Pengap dan gelap, tak ada kata lain yang dapat menggambarkan keadaan bagasi sebuah mobil MPV berukuran medium, tempat Yusuf dan Loulia terperangkap di sana. Tipe mobil yang biasa jadi langganan dipakai mudik keluarga itu melesat dari kediaman Deon guna menghilangkan jejak dua muda-mudi yang baru saja saling berbalas kasih.
Yusuf menggeliat, hanya menghasilkan sedikit gerakan. Seluruh tubuhnya sakit terjerat tali-tali pengikat. Yusuf megap-megap mengais sedikit demi sedikit udara tipis yang membuatnya masih bertahan hidup. Ini begitu menyiksa! rutuk Yusuf dalam hati.
Meski gelap, Yusuf dapat merasakan keberadaan Loulia di sisinya. Yusuf yakin tekanan hebat di bagian perutnya karena tertindih kepala gadis itu.
“Hmmh!” Yusuf kembali menggeliat mencoba menyadarkan gadis itu. Hanya itu yang bisa ia lakukan, sebab mulutnya disumpal kain. Sayang, bangunlah… Yusuf merintih dalam hati. Yusuf berharap gadis pujaannya itu melakukan sedikit gerakan
Akhirnya, setelah tubuhnya menciumi lereng jurang dengan garang Yusuf tiba di dasarnya yang melandai. Meski merasakan sakit sebadan-badan, Yusuf lega tubuhnya tak sampai remuk menghantam tanah, atau tenggelam ke sungai yang bisa saja menjadi dasar jurang itu. Ia yakin nyeri yang merangsek sampai ke tulang pertanda nyawa masih bersemayam di raganya.“Sial! Ikatan ini kuat sekali, emh!”Nampak dari luar, Yusuf tak ubah seperti kucing dalam karung yang meronta-ronta ingin keluar. Dalam keadaan tak berdaya, ia secara ajaib telah diselamatkan sang Khalik. Maka tak pantas baginya menyerah saat ini, pikir Yusuf yang terus menggeliat demi melepas tali-tali penjerat.“Loulia...” Nama itu menjadi yang pertama terlontar dari bibirnya setelah Yusuf berhasil keluar dari karung. Dengan ritme napas yang belum teratur, Yusuf menghempas tali yang masih menempel di tubuh sambil terus memanggil gadisnya. Entah bagaimana nasib gadis itu, tubuh lelaki dewasan
Gadis itu keluar dari kamar setelah namanya berulang kali diseru. Seperti adegan slow motion di film-film, gadis itu merasa langkahnya begitu berat seperti menyeret puluhan kilo gram karung berisi beras. Gerakan orang-orang di sekitarnya juga tampak melambat. Waktu seperti merenggang lima kali lipat, memberinya ruang untuk kembali ke masa-masa indah itu.Di ruang tamu, ia pernah kepentuk pemuda gagap yang gugup tatkala ditatap olehnya. Pemuda yang diam-diam telah menancapkan bibit kasih di hatinya, yang kini kering sebab tak kunjung disirami. Aa… kapan kau kembali? rintih gadis itu dalam hati.Gadis itu lalu menyadari ada sepasang mata di seberang sana mengerling padanya. Sepasang mata dari wajah paling bersinar di antara yang lain, yang lekat menatapnya seiring dengan tarikan di kedua sudut bibir.“Calik, Neng…” Sebuah tangan menariknya untuk duduk di atas karpet yang telah disiapkan. Sang gadis tergeragap. Sekilas ia melihat
Terapung di dahan tua nan lapuk. Bergoyang dipermainkan angin. Lemah, pasrah tertunduk ke arah yang tak menjanjikan apa pun selain hitam dan kegelapan. Darah seperti mengalir terbalik. Kesemutan di seluruh tubuh setelah berguling-guling bebas dari ketinggian yang tak terukur.“Hmmh…!” Loulia menyentakkan tubuhnya seolah membangunkan diri dari mimpi buruk pembekap tidurnya. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan, bahkan untuk menepis rasa gatal dari helai-helai rambut yang menutupi wajahnya. Tenaganya bagai menguap seperti genangan air di siang terik, nyaris habis.Hingga garis-garis cahaya bermunculan, lurus menusuk tanah lembab di bawah pandangannya yang dibalut semak belukar. Mata beningnya meliar, bergerak buru-buru menyisir acak ke seluruh sudut hutan yang tak lagi ia ingat, kapan dimasukinya. Selain napasnya yang berjejal dan berisik, Loulia hanya mendengar irama syahdu burung bercuit dan desir angin yang lembut.Loulia pun didera pe
Perempuan muda itu tak menampakan ekspresi wajah berarti, konsisten datar dan dingin yang membuat tubuh Loulia merinding. Penampilannya cenderung berantakan : rambut mengembang keluar-keluar, kaos coklat yang kebesaran, rok selutut setengah basah, meski begitu wajahnya bersih tak tercoreng noda seperti orang gila di jalanan.Loulia gemetaran di tempatnya tertelungkup. Hal itu lebih karena perasaan putus asa dibanding ketakutan. Entah mengapa, Loulia menangkap ancaman dan bahaya dari sosok perempuan muda yang kini mulai meraba-rabai tubuh Yusuf. Perempuan itu perlahan membungkuk, menghalangi pandangan Loulia ke wajah Yusuf.“No no no… jangan!” Jerit Loulia tatkala menyaksikan perempuan muda itu semakin mendekatkan wajahnya ke kepala Yusuf. Perempuan itu duduk menyamping melipat kaki sementara tangannya bertumpu di samping kanan dan kiri bahu Yusuf, persis seperti sepasang kekasih yang sedang bercumbu-cumbuan. Kurang lebih seperti itu yang dit
Yusuf berlari menentang kepayahan tubuhnya begitu mendengar suara benturan yang amat keras. Tanpa lama mencari, mata Yusuf langsung menangkap sebuntal karung di antara tanaman liar, teronggok bagai sampah yang jikalau orang melihatnya tentu tak akan menyangka bahwa ada seorang perempuan terperangkap di sana. Begitu menemukannya, Yusuf terkejut bukan main. Benaknya spontan membenarkan bahwa karung yang terperenyak itu adalah Loulia.Dengan gerak terburu-buru Yusuf menerjang semak belukar. Lengannya berdarah tergores ranting-ranting tanaman liar tapi tak sedikit pun menjangkau syaraf nyeri di kulitnya. Itu karena perasaan was-was yang telah melingkupi seluruh jiwa dan raganya ketika dari arah karung itu terdengar oleh Yusuf erangan suara perempuan. Suara kesakitan yang luar biasa.Tiba-tiba, Yusuf merasa mendapatkan tenaga yang meletup di dadanya. Dia bergerak cepat: tubuhnya membungkuk, tangannya terulur demi membuka tali yang mengikat karung itu, “Aa di sini, say
“Hmmh…” Untuk kesekian kalinya Loulia merintih sambil menggigil. Karung yang semula meringkusnya ia gunakan untuk menyelimuti badan, tapi tidak cukup menghalau suhu dingin di pegunungan. Ia beringsut dari posisinya yang menindih Yusuf, namun yang terjadi Loulia menjerit kesakitan lagi. “Wuaaaa…!”Yusuf segera bangkit dan mendekap gadis itu. Diusap-usapnya rambut Loulia yang sudah lengket dan awut-awutan. “Kau pasti kuat. Kita akan melewati ini. Kita pasti pulang. Kau percaya, kan?”Loulia tak menjawab. Bibirnya terkatup gemetar menahan sakit dengan air mata yang terus membanjiri wajah. Ia menarik kepalanya dari dekapan Yusuf, lalu menatap pemuda itu lekat-lekat dengan tatapan nanar.Mendadak jantung Yusuf berdegup lebih cepat ditatap seperti itu oleh Loulia. Apalagi gadis itu kini menyentuhkan jemari lentiknya ke wajah Yusuf, perlahan dan lembut. Ia jadi takut, takut kalau gadis itu mencium aroma kegugupannya yan
Yusuf kembali sambil membawa air di telapak tangannya, tepatnya di daun lebar yang ia lipat menjadi sebuah wadah. Tatkala mendengar raungan Loulia ia mempercepat langkahnya dan itu membuatnya tergelincir, hampir saja Yusuf tercebur kalau ia tak reflek berpegangan pada batu besar di pinggir sungai. Alhasil, air yang ia bawa tinggal setengah, sisanya tumpah sebelum berhasil mencapai bibir gadis yang pucat seperti mayat. Saat Yusuf memberikan air itu, Loulia tertegun dengan tatapan ragu. “Tak apa, minumlah! Air yang diambil langsung dari sumber mata air pegunungan akan menyegarkan tubuh.” Gadis itu menggeleng, bukan karena enggan minum air sungai, bukan itu maksudnya. Loulia memicingkan mata ke arah betis kirinya sambil merintih kesakitan, “Sakit sekali….” Yusuf terhenyak dibuatnya. Betis Loulia yang semula kemerahan kini membengkak dan berangsur membiru. Seperti yang lumrah dialami orang saat berada dalam keadaan panik, Yusuf pun menunjukkan gelagat yang sama :
Loulia menyembunyikan wajah di balik telapak tangan. Ia baru berhenti menjerit setelah lama tak mendapat respon apa pun dari perempuan itu. Kini perasaan takut menjelma rasa penasaran. Dari sela-sela jarinya yang perlahan mekar, Loulia mengintip keadaan sekitar. Dan ketika lehernya berputar ke samping kanan, sudut matanya langsung menangkap sosok perempuan itu yang kini telah benar-benar berada di dekatnya. Sebuah sentuhan mendarat di bahu Loulia. Ia pun kembali menjerit.“Hwaaaa….hwaaaaa….!”“Neng! Neng! Neng Lilis!”Mendengar suara Yusuf, Loulia langsung membuka matanya. Ia spontan menarik lengan Yusuf seraya mengadu bagai anak kecil habis dijahili temannya. “Perempuan ini, A. Di-dia…dia… menakutiku…”Loulia hanya mendelik ke arah perempuan itu, ia tak berani melihatnya secara langsung. Kemudian terdengar suara lemah dan kaku, “Maaf tos ngareureuwas (maaf sudah mengage
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
“Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i
Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang
“Lilis!” Gelagat salah tingkah masih melekat, namun Farhan berusaha menyapunya dengan buru-buru merespon panggilan Lilis. “Aku sedang memilih baju malam yang cantik untukmu.”Ucapan Farhan bagai suara lalat terbang, hampir tak dapat ditangkap oleh gendang telinga Lilis. Itu karena perempuan di samping Farhan lebih menarik perhatiannya. Perempuan itu tersenyum begitu menyadari kedatangan Lilis.“Kamu…” Lilis mengingat-ingat.“Aku Erna, Teh,” sambung perempuan itu segera.“Oh iya, kamu yang baru seminggu kerja di Kebun Wisata Cihejo, kan? Aku hampir lupa.”“Iya, betul. Hee…”“Lalu…” Lilis menggantung kalimatnya, pandangannya beralih ke baju-baju malam yang bergelantung rapi, lalu sekilas ke arah Farhan.“Erna sedang mencari gaun malam, kado untuk saudara yang akan menikah.” Erna menjawab raut wajah penuh tanya itu, Lilis
“Permisi, boleh saya lihat?” “Hmmh?” Gadis itu tak langsung menjawab. Ia sedikit terhenyak lalu tertegun beberapa saat ketika sekelumit pikiran berkutat di kepalanya. Mereka saling tarik menarik, antara mempertahankan aurat atau menuruti permintaan dokter muda itu. Lilis lupa, kondisinya yang mulai terbiasa menjaga permukaan tubuh dari pandangan orang lain bukan berarti tertutup pula bagi dokter. Bukankah ia sengaja datang untuk memeriksakan diri atas luka yang tetiba kambuh setelah empat tahun sembuh. Tiba-tiba saja, Lilis merasa bodoh. Apa yang kupikirkan, maki Lilis pada diri sendiri. “Emh… iya, tentu saja.” Lilis menyingkap bagian bawah roknya; memperlihatkan sebelah kiri bagian betisnya. Dokter muda itu membungkuk sampai berlutut sebelah kaki. Sejenak setelah mengamati betis jenjang nan mulus itu, ia melirik ke arah Lilis. “Terlihat baik-baik saja, bukan? Tapi sungguh, belakangan ini sering terasa sakit. Apalagi saat mandi di pagi hari, saat terk
“Siapa yang melakukan ini?”Bibir Lilis bergetar dengan sinar kemarahan di matanya. Mendapati bangkai kucing dengan torehan luka yang ganjil sungguh membuat panas kepala Lilis. Makhluk kecil menggemaskan yang sering hilir mudik di sekitar kebunnya itu teronggok kaku di bawah meja kompor. Darah merah mengering di helai-helai bulu lebatnya yang seputih kapas, terlebih di bagian leher yang diduga kuat menjadi sebab kucing itu mati.“Ini bukan ulah ular atau binatang buas lainnya,” gumam Lilis ketika melihat luka memanjang di bagian leher. “Ada yang menyembelihnya.”“Hiiiy… Orang macam apa yang tega membunuh makhluk kesayangan Nabi?” Buk Martinah bergidik ngeri di sudut pintu dapur. Ia tak berani mendekat. Butuh waktu bagi Buk Martinah mengatur debaran di dada setelah melihat bangkai kucing itu.Lilis tertegun. Entah apa itu, seperti ada yang menyinggung logikanya ketika Lilis mendengar pertanyaan ibunya.