Dua orang manusia, memandang ke objek yang sama, bayi mungil yang umurnya baru hitungan bulan. Bayi cantik itu tertidur lelap setelah semalaman melawan demam tinggi dan kejang-kejang. Sepanjang malam, bayi kecil itu menangis, dan tertidur selepas subuh.Mereka adalah Novan dan Sri, belum ada yang membuka suara, semenjak kedatangan Novan jam tujuh pagi. Perang dingin masih terjadi di antara mereka."Kenapa wajahmu, Mas?" Sri bertanya tanpa melihat Novan. Hatinya saat ini tengah campur aduk. Tapi, dia selalu melihat wajah Novan yang babak memar."Seseorang telah memukuliku, parahnya, dia adalah satpam yang dulu pernah bekerja di pabrik. Aku akan buat perhitungan dengannya."Sri tersentak, "Apakah dia, Mas Aryo?""Mas? Kau mengenalnya?"Mulut Sri terkatup rapat. Lalu dia memandang jauh ke luar jendela."Banyak hal yang belum aku beritahu padamu, Mas. Bahwa, aku pernah menikah. Bahkan saat kau mendekatiku, statusku saat itu masih seorang istri."Seperti petir di siang bolong, Novan sanga
Sri berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ucapan dokter anak tadi pagi terngiang-ngiang di telinganya. Dia memang bukan ibu yang baik, sejak awal dia tidak menginginkan anak itu, namun Tuhan berkata lain sehingga anak itu berhasil lahir ke dunia setelah percobaan menggugurkan gagal berulangkali."Kenapa mondar-mandir terus, kau membuatku tak bisa tidur." Novan melirik Sri dengan wajah kurang senang.Sri diam saja, dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Lalu, dia memulai percakapan."Nadhira, namanya Nadhira." "Aku tau, tak perlu kau ingatkan." Novan merebahkan lagi tubuhnya, membelakangi Sri."Dia anak kita, seratus persen anak kita." Sri menggigit kukunya. Suaranya berubah serak. Sedangkan Novan menunggu kalimat yang akan keluar selanjutnya. Tak biasanya Sri membahas bayi itu."Bagaimana perasaanmu, Mas? Apa sama dengan perasaanku, selama ini kau tak pernah menggendongnya. Selain memiliki ibu yang buruk, dia juga memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab.""Apa maksudmu? Selama ini a
Bukan tempat makan yang biasa dikunjungi Brenda. Hanya seperti warung tenda, yang beratap terpal dan memakai kursi plastik. Tidak ada meja, orang yang makan di sana hanya memegang piringnya masing-masing tanpa meja makan.Jangan ditanya, warung terpal itu sesak pengunjung, hanya tersisa tiga kursi plastik dan itu pun paling pojok.Kehadiran Brenda jadi pusat perhatian, sebagian takjub dan sebagian lagi kagum. Bagaimana seorang wanita yang memiliki penampilan dan paras bak artis bisa nyasar ke warung kaki lima tersebut."Kita duduk di sana, Mbak!" Aryo menarik tangan Brenda tanpa sadar. Brenda tersentak, selama ini Aryo tidak pernah menyentuhnya. Entah kenapa, debaran itu kembali muncul di jantungnya.Namun, satu yang disadari Brenda, tatapan genit dan nakal sebagian preman yang mangkal di sana, menjadi terhenti. Mungkin setelah menyadari bahwa dia bersama laki-laki yang lengannya tak kalah besar dari lengan mereka."Tempatnya memang seadanya, tapi saya yakin, saat mbak mencoba makan s
Apa yang terjadi selanjutnya, Brenda kesusahan menelan nasi goreng setannya, bahkan ini lebih mendebarkan dari pada sidang Disertasi yang pernah dijalaninya. Brenda mengutuk tangannya yang bergetar memegang sendok. Memalukan.Aryo tersenyum simpul. Wanita dewasa seperti Brenda, ternyata tidak seperti penilaiannya. Dia mengira, Brenda yang biasa tinggal di luar negri, memiliki pergaulan luas, adalah wanita berpengalaman dalam menjalin hubungan dengan pria. Tapi, lihatlah betapa gugupnya wanita itu sekarang. Dia menghembuskan nafas berkali-kali."Aku kenyang." Brenda meletakkan sendoknya pasrah. Dia bahkan tak berani menatap Aryo."Nasinya masih banyak, Mbak.""Sumpah! Aku kenyang.""Baiklah,""Berkaitan dengan ucapanmu tadi, aku akan menjawab. Aku bersedia.""Mbak tidak harus menjawab sekarang. Pikirkan dulu, dan yang paling penting, Mbak minta pendapat dulu kepada orang tua Mbak. Yang menikah itu bukan hanya kita, orangtua Mbak akan menjadi orangtua saya juga nantinya.""Orangtuaku su
Tidak ada kata terucap dari dua mulut manusia dewasa itu. Novan terpekur, Sri termenung. Mereka sudah merencanakan perpisahan, akan tetapi dengan kehamilan Sri yang ke dua ini, apakah niat itu bisa kembali terlaksana?"Sekarang bagaimana?" tanya Sri kemudian, dia menatap Nadhira, Nadhira kembali terlelap, kondisinya sudah mulai membaik. "Aku juga tidak tau." Novan pasrah."Haruskah aku menggugurkannya, Mas?""Orangtua macam apa kalian?" Novan dan Sri tersentak. Entah bagaimana, mama dan papa Novan sudah muncul di pintu masuk. Wajah mamanya menegang menahan marah. "Ma, pa? Kenapa tidak mengabari kami terlebih dulu akan ke sini?" Novan tergagap."Dan membiarkan kekonyolan kalian meraja lela? Mama nggak ngerti, apa yang ada dalam otak kalian berdua, membunuh anak kalian sendiri tanpa belas kasihan." Mata tajam mama Novan menguliti Sri penuh geram."Dan kamu, ibu macam apa yang berinisiatif dan memberi ide untuk melenyapkan anaknya sendiri.""Sudah, Ma." Papa Novan menenangkan."Biarin
Dua orang itu, yang merupakan ayah dan anak, saling berhadapan dengan wajah penuh tegang. Novan berusaha menetralkan emosi di dadanya. Bagaimana bisa, papanya memiliki ide seperti itu. Ini sama saja dengan membunuhnya secara perlahan."Kenapa papa tega sekali padaku?" Suara Novan bergetar, bahkan matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis."Papa melakukan ini demi kebaikanmu.""Kebaikan apa, Pa? Papa mengeluarkan aku dari perusahaan, lalu memberiku sebuah toko kecil untuk dikelola? Papa bilang ini demi kebaikanmu, terkadang aku berpikir, aku ini bukan anak kalian. Kenapa kalian begitu tega.""Novan, kamu anak laki-laki papa satu-satunya. Papa ingin, kamu memulai dari awal, perusahaan yang kamu kelola, semuanya mengalami kemunduran, bahkan beberapa anak cabang kita terpaksa ditutup."Novan terdiam."Beberapa bulan belakangan ini, papa mengawasi kamu diam-diam, Novan. Papa tau segalanya apa yang kamu lakukan, kamu tidak pernah fokus untuk bekerja, kamu sibuk dengan diri kamu sendiri,
Hujan petir, Aryo menerobos hujan dan memasukkan motornya ke dalam rumah. Siang mulai beranjak menuju sore. Dari pagi hujan gerimis mulai turun, namun menjelang sore malah semakin lebat dan diikuti petir serta angin kencang.Baju yang basah kuyup dilepas oleh Aryo, diganti dengan kaos hitam pas badan."Kalau begini lebat, bisa-bisa banjir nih, Yo." Mang Ujang muncul dari kamar. "Jangan sampai lah, Mang. Kita doakan hujan cepat reda." Aryo menggosok rambutnya dengan handuk."Kalau begini, aku bakal nginap lagi di kontrakanmu, nggak apa kan?"Aryo tersenyum."Nggak apa-apa kok, saya malah senang. Ada teman ngobrol."Mang Ujang menutup pintu masuk, karena angin membawa hujan berembus kencang masuk ke dalam rumah."Kapan jadinya?""Apanya, Mang?""Nikahnya, kamu sama bos besar." Mang Ujang memang sudah mendapat cerita dari Aryo, karena pria tua itu sebagai teman curhat laki-laki gagah itu."Oh, itu. Dua Minggu lagi.""Alhamdulillah, niat baik bagusnya disegerakan, Yo.""Iya, Mang."Mang U
Tangannya bergetar, bahan tempat meletakkan kunci pun masih sama. Dia membuka pintu pondok dengan hati yang sesak."Dari mana, Dek. Kenapa lama sekali, mas menunggumu, mas kangen." "Ah! Mas, baru aja ditinggal dua jam, pengajiannya seru." "Benarkah?""Bisa cerita sama mas?""Ah, aku malu.""Loh, kenapa?""Pengajiannya agak sensitif, nggak mau ah.""Ayolah, Dek!""Kata ustadz, melayani suami itu banyak banget pahalanya, bahkan kalau menghidangkan air putih dengan ikhlas, bakal dihitung mendirikan seribu rakaat shalat Sunnah.""Benarkah?""Hmm, terus....""Terus apa?""Katanya kalau melayani suami di tempat tidur di malam Jum'at, bahkan pahalanya sama dengan berjihad melawan seribu orang Yahudi.""Wah, berarti udah berapa banyak yang kita bunuh, Dek?""Mas, jangan tanya gitu, kan aku malu.""Mas kan cuma tanya.""Ya, nggak bisa dihitung Lo mas.""Ya udah, mas mau bunuh Yahudi terus.""Mas ini, kesempatan. Kan seribu yahudi itu kalau malam Jumat, ini siang hari mas, Minggu pula.""Angg
"Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p