Tidak terhitung sudah berapa kali Vander dibawa ke klinik penjara karena ketidak sadaran dirinya yang sering terjadi tiba-tiba. Membuat para sipir yang berjaga selalu panik dan membopongnya setiap waktu. Bahkan dokter Albert sendiri bosan menangani pasiennya yang satu itu— yang tetap bebal tak ingin makan juga minum, serta membuang obat yang telah diresepkannya. Vander sungguh ingin mati konyol sepertinya.
"Ha! Ini yang terakhir kau boleh kesini, anak muda," berang dokter Albert yang sedang dinas sendiri harus memasang infus di tangan Vander lagi, "kau menyebalkan dengan sikapmu itu. Bila ingin mati, katakan! Aku akan memotong urat nadimu sekarang juga."
"Lakukan," jawab Vander yang akhirnya mengeluarkan suara setelah sekian lama. Tubuhnya sekarang di ikat dibagian sisi kanan dan kirinya agar tidak kembali berulah.
Dokter Albert tampak kage
Baru kali ini Vander merasa dirinya sangat cemas juga tak sabar dengan pacu jantung tak menentu dalam satu waktu. Sudah lama rasanya dirinya tak menggebu seperti sekarang. Kali ini, sudah dipastikan bulir keringat sebesar jagung keluar dari pelipisnya. Apalagi laju kendaraan yang membawanya sangat kencang membelah kota. Tak menyangka bahwa pria paruh baya di sampingnyalah yang membawa salah satu mobil klasik tercepat di dunia itu.Dari kejauhan bisa dirinya lihat jembatan Brooklyn berdiri megah. Rasanya sudah lama dia tak menginjakkan kaki sekedar berdiri terpaku seperti yang biasa dilakukan. Bangunan kuno itu masih baik-baik saja tanpanya. Tidak sama sepertinya yang selalu kacau dari hari ke hari. Apakah dia bisa menjadi sekuat Brooklyn? Setegar Washington yang menembus batasnya?Melintasi jembatan panjang itu, kenangan Vander muncul akan Chloe yang dulu bersamanya di dalam mobil. Rasanya Va
Merangkak pelan di atas ranjang miliknya, Vander bersusah payah agar tak membangunkan Chloe yang sedang tertidur lelap.Demi Tuhan, Vander sangat merindukan sosok yang berada dalam dekapannya kini. Bahkan dia tak henti-henti menciumi wangi rambut dari kepala Chloe, jari jemarinya, semuanya. Vander sangat teramat merindukan gadis nakalnya yang biasanya sangat ceria.Mendengar kabar bila Chloe kembali tertekan karena ulahnya, dan juga sang ayah yang tak mengizinkannya keluar serta selalu di bawah dalam pengawasan, hati Vander pilu. Apalagi usaha Chloe yang kembali ingin menemuinya hingga nekat kabur dengan bantuan psikiaternya –dokter Elena– membuat Vander luluh dan merasa bersalah, karena tiada membandingi dengan usaha sang kekasih yang terlampau luar biasa."Lulu, maafkan aku untuk semuanya. Maafkan aku ...." Tangis Vander pecah dengan deka
Rasa tak nyaman tiba-tiba mengganggu tidur Vander. Seperti sesuatu yang basah dan lembap di ranjangnya kini. Seluruh tubuhnya merasa dingin dan agak risih. Sehingga dengan susah dia perlahan membuka kedua kelopak matanya. Mencoba menahan kantuk agar tak kembali terlelap. Hanya untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.Gelap.Ya memang biasanya kamar miliknya selalu gelap saat tidur. Sepertinya masih larut malam. Lalu ingatan soal Chloe menyeruak di pikirannya. Tentang yang baru saja terjadi dan dia lakukan bersama gadis cantik itu. Semuanya."Chloe?"Vander meraba samping ranjangnya. Kosong. Hanya kelembapan yang dia rasakan di selimut putih tebal itu."Chloe?" Dengan suara parau khas bangun tidurnya Vander memanggil sekali lagi, tetapi tak ada yang menyahut. Sangat h
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat Vander akhirnya turun untuk mengecek mobil miliknya yang akan diperlombakan nanti di Las Vegas. Sudah lama dia tak menjamah mobil antik itu, dan keadaan kendaraan tersebut masih sama saat dia meninggalkannya. Hanya saja kaki-kakinya sudah berubah. Sepertinya Polo atau Robert sudah mengganti sesuai permintaannya. Dimana velg celong antik sudah terpasang bersamaan dengan roda.Soal para montir-montir berbakat itu, mereka semua telah pulang lebih awal. Termasuk ayahnya yang telah balik ke rumah. Meninggalkan Vander dan Chloe yang masih mengamankan diri disana berdua."Wow, ini bukankah .... " Chloe datang dari arah belakang Vander berjalan menuju kap mesin mobil. "Paul?"Mata Vander menyipit tatkala melihat kaos baju hitam kebesaran yang dkenakan Chloe. Itu miliknya."Ya," jawab Vander me
"Oh, sh*t!"Vander mengumpat kecil disaat motor yang dia kendarai akhirnya bergerak pelan dan kemudian berhenti bersamaan mobil lainnya yang terjebak macet di antara gedung-gedung Times Square.Seperti biasanya, Manhattan selalu seperti ini di jam-jam pulang kantor. Sangat mengesalkan.Vander melirik layar besar di sampingnya. Papan iklan itu menunjukkan waktu kini pukul delapan malam lewat. Memasuki akhir senja di New York. Tampak langit sudah mulai menggelap, tetapi ada yang berbeda sepertinya hari ini.Banyak orang yang melongokkan kepalanya menghadap ke depan— ke arah barat dimana matahari akan tenggelam.Vander mengikuti arah pandang orang-orang ke seberang jalan. Melihat ke arah matahari yang tampak segaris dengan jalan. Sangat indah.
Sudah musimnya. Ketika daun-daun mulai meninggalkan rantingnya, terbawa angin dan akhirnya kembali ke tanah. Ya, setinggi apapun kita di dunia ini, pada akhirnya semua akan kembali ke awal. Ke titik mula temu itu. Ke bagian terdasar di mana kita memijak. Itu sudah hukum alam. Tak bisa diganggu gugat.Namun, apakah nasib seorang Vander juga ditentukan oleh alam? Tidak. Dia berhak memilih. Berhak memperjuangkan, dan berhak menang. Kekalahan bukanlah akhir dari semua. Walau terjatuh bisa menimbulkan trauma, tetapi itu bukanlah hal lemah, melainkan sebuah proses untuk menemukan arti dari sebuah kata bahagia."Hey, son, sudah sejam kau di luar. Masuklah."Vander hanya diam di kursi taman yang di dudukinya. Sudah lama ia duduk di halaman belakang rumahnya. Termenung seorang diri sambil melihat langit sore. Tanpa Chloe
"Hey, buddy .... what are you doin' here?"Darah Vander berdesir tatkala sebuah suara menginterupsi tindakannya yang sedari tadi diam - diam mengintai. Sebuah tangan yang menepuknya itu kemudian meremas kuat bahunya, hingga tubuhnya berbalik menghadap sang pemilik suara."Oh, no!" pekik Billy dari pelantang suara yang mereka pakai."It's okay, kids. Keep calm," sahut Dangelo sembari memerhatikan sekitar. Semua tampak aman, "pria itu bukan ancaman."Sedangkan Vander jantungnya sudah mencelos. Ia kira orang yang menciduknya itu salah satu pengawal ayah Chloe, tapi ternyata ...."God! L! Kau rupanya," desis Vander sambil memerhatikan situasi. Tak menyangka teman lamanya itu berada di tempat yang sama."Astaga, Van
Vander dan Louis kembali memasuki aula besar tempat di adakannya pesta. Mata elang Vander mulai menyisir satu per satu pengunjung disana. Namun, tak ada satupun wajah yang dicarinya. Membuat langkahnya panik dengan wajah yang mulai mengeras."Dad? Billy? Andres? Apa kalian mendengarku?" tanyanya sambil memegang alat bantu di telinganya, "seseorang jawab aku! Kalian dimana?!" desisnya saat tak ada juga yang membalas panggilnnya."Shit! Ada yang tak beres," beri tahu Vander pada Louis, "ayah dan kedua temanku menghilang. Terakhir Billy menelfonku saat di kamar tadi. Dan setelahnya .... ""Damn! Kau tak sendiri? Paman Dan juga ikut? Are you kidding me?!""Kau kira aku bodoh tak ada rencana. Rentan bila aku hanya sendiri. Soal ayahku ..., dia sangat keras kepala ingin ikut. Beginilah jadinya! Sia
Mansion Keluarga Zeckar, Spanyol.Langit malam yang biasanya terlihat gelap dan hitam, kini bernuansa terang benderang berwarna - warni. Lucunya bukan karena ada perayaan tahun baru, tetapi bentuk suka cita keluarga Zeckar di malam natal. Setelah sekian lama mereka tidak merayakannya bersama, sekarang semuanya berkumpul. Bahkan turut mengundang semua kerabat terdekat dan yang berhubungan baik.Kasih natal rupanya melingkupi musim dingin tahun ini. Berita bahagia pun menjadi kado istimewah bagi mereka semua. Selain kehadiran anggota baru di keluarga itu, diketahui calon menantu keluarga Zeckar rupanya telah mengandung. Itu artinya ada generasi baru yang menjadi penerus mereka. Sepasang bayi lelaki dan perempuan diprediksi akan hadir pertengahan tahun depan. Menjadi penantian terindah bagi semuanya.Tuan Ramos yang berada di balkon melih
Bring The Autumn Backs Sorak sorai para penonton terdengar membahana seisi ruangan besar tempat peragaan busana yang diadakan oleh salah satu rumah mode terbaik edisi musim gugur ini. Satu per satu model terbaik tampil memamerkan hasil rancangan desainer ternama yang sedang naik daun. Termasuk Chloe, yang merupakan salah satu supermodel muda saat ini. Mimpinya kini terwujud berada satu panggung dengan para senior yang menjadi panutannya. Saat giliran dirinya keluar dan tampil dengan pakaian dalam seksi dengan sayap hitam tinggi di belakangnya, semua yang hadir semakin riuh dan berdiri dari tempat duduk masing - masing. Meneriakkan nama Chloe dan bersorak keras ke arah panggung. Membuat Vander yang berada di deretan kursi VIP semakin jengah dan teramat kesal. Bagaimana tidak? Kekasihnya dan tubuh eksotis yang hanya miliknya itu menjadi bahan
Love in Summer : Deja Vu Satu musim pun berlalu. Kini telah tiba saatnya musim panas. Banyak orang yang menantinya, karena sekarang adalah waktunya liburan. Berbeda dengan Vander yang tak ingin kemanapun saat ini. Ia lebih memilih rumah atau bengkel ayahnya sebagai rutinitas yang baginya tak membosankan. Alhasil kebiasaan itu sedikit membuat jengkel seseorang. Lantas tak jarang Vander sering mendapat keluhan, dan sekarang mungkin lebih dari pada itu. Contohnya, seperti saat ini. Tepat saat ia tiba di bengkelnya pukul sembilan pagi, Vander sudah mendapat amukan dari seorang wanita yang nyatanya telah lebih dulu tiba darinya. Wanita itu mengeluhkan ketidakpekaan Vander yang tak pernah mengajaknya kencan selama ini. Hanya wanita itu saja yang berinisiatif untuk mengajak pergi. Bahkan memberikan hadiah pun tak pernah. Alhasil si wanita dirundung rasa sedih dan gelisah. Khawatir jika seorang V
Spring has sprung (again!) Padahal empat musim rasanya sudah Vander lewati hingga ke titik di mana dirinya mendapatkan segalanya. Sayangnya, semua hanyalah sebatas mimpi. Sebuah imaji yang terbentuk di dalam pikiran dan ingatannya. Sesuatu yang antara dua ia yakini; apakah itu hanya sekedar bunga tidur? Ataukah mungkin ... bisa menjadi nyata? Vander memang mengalami sebuah mimpi sadar atau mimpi lucid tadi malam. Sebuah mimpi yang telah ia rancang akan hadir di ingatannya, tetapi tidak sepenuhnya bisa ia kendalikan. Seperti sebuah skenario. Hanya saja kita bertarung di dalamnya untuk membuat semua menjadi sesuai apa yang diinginkan. Bukan berarti semua terlihat mudah. Vander justru menemukan hal-hal lain yang tak pernah ia sangka. Entah itu si iblis cantik yang menyerupai malaikat. Ada juga manusia berhati setan yang hampir merusak segalanya. &n
East River, New York."Sugar- Honey- Iced- Tea! Damn! What the hell going on, Guys?"Chloe terlihat panik sambil berjalan memegangi perutnya yang besar.Dia baru saja meninggalkan pesta dan turun ke bagian dalam yacht miliknya— dengan penampilan sangat cantik menggunakan gaun panjang khusus ibu hamilnya dan mantel bulu hangat, serta riasan wajah yang memukau. Wanita itu menuntut ke arah sepasang kekasih yang kini tepat berada di hadapannya."Tenanglah, Chloe. Hanya ada kesalah pahaman sedikit. Mike akan mengatasinya. Kebetulan dia masih berada di kota," ujar Yasmine menenangkan. Wanita itu tak kalah anggunnya dengan gaun beludru merah hati dipadu padankan dengan coat panjangnya dan stiletto yang dipakai."It's okay, Ibu hamil. Kejut
"SURPRISEE!!!" Alangkah terkejutnya Vander dan semua yang baru saja tiba. Bunyi terompet, tebaran konfeti dan banyak balon seolah menyerbu mereka begitu memasuki mansion luas Turner. Apakah ini perayaan atas kemenangan mereka? Sepertinya begitu, tapi tidak setelah melihat siapa yang telah menyambut mereka. Itu bukan perayaan spesial dari Tuan Turner seperti yang mereka sangka. Melainkan dari orang-orang yang selama ini mereka rindukan. Semuanya berkumpul di sana tanpa terkecuali. "Welcome back!" sambut semua orang dari dalam. Bagaikan terkena terapi syok, semuanya tak bisa berkata-kata, terperangah dan terdiam di tempat masing-masing. Hingga satu per satu orang berhambur memeluk mereka semua. Barulah tersadar dengan apa yang sedang saja t
"Kau akan menyesal," sumpahnya menatap penuh rasa dendam ke arah Vander. "Aku akan membunuhmu untuk yang kedua kalinya. Kupastikan kau mati. Inilah akhirmu, Zeckar. Berbaliklah, dan lihat siapa yang datang," sambung Trevor sambil menyeringai puas. Vander dengan cekalannya yang masih kuat mencoba untuk menoleh ke arah yang dimaksud, akan tetapi sebuah moncong pistol sudah mendarat di pelipisnya. Begitu ia mendongak ke atas, sebuah seringai ia dapati. "Ay, Vander. Long time no see." _____ Pupil mata Vander membesar tatkala melihat siapa sosok yang berada di belakangnya; Sosok pria bertubuh tegap dengan rambut cepak— sedang menyeringai dengan ganja kering menyala di sudut bibir.
Tak banyak yang bisa dilihat Vander dari posisinya ia berada sekarang. Namun, sepertinya truk trailer yang membawa dia dan kelompoknya itu memasuki kawasan kota mati. Di mana tempat tersebut adalah kota industri otomotif lama yang telah ditinggalkan, dan hanya tersisa bangunan -bangunan tua usang saja saat ini.Dahulu sekali Vander pernah mengunjungi tempat tersebut. Mencari seorang anggota yang kabur membawa aset mereka dan mengeksekusinya sekaligus juga di sana. Di gereja satu-satunya di tempat itu. Dengan cara memasukkannya ke dalam peti dan memakunya hingga tak dapat keluar. Tak lupa ia menembakkan timah panasnya tepat di tengah peti tersebut.Terakhir yang Vander ingat sebelum keluar pintu, ia mendengar jeritan pria tersebut memanggil namanya. Dan setelahnya .... Ia benar-benar tak peduli.Lantas kini Vander kembali. Mencari orang-orang yang masuk
Bunyi deru mesin mobil dan motor mulai terdengar di halaman depan mansion Turner. Vander begitu juga yang lainnya sudah sedia di kendaraan masing-masing. Tepat saat fajar. Mereka memilih waktu subuh karena pasti sang musuh takkan mengira akan diserang pada saat itu. Mereka memutuskan untuk mulai berjalan, karena sekarang adalah saatnya. Earpeace sudah terpasang ditelinga. Memudahkan mereka untuk berkomunikasi jarak jauh. Begitu juga dengan senjata, juga taktik tentunya. Vander sudah duduk dibalik kemudinya. Sesaat dia baru saja berbicara dengan sang kakek. Aneh rasanya mendapat panggilan dari Abuelo-nya itu. Hanya saja Vander mengangkatnya juga. Ternyata kakeknya itu mengkhawatirkan dirinya. Walaupun tak terdengar seperti itu. Hanya saja Vander bisa merasakan yang kakeknya itu rasakan. Tuan