Home / Romansa / Belahan Jiwa / 31. Undying Love (2)

Share

31. Undying Love (2)

Author: Dela Tan
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tiara mengedarkan pandang, memperhatikan semua perabot yang telah ia obrak-abrik. Hanya tempat tidur yang masih belum disentuh. Ia menghampiri tumpukan bantal, membaliknya satu demi satu. Dan ia menemukan satu kertas baru. Sepertinya itu surat terakhir yang ditulis Bapak. Kertasnya bahkan belum terlipat. 

Berbeda dengan surat-surat lain yang pendek, Tiara melihat surat yang panjang.

Atik,

Ternyata aku tidak sekuat yang kukira.

Entah kenapa aku sakit-sakitan terus. Mungkin aku sudah tua.

Atau mungkin aku lelah. Lelah menghitung setiap bangun di pagi hari adalah satu hari lagi yang harus aku lewati tanpa kamu.

Aku berusaha tidak mengeluh.

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Belahan Jiwa   32. Sepupu Jauh

    Bapak disemayamkan di rumah duka. Tubuhnya telah selesai dimandikan. Dia mengenakan jas, terbaring damai di dalam peti dengan bibir tersenyum.Surat-surat Bapak, seluruh surat yang tak pernah dikirimnya, disertakan ke dalam peti matinya.“Berikanlah pada Ibu, Pak. Biarkan Ibu membacanya. Atau bacakan padanya di sana, agar Ibu bisa bercerita dengan bangga pada teman-temannya, bahwa cinta Bapak tidak mati walau dipisahkan maut.” Tiara memandang wajah Bapak untuk terakhir kali, lalu menutup wajah Bapak dengan sapu tangan renda.Malam kembang atau upacara penutupan peti akan dilaksanakan malam ini. Dalam tiga hari ini kenalan dan kerabat telah banyak yang datang melayat. Ruby dan Nikos telah menyatakan belasungkawa lewat panggilan video."Maaf gua gak bisa mendampingi

  • Belahan Jiwa   33. Intuisi Seorang Istri

    Di perjalanan pulang, setelah menurunkan sang ibu mertua di rumahnya, Tristan mengemudi dengan Tantri di sampingnya. Keduanya tidak berbicara.Malam telah tua, langit hitam pekat.Tantri melongok ke luar jendela, menengadahkan kepala ke langit.“Menurut Ayah, malam ini akan hujan atau tidak?” Tantri memecah keheningan yang sejak tadi menyelubungi mereka.Pertanyaan itu, membuat Tristan seketika teringat ‘tebakan taruhan’ dengan Tiara, sehingga tanpa sadar ia menghela napas.Helaan napas itu halus, tetapi Tantri menangkapnya.“Kok sepertinya berat banget? Padahal cuma hujan, asal gak banjir gak apa-apa kan Yah?” Tantri menoleh padanya.

  • Belahan Jiwa   34. Pernikahan Adem Ayem

    Tristan berbaring nyalang di tempat tidur. Tantri telah pulas di sampingnya. Ia bukan tidak merasakan tingkah aneh istrinya. Sepertinya dia mencurigai sesuatu.Tristan menelaah kembali pertemuan mereka dengan Tiara di rumah duka tadi siang. Ia merasa yakin tidak menunjukkan apa-apa yang patut dicurigai. Mungkin memang benar bahwa firasat seorang istri itu tajam. Mereka selalu tahu kalau suaminya menyembunyikan sesuatu, terutama jika sesuatu itu adalah wanita lain.Untungnya, besok ia tidak ada janji makan siang dengan Tiara. Jadi ia telah mengiyakan usulan Tantri, dan besok mereka akan makan siang bersama di kantin rumah sakit. Di kantin rumah sakit! Padahal biasanya ia selalu makan siang dengan Tiara di tempat-tempat berbeda, di resto atau cafe yang suasananya tenang.Ia memang telah tidak berkomunikasi denga

  • Belahan Jiwa   35. Inikah Bahagia?

    Pertama kali bertemu Tantri dua puluh tahun yang lalu, Tristan juga sedang antre tiket nonton. Waktu itu belum ada order tiket online, jadi ketika sebuah film bagus diputar, penonton harus rela antre di bioskop.Kadang begitu sampai di hadapan petugas tiket, bangku di jam pertunjukkan yang diincar sudah habis sehingga harus memilih jam pertunjukkan berikutnya.Tristan melihat antrean panjang itu. Ia paling malas antre. Ia kesal, gara-gara Andri si tukang ngaret, mereka berangkat mepet. Padahal Jakarta di Jumat malam itu macetnya tobat, apalagi dibarengi gerimis. Sudah sampai sini setelah berjam-jam macet, ia tak mau sampai batal. Apalagi ini film box office.“Kita titip a

  • Belahan Jiwa   36. Hong Kong International Exhibition

    Tidak ada waktu bagi Tiara untuk berlarut-larut dalam kesedihan karena kepergian Bapak. Hong Kong International Exhibition yang telah ia persiapkan sejak delapan bulan yang lalu tinggal seminggu lagi. Ini sebuah keuntungan, karena membuat fokusnya teralihkan, dan tidak memikirkan hal lain.Perusahaan mereka akan mengirim tim yang terdiri dari lima belas orang, termasuk dirinya. Tim kreatif yang terdiri dari dua desainer, satu humas, manajer pemasaran dan empat orang tim operasional yang akan mengatur kurang lebih segala hal. Serta enam model, yang akan memeragakan dua puluh empat sepatu rancangan terbarunya untuk musim gugur tahun depan di catwalk.Tiara memiliki dua merek sepatu.Kira, adalah

  • Belahan Jiwa   37. Menyentuhmu

    Pantai itu sangat sunyi. Hanya ada suara deburan ombak yang pecah, kemudian menjilat kaki telanjang mereka yang menapak di pasir putih halus, menghapus jejak-jejak panjang yang tertinggal.Hanya ada mereka berdua di situ. Matahari tidak terlalu terik, sehingga meskipun di udara terbuka, mereka tidak merasa panas. Sebaliknya, angin berembus sepoi-sepoi, membawa kesejukan.Pakaian mereka diterbangkan angin. Tristan mengenakan kemeja putih yang tidak sepenuhnya dikancingkan. Perutnya yang masih kencang dan rata mengintip dari kelepak kerah yang terbuka. Celana khakinya digulung hingga lutut, sehingga air yang menyapa pantai tidak membasahinya.Tiara juga mengenakan gaun putih dari bahan tipis, sehingga angin meniup gaunnya, membuatnya tampak bagai karakter sebuah dongeng. Rambutnya yang panjang tergerai, dan angi

  • Belahan Jiwa   38. Birthday Dinner

    Makan malam ulang tahun Tiara akan ‘dirayakan’ di Blue Elephant, sebuah resto makanan Thai di mal paling megah di Jakarta Pusat. Selama lima belas tahun terakhir, baru kali ini Tiara merayakan ulang tahun dengan seorang laki-laki, hanya berdua.Meskipun hanya pernah satu kali jatuh cinta, ia bukan gadis ingusan yang tidak mengerti apa-apa.Tiara tidak pernah merasa dirinya cantik, tetapi ia yakin, Tristan juga tertarik padanya. Manusia mana yang akan bersedia menemuinya di resto-resto yang jauh. Di antara waktu praktik di dua rumah sakit, dengan kemacetan Jakarta di jam makan siang, jika dia tidak merasakan apa-apa.Untungnya pertemuan mereka selalu di tempat umum. Itu menjadi rem yang kuat. Nalar mereka masih berfungsi, sehingga mereka tidak terlena dan menyerah pada keinginan egois.

  • Belahan Jiwa   39. Mengintai

    Telah dua minggu Tantri melancarkan strategi untuk ‘mempertahankan’ suaminya dari godaan orang ketiga.Dimulai dengan meminta makan siang bersama yang diiyakan Tristan, mereka makan bersama di kantin rumah sakit.Hari berikutnya, ia membekali Tristan dengan ‘masakan yang dicoba dari resep baru’.“Yah, aku kemarin nemu resep yang kayaknya enak, jadi tadi pagi aku masak. Ini kamu bawa untuk bekal makan siang ya, nanti kamu nilai apakah masih enak kalau sudah dingin, atau harus disajikan panas-panas.” Ia menyodorkan serangkaian kotak makanan, yang diterima Tristan tanpa mengatakan apa-apa.Esok harinya lagi, “Yah, besok aku mau belanja bulanan. Kebetulan mau ke mal di daerah dekat rumah sakit. Nanti Ayah temani aku ya?&r

Latest chapter

  • Belahan Jiwa   68. Ekstra 5 - Be My Wife (2) The End

    “Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin

  • Belahan Jiwa   67. Ekstra 4 - Be My Wife (1)

    Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib

  • Belahan Jiwa   66. Ekstra 3 - Tak Akan Melepaskanmu

    “Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be

  • Belahan Jiwa   65. Ekstra 2 - Tak Ingin Lagi Kehilanganmu

    Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka

  • Belahan Jiwa   64. Ekstra 1 - Lima Tahun Kemudian

    Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa

  • Belahan Jiwa   63. Kamu Adalah Luka Parut

    And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga

  • Belahan Jiwa   62. Kepingan Yang Hilang

    Satu tahun berlalu dalam sekejap mata, itu bagi orang lain.Bagi Tristan, menghabiskan tiga ratus enam puluh lima hari di Italia setelah kepergian Tiara, itu sangat panjang. Itu adalah lima puluh empat minggu. Itu adalah delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam. Itu adalah lima ratus dua puluh lima ribu enam ratus menit. Menit demi menit yang ia lalui dengan bayangan Tiara di mana-mana.Tristan belum pernah merasakan kondisi seperti ini. Bahkan ketika remaja. Ia belum pernah merasakan putus cinta, ia tidak pernah mengalami patah hati. Pacarnya hanya satu, yang langsung dilamar menjadi istrinya, sampai sekarang. Tantri.Pantas saja banyak yang sulit sembuh, bahkan mengakhiri hidup. Ternyata rasanya sangat tidak nyaman seperti ini. Berkali-kali ia berkata pada dirinya sendiri, bahwa hidup akan baik-baik saja.Ternyata hidup tidak baik-baik saja. Hidup terasa pelan. Datar. Membosankan. Waktu seolah merayap. Sangat. Lambat. Tetapi tetap harus dijalani. Tristan menjalani hidupnya karena Tuh

  • Belahan Jiwa   61. Rindu Adalah Siksa Yang Nikmat

    Rindu adalah siksa yang nikmat. Bagi Tiara, merindukan Tristan adalah nikmat yang menyiksa. Menyakitkan. Namun menagihkan.'Kamu harus belajar memaafkan,' nalarnya bicara. ‘Maafkan dirimu sendiri, agar bisa melupakan.’Tetapi hatinya tak setuju.Ini bukan tentang memaafkan. Memaafkan diri sendiri. Memaafkannya. Bukan juga tentang menerima kenyataan dan melupakan. Tetapi tentang rasa. Rasa yang tak mau pergi. Beginikah dulu Bapak merindui Ibu? Menggapai dalam ketiadaan, meraih dalam kehampaan. Rindu yang menetap di masa lalu, sementara raga ada di masa kini. Rindu yang terperangkap antara ruang dan waktu. Tak terkikis. Tak terhapus. Kini Tiara mengerti perasaan Bapak. Manakah yang lebih perih? Cinta yang terputus maut? Atau cinta yang terpenjara etika? Keduanya sama. Tak tersampaikan. Tak terpadukan. Kembali ke Indonesia, Tiara melanjutkan hidup. Hanya karena hidup terus berjalan. Satu tahun sudah ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Berusaha memunguti serpihan hatinya. Memilih

  • Belahan Jiwa   60. Berhak Bahagia

    “Bagaimana? Apakah hidangannya memenuhi seleramu yang tinggi, Senorita?” Carlos bertanya setelah mereka selesai bersantap. Pertanyaan yang jelas ditujukan pada Tiara.“Lihat saja piring-piring di sini, semua tandas, itu sudah menjawab pertanyaanmu. Dan ralat…” Tiara mengacungkan jari telunjuknya, “Seleraku gak tinggi kok, tidak perlu makanan di restoran mahal, di kaki lima juga oke. Aku hanya suka makan, terutama yang manis-manis.”“Hm… kalau begitu, nanti malam aku bisa mengundangmu bersantap di sini lagi? Hanya kita berdua? Aku akan membuat lebih banyak desserts.” Tanya Carlos. “Bos akan memberiku izin untuk menutup restoran lantai tiga, hanya untuk dia bukan?” Carlos beralih pada Ruby.Ruby mengangguk. “Ya, bukan hanya malam ini, setiap malam pun boleh, asalkan Tiara bersedia.”“Ah, tidak malam ini. Malam ini aku ingin melepas rindu dengan Ruby, kami sudah dua tahun tidak bertemu. Kita mau berbagi cerita sambil berbaring pakai piyama di tempat tidur.” Tiara menolak, dan tersenyum,

DMCA.com Protection Status