yang telah menunggunya dengan wajah… tunggu, Deon tak terlihat kesal atau marah seperti dugaan Loulia. Ia malah nampak tenang, bahkan melempar senyuman saat melihat Loulia datang. “Hah… akhirnya kau kembali. Kupikir kalian tersesat di rumahku yang luas ini,”
Tubuh Loulia menggeletar, pucat pasi seperti mayat hidup. Setelah mengucap pamit tanpa sadar ia telah semakin kuat meremas jemari Yusuf sambil was-was menunggu respon Deon.“Baiklah… Silakan.” Deon merentangkan tangan.Loulia kaget. Dipikirnya Deon akan marah, bukan malah semudah ini membiarkan.“Kenapa bengong? Pulanglah!” seru Deon.“I-iya…” Loulia mengangguk. Ia bersama Yusuf kemudian berbalik untuk secepatnya keluar dari rumah itu.Tap!Tap!Tap!Anak buah Deon perlahan berjalan mendekati Loulia dan Yusuf. Senyuman dan tatapan mereka terlihat aneh, terkesan… menyeramkan! Firasat Loulia tak enak.“Punten…” Tubuh Yusuf setengah membungkuk khas adab sopan santun orang Sunda.Benar kecurigaan Loulia. Mereka tak memberi jalan bagi Yusuf yang menuntunnya. Hingga beradulah kepala Yusuf dengan dada membidang salah seorang dari mereka. Yusuf mendongak dan&hell
Beberapa waktu lalu, Yusuf membuat rumah pohon tepat di tengah area kebun wisata stroberi. Dengan memanfaatkan bilah-bilah kayu sisa pembuatan pagar, rumah mungil yang bertengger pada pohon mangga itu digadangnya bakal menambah daya tarik pengunjung. Yusuf hanya perlu mengumpulkan pelepah daun pisang sebagai atap sampai rumah itu benar-benar siap disinggahi. Setelah itu pertama-tama ia akan menunjukkannya pada Loulia sebelum siapa pun menjajalnya.Kemudian ia dan gadis itu akan duduk berayun kaki di tepi rumah pohon sambil bercengkerama seputar hal yang disukai dan yang tidak, seperti yang banyak dilakukan sepasang kekasih. Mereka akan tenggelam dalam samudera kata yang tak bosan diselami sampai tak terasa hawa dingin semakin menggigit, ulah sang malam yang beranjak naik. Satu lampu bohlam di tengah taman sudah cukup sebab rembulan kala itu bersinar terang. Mereka beradu pandang dan Yusuf melihat lebih banyak bintang di bola mata Loulia.Dua wajah saling mendekat
Pada permukaan halus nan licin, spons bundar itu ditepuk-tepuk. Kemudian koas-koas menimpali, membuat gradasi warna coklat alami kulit perempuan Sunda. Kini, di atas kelopak mata yang kemilau sepasang alisnya dipertegas oleh pensil berwarna hitam. Maka, tatkala pemilik mata itu mengerling, kesan anggun dan jelitanya kian terpancar. Lipstik bernuansa pink kecoklatan sengaja dipilih agar riasan wajah tampak natural. “Untuk acara lamaran tak perlu ber-make up tebal atau mencolok, yang simpel-simpel saja, supaya pangling pas jadi pengantin nanti,” kata tukang rias yang sengaja didatangkan jauh-jauh dari desa sebelah. Gadis yang didandani manut saja. Ia tak banyak minta ini itu, pasrah sepenuhnya pada Zaenal, tukang rias yang tersohor se-Kecamatan Panenjoan, tetapi ia lebih nyaman orang-orang memanggilnya Zeni. Zeni memakaikan jilbab hijau berbahan kain satin yang mengkilap. Lalu dipasangkannya aksesoris mutiara di kepala gadis itu dengan hati-hati. Zeni m
Bleg! Wush…Asap dingin menyeruak saat pintu dibuka. Deon dan beberapa anak buahnya sigap memasang badan. Dua orang yang mereka tunggui sedari tadi akhirnya menyerah, pikir mereka.“Ehe he he he he he… Sudah kukatakan, kalian tidak akan bertahan di dalam sana.”Sambil berkacak pinggang, Deon terkekeh puas. Namun kesenangannya tak berlangsung lama. Dua orang di dalam ruang pendingin itu tak kunjung keluar. Bergemingnya mereka menolehkan banyak pandangan heran.Sershhh…Hanya asap putih yang menyembul-nyembul keluar.Para lelaki berbaju hitam melirik ke arah Deon, menanti perintahnya.“Menyerahlah… dan bekerja untukku! Kujamin kalian akan aman dan segala ketegangan ini akan berakhir,” ujar Deon.“Benarkah?” Tiba-tiba suara nyaring yang bergetar melengking dari dalam ruangan.Senyum Deon mengembang. “Tentu, Loulia sayang. Kau akan dapatkan segala ya
Gunung Suhunan adalah gunung tertinggi di Sumedang pada tahun 755 M. Gunung tinggi yang selalu diselimuti awan-awan hitam itu adalah hantu hidup bagi warga di sekitarnya. Beberapa orang mengatakan jikalau pergi ke sana, kau tak akan bisa menemukan jalan pulang kembali.Konon, dahulu di masa Kerajaan Himbar Buana pernah hilang sekelompok pasukan secara misterius. Pasukan yang kala itu tengah memburu sisa-sisa prajurit musuh yang terjebak, lenyap tanpa kabar dan hanya meninggalkan cerita mistis yang diwarisi secara turun temurun, bahwa Gunung Suhunan adalah tempat bersemayamnya roh agung, yang lapar akan jiwa-jiwa manusia. Di sisi itu, sebagian orang percaya bahwa Gunung Suhunan bisa mengabulkan setiap permintaan asal mau duduk bersimpuh pada penampakkan makhluk apa pun yang muncul di depan mata.Masa demi masa berlalu, cerita itu rupanya masih menarik, setidaknya bagi segelintir orang yang amat berhasrat mewujudkan mimpi tanpa kenal proses dan waktu. Mereka rela bertaru
Pengap dan gelap, tak ada kata lain yang dapat menggambarkan keadaan bagasi sebuah mobil MPV berukuran medium, tempat Yusuf dan Loulia terperangkap di sana. Tipe mobil yang biasa jadi langganan dipakai mudik keluarga itu melesat dari kediaman Deon guna menghilangkan jejak dua muda-mudi yang baru saja saling berbalas kasih.Yusuf menggeliat, hanya menghasilkan sedikit gerakan. Seluruh tubuhnya sakit terjerat tali-tali pengikat. Yusuf megap-megap mengais sedikit demi sedikit udara tipis yang membuatnya masih bertahan hidup. Ini begitu menyiksa! rutuk Yusuf dalam hati.Meski gelap, Yusuf dapat merasakan keberadaan Loulia di sisinya. Yusuf yakin tekanan hebat di bagian perutnya karena tertindih kepala gadis itu.“Hmmh!” Yusuf kembali menggeliat mencoba menyadarkan gadis itu. Hanya itu yang bisa ia lakukan, sebab mulutnya disumpal kain. Sayang, bangunlah… Yusuf merintih dalam hati. Yusuf berharap gadis pujaannya itu melakukan sedikit gerakan
Akhirnya, setelah tubuhnya menciumi lereng jurang dengan garang Yusuf tiba di dasarnya yang melandai. Meski merasakan sakit sebadan-badan, Yusuf lega tubuhnya tak sampai remuk menghantam tanah, atau tenggelam ke sungai yang bisa saja menjadi dasar jurang itu. Ia yakin nyeri yang merangsek sampai ke tulang pertanda nyawa masih bersemayam di raganya.“Sial! Ikatan ini kuat sekali, emh!”Nampak dari luar, Yusuf tak ubah seperti kucing dalam karung yang meronta-ronta ingin keluar. Dalam keadaan tak berdaya, ia secara ajaib telah diselamatkan sang Khalik. Maka tak pantas baginya menyerah saat ini, pikir Yusuf yang terus menggeliat demi melepas tali-tali penjerat.“Loulia...” Nama itu menjadi yang pertama terlontar dari bibirnya setelah Yusuf berhasil keluar dari karung. Dengan ritme napas yang belum teratur, Yusuf menghempas tali yang masih menempel di tubuh sambil terus memanggil gadisnya. Entah bagaimana nasib gadis itu, tubuh lelaki dewasan
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
“Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i
Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang
“Lilis!” Gelagat salah tingkah masih melekat, namun Farhan berusaha menyapunya dengan buru-buru merespon panggilan Lilis. “Aku sedang memilih baju malam yang cantik untukmu.”Ucapan Farhan bagai suara lalat terbang, hampir tak dapat ditangkap oleh gendang telinga Lilis. Itu karena perempuan di samping Farhan lebih menarik perhatiannya. Perempuan itu tersenyum begitu menyadari kedatangan Lilis.“Kamu…” Lilis mengingat-ingat.“Aku Erna, Teh,” sambung perempuan itu segera.“Oh iya, kamu yang baru seminggu kerja di Kebun Wisata Cihejo, kan? Aku hampir lupa.”“Iya, betul. Hee…”“Lalu…” Lilis menggantung kalimatnya, pandangannya beralih ke baju-baju malam yang bergelantung rapi, lalu sekilas ke arah Farhan.“Erna sedang mencari gaun malam, kado untuk saudara yang akan menikah.” Erna menjawab raut wajah penuh tanya itu, Lilis
“Permisi, boleh saya lihat?” “Hmmh?” Gadis itu tak langsung menjawab. Ia sedikit terhenyak lalu tertegun beberapa saat ketika sekelumit pikiran berkutat di kepalanya. Mereka saling tarik menarik, antara mempertahankan aurat atau menuruti permintaan dokter muda itu. Lilis lupa, kondisinya yang mulai terbiasa menjaga permukaan tubuh dari pandangan orang lain bukan berarti tertutup pula bagi dokter. Bukankah ia sengaja datang untuk memeriksakan diri atas luka yang tetiba kambuh setelah empat tahun sembuh. Tiba-tiba saja, Lilis merasa bodoh. Apa yang kupikirkan, maki Lilis pada diri sendiri. “Emh… iya, tentu saja.” Lilis menyingkap bagian bawah roknya; memperlihatkan sebelah kiri bagian betisnya. Dokter muda itu membungkuk sampai berlutut sebelah kaki. Sejenak setelah mengamati betis jenjang nan mulus itu, ia melirik ke arah Lilis. “Terlihat baik-baik saja, bukan? Tapi sungguh, belakangan ini sering terasa sakit. Apalagi saat mandi di pagi hari, saat terk
“Siapa yang melakukan ini?”Bibir Lilis bergetar dengan sinar kemarahan di matanya. Mendapati bangkai kucing dengan torehan luka yang ganjil sungguh membuat panas kepala Lilis. Makhluk kecil menggemaskan yang sering hilir mudik di sekitar kebunnya itu teronggok kaku di bawah meja kompor. Darah merah mengering di helai-helai bulu lebatnya yang seputih kapas, terlebih di bagian leher yang diduga kuat menjadi sebab kucing itu mati.“Ini bukan ulah ular atau binatang buas lainnya,” gumam Lilis ketika melihat luka memanjang di bagian leher. “Ada yang menyembelihnya.”“Hiiiy… Orang macam apa yang tega membunuh makhluk kesayangan Nabi?” Buk Martinah bergidik ngeri di sudut pintu dapur. Ia tak berani mendekat. Butuh waktu bagi Buk Martinah mengatur debaran di dada setelah melihat bangkai kucing itu.Lilis tertegun. Entah apa itu, seperti ada yang menyinggung logikanya ketika Lilis mendengar pertanyaan ibunya.