"Dia ikut?" Dona menganggukkan kepalanya "Dia nggak ngapa-ngapain kamu, kan?"
"Belum sempat melanjutkan keburu Kak Berry datang, memang keluargamu nggak ada yang tahu benaran?" tanya Dona penasaran yang diangguki Fandi "Hubungan kalian kaya gimana sih sampai nggak ada yang tahu? Backstreet?" Fandi menggelengkan kepalanya "Terus?"Fandi mencubit hidung Dona pelan "Masa lalu akan lebih baik nggak dibahas, persis yang dikatakan Berry ke kalian berdua."Kedatangan Berry pada saat itu bagi Dona tepat dan tidak, pasalnya Dona tidak mendapatkan jawaban atas tujuan Laras berbicara tentang masa lalunya dengan Fandi. Seharusnya memang tidak perlu melakukannya, hal sama yang dilakukan Dona beberapa saat lalu yang menceritakan tentang perbuatannya."Melamun apaan? Bagaimana di agency sudah bisa ngikutin?"Dona menghembuskan napasnya panjang "Melelahkan, aku belajar hal baru untung ada Fabian.""Fabian itu udah punya kekasih atau menikah?" <"Mbak, ada yang mau bertemu."Dona mengerutkan keningnya mendengar suara resepsionis di sambungan telepon, membuka jadwalnya dan tidak ada agenda apa-apa. Asistennya tadi juga tidak mengatakan apapun perihal janji dengan seseorang, masih terdiam mencoba mengingat tapi nihil."Siapa?" tanya Dona akhirnya setelah diam cukup lama."Dia bilang namanya Laras," jawab resepsionis langsung.Dona terdiam mendengar jawaban dari resepsionis tentang siapa yang datang, mengingat pembicaraan mereka yang terhenti karena kedatangan Berry, tampaknya masih ada yang harus dikatakan oleh wanita yang pernah menjadi tunangan Fandi. Berpikir cukup lama mengenai tentang menerima atau menolak, Dona merasa tidak ada lagi yang harus mereka bicarakan."Antar dia ke cafe, bilang sama pegawai sana untuk melayani dengan baik." Dona akhirnya memutuskan menerima dan ingin tahu maksudnya "Sepenting apa sampai harus datang dan berbicara sama dia."Menatap ponselny
"Aku sama sekali nggak menyangka dia akan melakukan itu," ucap Fandi sambil memijat kepalanya pelan.Pertemuan tadi secara tiba-tiba menghubungi Fandi, meminta pria itu mendengarkan apa yang mereka berdua bicarakan. Memiliki pengalaman di masa sebelumnya dan juga pengalaman saudaranya membuat Dona mengambil langkah itu, tidak ingin Fandi tahu dari orang lain yang bisa saja sudah diputar ceritanya.Selain alasan itu, alasan lainnya adalah keterbukaan. Dona memang tidak memiliki hubungan baik dengan sang mantan karena langsung merasakan kekerasan, tapi bersama Irwan dirinya belajar banyak. Irwan mengajarkan banyak hal, tidak salah jika sulit move on dari pria itu, walaupun apa yang dilakukannya lebih parah dari Laras. Tindakan Laras mengingatkan Dona pada apa yang dilakukan ke Irwan dan Naila, sampai membuat hubungan mereka hampir berakhir."Bagaimana kamu punya ide agar aku mendengarkan semuanya?" suara Fandi membuyarkan lamunan Dona."Pertemuan te
"Apa mau kamu?" Fandi melakukan hal gila yang tidak pernah dilakukannya selama ini, komunikasi terakhirnya dengan Laras ketika mengetahui kehamilan wanita itu dengan kakaknya, setelah itu tidak pernah berbicara dalam. Pertemuan mereka hanya saat acara keluarga atau secara kebetulan di rumah orang tuanya, Fandi sendiri menyayangi anak mereka karena bagaimanapun ada darahnya disana."Memang dia udah bicara apa saja? Kamu baru mau bicara sama aku setelah cukup lama karena dia?" tanya Laras menatap Fandi dalam."Nggak usah drama, katakan saja apa mau kamu?" Fandi tidak menghiraukan kata-kata Laras."Apa kamu bisa memenuhinya?" tanya Laras tanpa menjawab pertanyaan Fandi "Kamu nggak akan bisa melakukannya.""Nggak usah berbelit, langsung katakan!" Fandi sudah tidak bisa menahan emosinya dan sempat membuat Laras terkejut."Kamu berubah, selama ini nggak pernah membentak atau mengeluarkan nada tinggi sama aku," ucap Laras dengan wajah
"Kamu ketemu sama dia?" Fandi memilih terbuka pada Dona terkait dengan Laras, tapi belum dengan Retno. Hatinya masih belum bisa membuka masalah Retno, seharusnya memang semua sudah berakhir seperti dengan mudahnya menyelesaikan dengan Laras."Kamu nggak papa?" tanya Dona dengan ekspresi khawatir."Aku nggak papa, setelah ketemu dia langsung ke rumah Kang Seno." Dona mengerutkan keningnya "Ngapain? Curhat? Memang nggak ganggu Kang Seno?" "Teh Berry udah tahu kalau Laras ngajak bicara sama kamu jadinya aku perlu bicara sama mereka, aku membutuhkan pendapat mereka." Fandi menjelaskan tujuannya bertemu Seno."Aku kira kamu nggak perlu pendapat orang lain, profesi yang berkaitan dengan hukum sesuai dengan buku dan yang terlihat tanpa perlu tahu keadaan sebenarnya." Dona menyindir sambil tersenyum."Nggak semua begitu, ada yang bersih." Fandi mengoreksi Dona yang hanya menganggukkan kepalanya "Aku nggak tahu kenapa dia ngga
"Aku kira kamu nggak akan datang."Retno memeluk Fandi setelah masuk ke apartemennya, melepaskan pelukan Retno dengan melangkahkan kakinya ke dapur. Fandi menyadari Retno mengikutinya dari belakang, mengambil makanan yang dibawa dan langsung menyiapkannya. Fandi memilih duduk di meja makan dengan membiarkan Retno melakukan tugasnya, mengeluarkan ponsel dengan membalas pesan."Makan dulu baru ponselnya nanti," ucap Retno saat makanan sudah ada dihadapan mereka.Makan dalam keadaan diam, Fandi memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Sesekali sudut matanya melihat Retno, berusaha untuk tenang dengan merangkai kata-kata yang tidak akan menyakitinya. Retno membersihkan piring yang mereka pakai untuk makan dan lagi-lagi Fandi hanya diam, beranjak dari tempatnya menuju sofa yang ada di ruangan."Banyak pikiran?" Retno duduk disamping Fandi mengambil tangannya dengan memberikan pijat perlahan "Kemana aja selama ini?""Sibuk," j
"Kenapa kamu?" Seno memicingkan matanya menatap Fandi yang tampak kusut.Fandi mengusap wajahnya kasar mendengar pertanyaan Seno. Pertemuan terakhirnya dengan Retno semakin membuatnya pusing, memilih tidak menemui Dona sementara waktu untuk menenangkan diri. "Kenapa sih?" tanya Seno yang sudah mulai kesal dengan sikap Fandi "Kamu nggak lagi cari penyakit, kan? Pernikahan sudah mau depan mata."Fandi menatap Seno dengan tatapan lelah, semua yang dilakukan selama ini adalah salah dan kesalahan yang sangat besar. Mengusap wajahnya kasar dengan hembusan napas yang terdengar lelah, Seno masih setia menatap seakan menunggu jawaban dari Fandi."Kamu nggak melakukan hal gila, kan?" Seno mengulang lagi pertanyaannya."Sayangnya ya," jawab Fandi menundukkan kepalanya."Bagaimana bisa? Dia hamil?" Fandi menggelengkan kepalanya "Lalu?""Dia nggak mau hubungan ini berakhir," jawab Fandi masih menundukkan kepalanya "Dia akan menunggu
"Angin apa kamu bisa disini?" Dona memicingkan matanya ketika melihat Vivi berada di apartemennya."Fandi mana? Kalian nggak tinggal bareng?" tanya Vivi menatap sekitar."Fandi nggak disini lah, dia ada rumah sendiri.""Kamu sering kesana? Tempat ini jarang kamu tinggali?""Banyak tanya!" Dona menjawab malas "Kenapa kamu tiba-tiba datang kesini?" kembali pada topik pertama."Mau tahu tempat tinggalmu, kemarin kan kamu tinggal di hotelnya Leo. Kamu memutuskan cari apartemen dan tinggal disini, walaupun apartemen ini masih masuk dalam perusahaan keluarga." Vivi mulai melangkahkan kakinya melihat keadaan apartemen "Besar, rapi dan tetap berbeda dengan yang di Singapore."Dona hanya menggelengkan kepalanya melihat tindakan Vivi, datang secara tiba-tiba tanpa berita sebelumnya. Azka bahkan tidak menceritakan apapun, mereka masih komunikasi bukan hanya masalah pekerjaan. Azka yang sudah resmi bercerai otomatis dengan status baru, sejau
"Balik ke Singapore? Pernikahan kita nggak lama lagi, terus gimana?" Fandi menatap penasaran."Ayah belum bicara apa-apa lagi, ini aku sama Vivi mau ke Bali liburan." Dona menjawab apa yang dia tahu "Bisa jadi memang ada suatu yang urgent dan aku harus kesana.""Ayah masih ingat sama pernikahan kita, kan?" tanya Fandi memastikan."Jelas masih lah, mungkin memang urgent makanya aku diminta balik." Dona mengulang kembali jawaban dimana tampaknya Fandi tidak mendengarkan.Dona memilih jawaban aman, walaupun sebenarnya sedikitpun tidak bertanya mengenai pernikahannya dengan Fandi. Perasaannya mengatakan jika ayahnya mengetahui sesuatu tentang Fandi, makanya mengambil keputusan itu. Kata urgent yang diucapkan Dona bukan sebenarnya, jika memang urgent tidak mungkin bisa mendapatkan waktu untuk liburan."Kamu mau ikut?" ajak Dona sedikit basa-basi."Pekerjaanku banyak, kamu tahu sendiri." Fandi menyandarkan badannya di sofa sambil menat