Ada yang berbeda dari penampilan panti saat ini, halaman depannya yang luas kini terpasang tenda berwarna hijau dengan berhiaskan pita berwarna warni di setiap sudut dan dia antara sudut ke sudut. Beberapa mobil dan pick up seliweran tak berhenti menaikkan dan menurunkan barang.Ya! Besok adalah hari pernikahan antara Ivana dan Rizal. Wajar bila dirayakan dengan meriah.Tampak pula mobil Papa Adi yang baru datang bersama Mama Via, membawa serta tiga orang wanita dan satu lelaki yang turut bersamanya."Dam! Ivana di mana?" tanya Papa Adi pada Ayah Damar yang sedang berkomunikasi di telpon dengan arah membelakanginya. Di teras rumah.Ayah Damar yang juga telah menyelesaikan hubungan ponselnya segera berbalik arah begitu mendengar Papa Adi bertanya keberadaan Ivana.Akan tetapi Ayah Damar sejenak termangu saat tahu siapa yang sedang berdiri bersama Mama Via. "Mak ...!" panggil Ayah Damar yang melangkah mendekati wanita tua berkerudung seadanya itu. Tak peduli pada Papa AdiKemudian me
"Sah ....?!" tanya Ayah Damar yang sedang memegang erat tangan Rizal pada saksi yang berada di antara dua sisi meja yang berhadapan. Dengan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri, secara bergantian."Sah ...!" sahut beberapa orang yang hadir di acara ijab kabul antara Rizal dan Ivana. Dengan semangat karena bahagia."Alhamdulillah ...!" seru para tetamu undangan dan sanak saudara."Aamiin, aamiin ...!" Kembali terdengar saling bersahutan saat seorang ulama yang sengaja di undang membacakan doa atas pernikahan Rizal dan Ivana yang baru saja terjadi. Dengan khidmat, yang di ikuti para undangan.Setelah selesai dengan doanya. Kemudian Ulama tersebut memberikan tanda pada Ayah Damar, untuk memanggil pengantin perempuannya agar mendampingi pengantin pria. Ayah Damar memberikan tanda juga pada Naya yang berada di ujung tangga.Dengan di jemput Mama Via dan Bulek Tina, Ivana tampak manglingi sekali, sangat cantik walau pun dengan menggunakan make up sederhana di balut gaun pengantin hi
Sementara itu di sebuah kedai es krim yang letaknya pas berada di depan gedung tempat Ivana dan Rizal melangsungkan acara pernikahannya. Terlihat seorang wanita yang berpenampilan seksi, mengenakan kaca mata, dengan segelas es krim di atas meja di hadapannya.Tak ada yang luput dari pengintainnya karena tanpa di sadari oleh siapa pun, kamera yang ia letakkan di atas meja sedang merekam semua dengan sempurna.Juga saat Faris keluar dari gedung bersama Naya, Mama Via dan seseorang yang tak di kenalinya, Namun, bukan itu yang sedang jadi pusat perhatiannya, dia fokus pada lelaki yang telah menolak dirinya, yang sedang menggendong seorang bayi.Bella! Perempuan yang sedang memata matai itu tampak sangat marah, saat melihat Faris menggendong bayi. Kemudian dengan sangat gusar dia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi seseorang.[Hallo, aku harap kamu bisa segera mengikuti ke mana perginya sebuah mobil berwarna hitam yang barusan keluar dari gedung itu.][Baik, Nyonya. Akan saya lak
Pagi ini semua sudah kembali normal, kecuali Ivana dan Rizal yang mulai harus membiasakan diri semuanya berdua. Keluarga Ibu Ana sudah kembali semalam pulang ke desa, di antar oleh supir pribadi keluarga Agung. Pernak pernik pernikahan di halaman dan dalam rumah pun sudah bersih, hanya menyisakan beberapa ucapan dan sisa karangan bunga dari para relasi Ayah Damar dan Rizal."Pagi ...! Ayah, sudah sarapan belum?" tanya Ivana yang sedang menuruni tangga, pada hari pertama dengan status yang berbeda. "Sudah, kemarin!" jawab Ayah Damar yang masih asyik mengutak atik ponselnya, dengan muka yang serius, Namun menjawab sembari menggoda Ivana."Ih, Ayah bisa aja," jawab Ivana dengan pipi yang blushing. Meneruskan langkahnya ke arah dapur."Kamu tuch yang aneh, jam lima pagi gini, nanya sarapan. Belum ada yang ke dapur, Va.""Mau aku buatin sarapan?" tanya Ivana."Buatlaah yang enak, sekarang ada suamimu yang akan menilai masakanmu."Lagi, Ayah Damar masih betah saja menggoda Ivana."Rizal
[Apa yang sudah kau dapatkan dari hasil penyelidikanmu, kemarin?] Melalui ponsel, Bella menghubungi orang yang di bayarnya untuk mengikuti mobil Faris kemarin. Setelah sebelumnya ada kiriman share lokasi di aplikasi berwarna hijau.[Share lokasi sudah saya kirimkan Nona, dan bayi yang di gendong adalah bayi Ivana dengan Faris,] lapor orang itu.[Kamu yakin? Hahaha! ] Entah apa yang ada di pikiran Bella hingga tertawa sekeras kerasnya. Sepertinya ada yang menyenangkan di pikiran.[Yakin, Nona. Semua orang yang menyewa toko ke panti mengatakan hal yang sama,] jawab orang suruhan Bella yang tak mengerti kenapa Nona yang di laporinnya bisa tertawa keras seperti itu.[Bagus! Kalau begitu nanti malam culik bayi itu, tenang saja aku bayar dua kali lipat, dan langsung aku transfer uangmu, hari ini juga.] Tak perlu menunggu jawaban dari orang yang dia tanya, Bella melemparkan ponselnya kembali ke atas ranjang. "Siapa yang menyangka, uang yang kudapat dari Faris, kugunakan untuk menculik an
[Halo, Pak Parman] sapa Faris saat nada ponselnya tersambung dengan nomer yang dia tuju.[Ya ... halo, ada apa Ris, kenapa nelpon jam jam malam seperti ini, ada di mana kamu?] tanya orang yang Faris telpon.[Maaf, Pak kalau saya mengganggu waktunya, tapi karena kondisinya mendesak jadi saya terpaksa hubungi bapak malam malam begini. Saya mau minta tolong segera kirimkan empat pengawal malam ini dan empat lagi untuk besok ke lokasi yang sudah saya kirimkan ke anda baru saja] harap Faris.[Rumah siapa itu?] tanya Pak Parman yang merasa asing dengan lokasi yang dikirim Faris lewat aplikasi hijau.[Itu rumah mantan istri saya, Pak. Ghina, anak saya baru saja lolos dari percobaan penculikan tadi. Dan saya khawatir akan ada lagi yang ingin berbuat jahat pada anak kandung saya.] Faris menjelaskan ketakutannya kenapa hingga mengharuskan mendapatkan pengawalan di rumah.[Astaufirullah, baik Ris, akan segera aku kirimkan. Untuk sementara stand by laah kau dulu di dekat anakmu] saran Pak Parman
[Hallo, Assalamualaikum, Papa. Bagaimana?] Faris langsung menekan gambar ponsel, untuk menerima panggilan saat di lihatnya ada nama Papa tertera di layarnya.[Panti bagaimana? Orangnya Pak Parman sudah datang belum?] tanya Papa Adi, malah balik bertanya.[Panti aman, Papa. Alhamdulillah, orangnya Pak Parman sudah datang, dan nampaknya Beliau lebih mengerti apa yang kita butuhkan, satu di antara empat orang yang di kirimnya adalah perempuan, jadi bisa menjaga lebih dekat dengan si kembar.] Dengan panjang lebar Faris menceritakan situasi dan kondisi di panti.[Alhamdulillah kalau begitu, urusan di sini juga sudah mulai jelas, tentang siapa dan motif apa yang melatar belakangi semua kejadian di Panti. Namun, lebih baik di bicarakan nanti saja di panti, sebentar lagi kami semua balik, kok][Siap, Pa. Kami menunggu cerita Papa di sini!][Iya, selalu waspada, Ris!] Papa Adi langsung mengakhiri komunikasi telponnya dengan Faris secara sepihak.****Satu jam berselang setelah Papa Adi menel
"Mau ke mana kita, Pak?" tanya Rahmat, saat lirikan matanya yang melihat Pak Damar sedang memesan tiket pesawat secara on line."Ke singapura!" jawab Pak Damar singkat. "Malam ini juga, Pak?"Lagi Rahmat bertanya dengan wajah terkejut. "Ya, malam ini juga, aku harus menyelesaikan urusan yang terjadi dua puluh tiga tahun yang lalu." Sambil melangkah mendekati Papa Adi dan Mama Via, saat sudah berada di halaman Polres."Mau ke mana, Dam? Kita pulang dulu ke panti!" ujar Kakek saat melihat Pak Damar yang sudah berpamitan ke Papa Adi dan Mama Via."Aku harus menyelesaikan urusanku, Pa. Harusnya urusan ini selesai dua puluh tiga tahun yang lalu, tapi entah kenapa orang ini masih tidak lelah berurusan denganku," ujar Pak Damar sambil memeluk Kakek dan menciumi punggung tangannya."Kau mau ke Singapura malam ini, dan mau ketemu dengan si Dewi, bukan begitu, Dam?" tebak Kakek yang hafal dengan kelakuan putra tunggalnya."Iya! Aku harus bertanya langsung apa maunya hingga mengobrak abrik ke
“Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya
Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh
Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti
“Apa yang sebenarnya membuatmu berat, Via?” tanya Damar saat ini mereka ada di teras, di temani seorang maid yang duduk di kursi yang diletakkan agak jauh, Namun masih bisa mendengar apa yang tamu dan nyonya sedang bicarakan.“Aku hanya heran kenapa kamu seperti sangat ingin agar aku mau menerima pernikahan ini, apakah kamu tak ingin bertemu dengan istrimu lagi nantinya di akhirat, karena aku pernah mendengar jika kita menikah lagi, maka kita tak akan bertemu nantinya dengan pasangan kita yang pertama.”Damar menghela napas panjang, memandangi perempuan yang semakin terlihat cantik karena dalam bingkaian kerudung berwarna pastel saat ini “Kamu itu aneh, Vi … pikiranmu itu terlalu jauh menurutku, sebaiknya saat ini yang kita pikirkan adalah apakah amalan kita bisa menuntun kita masuk ke surganya, nanti saat di surga Allah akan mengabulkan apa yang kita inginkan, bukan? Jadi kita bisa minta untuk dikumpulkan lagi seperti dulu, ada Ana, Adi, kita dan seluruh keluarga kita.”Damar terdi
“Sayaaang, apa yang kau dapatkan dari riadohmu selama ini?” tanya ayah Damar pada Ivana setelah hampir sepuluh hari melebihi dari target yang anaknya janjikan kepada Naya, Dimas, dan Faris.“Aku hanya bermimpi Faris bersama Rizal yang tersenyum kepadaku, Ayah,” ujar Ivana, pagi itu saat sedang sarapan bersama.pp0⅔“Alhamdulillah, aku yakin itu adalah tanda bagus kalau Tuhan menyetujui apa yang Rizal amanatkan kepadamu dan Faris,” seru Nenek dengan mata binar terlihat sangat bahagia.Melihat sang Nenek, Ivana datang mendekat dan mengusap wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah banyak itu dengan perlahan, dari saking bahagianya sang Nenek sampai membuat basah kedua matanya.“Terima kasih … Sayang.” Nenek berkata lembut, dua perempuan cantik berbeda generasi itu saling tatap dalam arti yang sama pula.“Lalu bagaimana dengan Via, Damar? Apakah kamu juga mendapatkan hal yang sama seperti yang di impikan oleh anakmu.”Damar hanya tersenyum, tak menjawab apa yang di tanyakan
“Aku tak menyangka kalau mantannya Farislah yang ternyata berasal dari keluarga Kamandaka, aku jadi tak heran, pantas saja lelaki itu tidak mau lepas begitu saja, apalagi melihat kedekatan antara dua keluarga itu sudah terjalin dnegan sangat baik sekali, pasti mereka juga sedang mengincar kekayaan kamandaka yang tak habis habis itu!” ujar Papi Yunus dengan sesekali memukul pahanya sendiri dengan tangannya yang terkepal, pelan.“Andai kita tahu kalau yang kaya ternyata mantan istrinya, nggaklah mungkin aku akan bersusah payah membelikan tas dan beramah tamah dengan keluarga Faris.”Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, Rika hanya bisa tersenyum dalam tangis, tak menyangka hidupnya bakalan se rumit itu, padahal di kelilingi oleh orang terdekat Namun entah kenapa tidak pernah dirasa tulus mencintainya.“Kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Kamu senang ya, karena apa yang di lakukan oleh mami dan papi kali ini ternyata salah besar?!” tanya Mami dengan wajah tak mengen
“Umroh?!” Dengan wajah yang terlihat tak percaya dan hampir bersamaan, Ayah Damar dan mama Via mengucapkan satu pertanyaan yang sama.Dimas dan Faris bukannya menjawab, mereka berdua hanya tersenyum saja, melihat ayah Damar dan mama Via yang tampak salah tingkah.“Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Apakah Ivana yang menceritakan padamu tentang mimpi yang aku alami selama beberapa malam ini?!” tanya ayah Damar setelah dia berhasil menenangkan dirinya.“tidak …. Bukan hanya Ivana yang cerita tapi Naya juga, mereka bilang kalau mama tidak bisa tidur karena mimpi yang sama berulang kali, begitu juga dengan ayah Damar. Jadi sekarang apa yang membuat kalian ragu untuk melaksanakan apa yang papa adi inginkan?!” "Via, apakah benar kamu mengalami mimpi yang sama denganku, mimpi bertemu dengan adi di Mekah?" tanya ayah Damar dengan wajah membias bahagia dan penuh harap. Senyum Damar kini terlihat berbeda saat anggukan kepala mama Via terlihat berulang kali tadi sebagai jawaban dari pe
Seorang lelaki yang baru saja masuk, segera memotong ucapan Faris, dan membuat kaget karena kedatangannya yang mendadak, Namun mampu membuat Faris, mama Via, Dimas dan Ivana tesenyum.“Pak Kamandaka!!” seru pak Yunus dengan wajah senang sekaligus bimbang, sehingga tanpa sadar dia berdiri dan menyambut ketika melihat lelaki yang baru saja datang yang nyatanya nanti akan menjadi pengacara keluarga Faris untuk melawan dirinya.“Pak Kamandaka, saya dan istri ingin meminta maaf atas kejadian saat di kantor anda, kami berdua tidak tahu kalau lelaki yang kami usir ternyata anda,” ujar Pak yunus dengan kedua tangan yang tergenggam. Tentu saja ini membuat Rika mengerutkan keningnya, dia menatap Papi dengan mata tak percaya. “Mengusir? Mami dan Papi berani mengusir pak Kamandaka dari kantornya?” Rika yang sedang bermonolog lirih, mengulang apa yang dikatakan oleh Papinya tadi. “Ooo … ini alasan kenapa Papi dan Mami berubah sebaik manusia."Mendengar ucapan Rika, Bu Yunus menepuk bahu anakn
“Minta maap?” Faris mengulang apa yang dikatakan oleh tamunya dengan senyum yang terlihat seperti seringai jahat dan kejam.“Apa saya tidak salah dengar?” ujar Faris, kini dengan wajah datar tanpa ekpresi. Kedua matanya menatap tajam ke ketiga tamunya silih berganti.“Tentu saja, dan lihatlah ini, sengaja aku belikan ini untuk mamamu, agar kamu dapat melihat ketulusan kami,” ujar Nyonya Yunus, dengan kedua tangan yang sedang memegang paper bag dengan tulisan sebuah merk dunia, terulur ke arah Faris.“Apa yang membuat sikap anda menjadi sangat manusia seperti ini?” tanya Faris yang terlihat sudah bisa membaca ada maksud tertentu dari sikap baik dari orang yang kemarin sangat menghina keluarganya.“Faris, kenapa tamunya tidak di persilahkan duduk lebih dulu, Nak?” Faris yang mendengar suara yang sangat dia kenal dari belakang punggungnya, seketika itu juga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.“Mama, kok sudah keluar dari kamar? Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Faris dengan si