Sudah dua hari Dimas setia mendampingi keluarga Naya di rumah sakit, bergantian dengan Mama dan Papa, menjaga Mas Faris.Semua proses penyembuhan yang di sarankan tim dokter sudah di lakukan. Namun, Mas Faris masih belum sadar, dan masih dalam pengawasan ketat tim Dokter. tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kamar rawat mas Faris, sekali pun itu adalah keluarga. "Nay, kamu udah hubungi Ivana, belum? Mama kok nggak pernah ketemu selama kakakmu sakit dan di rawat di sini?" tanya Mama, perempuan yang telah melahirkan Naya dan Faris itu dengan nada sedih."Belum, Ma. Aku lupa." Naya berbohong tentang alasan kenapa tidak menghubungi Ivana, sejujurnya dia hanya tak ingin menambah beban untuk mantan kakak iparnya itu lagi. "Sudah ... tak usah di kabarin si Ivana. Aku tidak tahu harus menjawab apa kalau dia nanti bertanya macam macam tentang yang di alami Faris. Lagian udah jadi mantan istri si Faris kok. Jadi tak perlu lagi merepotkannya." Papa nyeletuk tanpa basa basi, saat mereka
"Aku belum minta maaf atas salahku dulu, Pa. Dan sekarang anak kita jahat pada anaknya. Bagaimana aku bisa bertemu dengannya kelak, Pa?" ratap Mama yang masih menatap langit langit kamar. Pelukan Papa sudah terurai, Namun, tangan Mama masih senantiasa di genggam erat Papa, yang memberikan isyarat agar Naya membiarkan dulu Mama untuk tenang, tanpa perlu mendengar ada pertanyaan."Aku tak menyangka, yang kita cari-cari selama ini, ternyata sudah berada sangat dekaaat ... sekali dengan kita. Namun, tanpa kita sadari, kita telah menyakitinya," ujar Mama yang lembali meraung lagi, dengan mata terpejam seolah tak tahan melihat masalah yang sedang dia hadapi saat ini."Sudahlaaah, Ma. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik. Semuanya sudah di gariskan oleh-Nya. Kita hanya bisa mendo'akan, semoga Ana tenang di sisi Tuhan." Tangan Papa membersihkan air mata di pipi Mama dengan tisu yang tersedia di meja kecil sebelah kiri brankar.Dimas yang melihat polemik keluarga Naya, serta merta menggen
"Iya, bayi. Bukankah perempuan yang bersama anak saya dalam kondisi berbadan dua?"Papa menjawab sekaligus bertanya setelah menganggukkan kepalanya cepat, saat Dokter mengulang pertanyaan Papa tadi."Tidak Pak! Perempuan yang bersama anak anda tidak dalam keadaan hamil."Raut wajah Papa seketika terlihat tak biasa, seolah yang baru saja disampaikan Dokter bukanlah informasi yang dia harapkan."Kalau sudah tidak ada yang mau anda tanyakan lagi, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak, kami akan mengupayakan yang terbaik untuk kesehatan anak anda!" Dokter Hendra berucap sambil berdiri dari kursinya, sesaat setelah suasana hening di antara keduanya."Terima kasih, Dokter." Papa pun berucap sambil berdiri dari kursinya. Kemudian mereka saling berjabat tangan."Sama-sama, Pak. Jangan sungkan untuk mendiskusikan tentang kondisi pasien, karena ini sudah tanggung jawab kami," balas Dokter Hendra membalas ucapan Papa, dengan senyum yang hampir tak terlihat. Papa mengangguk, kemu
"Udah siap, Va?" tanya Rizal, yang mendapat tugas dari Naya langsung untuk menjemput sahabat dan Umi di panti."Sudah, Nak Rizal. Apa nggak kelihatan ya kalau kami berdua sudah cantik begini?!" jawab Umi sambil tersenyum menggoda ke arah Ivana yang melebarkan ke dua matanya ke arah Umi."Kelihatan kok, Umi. Jelas sekali malahan," balas Rizal dengan senyum menggoda ke arah Ivana.Kelihatannya Umi sudah mengetahui kalau lelaki yang menjemputnya hari ini, mempunyai perasaan yang berbeda pada anak angkatnya itu.Begitu pun dengan Ivana yang merasa Umi sedang bekerja sama dengan Rizal untuk menggodanya, hanya bisa menarik napas panjang."Silahkan masuk Umi dan Ivana," ujar Rizal dengan tangan kanan membukakan pintu belakang mobil. Umi yang masuk lebih dahulu dengan segera menutup pintu tanpa memberi kesempatan Ivana untuk mengikutinya dari belakang."Umi ...?!" Melongo Ivana melihat apa yang dilakukan Umi Dina.Umi menurunkan kaca mobil dan tersenyum, kemudian berkata, "kau duduk di depa
Dengan kaget, Ivana segera menyentuh dadanya, meraba seperti sedang mencari sesuatu."Apakah ini kalungku? Kok bisa ada di kamu, Nay?" tanya Ivana mengambil benda di tangan Naya, setelah apa yang di cari di dadanya tidak ia ketemukan."Kalungmu jatuh saat pemeriksaan di Dokter Agustin," jawab Naya sambil tersenyum."Va, apa benar itu kalung kamu, kenapa tidak kamu perhatikan lebih dahulu?" saran Umi dengan tiba tiba."Benar, Umi. Ini kalung aku, ada tulisan Via di balik liontinnya, aku sudah sangat menghafalinya," jawab Ivana sambil tersenyum menatap penuh bahagia pada kalung itu. "Maafkan aku, Ivana! Maafkan aku!" Mama Via yang semula duduk berdampingan, tiba-tiba ngelosor turun duduk bersimpuh di kaki Ivana sambil menangis.Spontan Iva memindahkan ke dua kakinya agar menjauh dari Mama."Mama! Jangan begini, tak baik!" Tangan Ivana mencoba menarik tubuh Mama Via agar kembali duduk lagi. Begitupun dengan Naya dan Umi yang mencoba mencegah Mama untuk tak duduk di bawah."Katakan! Kau
"Mama! Aku lapar, ayo kita makan, biarkan Papa yang menungguin Mas Faris selama kita pergi." Naya langsung memotong pembicaraan Mama, dia paham kalau apa yang akan di ucapkan sang Mama bakalan tidak di sukai oleh sahabatnya."Tapi—""Rizal! Jangan ngebut selama perjalanan, yang kau bawa orang hamil, mengerti!" Naya kembali memotong ucapan Mamanya dengan memberikan pesan tegas pada Rizal sambil menciumi pipi Ivana dan Umi secara bergantian.Ivana tersenyum saat melihat wajah Mama yang dengan berat hati akhirnya mengikuti apa yang di inginkan Naya, merelakan Ivana untuk kembali ke panti."Zal, aku boleh minta tolong, nggak?" tanya Ivana di dalam mobil, saat perjalan pulang ke panti."Ada apa, Va?""Tolong carikan aku rumah atau tanah di pinggir desa, dengan ukuran yang luas, dong. Untuk membangun panti," pinta Ivana penuh harap ke Rizal."Ok! Kamu butuh segera atau nyari santai, Va? Karena kalau ingin tanah atau bangunan dengan ukuran yang big, susah dapatnya kalau kita butuh segera."
"Bagaimana, Dok?" tanya Umi saat melihat Dokter Agustin keluar dari ruangan ICU."Ini sudah pembukaan tujuh, semestinya akan lebih cepat, sakitnya pun biasanya akan semakin hebat, tapi ini sudah di tunggu sampai tiga jam tapi tidak ada kontraksi lagi. Harus segera di operasi, karena air ketuban sudah pecah tadi di waktu pembukaan ke lima." Dokter Agustin yang menangani Ivana menjelaskan pada Umi, Mama dan Naya. "Lakukan yang terbaik Dokter, asalkan anak dan cucu saya bisa diselamatkan," ujar Mama dengan mata berkaca kaca. "Baik kalau begitu, yang bertanggung jawab untuk pasien, tolong segera menyelesaikan adminstrasinya dan tanda tangani berkas persetujuan tindakan medis." Dokter perempuan itu kembali masuk ke ruangan ICU."Biar aku yang mengurusnya, Mama dan Umi di sini aja," usul Naya pada Mama Via dan Umi yang berada di luar kamar perawatan, karena tidak di ijinkan mendampingi pasien. "Iya, setidaknya nanti kalau bayinya lahir, Mama dengan Umi jadi orang pertama yang melihat b
"Biarin, lagian untung nggak dijenguk, aku takut muntah kalau liat dia," jawab Naya, terdengar sarkas."Jangan gitu, jadi orang jangan terlalu membenci, nanti nanti malah jadi menyayangi," balas Dimas, bijak mengingatkan Naya. "Maaf ya, cintaku sudah kepadamu, tak ada lagi untuk yang lain." Naya menjawab Dimas sambil tersenyum menggoda. Hingga membuat yang berada dalam kamar tersebut cekikan menahan tawa."Alhamdulillah." Dimas mengucapkan syukur sambil tersenyum dengan ke dua tangannya mengelus dada."Kalian nikah aja kenapa, sih? Lama lama pacaran juga nggak baik kali bagi kesehatan." Berengut muka Rizal yang melihat kemesraan antara Naya dan Dimas."Apa hubungannya dengan kesehatan? Lagian kesehatan siapa yang nggak baik?" Naya menjawab ucapan Rizal dengan pertanyaan pula."Ya kesehatan akulah, memangnya siapa lagi yang jadi obat nyamuk di antara hubungan kalian? Aku kan? Hanya aku seorang!" Rizal menjawab Naya sambil menunduk sedih, Namun walau sesedih apa pun muka yang di
“Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya
Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh
Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti
“Apa yang sebenarnya membuatmu berat, Via?” tanya Damar saat ini mereka ada di teras, di temani seorang maid yang duduk di kursi yang diletakkan agak jauh, Namun masih bisa mendengar apa yang tamu dan nyonya sedang bicarakan.“Aku hanya heran kenapa kamu seperti sangat ingin agar aku mau menerima pernikahan ini, apakah kamu tak ingin bertemu dengan istrimu lagi nantinya di akhirat, karena aku pernah mendengar jika kita menikah lagi, maka kita tak akan bertemu nantinya dengan pasangan kita yang pertama.”Damar menghela napas panjang, memandangi perempuan yang semakin terlihat cantik karena dalam bingkaian kerudung berwarna pastel saat ini “Kamu itu aneh, Vi … pikiranmu itu terlalu jauh menurutku, sebaiknya saat ini yang kita pikirkan adalah apakah amalan kita bisa menuntun kita masuk ke surganya, nanti saat di surga Allah akan mengabulkan apa yang kita inginkan, bukan? Jadi kita bisa minta untuk dikumpulkan lagi seperti dulu, ada Ana, Adi, kita dan seluruh keluarga kita.”Damar terdi
“Sayaaang, apa yang kau dapatkan dari riadohmu selama ini?” tanya ayah Damar pada Ivana setelah hampir sepuluh hari melebihi dari target yang anaknya janjikan kepada Naya, Dimas, dan Faris.“Aku hanya bermimpi Faris bersama Rizal yang tersenyum kepadaku, Ayah,” ujar Ivana, pagi itu saat sedang sarapan bersama.pp0⅔“Alhamdulillah, aku yakin itu adalah tanda bagus kalau Tuhan menyetujui apa yang Rizal amanatkan kepadamu dan Faris,” seru Nenek dengan mata binar terlihat sangat bahagia.Melihat sang Nenek, Ivana datang mendekat dan mengusap wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah banyak itu dengan perlahan, dari saking bahagianya sang Nenek sampai membuat basah kedua matanya.“Terima kasih … Sayang.” Nenek berkata lembut, dua perempuan cantik berbeda generasi itu saling tatap dalam arti yang sama pula.“Lalu bagaimana dengan Via, Damar? Apakah kamu juga mendapatkan hal yang sama seperti yang di impikan oleh anakmu.”Damar hanya tersenyum, tak menjawab apa yang di tanyakan
“Aku tak menyangka kalau mantannya Farislah yang ternyata berasal dari keluarga Kamandaka, aku jadi tak heran, pantas saja lelaki itu tidak mau lepas begitu saja, apalagi melihat kedekatan antara dua keluarga itu sudah terjalin dnegan sangat baik sekali, pasti mereka juga sedang mengincar kekayaan kamandaka yang tak habis habis itu!” ujar Papi Yunus dengan sesekali memukul pahanya sendiri dengan tangannya yang terkepal, pelan.“Andai kita tahu kalau yang kaya ternyata mantan istrinya, nggaklah mungkin aku akan bersusah payah membelikan tas dan beramah tamah dengan keluarga Faris.”Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, Rika hanya bisa tersenyum dalam tangis, tak menyangka hidupnya bakalan se rumit itu, padahal di kelilingi oleh orang terdekat Namun entah kenapa tidak pernah dirasa tulus mencintainya.“Kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Kamu senang ya, karena apa yang di lakukan oleh mami dan papi kali ini ternyata salah besar?!” tanya Mami dengan wajah tak mengen
“Umroh?!” Dengan wajah yang terlihat tak percaya dan hampir bersamaan, Ayah Damar dan mama Via mengucapkan satu pertanyaan yang sama.Dimas dan Faris bukannya menjawab, mereka berdua hanya tersenyum saja, melihat ayah Damar dan mama Via yang tampak salah tingkah.“Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Apakah Ivana yang menceritakan padamu tentang mimpi yang aku alami selama beberapa malam ini?!” tanya ayah Damar setelah dia berhasil menenangkan dirinya.“tidak …. Bukan hanya Ivana yang cerita tapi Naya juga, mereka bilang kalau mama tidak bisa tidur karena mimpi yang sama berulang kali, begitu juga dengan ayah Damar. Jadi sekarang apa yang membuat kalian ragu untuk melaksanakan apa yang papa adi inginkan?!” "Via, apakah benar kamu mengalami mimpi yang sama denganku, mimpi bertemu dengan adi di Mekah?" tanya ayah Damar dengan wajah membias bahagia dan penuh harap. Senyum Damar kini terlihat berbeda saat anggukan kepala mama Via terlihat berulang kali tadi sebagai jawaban dari pe
Seorang lelaki yang baru saja masuk, segera memotong ucapan Faris, dan membuat kaget karena kedatangannya yang mendadak, Namun mampu membuat Faris, mama Via, Dimas dan Ivana tesenyum.“Pak Kamandaka!!” seru pak Yunus dengan wajah senang sekaligus bimbang, sehingga tanpa sadar dia berdiri dan menyambut ketika melihat lelaki yang baru saja datang yang nyatanya nanti akan menjadi pengacara keluarga Faris untuk melawan dirinya.“Pak Kamandaka, saya dan istri ingin meminta maaf atas kejadian saat di kantor anda, kami berdua tidak tahu kalau lelaki yang kami usir ternyata anda,” ujar Pak yunus dengan kedua tangan yang tergenggam. Tentu saja ini membuat Rika mengerutkan keningnya, dia menatap Papi dengan mata tak percaya. “Mengusir? Mami dan Papi berani mengusir pak Kamandaka dari kantornya?” Rika yang sedang bermonolog lirih, mengulang apa yang dikatakan oleh Papinya tadi. “Ooo … ini alasan kenapa Papi dan Mami berubah sebaik manusia."Mendengar ucapan Rika, Bu Yunus menepuk bahu anakn
“Minta maap?” Faris mengulang apa yang dikatakan oleh tamunya dengan senyum yang terlihat seperti seringai jahat dan kejam.“Apa saya tidak salah dengar?” ujar Faris, kini dengan wajah datar tanpa ekpresi. Kedua matanya menatap tajam ke ketiga tamunya silih berganti.“Tentu saja, dan lihatlah ini, sengaja aku belikan ini untuk mamamu, agar kamu dapat melihat ketulusan kami,” ujar Nyonya Yunus, dengan kedua tangan yang sedang memegang paper bag dengan tulisan sebuah merk dunia, terulur ke arah Faris.“Apa yang membuat sikap anda menjadi sangat manusia seperti ini?” tanya Faris yang terlihat sudah bisa membaca ada maksud tertentu dari sikap baik dari orang yang kemarin sangat menghina keluarganya.“Faris, kenapa tamunya tidak di persilahkan duduk lebih dulu, Nak?” Faris yang mendengar suara yang sangat dia kenal dari belakang punggungnya, seketika itu juga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.“Mama, kok sudah keluar dari kamar? Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Faris dengan si