“Jadi Om cuma mikir kayak gitu tentang kita… hiks!” Naira mundur dari meja kerja Bastian sambil dia berdiri dan menumpahkan isak tangisnya.Kata-kata Bastian tadi menghancurkan Naira sepenuhnya. Dia terdiam, tidak mampu berkata-kata lagi. Seluruh dunia seakan runtuh di sekitarnya, dan tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikannya.Rasa putus asa mulai menguasai dirinya, membuatnya merasa kecil dan tidak berarti. Dia ingin sekali berlari keluar dari ruangan itu, menjauh dari pria yang telah menghancurkan hatinya.Tetapi kakinya tidak bisa bergerak, seolah-olah mereka tertanam di lantai, dipaksa untuk tetap berada di hadapan pria yang telah mematahkan hatinya.Bastian yang tampaknya sudah kehilangan kesabaran, bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu. "Aku keluar bentar."Naira hanya bisa menatap punggung Bastian ketika pria itu keluar dari ruangan, meninggalkannya sendirian dengan hatinya yang hancur.Ketika pintu tertutup di belakangnya, Naira merasa seluruh dunia menja
‘Aku … aku masuk angin?’ pikir Naira usai dia muntah. ‘Kayaknya sih iya. Mungkin efek dari stres gara-gara Om Tian, atau bisa juga gara-gara kena gerimis barusan?’Dia memandang ke luar jendela, gerimis masih terus menitik ke bumi.“Uwokk!”Tetapi saat rasa mual itu terus berlanjut, Naira mulai merasa cemas. Dia menekan perutnya dengan hati-hati, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi dalam tubuhnya.Firasat buruk mulai muncul di benaknya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Gak mungkin...." bisiknya pada diri sendiri, berusaha mengusir pikiran itu.Namun, semakin dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya gejala biasa, perasaan takut itu semakin besar.Dalam hatinya, dia mulai menghitung hari-hari terakhirnya bersama Bastian, ‘Oke, kapan terakhir kali aku datang bulan? A-astaga… kenapa aku baru nyadar kalo aku… aku gak dapat di bulan kemarin?’Perhitungannya akan periode datang bulan terakhirnya membuat ketakutan itu semakin nyata.‘Gak! Gak bisa! Pokoknya gak bisa!’
“Duh… kenapa harus ini hasilnya? Tamat aku… pasti tamat ini!”Naira berdiri di tengah kamar mandi, masih terpaku pada dua garis merah di testpack yang ada di tangannya.Perasaan yang tadinya campur aduk—antara takut, bingung, dan sedikit berharap—tiba-tiba saja berganti menjadi keputusan yang mendadak namun pasti.“Oke, yang pasti, Om Tian gak perlu tau tentang kehamilanku.”Rasa sakit dari penolakan Bastian tadi pagi masih begitu segar di benaknya. Sikap dingin dan acuh tak acuh Bastian, ditambah dengan penampilan wanita asing yang penuh keintiman, menghancurkan sisa-sisa harapan yang selama ini dia coba pertahankan.“Yah, gimana aku bisa berharap ke cowok kayak Om bakalan peduli ke seorang bayi, ketika dia aja gak peduli ke aku?! Om Tian cuma bakalan ngeliat kehamilan aku ini sebuah beban—sama kayak dia ngeliat aku. Cuma beban doang.”Tanpa berpikir panjang lagi, Naira membuang testpack ke tempat sampah di kamar mandi.Suara plastik yang menyentuh dasar tempat sampah bergema di kepa
Meski masih terkejut, Helena segera mengerti betapa serius situasi ini. “Ra, aku bakalan bantuin kamu. Aku ada teman yang punya kosan murah di dekat rumahku. Tempatnya mungkin nggak mewah, kamu nggak apa-apa soal itu? Mungkin juga nggak ada AC, tapi kamar mandi dalam ada.”Helena perlu menjelaskan yang terburuk dulu agar Naira bisa memikirkannya.Tapi karena Naira memang sudah terdesak, maka dia menyahut cepat, “Gak apa-apa, Len. Gak masalah! Pokoknya ada!”Dia sudah tak bisa berpikir mengenai fasilitas apalagi kemewahan.“Yah, pokoknya kamu bisa tinggal di sana untuk sementara. Aku bakalan kasi tau mereka kalau kamu butuh tempat untuk menginap beberapa waktu.”Naira merasa beban berat sedikit terangkat dari pundaknya. Meski masih ada ketakutan yang menghantui, setidaknya sekarang dia tahu bahwa dia tidak sendirian.“Makasih, Len. Aku gak tau apa yang harus aku lakuin kalo gak ada kamu.”Dia mengucapkannya sungguh-sungguh tulus.“Nggak usah khawatir, Ra. Aku bakalan bantu kamu ngelewa
Matanya melihat testpack yang tergeletak di antara sampah lainnya.Dia memungut testpack itu dengan tangan gemetar, dan melihat dua garis merah terang yang terpampang di sana.“Na-Naira hamil… dia… dia hamil… astaga dia hamil!”Seketika, jantungnya berdetak cepat, darahnya berdesir dingin. Naira hamil, dan dia sangat yakin itu anaknya.Perasaan bersalah, takut, dan juga kemarahan bercampur menjadi satu di dalam dirinya."Gimana bisa dia malah nggak kasi tau aku?" pikir Bastian dengan marah, meski kemarahan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri.Dia menyadari bahwa sikap dinginnya mungkin telah membuat Naira takut untuk berbicara.Tapi sekarang, tidak ada waktu untuk merenungi kesalahan. Dia harus menemukan Naira dan membicarakan hal ini—sebelum semuanya semakin rumit."Cari Naira. Aku harus cari dia!"Bastian segera keluar dari apartemen, melewati ruangan yang masih menyisakan jejak-jejak kehadiran Naira.Dengan tekad bulat, dia melajukan mobilnya menuju rumah Elvita, ibu Naira, ya
“Anda kenapa malah mengancam saya?” tanya Helena dengan nada tegas meski tangannya gemetaran memegang ponsel. “Anda yang tidak becus mengurus Naira kenapa malah galak ke saya?”Sebenarnya dia berusaha mengendalikan rasa cemas yang semakin membesar di dalam dirinya. Helena juga bisa merasakan betapa putus asanya Bastian untuk menemukan Naira."Helena, aku nggak akan mengulangi pertanyaanku," kata Bastian dengan nada dingin. "Di mana Naira? Aku tau kamu ngerti di mana dia."Helena mencoba menahan gemetar di suaranya, meskipun jantungnya berdetak kencang. “Aku sudah bilang, aku nggak bisa kasi tau kalian. Naira butuh waktu untuk sendiri. Dia minta aku untuk nggak ngomong apa pun lokasi dia ke siapa pun.”Bastian menghela napas panjang, wajahnya semakin mengeras. “Aku nggak punya pilihan lain, Helena. Kalau kamu terus menutupinya, aku terpaksa melaporkanmu ke polisi. Kamu tau itu bisa dianggap penculikan atau tindakan menghalangi keluarga untuk bertemu dengan Naira.”Ancaman itu membuat H
“Nai!” seru Bastian. Hatinya mencelos karena Naira tidak sendirian.Naira berada dalam pelukan seorang pria tak dikenal. Tubuhnya terlihat kecil dan rapuh di bawah rintik hujan, wajahnya tersembunyi di dada pria itu, seolah-olah mencari perlindungan yang tak seharusnya datang dari orang lain.“Nai!”Tanpa pikir panjang, Bastian berlari ke arah mereka, mengabaikan Elvita yang memanggil-manggil namanya dari belakang.Tubuhnya basah kuyup, tapi itu tak penting. Yang ada dalam pikirannya hanyalah satu hal: Naira.Setibanya di bangku taman itu, Bastian menarik Naira dari pelukan pria itu dengan kasar, menyebabkan Naira terhuyung ke belakang."Apa yang kamu lakukan sama dia?" bentak Bastian ke pria asing itu, suaranya penuh amarah dan frustrasi.Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri dalam kemarahannya. Dia tak peduli siapa pria itu—yang dia tahu hanya bahwa Naira adalah miliknya, dan tidak ada pria lain yang berhak memeluknya seperti itu.Pria itu, yang masih duduk, segera berdiri dan me
“Aku udah gak mau disentuh Om!” pekik Naira.Elvita bingung akan apa yang diucapkan putrinya. Kenapa itu malah terdengar aneh dan mencurigakan?Tanpa berkata apa-apa, Elvita langsung memeluk Naira, menggenggamnya erat seolah-olah putrinya akan hancur jika dia melepaskannya.Pelukan itu membuat Naira merasakan sedikit kenyamanan, meskipun hatinya masih kacau balau.Air mata Naira mulai mengalir lagi, menyatu dengan rintik hujan yang jatuh ke tubuh mereka. "Mami... aku... aku gak tau harus gimana lagi..." Naira berbisik, tubuhnya lemah di pelukan ibunya.Namun, sebelum Naira bisa melanjutkan, tangan kuat Bastian tiba-tiba menariknya dari pelukan Elvita.Dengan wajah serius dan tegas, Bastian meraih lengan Naira dan menariknya ke dalam pelukannya sendiri. Tatapan matanya penuh dengan tekad, sementara tubuhnya yang basah kuyup tetap tegak, seolah-olah hujan tak berarti apa-apa baginya."Aku di sini sekarang, Nai," kata Bastian dengan suara rendah namun penuh keyakinan. "Aku nggak akan memb
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal