Briyan melemparkan kaleng minumannya secara asal, bahkan benda yang sudah menjadi sampah itu menggelinding tidak masuk ke dalam tong sampah. Sudah cukup lama, perdebatan tak berujung itu belum membuahkan hasil. Di depannya, seorang pria berambut tembaga, dengan wajah mulai keriput tetapi tetap menampilkan wajah masa mudanya yang rupawan. Pria itu tengah menatap gedung pencakar langit di depannya sambil melipat tangan. Pandangannya kosong, gurat sendu nampak di wajahnya yang mulai menua dimakan usia."Aku menyukainya, Dad!" Briyan kembali mengulang kalimat itu.Laki-laki yang dipanggil "dad" itu menoleh. Menatap datar sang anak yang menautkan erat jemarinya. Dia, sangat membenci kalimat yang baru didengarnya barusan."Suka bukan berarti cinta, kau perlu memahami dua perkataan itu sebelum gegabah mengambil sikap. Aku tak melarangmu untuk menikah, tapi, wanita itu tidak termasuk dalam kategori."Briyan mulai habis kesabaran, upaya membujuk sang Daddy masih juga tidak berhasil."Aku haru
"Tenanglah, Nak!" Sri mengusap punggung anaknya yang terus saja menangis. Nadhira rewel karena dia terbiasa di ruangan sejuk yang memakai AC, bahkan di kulitnya sudah mulai tumbuh bentol-bentol dan memerah.Kontrakan milik Sri hanya rumah petak kecil dengan kipas yang bahkan tak begitu berfungsi memberi kesejukan. Sudah hampir satu jam, Nadhira belum juga berhenti menangis."Anakmu kegerahan, Sri," kata Lusi, dia membantu mengipas Nadhira tapi bayi itu masih menangis. "Iya, padahal bajunya sudah dibuka. Cup! Cup, tenang sayang!" Sri mengusap keringatnya sendiri. Dia mulai kewalahan."Kemungkinan aku akan pindah, aku yakin pasti orang suruhan mama Novan sudah mulai bergerak mencariku," tambah Sri."Kau mau ke mana? Aku tau betul, kau tak memiliki saudara." Lusi menatap Sri iba."Belum tau, yang penting pergi dari sini.""Seharusnya kau biarkan saja Nadhira di bawah pengasuhan mantan mertuamu untuk sementara. Setidaknya sampai kau punya pekerjaan layak. Aku minta maaf, toko kita belum
"Disusui dong, Bu! Anaknya, " kata ibu-ibu yang memakai baju batik di sebelah Sri. Dari awal ke berangkatan dengan bus, Nadhira terus saja menangis. Tangan kecilnya menggaruk pipinya yang mulai bengkak-bengkak. Sri hanya menjawab dengan senyuman. Dari pada menjelaskan keadaan yang sebenarnya, dia berusaha menenangkan anaknya dengan menepuk-nepuk pantatnya.Sebagian lagi merasa risih dan melirik Sri dengan tatapan sebal. Bahkan dua remaja di belakang Sri mendengus berulang laki."Aduh, berisik banget sih bayinya. Gerah gue" kata remaja laki-laki bertopi hijau itu."Iya, pengen pindah duduk, tapi penuh semua. Kita sumbat aja telinga kita pakai air phone." Teman remaja bertopi menimpali.Sri sempat menoleh ke belakang, mencari asal suara, namun dia remaja itu pura-pura tidak tau. Sri kembali menepuk-nepuk pantat Nadhira, menenangkan anak itu. Bayi itu masih menangis."Bu, mungkin ada yang nggak beres sama anaknya, makanya dia rewel, saya lihat kulitnya bruntusan-bruntusan gitu," kata ibu
Enam jam naik bus. Bus berhenti di sebuah terminal di Jawa tengah. Semarang, daerah yang baru pertama dikunjungi Sri. Dia tidak mengenal daerah ini, tidak punya saudara atau pun kenalan. Hanya modal nekad demi menyelamatkan dirinya, demi hidupnya dan buah hatinya.Nadhira mulai tenang, saat berhenti di salah satu persinggahan untuk sholat dan makan siang, Sri sengaja menyuapkan bubur instan pada bayinya itu, agar perutnya kenyang.Bentol-bentol merah di kulit Nadhira semakin membesar, dia bahkan menggaruk dengan tangan mungilnya. Satu cara yang didapatkan Sri jika dia kembali rewel, menyusukan dia walaupun tidak ada ASI yang keluar dari sana."Mau ke mana, Mbak?" Seorang kenek mobil menghampiri Sri."Saya baru sampai, lagi nunggu saudara." Sri sengaja berbohong. Demi keamanan dari gangguan kenek yang menatapnya setengah genit itu."Oh, siapa?""Kakak saya," ketus Sri. Dia memutuskan untuk beranjak dari kursi besi yang sudah berkarat itu. Menggendong Nadhira yang masih menggaruk-garuk
Sri menutup pintu kembali. Dia, Mbak Susi, yang tinggal bersebelahan dengannya, baru saja bertandang ke rumah. Susi wanita yang ramah dan bersahabat, bahkan Nadhira pun, merasa nyaman saat digendong janda tanpa anak satu itu.Hari ini, Sri akan menjalani tes masuk kerja. Terkadang dunia ini aneh, pekerjaan yang akan digelutinya hanya sebatas bersih-bersih. Tak jauh-jauh dari sapu dan kain pel. Tapi, prosedurnya tetap saja berjalan seperti bekerja kantoran. Sri berfikir, hanya perlu menjalani saja, dia butuh pekerjaan agar bisa menghidupi dirinya dan Nadhira.Susi menawarkan diri untuk menjaga Nadhira sampai tes Sri selesai. Walaupun ragu, namun melihat Nadhira cukup nyaman dengan Susi, akhirnya Sri memutuskan untuk menyetujui usulan tersebut. Dia tidak mungkin membawa anaknya untuk ikut saat tes akan dilakukan.Beberapa menit kemudian Sri sudah sampai di restoran cepat saji itu. Ternyata dia tidak sendirian. Ada puluhan orang yang didominasi oleh wanita, tengah duduk di kursi antrian.
"Bagaimana?" tanya pria gagah itu, matanya berbinar penuh harap. Beberapa tahun menunggu, dia berharap kali ini akan berhasil.Wanita berkepang di depannya, menggeleng. Wajahnya sendu dan kecewa. Sebentar lagi dia pasti akan menangis "Negatif, Mas. Padahal aku sudah telat satu Minggu."Sang pria tersenyum lalu merengkuh bahu istrinya."Tidak apa-apa. Yang penting kita usaha terus, dan tidak putus asa. Mana tau, Allah akan kasih juga kita keturunan.""Aku merasa nggak sempurna, Mas." Suara wanita cantik itu serak, air mata sudah meleleh di pipinya."Hei, jangan menangis." Laki-laki itu mengusap air mata istrinya penuh kasih."Mas tidak akan ninggalin aku kan?""Mas takkan ninggalin kamu, kecuali kamu ninggalin mas duluan.""Aku nggak mungkin ninggalin mas."Wanita itu memeluk suaminya manja. Menghirup aroma keringat yang menguar dari tubuh liat itu."Mas tau, kamu takkan ninggalin Mas. Mas janji, setelah panen, kita akan pergi ke dokter kandungan. Bisa saja yang bermasalah di sini ada
Sri sampai di kossan jam enam sore. Di hari pertama bekerja, Nadhira tidak merepotkannya sama sekali. Bahkan Anne dengan senang hati menjaga Nadhira saat jam istirahatnya. Nadhira cepat populer di kalangan karyawan yang menyukai anak kecil. Bahkan, mereka betah berada di ruangan istirahat itu sambil bermain dengan Nadhira.Anne begitu baik, koki muda dan cantik itu tidak memperlakukannya berbeda. Dia bahkan wanita supel, mudah bergaul dengan siapa saja. Padahal, dia merupakan kepala koki di resto ini, semua makanan yang tersaji merupakan hasil tangannya."Saatnya Nadhira mandi." Sri tersenyum pada anaknya itu. Mencium pipi putih kemerahannya berkali-kali. Ruam dan bentol-bentol di kulit Nadhira sudah sembuh, anaknya itu kembali ceria.Setelah mandi, Nadhira merengek karena mengantuk. Sri menyusukannya, tak lama bayi cantik itu sudah tertidur pulas. Terkadang, Sri berfikir dunia ini teramat aneh. Dia menjauh dari kota Jakarta agar tak satu pun orang mengenalinya. Karena misi kali ini
Wajah tampan, dengan garis rahang yang tegas itu melempar handphonenya sendiri ke sembarang arah. Sedangkan wanita yang sudah berumur namun masih menyisakan kecantikan sewaktu muda di sampingnya, menatapnya penuh harap."Bagaimana? Apa sudah ada titik terang?"Pria yang tak lain adalah Novan itu mengepalkan tangannya."Semarang, orang kita melihatnya di Semarang, dia bekerja di sebuah resto besar di sana.""Ya Tuhan. Bagaimana nasib cucuku, bagaimana dia bisa mengasuh anak jika bekerja seperti itu." Mama Novan menitikkan air mata."Aku sendiri yang akan mencarinya ke sana. Mama tenang saja, aku berjanji akan membawa Nadhira kembali," kata Novan sambil menenangkan mamanya.Di lain tempat, Sri tengah bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Tubuhnya terasa lelah, hari ini resto dikunjungi banyak orang, resto unik yang menyediakan makanan mahal itu, begitu cepat populer. Sayangnya, di sini masih kekurangan tenaga untuk bersih-bersih. Jadilah Sri merangkap pekerjaan mulai dari ruangan resto sa
"Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p