[Halo, Pak Parman] sapa Faris saat nada ponselnya tersambung dengan nomer yang dia tuju.[Ya ... halo, ada apa Ris, kenapa nelpon jam jam malam seperti ini, ada di mana kamu?] tanya orang yang Faris telpon.[Maaf, Pak kalau saya mengganggu waktunya, tapi karena kondisinya mendesak jadi saya terpaksa hubungi bapak malam malam begini. Saya mau minta tolong segera kirimkan empat pengawal malam ini dan empat lagi untuk besok ke lokasi yang sudah saya kirimkan ke anda baru saja] harap Faris.[Rumah siapa itu?] tanya Pak Parman yang merasa asing dengan lokasi yang dikirim Faris lewat aplikasi hijau.[Itu rumah mantan istri saya, Pak. Ghina, anak saya baru saja lolos dari percobaan penculikan tadi. Dan saya khawatir akan ada lagi yang ingin berbuat jahat pada anak kandung saya.] Faris menjelaskan ketakutannya kenapa hingga mengharuskan mendapatkan pengawalan di rumah.[Astaufirullah, baik Ris, akan segera aku kirimkan. Untuk sementara stand by laah kau dulu di dekat anakmu] saran Pak Parman
[Hallo, Assalamualaikum, Papa. Bagaimana?] Faris langsung menekan gambar ponsel, untuk menerima panggilan saat di lihatnya ada nama Papa tertera di layarnya.[Panti bagaimana? Orangnya Pak Parman sudah datang belum?] tanya Papa Adi, malah balik bertanya.[Panti aman, Papa. Alhamdulillah, orangnya Pak Parman sudah datang, dan nampaknya Beliau lebih mengerti apa yang kita butuhkan, satu di antara empat orang yang di kirimnya adalah perempuan, jadi bisa menjaga lebih dekat dengan si kembar.] Dengan panjang lebar Faris menceritakan situasi dan kondisi di panti.[Alhamdulillah kalau begitu, urusan di sini juga sudah mulai jelas, tentang siapa dan motif apa yang melatar belakangi semua kejadian di Panti. Namun, lebih baik di bicarakan nanti saja di panti, sebentar lagi kami semua balik, kok][Siap, Pa. Kami menunggu cerita Papa di sini!][Iya, selalu waspada, Ris!] Papa Adi langsung mengakhiri komunikasi telponnya dengan Faris secara sepihak.****Satu jam berselang setelah Papa Adi menel
"Mau ke mana kita, Pak?" tanya Rahmat, saat lirikan matanya yang melihat Pak Damar sedang memesan tiket pesawat secara on line."Ke singapura!" jawab Pak Damar singkat. "Malam ini juga, Pak?"Lagi Rahmat bertanya dengan wajah terkejut. "Ya, malam ini juga, aku harus menyelesaikan urusan yang terjadi dua puluh tiga tahun yang lalu." Sambil melangkah mendekati Papa Adi dan Mama Via, saat sudah berada di halaman Polres."Mau ke mana, Dam? Kita pulang dulu ke panti!" ujar Kakek saat melihat Pak Damar yang sudah berpamitan ke Papa Adi dan Mama Via."Aku harus menyelesaikan urusanku, Pa. Harusnya urusan ini selesai dua puluh tiga tahun yang lalu, tapi entah kenapa orang ini masih tidak lelah berurusan denganku," ujar Pak Damar sambil memeluk Kakek dan menciumi punggung tangannya."Kau mau ke Singapura malam ini, dan mau ketemu dengan si Dewi, bukan begitu, Dam?" tebak Kakek yang hafal dengan kelakuan putra tunggalnya."Iya! Aku harus bertanya langsung apa maunya hingga mengobrak abrik ke
Karena berhasil yakin atas ucapan si supir taksi, akhirnya Pak Damar dan Rahmat, melangkahkan kakinya untuk turun dari mobil dan segera menemui satpam agar bersedia membukakan pintu gerbangnya."Apakah bapak sudah apa janji sebelumnya dengan Nyonya saya?" tanya Pak Satpam yang sepertinya akan mempersulit keadaannya maka dengan segera, Pak Damar menelpon langsung Dewi.[Halo, Dewi, aku Damar, ada yang ingin kubicarakan padamu,] saat telponnya langsung di terima oleh Dewi.[Ok, aku akan katakan pada satpam yang jaga kalau kau adalah tamuku dan untuk mengantarmu ke sini,] jawab Dewi yang kaget dan bingung, kenapa Pak Damar tiba tiba saja menghampirinya di Singapura.[Terima kasih, aku tunggu!]Benar saja, setelah ponsel milik Pak Damar di matikan. Interkom di pos satpam berbunyi, dan terdengar suara Dewi yang menyuruh agar tamunya segera di antarkan masuk ke rumah.Mendengar perintah dari Nyonyanya, langsung saja sikap dari satpam yang tadi tampak mengerikan, berganti ramah dan penuh ke
Tiba tiba Damar berbalik dan melangkah kembali mendekati Dewi yang sudah kembali merubah ekspresinya dengan raut muka di bikin sedih."Kau harusnya juga minta maaf pada mereka yang kehilangan Ana karena kamu, selain aku," ucapnya dengan suara tegas dan mata yang fokus pada wajah Dewi seperti sedang mendakwa bersalah pada seseorang."Apa maksud perkataanmu tentang kehilangan Ana karena aku, bahkan aku tak pernah bertemu dengan wanita yang kau sebut itu, apalagi sampai menyentuhnya, bagaimana bisa aku yang jadi penyebab dia mati?" tanya Dewi dengan suara kembali lantang "Kamu sadar nggak sih, semuanya terjadi karena kamu!" tunjuk Dewi tepat di wajah Damar."Kamulaaah penyebab segalanya! Kalau dari awal kau bisa menjaga sikapmu untuk tidak berlebihan padaku, tentu aku tak mungkin berharap lebih padamu, lalu kau berbeda setelah bertemu dengan Ana, perempuan yang dengan murahnya menjual dirinya padamu demi uang untuk Via, dan sekarang kau menyalahkan segala sikapku yang menunjukkan kalau
Sore itu, di panti tampak ramai, selain karena Pak Damar yang sudah datang, juga karena kedatangan keluarga Naya lengkap."Bagaimana kabarnya Dewi, Dam. Dia sehat?" tanya Mama Via yang baru tahu kalau kemarin Pak Damar menemui Dewi di Sungapura. Saat mereka hanya berdua saja di teras."Dewi sehat badannya, Namun, entah dengan otaknya?" Ayah Damar menjawab setelah dirinya membuang nafas panjang, tadi. "Jangan mendoktrin dia seperti itu, bagaimana pun dia adalah teman kita juga, mungkin dia merasa kita yang menyakitinya, karena kita tidak tahu bagaimana cara dia memandang kita."Mama Via tampaknya berusaha untuk tidak membuat ayah Damar kembali kesal."Kita sudah tak pernah di pandangnya lagi sebagai teman, Vi. Kebencian sudah mendiami hatinya, hingga meski pun kita menjelaskan sedetail apa pun, dia tak akan pernah mau paham.""Apakah menurutmu aku perlu mendatanginya dan meminta maaf karena Ana?" tanya Mama Via sambil memandang Papa Adi yang terlihat mendekat menghampiri."Aku pikir
"Ivana ingin pulang ke rumah Ayahnya karena di sana ada kenangan bersama sang Ibu. Setidaknya bisa merasakan rumah keluarganya, itu kata Ivana.""Damar pasti bahagia banget, aku jadi iri." "Sabar, Ma. Kan nanti bisa giliran." Umi mencoba menenangkan hati Mama Via.Akhirnya setelah berbasa basi sebentar, Mama Via meninggalkan kamar kerja Umi.Di teras ternyata sudah berkumpul Ivana dan Naya serta Faris.Sambil tersenyum, semuanya menyambut kedatangan Mama Via yang heran dengan senyum mereka."Mama dari mana?" tanya Naya sambil memberikan tempat di sebelahnya untuk di duduki Mamanya."Dari Umi," jawab Mama Via dengan singkat."Ngapain ke Umi? Mau minta tolong buat ngomong ke Ivana biar si kembar nggak di sini dulu ya?" tanya Ayah Damar sambil tersenyum, alisnya turun naik meniru kebiasaan Mama Via, jika tengah mengganggunya. Mama Via yang sadar kalau sedang di goda, melempar bantal sofa ke Ayah Damar. Namun, untung Ayah Damar sempat menghindar sehingga tidak kena."Bukan gitu, Ma.
Ini adalah perpisahan ke dua, setelah sebelumnya Ivana meninggalkan panti karena menikah, dan kini kembali meninggalkan panti untuk keselamatan si kembar.Setelah pamit pada Umi dan pengurus panti yang lain, akhirnya rombongan berangkat malam itu juga ke rumah Ayah Damar. Sekitar satu jam perjalanan, akhirnya rombongan sampai ke kediaman ayah Damar.Mungkin karena sudah hafal dengan mobil yang di pakai oleh Pak Damar, seorang satpam berlari membukakan pagar. Dengan membungkukkan badannya sedikit saat rombongan mobil masuk ke halaman. Dan kembali menutup pagar."Selamat datang, Ghani dan Ghina di rumah Baba," ucap Ayah Damar sambil menoleh ke belakang, di mana ada Ivana dan Naya yang sedang menggendong si kembar."Baba? Apa itu Baba, Yah?" tanya Naya yang merasa asing dengan panggilan yang di sematkan oleh Pak Damar."Baba singkatan dari Mbah, Nay. Seperti keluarga Ibu Ana." Ivana membantu menjawab pertanyaan dari Naya."Eee ... Bagus juga ya, nggak kelihatan kalau dari Mbah," kata N
“Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya
Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh
Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti
“Apa yang sebenarnya membuatmu berat, Via?” tanya Damar saat ini mereka ada di teras, di temani seorang maid yang duduk di kursi yang diletakkan agak jauh, Namun masih bisa mendengar apa yang tamu dan nyonya sedang bicarakan.“Aku hanya heran kenapa kamu seperti sangat ingin agar aku mau menerima pernikahan ini, apakah kamu tak ingin bertemu dengan istrimu lagi nantinya di akhirat, karena aku pernah mendengar jika kita menikah lagi, maka kita tak akan bertemu nantinya dengan pasangan kita yang pertama.”Damar menghela napas panjang, memandangi perempuan yang semakin terlihat cantik karena dalam bingkaian kerudung berwarna pastel saat ini “Kamu itu aneh, Vi … pikiranmu itu terlalu jauh menurutku, sebaiknya saat ini yang kita pikirkan adalah apakah amalan kita bisa menuntun kita masuk ke surganya, nanti saat di surga Allah akan mengabulkan apa yang kita inginkan, bukan? Jadi kita bisa minta untuk dikumpulkan lagi seperti dulu, ada Ana, Adi, kita dan seluruh keluarga kita.”Damar terdi
“Sayaaang, apa yang kau dapatkan dari riadohmu selama ini?” tanya ayah Damar pada Ivana setelah hampir sepuluh hari melebihi dari target yang anaknya janjikan kepada Naya, Dimas, dan Faris.“Aku hanya bermimpi Faris bersama Rizal yang tersenyum kepadaku, Ayah,” ujar Ivana, pagi itu saat sedang sarapan bersama.pp0⅔“Alhamdulillah, aku yakin itu adalah tanda bagus kalau Tuhan menyetujui apa yang Rizal amanatkan kepadamu dan Faris,” seru Nenek dengan mata binar terlihat sangat bahagia.Melihat sang Nenek, Ivana datang mendekat dan mengusap wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah banyak itu dengan perlahan, dari saking bahagianya sang Nenek sampai membuat basah kedua matanya.“Terima kasih … Sayang.” Nenek berkata lembut, dua perempuan cantik berbeda generasi itu saling tatap dalam arti yang sama pula.“Lalu bagaimana dengan Via, Damar? Apakah kamu juga mendapatkan hal yang sama seperti yang di impikan oleh anakmu.”Damar hanya tersenyum, tak menjawab apa yang di tanyakan
“Aku tak menyangka kalau mantannya Farislah yang ternyata berasal dari keluarga Kamandaka, aku jadi tak heran, pantas saja lelaki itu tidak mau lepas begitu saja, apalagi melihat kedekatan antara dua keluarga itu sudah terjalin dnegan sangat baik sekali, pasti mereka juga sedang mengincar kekayaan kamandaka yang tak habis habis itu!” ujar Papi Yunus dengan sesekali memukul pahanya sendiri dengan tangannya yang terkepal, pelan.“Andai kita tahu kalau yang kaya ternyata mantan istrinya, nggaklah mungkin aku akan bersusah payah membelikan tas dan beramah tamah dengan keluarga Faris.”Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, Rika hanya bisa tersenyum dalam tangis, tak menyangka hidupnya bakalan se rumit itu, padahal di kelilingi oleh orang terdekat Namun entah kenapa tidak pernah dirasa tulus mencintainya.“Kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Kamu senang ya, karena apa yang di lakukan oleh mami dan papi kali ini ternyata salah besar?!” tanya Mami dengan wajah tak mengen
“Umroh?!” Dengan wajah yang terlihat tak percaya dan hampir bersamaan, Ayah Damar dan mama Via mengucapkan satu pertanyaan yang sama.Dimas dan Faris bukannya menjawab, mereka berdua hanya tersenyum saja, melihat ayah Damar dan mama Via yang tampak salah tingkah.“Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Apakah Ivana yang menceritakan padamu tentang mimpi yang aku alami selama beberapa malam ini?!” tanya ayah Damar setelah dia berhasil menenangkan dirinya.“tidak …. Bukan hanya Ivana yang cerita tapi Naya juga, mereka bilang kalau mama tidak bisa tidur karena mimpi yang sama berulang kali, begitu juga dengan ayah Damar. Jadi sekarang apa yang membuat kalian ragu untuk melaksanakan apa yang papa adi inginkan?!” "Via, apakah benar kamu mengalami mimpi yang sama denganku, mimpi bertemu dengan adi di Mekah?" tanya ayah Damar dengan wajah membias bahagia dan penuh harap. Senyum Damar kini terlihat berbeda saat anggukan kepala mama Via terlihat berulang kali tadi sebagai jawaban dari pe
Seorang lelaki yang baru saja masuk, segera memotong ucapan Faris, dan membuat kaget karena kedatangannya yang mendadak, Namun mampu membuat Faris, mama Via, Dimas dan Ivana tesenyum.“Pak Kamandaka!!” seru pak Yunus dengan wajah senang sekaligus bimbang, sehingga tanpa sadar dia berdiri dan menyambut ketika melihat lelaki yang baru saja datang yang nyatanya nanti akan menjadi pengacara keluarga Faris untuk melawan dirinya.“Pak Kamandaka, saya dan istri ingin meminta maaf atas kejadian saat di kantor anda, kami berdua tidak tahu kalau lelaki yang kami usir ternyata anda,” ujar Pak yunus dengan kedua tangan yang tergenggam. Tentu saja ini membuat Rika mengerutkan keningnya, dia menatap Papi dengan mata tak percaya. “Mengusir? Mami dan Papi berani mengusir pak Kamandaka dari kantornya?” Rika yang sedang bermonolog lirih, mengulang apa yang dikatakan oleh Papinya tadi. “Ooo … ini alasan kenapa Papi dan Mami berubah sebaik manusia."Mendengar ucapan Rika, Bu Yunus menepuk bahu anakn
“Minta maap?” Faris mengulang apa yang dikatakan oleh tamunya dengan senyum yang terlihat seperti seringai jahat dan kejam.“Apa saya tidak salah dengar?” ujar Faris, kini dengan wajah datar tanpa ekpresi. Kedua matanya menatap tajam ke ketiga tamunya silih berganti.“Tentu saja, dan lihatlah ini, sengaja aku belikan ini untuk mamamu, agar kamu dapat melihat ketulusan kami,” ujar Nyonya Yunus, dengan kedua tangan yang sedang memegang paper bag dengan tulisan sebuah merk dunia, terulur ke arah Faris.“Apa yang membuat sikap anda menjadi sangat manusia seperti ini?” tanya Faris yang terlihat sudah bisa membaca ada maksud tertentu dari sikap baik dari orang yang kemarin sangat menghina keluarganya.“Faris, kenapa tamunya tidak di persilahkan duduk lebih dulu, Nak?” Faris yang mendengar suara yang sangat dia kenal dari belakang punggungnya, seketika itu juga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.“Mama, kok sudah keluar dari kamar? Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Faris dengan si