"Le-lepasin aku," gumam Naira terbata-bata, berusaha mempertahankan sikap ketusnya meski jelas terlihat kikuk.Naira, yang tadinya bersikap ketus, kini merasa wajahnya memanas karena malu. Ia segera berusaha menegakkan diri, menghindari tatapan Bastian.“Oke.” Bastian benar-benar melepaskan tangannya yang memeluk Naira.Namun, ternyata tubuh Naira belum siap sehingga kembali limbung. Dia secara refleks mencengkeram lengan Bastian, takut jatuh.Bastian terkekeh pelan, "Oh? Kukira kamu gak butuh bantuanku?"Mata pria itu melirik ke pegangan erat Naira pada lengannya. Mau tak mau dia melingkarkan lengannya ke pinggang ramping Naira.Naira menggigit bibirnya, merasa malu dan kesal pada dirinya sendiri. "Diam kau!" gumamnya pelan, tak berani menatap mata Bastian.Wajahnya mungkin sudah merah padam saat ini. Sungguh memalukan!"Baiklah, Putri Bangsawan. Atau … Putri Keras Kepala aja?" ujar Bastian sambil perlahan membantu Naira berdiri tegak. "Jangan gengsian. Kamu gak tahu kapan bakalan bu
‘Pria itu … sampai sejauh itu ….’ Mendadak, hati Naira terasa hangat atas perhatian Bastian.Meski dilakukan dengan cara menyebalkan, tapi Bastian nyatanya memberikan perhatian tanpa banyak cakap. Hanya perintah-perintah singkat yang harus dipahami Naira secara cermat.Setelah paham maksud Bastian, Naira pun mengganti keranjang dengan troli paling besar di sana.Dia dengan riang memasukkan apa saja yang dia inginkan hingga troli penuh sempurna.“Cuma segitu? Gak pengin nambah troli lagi?” tanya Bastian ketika Naira kembali dengan seluruh belanjaan yang sudah dia kumpulkan di troli.Kepala Naira mengangguk. Setelah ini dia bisa lega tidak perlu kelaparan, tidak perlu berebut makanan dengan kucing kampung di tong sampah.Duh, kalau ingat insiden memalukan di halaman depan, Naira ingin sekali pindah planet karena sempat dilihat tetangga, bahkan ditanya.Tak berapa lama, belanjaan sudah dikemas dalam beberapa kardus besar dan diserahkan ke petugas supermarket untuk dibawa ke parkiran temp
Tak ingin pingsan karena kegugupannya dikurung tubuh Bastian, maka Naira memutuskan untuk berbalik sebelum meloloskan diri dari kungkungan pria itu meski risikonya dia akan berhadapan terlebih dahulu dengan Bastian dan tentunya akan lebih canggung lagi.Sayang sekali, Naira seperti macet, tak bisa bergerak lagi setelah dia berbalik menghadap Bastian.Apakah dia perlu menyesali keputusannya barusan?"I-itu ... selai ama madu," jawab Naira terbata-bata, tangannya gemetar saat menyerahkan botol-botol tersebut pada Bastian.Saat tangan mereka bersentuhan, Naira merasakan seperti ada aliran listrik mengalir di kulitnya. Ia cepat-cepat menarik tangannya hingga botol kaca di tangannya nyaris saja jatuh jika bukan karena ketangkasan Bastian yang buru-buru memeganginya.Bastian, masih dengan ekspresi dinginnya, menempatkan botol-botol itu di rak atas tanpa memberi kesempatan bagi Naira untuk menjauh dari kurungan tubuhnya.Sungguh canggung, aroma pria itu menguasai indera penciuman Naira bahka
‘Eh!’ Naira memekik di hatinya.Dia sendiri juga terkejut kenapa mendadak memiliki ide spontan semacam itu. Tapi sudah terlambat ditarik kembali."Ya, um, maksudku ... aku punya bahan makanan di kulkas. Kita bisa masak bareng. Kalau Om mau, sih!" Naira menambahkan cepat-cepat, pipinya mulai memerah.Bastian terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Oke."Naira membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Bastian masuk. Mereka berjalan ke dapur dalam diam, suasana masih terasa canggung.Di dapur, Naira mulai mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas."Kita bikin spageti aja, gimana?" usul Naira, masih tidak berani menatap langsung ke mata Bastian.Bastian mengangguk sambil menggulung lengan kemejanya. "Aku potong sayuran, kau mengurus pastanya."Naira memutar matanya. Masih saja Bastian bersikap bossy layaknya di kantor. Apakah pria itu akan kejang-kejang kalau tidak memerintah sebentar saja?“Gunakan pasta penne dan fusilli. Itu yang paling cocok dimasak ama sayuran.” Bastian bersuara lag
“Duh! Udah setengah 9!” Naira melirik ke jam tangan di pergelangan tangan kirinya. “Ini gara-gara kelamaan nungguin taksi online yang kena macet, nih!” keluhnya di pagi ini.Karenanya, Naira segera berlari kecil ke arah lobi. Namun, dari arah berlawanan, ada Rinda dan beberapa anak magang lainnya membawa beberapa folder di dekapan masing-masing.“Wah! Wah! Si anak emas emang beda, yah! Jam segini baru datang!” Suara Rinda cukup keras sehingga orang-orang yang ada di lobi menoleh ke mereka.Naira segera menghentikan larinya dan menarik napas panjang.‘Kayaknya dia emang demen nyari masalah ama aku. Oke, aku ladeni sebentar, deh!’ Naira yang mudah tersulut emosi merasa dia tak mau dirugikan dengan ucapan seenaknya Rinda.Suasana lobi kantor pagi itu mendadak terasa tegang saat Rinda menghampiri Naira yang hendak menuju lift Gedung B.“Anak emas apanya? Ini belum jam 9. Apa kamu kurang wawasan? Kurang pengetahuan mengenai peraturan kantor ini kalau jam masuk kerja itu jam 9.” Naira tidak
Amy yang baru saja bersuara, muncul dan bertanya pada Naira. “Ada apa ini, Ra?”“Nggak ada apa-apa, Sis Amy.” Naira malas menjabarkan mengenai perdebatannya dengan Rinda.Meski begitu, Amy sudah menangkap aroma permusuhan dari Naira dan Rinda.Melihat ketegangan antara kedua gadis itu, Amy menarik tangan Naira.“Yuk! Aku butuh kamu di ruanganku!” ajak Amy sambil tetap memegangi tangan Naira untuk pergi dari sana.Mata Naira tajam menatap Rinda yang melotot tak terima.‘Ini belum kelar, yah Rin! Liat aja ntar kalo kau berani nyenggol gak enak tentang mami lagi,’ batin Naira menyimpan dendam ke Rinda.Maka, seharian ini, suasana hati Naira buruk. Bahkan dia malas pergi ke kantin walau hanya sekedar ingin membeli minuman ringan atau camilan seperti gorengan. Napsu makannya menguap hilang ketika dia mengingat ucapan buruk Rinda.“Loh, Ra, kamu belum makan siang?” tanya Amy ketika jam makan siang sudah berjalan setengahnya.“Belum kerasa lapar, Sis. Aku masih selesaikan periksa naskah dulu
Mata Naira membulat lebar, bersaing dengan mulutnya yang menganga karena terkejut. “Serius?!”Ini merupakan hal tak terduga baginya.“Ini aku dapat dari orang yang deket ama Rinda, sih!” Kawan Naira mulai bercerita, “Jadi, tadi sebelum makan siang, Pak Bos manggil Rinda ke ruangannya. Katanya Rinda ditanya soal omongannya ke kamu yang tentang hubungan Pak Bos ama mamimu itu!”Naira semakin tertarik mendengarkan.“Terus? Terus?” Dia antusias sampai mengubah posisi dari rebah di kasur menjadi duduk tegak dengan penuh minat.Siapa suruh Rinda cari gara-gara di tempat pemilik perusahaan?!“Nah, Pak Bos nanya ke dia, apakah ada masalah antara Rinda ama kamu. Dan Pak Bos juga memutuskan besok dia mo ajak Rinda nemuin klien. Gitu!”Usai mendengar itu dari kawannya, Naira masih belum puas.“Lah, terus gimana jawaban Rinda?” kejar Naira ingin tahu.“Kata temannya sih, Rinda hepi banget bakalan diajak pergi ama Pak Bos! Dia mau buktikan kalau dia lebih hebat dan pantas dibandingkan kamu!” Si kaw
Bastian dan Rinda memasuki ruang pertemuan hotel bintang lima, di mana dua eksekutif dari perusahaan lain yang hendak menanamkan investasi besar sudah menunggu. Bastian, dengan setelan jas mahalnya, melangkah dengan penuh percaya diri."Selamat siang, Pak Jordan, Pak Hendra," sapa Bastian ramah, menjabat tangan kedua pria itu. "Ini Rinda, asisten magang saya."Rupanya Bastian memperkenalkan Rinda sebagai asistennya! Ini melambungkan asa dan kegembiraan di hati Rinda.Gadis itu tersenyum sopan dan menjabat tangan kedua eksekutif tersebut. Mereka duduk dan Bastian mulai membuka pembicaraan tentang proyek yang akan mereka bahas.Saat diskusi berlangsung, Pak Jordan bertanya, "Bagaimana dengan progress pengembangan software yang kita bicarakan bulan lalu, Pak Bastian?"Sebelum Bastian sempat menjawab, Rinda dengan antusias menyela, "Oh, maksud Bapak Project Zephyrland? Kami sudah menyelesaikan 70% dari pengembangan dan akan siap diluncurkan bulan depan."Wajah Bastian seketika menegang. P
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal