‘Andai aja aku waktu itu nggak ribut besar ama Emil, aku pasti nggak akan putus ama dia.’ Naira menatap Emil penuh rindu.Emiliano atau yang biasa disapa Emil, mantan pacar terakhir Naira, merupakan pria berdarah blasteran dan sangat tampan. Wajar apabila Naira masih enggan melepaskan Emil kala itu.Hanya karena rumor tak mendasar mengenai kedekatan Emil dengan wanita lain, Naira terlalu emosi dan bertengkar hebat sehingga Emil memutuskan hubungan mereka tanpa bisa ditahan lagi.Akibatnya, hingga kini Naira masih gagal beranjak dari asmara lalunya dengan Emil.“Kebetulan aku nungguin temenku di sini, sih! Ah, tapi kayaknya dia gak dateng, deh! Bentar.” Emil mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk siapa, entahlah.Setelah itu, Emil menyimpan ponselnya sambil Naira masih menatap sambil tersenyum lembut.“Aku dengar kamu magang di E-First, yah?” tanya Emil sambil memberikan wajah paling menawannya.Mana bisa jantung Naira baik-baik saja kalau begitu? Semenjak mereka putus, Emil s
Kepala Naira terasa berputar.“Kenapa, Naira?” Pemuda di depannya lekas menangkap tubuh limbung Naira.Pemuda itu memeluk Naira.“Eng-enggak kenapa-kenapa. Kita … sshh … balik ke bilik aja, yah!” Naira semakin merasa pusing.Tubuhnya mulai lemah sehingga dia tak berdaya ketika tangan pemuda itu berkeliaran seenaknya di beberapa asetnya seperti dada dan pantat.Tepisan tangannya dapat dengan mudah dilawan pemuda itu. Tapi dia bisa apa?‘Sialan! Siapa ini pelakunya?!’ jerit Naira di batinnya ketika dia gagal menghalau tangan bejat pemuda itu yang meremas dadanya. ‘Awas aja kalo Vida terlibat!’“Tanganmu minggir, brengsek!” desis Naira. Dia berusaha mencari Helena, tapi ternyata sahabatnya sudah cukup jauh darinya berdiri.Dia semakin risih ketika pantatnya diremas juga.“Yok, aku antar aja ke atas, oke!” Pemuda itu tersenyum mesum ke Naira.Tapi, Naira justru ingin melarikan diri saja dari tempat itu.“Aku pulang aja!” Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan pemuda itu.“Oh, ya udah!
Disela-sela akal sehat yang masih sekian persen bertahan di otaknya, Naira bisa melihat dirinya sendiri yang bertingkah liar. Berusaha menarik lepas pakaiannya, atau sekedar mengeluarkan napas memburu.“O-Om … hah … haah … Om … gerah … aneh … haah ….” Naira menatap Bastian seakan mangsa.Dia menubruk Bastian dan berusaha menyentuh tubuh pria itu.“Hei! Kendalikan dirimu, Ra!” tegas Bastian sambil menatap tajam ke Naira.Sayang sekali, akal sehat Naira sudah semakin terkikis dan menyisakan letupan gairah yang bergolak hebat di dalam dirinya. Seakan dia akan mati kalau tidak mendapatkan sentuhan saat ini juga.“Om, tolong … akuuu ….” Naira sambil melepas kain penutup dadanya.Kening Bastian mengernyit melihat kelakuan Naira. Dia sudah berusaha mencegah Naira untuk melucuti pakaiannya sendiri.“Hentikan kebodohanmu, Ra!” Tangan Bastian menahan tangan Naira yang hendak menggapai celana dalamnya.Tapi Naira justru menangis dan merengek.“Om, aku tak tahan. Om … ini rasanya aneh dan tak ena
Di dalam kamar mandi, Naira masih mendapatkan secuil kewarasannya, selebihnya hanya merasa aneh pada tubuhnya dan rasa tak nyaman pada area vital di bawah sana, seakan ada dorongan untuk melakukan sesuatu yang gila.“Om … Om … tolong aku ….” Sebagai efek dari berkurang banyaknya kewarasan akal Naira, dia terus menyentuh tubuh Bastian.Meski Bastian menepis berulang kali, dia tak goyah dan terus mencoba dan mencoba lagi sambil tangan lainnya membelai dirinya sendiri karena itu terbukti membuatnya lumayan nyaman.“Aku sedang menolongmu, Ra!” geram Bastian sambil menatap tajam Naira yang sudah berwajah sendu bermata sayu.Bastian melepas dasi yang dipakai sambil membuka beberapa kancing teratas kemejanya serta menggulung kedua lengan bajunya.Meneguhkan sosok polos tanpa selembar kain Naira, Bastian menangkap kedua tangan Naira dan menyatukannya di tiang shower.“Om?” Naira bingung.Bastian belum berhenti dan dia bergegas melilitkan dasinya ke dua pergelangan tangan Naira, membentuk simp
Begitu Naira menyadari isi kepalanya, dia langsung mengenyahkannya dari otak.‘Nggak! Gak boleh mikir gitu, gilak! Ngapain sih aku kepingin pacar kayak dia? Yang ada aku kurus kering gara-gara diperintah ini ama itu gak jelas, dah! Gak mau! Tarik balik harapanku tadi! Aku gak mau punya pacar kayak dia!’Naira sibuk memekikkan itu di benaknya. Kali ini dia menolak menatap pantulan wajah tampan Bastian di cermin rias depannya.‘Emil … aku lebih cocok ama Emil. Ah, iya, aku belum sempat hubungi Emil lagi.’ Akhirnya Naira mengalihkan pikirannya dengan sosok lain, Emil si mantan.Dulu mereka putus hanya gara-gara salah paham dia yang terlalu cemburuan, dan sekarang dia yakin Emil memang tidak seperti tuduhannya waktu itu.Rambut Naira akhirnya kering sepenuhnya berkat ketelitian Bastian.“Sini aku keringkan badanmu sekalian!” Bastian menaruh hair dryer ke atas meja rias dan mundur beberapa langkah untuk memberi ruang bagi Naira.Naira bangkit dari kursi sambil berusaha menyeimbangkan diri
Pagi harinya, Naira terbangun dengan tubuh yang serba sakit dan kepala pusing.‘Kayaknya emang gak perlu berangkat hari ini. Ya ampun, badan udah berasa digebukin maling. Eh, tapi kan aku gak pernah digebukin maling. Yang ada, aku yang bakalan gebukin maling, lah!’ batinnya mengomel.Melirik jam dinding di kamarnya, sudah jam 8 lebih.Mendadak, dia teringat kembali adegan demi adegan semalam. Meski dia diracuni dengan obat laknat, dia masih bisa ingat meski agak samar.‘Sialan! Kenapa semalam aku binal banget ke dia! Sialan! Sialan!’ Naira merutuki malam yang baginya merupakan hal jahanam. ‘Emil aja belum pernah liat badan aku, apalagi ampe megang. Tapi Om Tian ….”Teringat akan Bastian, Naira teringat pula akan kecupan di kening sebelum Bastian pergi.Tanpa sadar, tangan Naira mengelus kening bekas dicium kekasih ibunya.‘Dia … ngapain dia pake cipok-cipok di sini pula, yah? Urgh! Seenaknya aja dia!’Mendadak, kekesalan muncul di benak Naira.‘Oh! Helen!’ Akhirnya dia teringat dengan
“Om ngapain ke sini?” tanya Naira saat melihat kehadiran Bastian di depannya.Mata Naira segera menoleh ke 2 bungkusan yang diangkat Bastian.“Gak mau biarkan aku masuk?” Bastian bertanya.Seperti biasa, wajah pria itu datar dan dingin seakan dia baru saja keluar dari kulkas.Naira pun mundur untuk memberi jalan Bastian masuk ke dalam rumah. Dia mengikuti Bastian ke ruang makan dan melihat pria itu memindahkan apa yang ada di bungkusan ke mangkuk dan piring.“Sup ayam dan udang goreng tepung.” Naira menyebut makanan yang dibawa Bastian.“Sup ayam bagus untuk pengar. Udang tepung … kata Elvita kamu demen udang tepung, makanya aku bawain ini.” Bastian menjawab tanpa menatap Naira dan justru beranjak pergi ke dapur.Naira lagi-lagi mengikutinya, ingin tau, apalagi yang hendak diperbuat Bastian.Ternyata pria itu mencari teko kecil untuk memasak air panas.“Om mo buat apaan?” Naira bertanya dan mengira mungkin Bastian ingin membuat kopi untuk pria itu sendiri.Bastian tak mau repot-repot m
Memasang wajah cemberut, Naira menjawab, “Emil mantan pacarku.”Bisa terlihat jelas oleh Naira, dahi Bastian berkerut tajam usai dia memberikan jawaban.“Emangnya kenapa kalo aku ama Emil masih temenan dan saling chat?” Naira tak mau surut dari pembelaan diri.Memangnya apa urusan Bastian mengenai hubungan dia dengan Emil atau siapa pun mantan-mantan yang dia miliki?“Masih temenan?” Kerutan di dahi Bastian belum pudar. “Pesan-pesan kalian ini rasanya bukan pesan antar teman.”Mendengar itu, Naira tersulut emosi karena ternyata Bastian sempat membaca pesan-pesan yang terkirim.Memang, beberapa hari ini dia dan Emil mulai terlibat percakapan yang cukup intens dan mengarah ke romantisme.“Kamu gak berhak baca pesanku!” Naira berdiri dan berusaha meraih ponsel di tangan Bastian.Namun, Bastian juga ikut berdiri dan menaikkan tangannya tinggi-tinggi, membuat sulit situasi bagi mereka berdua.“Aku cuma pengin memastikan kamu baik-baik aja selama ibumu pergi.” Bastian masih mempertahankan p
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal