"Nis... Coba deh kamu tengok kacanya sekarang! Tidak ada tulisan apa-apa di kaca itu lagi!" ujar Ibu padaku yang masih bersender di bahu ibu sembari memejamkan matanya. Secara perlahan aku mulai mendongakkan wajahku kembali seraya membuka kedua bola mataku serta mengarahkan pandanganku ke kaca yang ada di di dekatku itu. Dan benar saja apa yang kulihat ternyata tulisan itu benar-benar sudah hilang. "Loh... Kemana tulisan itu? Kok gak ada lagi. Padahal tadi itu jelas-jelas aku ngelihatnya bu!" ujarku pada Ibu. "Nisa? Mungkin kamu hanya mengigau," timpal ayah. "Ayah... Aku gak mengigau kok yah. Aku melihat tulisan itu dengan sangat jelas," gumamku pada ayah. Lagi dan lagi ayah dan ibu tidak percaya dengan apa yang kukatakan itu. "Sudahlah Nis... Lebih baik kamu lanjutin berkemasnya karena ini jam sudah hampir menunjukkan angka tujuh, tidak ada tulisan apa-apa di sini kok! Ayah dan ibu keluar dulu!" ujar ayah seraya mengajak ibu pergi dari kamarku. Aku hanya bisa bergumam dalam bat
"Arini? Ka... Kamu kok gak ke kelas?" tanyaku terbata-bata. Aku khawatir jika Arini akan marah padaku. Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Arini. Justru sebuah tamparan yang mendarat ke pipi kananku. "Aaaaw..." Tamparan Arini membuatku terasa panas seketikan. Tak disangka Kevin membela ku. Kevin menangkis tangan Arini dengan kasar. "Kamu apa-apaan Ar? Kenapa kamu tiba-tiba menampar Nisa begini?" tanya Kevin dengan ketus."Minggir kamu Vin! Aku mau ngasih pelajaran sama tu cewek biar dia kapok dan gak pernah deketin kamu lagi." ucap Arini."Apa hak kamu melarang Nisa dekat denganku?" tanya Kevin sembari mendongakkan kepalanya. "Karena kamu itu cowokku," jawab Arini dengan penuh rasa percaya diri. Kevin tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan Arini yang tiba-tiba menganggapnya sebagai cowok Arini. "Haha... Sejak kapan kita pacaran Ar? Kamu jangan mengada-ada deh. Aku tidak punya hubungan apa-apa sama kamu. Jadi aku berhak di deketin sama siapapun termasuk sama Nisa. Men
"Ada apa ini Nis? Kenapa Arini lemas begini?" tanya paman cemas melihat keadaan Arini yang masih terkulai lemah dengan mata yang masih merem. Pertanyaan paman membuatku kembali tersadar dan mencoba untuk membantu Arini terlebih dahulu. "Oooh... Ini paman, Arini sepertinya tadi kemasukan mahkluk asral saat dia sedang bersih-bersih di dekat wc sekolah," jelasku pada paman. Tentu saja hal itu membuat paman kaget. "Kok bisa?" Melihat Kevin kesusahan menggendong tubuh lemas Arini itu, paman pun bergegas mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam rumah dan menghentikan sejenak rasa penasarannya. "Ya ampun Arini... Ya sudah kalau begitu paman minta tolong bawakan Arini ke dalam ya! Paman gak bisa menggendong Arini soalnya tangan Paman masih sakit," gumam paman sembari menunjuk tangannya yang masih di tutupi perban. "Baik pak!" ucap Kevin dengan cepat masuk ke dalam kamar Arini. Paman hanya bisa mengiringi Kevin hingga ke kamarnya Arini. Bruuuuugh...Kevin menghempaskan tubuh Arini ke a
Semakin lama aku mendengar cerita ibuk-ibuk itu semakin menakutkan saja dan suasana pun semakin menegangkan. Dan yang lebih mengejutkan dari cerita mereka itu aku mendengar kejadian seperti ini bukanlah kejadian yang pertama kali tapi kejadian yang ke sembilan puluh sembilan kalinya nya. Sontak saja bulu romaku merinding dan teringat dengan kejadian yang terjadi ditengah malam tadi. "Buk-Ibuk kalian benar-benar harus menjaga anak kalian dengan ketat karena bisa jadi anak kalian akan jadi korban selanjutnya. Aku bukan ingin menakut-nakuti kalian tapi aku pernah mendengar cerita dari orang-orang bahwa anak-anak yang meninggal itu berhubungan dengan tumbal yang dilakukan oleh seseorang demi menyempurnakan ilmu hitam yang sedang ia tuntut. Dan para pencari tumbal ini akan terus mencari anak kecil yang sehat dan bugar hingga mencapai seratus orang sesuai dengan target tumbal yang mereka inginkan," jelas seorang ibuk paruh baya yang cukup berperan di kampung tersebut. Seketika semua pasan
Di sepanjang jalan bulu roma ku merinding. Meskipun hari masih siang dan cahaya matahari masih menyingsing tapi rasa seram jalan yang ku lewati saat ini terasa. Sesekali kedua bola mataku melirik ke kiri dan ke kanan. Untungnya aku hanya melihat pepohonan yang sedang melambai-lambaikan dedaunannya. Semakin jauh ke dalam hutan Bibi pun semakin mempercepat langkah kakinya. "Kenapa Bibi tergesa-gesa begitu?" gumamku sembari berlari agar tidak ketinggalan oleh Bibi. Dan setelah jauh berjalan menyusuri semak belukar tersebut, tiba-tiba Bibi mampir di sebuah gubuk yang terlihat reot di tengah hutan itu. "Kok Bibi singgah di gubuk itu sih?"Aku pun memperhatikan sekeliling dan tidak terlihat orang lain ataupun gubuk lainnya di sana. Aku terus memperhatikan gerak-gerik Bibi dari balik pohon yang memiliki batang cukup besar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gubuk reot itu. Kini Bibi berdiri di ambang pintu. Sebelum melangkah masuk, kedua bola mata Bibi nampak celangak-celinguk meliha
Sudah lebih dari lima menit aku berlari-lari mengitari hutan yang dipenuhi semak belukar ini. Rasanya aku sudah berlari cukup jauh dari posisi kakek tua yang baru saja aku dorong itu. "Sepertinya kakek tua itu sudah tidak akan menemukan aku lagi," gumamku dengan wajah sedikit sumringah. "Tapi kenapa aku tidak menemukan jalan keluar?" batinku berkata dengan perasaan sedikit cemas. Aku belum melihat celah-celah cahaya yang akan mengantarkan aku keluar dari sunyinya hutan ini. Suara siulan burung hingga sahutan burung kadang masih terdengar di telinga. Bahkan sesekali suara rauangan binatang buaspun terdengar jelas olehku. Tentu saja hal itu membuat jantungku berdebar semakin kencang dan badanku pun seketika menggigil ketakukan. "Ya Tuhan... Suara apa itu?" Kedua bola mataku tertuju pada bayangan pohon yang nampak bergoyang di tengah hutan belantara itu.Dalam kesunyian dan ketakukan aku memutuskan untuk menghentikan langkah kakiku sejenak. Sesaat kemudian aku merasa ada hal yang jangg
"Lepaskan anakku!" Lengkingan suara seorang laki-laki menggelegar meneriaki kakek tua genit itu. Di kala suasana makin mencekam dan perasaanku bercampur aduk tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang membuat kakek tua itu menghentikan aksinya. Suara itu tidak asing di telingaku. Suara seorang laki-laki yang biasa ku panggil dengan sebutan ayah. "Ayah?" Dengan tatapan penuh harap aku melihat cahaya dari sebuah senter sebagai penerangan oleh ayah. Cahaya itu bersinar dari balik pohon yang begitu rimbun. Sekali lagi ayah meneriaki kakek tua yang masih melingkarkan jari tangannya di pergelangan tanganku."Aku bilang lepaskan anakku!" Ayah benar-benar sudah geram pada kakek tua itu. "Kurang ajar! Siapa kau?" tanya kakek itu tanpa melepaskan pegangannya dari pergelangan tanganku. "Aku ayahnya Nisa. Sebaiknya kamu lepaskan anakku sekarang sebelum parang ini melayang ke arahmu," ancam ayah dengan mata merah sepertinya ayah benar-benar sedang marah pada kakek genit itu bahkan sepe
Seminggu sudah berlalu, namun ayah tak kunjung jua sadarkan diri. "Ayah bangun! Ayok pulang yah! Kasihan ibu sama Geri di rumah gak ada yang menemani," gumamku sembari memeluk tubuh ayah yang terbaring lemah di atas sebuah tikar yang lusuh milik kakek tua yang sudah membuat ayahku seperti ini. Setiap hari, aku selalu menunggu kabar ayah berharap agar ayah cepat sadarkan diri. Setiap menit aku raba denyut nadi ayah. Aku khawatir jika ayah kenapa-kenapa. Sebenarnya aku ingin sekali pulang untuk menemui ibu dan adik tapi aku tidak tega meninggalkan ayah sendirian di tengah hutan ini. "Bagaimana caranya aku bisa membawa ayah keluar dari hutan ini?" Aku berencana akan membawa ayah keluar dari hutan itu dengan cara apa pun karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri. kedua bola mataku merayap ke segala sudut ruangan. Dan aku melihat ada sebuah benda yang dihinggapi sarang laba-laba, ternyata sebuah gerobak bekas yang sudah tersandar di sudut gubuk tua itu. "Itu sepertinya sebu