Apa yang lebih indah dibanding cinta. Saat gubuk menjadi istana, hidup ditemani tawa. Dan apa yang paling membuat menderita, saat setiap detik hidup bagai neraka, hembusan nafas menjadi siksa. Tidak ada derita melebihi derita karena cinta.Dia, pernah menjadi manusia paling bahagia di dunia, dan juga pernah menjadi orang yang paling menderita, nyaris ingin mati.Kesalahannya, penyesalannya, hanya debu yang tak berharga. Saat semua sudah terlambat, dia tinggal memutuskan hidup atau mati.Hujan rintik mengguyur kota Jakarta. Dia berusaha mempertahankan payungnya yang dilanda angin, tubuh ringkihnya bertarung dengan kuatnya angin. Bahkan, rok selututnya basah terkena air hujan.Seperti biasa, dia akan pergi pagi dan pulang sore hari. Mencoba bekerja sendiri mengais rezeki untuk menghidupinya.Dia mendesis, saat telapak sepatunya telah menganga. Benar, dia butuh sepatu baru.Dia pernah mencoba menjadi sangat miskin, dan menjadi sangat kaya. Dan sekarang sendiri mencoba membangun hidupnya
Sri menata bunga mawar di dalam pot-pot yang sudah ditata sedemikian rupa. Matanya tertuju pada mawar bewarna putih, dari sekalian bunga, mawar putih sangat disukainya. Senyum tipis terukir di bibirnya. Di ambilnya satu tangkai bunga itu kemudian didekatkan ke hidungnya. Rasanya begitu menyenangkan, aroma lembut bunga memenuhi penciumannya."Permisi!"Sri menoleh, pria itu lagi. Wajah kelewat ramah, senyum jenaka yang cerah secerah matahari pagi. Sri baru tau, ada orang yang hampir sama persis dengan Aryo. Akan tetapi, mereka memiliki sifat yang berbeda."Ada yang bisa dibantu?" tanya Sri datar. Dia tidak munafik, ada dentuman di hatinya, akan tetapi setelah menyadari dia bukanlah Aryo, dentuman itu pergi begitu saja."Oh, itu. Saya ingin punya bunga yang tidak biasa.""Bunga yang tidak biasa?" Kening Sri berkerut. Sungguh, dia tidak pernah mendengar nama itu."Maksud saya, yang agak unik, jarang dicari orang, jarang disukai orang."Sri menemukan senyum jenaka itu lagi, menurutnya, pr
Batang padi meriap, saat angin meniup dari Utara. Padi menguning itu, menandakan bahwa sebentar lagi musim panen akan tiba.Sebuah pondok kecil yang berlantai bambu, berukuran dua kali dua meter, berdiri kokoh di pinggir sawah. Pondok itu sengaja dibuat untuk tempat beristirahat para petani yang menggarap sawah di sekitar pondok.Tampak dari dekat, sepasang suami isti tengah beristirahat selesai memakan bekal makan siang mereka. Laki-laki yang tengah mengusap keringatnya dengan lengan baju, sementara wanita dengan rambut berkepang dua tengah menyusun rantang bekal yang sudah kosong."Mas," siapanya lembut. Laki-laki yang sebenarnya gagah itu mengalihkan perhatian dari pemandangan padi yang menguning ke wajah ayu di sampingnya."Apa, Dek?" Dia mengusap pipi mulus istrinya penuh kasih."Sudah empat tahun kita menikah, Mas. Aku belum berhasil memberi mas seorang anak."Pembahasan itu lagi, laki-laki yang tak lain adalah Aryo itu tersenyum."Sini! Mas peluk!" Dia merentangkan tangannya, d
Dua puluh sembilan tahun yang lalu."Berikan bayi itu padaku!" Suara besar pria itu menggelegar, menggema memenuhi rumah besar yang hanya diterangi cahaya redup. "Tidak!" jawab wanita muda yang semakin menggendong erat ke dua bayinya. Ke dua bayi itu menangis hebat karena takut dan terkejut. Sudah dipastikan, mereka bayi kembar identik."Berikan kataku!" Pria itu merampas dua bayi yang masih berumur empat bulan tersebut dengan paksa. Berhasil, bayi itu pindah ke tangannya."Jangan! Jangan ambil anakku! Hanya dia yang kumiliki saat ini, Ayah!" Wanita muda itu histeris. Dia mencoba menggapai dua bayi yang semakin menangis di pangkuan ayahnya. Semakin mencoba, dia gagal berulangkali."Anak haram ini, tidak pantas berada di keluarga ini. Aku harus melenyapkannya sebelum orang-orang tau. Aku sudah menyuruhmu menggugurkannya, namun apa yang kau lakukan, jika tidak bisa membanggakan keluarga, setidaknya jangan buat kami malu!""Jangan, Ayah! Jangan lakukan sesuatu yang buruk pada anak-anakk
Briyan melemparkan kaleng minumannya secara asal, bahkan benda yang sudah menjadi sampah itu menggelinding tidak masuk ke dalam tong sampah. Sudah cukup lama, perdebatan tak berujung itu belum membuahkan hasil. Di depannya, seorang pria berambut tembaga, dengan wajah mulai keriput tetapi tetap menampilkan wajah masa mudanya yang rupawan. Pria itu tengah menatap gedung pencakar langit di depannya sambil melipat tangan. Pandangannya kosong, gurat sendu nampak di wajahnya yang mulai menua dimakan usia."Aku menyukainya, Dad!" Briyan kembali mengulang kalimat itu.Laki-laki yang dipanggil "dad" itu menoleh. Menatap datar sang anak yang menautkan erat jemarinya. Dia, sangat membenci kalimat yang baru didengarnya barusan."Suka bukan berarti cinta, kau perlu memahami dua perkataan itu sebelum gegabah mengambil sikap. Aku tak melarangmu untuk menikah, tapi, wanita itu tidak termasuk dalam kategori."Briyan mulai habis kesabaran, upaya membujuk sang Daddy masih juga tidak berhasil."Aku haru
"Tenanglah, Nak!" Sri mengusap punggung anaknya yang terus saja menangis. Nadhira rewel karena dia terbiasa di ruangan sejuk yang memakai AC, bahkan di kulitnya sudah mulai tumbuh bentol-bentol dan memerah.Kontrakan milik Sri hanya rumah petak kecil dengan kipas yang bahkan tak begitu berfungsi memberi kesejukan. Sudah hampir satu jam, Nadhira belum juga berhenti menangis."Anakmu kegerahan, Sri," kata Lusi, dia membantu mengipas Nadhira tapi bayi itu masih menangis. "Iya, padahal bajunya sudah dibuka. Cup! Cup, tenang sayang!" Sri mengusap keringatnya sendiri. Dia mulai kewalahan."Kemungkinan aku akan pindah, aku yakin pasti orang suruhan mama Novan sudah mulai bergerak mencariku," tambah Sri."Kau mau ke mana? Aku tau betul, kau tak memiliki saudara." Lusi menatap Sri iba."Belum tau, yang penting pergi dari sini.""Seharusnya kau biarkan saja Nadhira di bawah pengasuhan mantan mertuamu untuk sementara. Setidaknya sampai kau punya pekerjaan layak. Aku minta maaf, toko kita belum
"Disusui dong, Bu! Anaknya, " kata ibu-ibu yang memakai baju batik di sebelah Sri. Dari awal ke berangkatan dengan bus, Nadhira terus saja menangis. Tangan kecilnya menggaruk pipinya yang mulai bengkak-bengkak. Sri hanya menjawab dengan senyuman. Dari pada menjelaskan keadaan yang sebenarnya, dia berusaha menenangkan anaknya dengan menepuk-nepuk pantatnya.Sebagian lagi merasa risih dan melirik Sri dengan tatapan sebal. Bahkan dua remaja di belakang Sri mendengus berulang laki."Aduh, berisik banget sih bayinya. Gerah gue" kata remaja laki-laki bertopi hijau itu."Iya, pengen pindah duduk, tapi penuh semua. Kita sumbat aja telinga kita pakai air phone." Teman remaja bertopi menimpali.Sri sempat menoleh ke belakang, mencari asal suara, namun dia remaja itu pura-pura tidak tau. Sri kembali menepuk-nepuk pantat Nadhira, menenangkan anak itu. Bayi itu masih menangis."Bu, mungkin ada yang nggak beres sama anaknya, makanya dia rewel, saya lihat kulitnya bruntusan-bruntusan gitu," kata ibu
Enam jam naik bus. Bus berhenti di sebuah terminal di Jawa tengah. Semarang, daerah yang baru pertama dikunjungi Sri. Dia tidak mengenal daerah ini, tidak punya saudara atau pun kenalan. Hanya modal nekad demi menyelamatkan dirinya, demi hidupnya dan buah hatinya.Nadhira mulai tenang, saat berhenti di salah satu persinggahan untuk sholat dan makan siang, Sri sengaja menyuapkan bubur instan pada bayinya itu, agar perutnya kenyang.Bentol-bentol merah di kulit Nadhira semakin membesar, dia bahkan menggaruk dengan tangan mungilnya. Satu cara yang didapatkan Sri jika dia kembali rewel, menyusukan dia walaupun tidak ada ASI yang keluar dari sana."Mau ke mana, Mbak?" Seorang kenek mobil menghampiri Sri."Saya baru sampai, lagi nunggu saudara." Sri sengaja berbohong. Demi keamanan dari gangguan kenek yang menatapnya setengah genit itu."Oh, siapa?""Kakak saya," ketus Sri. Dia memutuskan untuk beranjak dari kursi besi yang sudah berkarat itu. Menggendong Nadhira yang masih menggaruk-garuk
"Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p