“Wow… Enak banget baunya…” Kata Dinda sambil mengamati makan malam kita berdua yang sudah siap di atas meja makan. “Wait until you taste it, sayang…” Kataku sambil tersenyum dan menuang air dingin ke dalam dua gelas. “Ini kamu tadi masak, atau beli di luar?” Tanya Dinda sambil memelukku dari belakang. “Hanna yang masak… Dia tadi minta aku dateng ke rumah dan ambil lauk buat kita. Soalnya Hanna sama Roy besok pagi udah berangkat ke Singapura. Mereka bakalan stay di sana sampe Hanna melahirkan…” “Ohh…” Dinda melepas pelukannya, lalu berdiri di sebelahku. “Berarti jadinya, gender reveal party-nya bakalan diadain di Singapura?” “Iya…” Jawabku sambil menuang emping yang baru saja kubeli ke dalam toples kaca. “Kamu gimana? Kalo pestanya diadain di Singapura, masih bisa ikut nggak kira-kira?” “Tetep bisa kok…” Jawab Dinda sambil duduk. “Kan acaranya Sabtu. Aku udah kosongin jadwal buat Hanna sama Roy, dan baby mereka…” “Kalo kita berangkat Jumat aja gimana? Kecapean nggak kamu?” “Hmm
“Oke, terus, gimana dong ini? Kita mesti beliin Hanna apaan? Yang nggak ada hubungannya sama berat badan…” "Aku ada ide kita beliin skin care buat ibu hamil. Tapi aku takut Hanna nggak cocok, karena kan ibu hamil itu sensitif dan nggak boleh sembarangan... Hmm, apa ya yang aman buat ibu hamil dan kepake banget?" Dinda kembali termenung dan diam sejenak. “Seinget aku, Hanna itu hobinya masak, jalan-jalan, nonton, baca buku, makan, itu-itu aja kayaknya.” "Kalo kita beli beberapa buku dalam bentuk e-book gimana? Soalnya kalo buku fisik, kasian mereka nanti pas balik ke Indo. Bawaannya pasti banyak." "E-book juga oke. Hanna juga kadang baca buku di tablet kok." "Oke, kalo gitu kita beliin beberapa yang Hanna bener-bener suka." Kata Dinda sambil tersenyum kepadaku. "Aku ada ide buku-buku tentang resep makanan sehat buat ibu hamil dan menyusui. Terus resep buat new born baby. Sama beberapa buku soal parenting gitu. Gimana?" “Itu sih pasti berguna banget, sayang." "Oke. Nanti kita car
Salah satu hal yang paling menyebalkan bagiku saat ini adalah ketika ponsel Dinda berdering di tengah situasi, di mana aku dan kekasihku itu sedang saling menikmati bibir satu sama lain di sofa ruang tengah.“Tunggu bentar. Ini Rangga. Penting.” Kata Dinda dengan cepat kepadaku, sebelum akhirnya dia fokus dengan percakapannya di telepon.Aku mengangguk dan terpaksa mengembangkan senyuman di wajahku. Karena biar bagaimana pun, pekerjaan Dinda juga penting untuknya. Oleh karena itu, aku harus bisa mengalah dan bersabar, ketika Dinda yang awalnya duduk di pangkuanku, sekarang berpindah duduk ke sebelahku.Sembari menunggu Dinda yang sedang mengobrol dengan Rangga di telepon, aku memilih untuk menyantap beberapa potongan buah pepaya, yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Dinda.+Pepaya itu ternyata enak juga ya…Dulu padahal gue benci banget sama buah pepaya, apalagi yang ada di es buah. Eh, ternyata sekarang gue bisa berubah jadi suka banget...Kayaknya gue terpengaruh Dinda juga deh ini
“Iya, oke…” Jawab Dinda sambil mengangguk. “Sayang, aku masih nggak paham." Kataku kemudian. "Jadi kalo buat runway fashion show, bukan kamu yang kepilih gitu? Atau gimana sih cara kerjanya? Aku lumayan bingung…” “Jadi, model itu kan ada beberapa jenis. Karena kebutuhan dari client, sama beauty and fashion industry itu kan beda-beda. Dan dari awal proses casting itu, pasti udah jelas tuh soal kriteria yang dibutuhin apa aja. Kayak misalnya, kalo yang untuk runway fashion show itu, mereka biasanya cari orang yang badannya kayak, eee... kalo cewek… yang dibutuhin itu yang bentuk badannya mirip-mirip kayak Bella Hadid atau Kendall Jenner gitu. Nah, badan aku kan nggak kayak mereka, jadinya aku nggak akan pernah masukin portofolio buat casting runway fashion show. Kecuali kalo casting directors butuh model yang kategori plus size, baru aku bisa apply. Karena kan kalo untuk runway pada umumnya, aku termasuk yang dianggep gendut, jadi nggak bisa sembarangan.” “Hah? Gendut dari mana?” Ta
"Iya..." Kataku sambil mengangguk setuju. "Kita nggak ada yang pernah tau fase hidup dan latar belakang setiap orang itu kayak apa. Jadi memang mesti ati-ati kalo mau bicara. Bahkan sekalipun kita bisa tau tentang kehidupan seseorang, tetep aja kita nggak punya hak untuk sembarangan kasih komentar.""Kindness matters..." Kata Dinda yang lalu tersenyum manis kepadaku.Senyumku mengembang dengan sangat lebar, lalu kedua tanganku bergerak untuk memeluk Dinda dengan erat. “Aku bersyukur banget karena pacar aku itu kamu…” Kataku lalu menghujani kepala Dinda dengan ciuman.“Oh ya? Beneran nih bersyukur? Padahal aku nggak pernah panggil kamu Bubu loh…” Kata Dinda dengan intonasi suara yang santai namun menyindir.+Lah, buset dah, kenapa mendadak malah jadi ngebahas kejadian yang di lift tadi?Bener kan dugaan gue, Dinda pasti sebel banget tadi gara-gara Rika...+“Sayang, aku itu udah negur Rika berulang kali. Tapi dia yang nggak pernah mau dengerin aku. Jadi ya udah, aku biarin aja. Biar d
Ketika aku ke luar dari kamar mandi, aku mendapati Dinda yang sudah duduk menyandar di tempat tidur sambil fokus dengan ponselnya. Aku langsung bergabung dengan Dinda di tempat tidur dan memeluknya dari samping. “Sayang, jangan ngambek dong… Aku beneran nggak ada apa-apa sama Rika.”“Ya, sekarang mungkin memang bener kali nggak ada apa-apa.” Kata Dinda sambil meletakkan ponselnya di atas nakas. Dia lalu segera berbaring dan membalikkan badannya untuk memunggungiku.+Buset dah…Barusan maksudnya apaan coba?Jadi menurut Dinda, gue bakalan selingkuh sama Rika gitu?Atau jangan-jangan dia udah tau soal Rika sama gue yang dulu?Gue mesti gimana ya ini?+“Sayang…” Kataku yang kemudian berbaring di sebelah Dinda dan memeluk tubuhnya dari belakang. Aku masih terdiam. Terus terang, aku tidak tahu harus berkata apa lagi kepada kekasihku ini.+Duh, buset…Ngomong apa ya gue enaknya?Kalo gue nggak ati-ati bisa bahaya juga masalahnya...+“Kamu, nangis ya?” Tanyaku beberapa detik kemudian kar
“Gimana, Ngga? Ada kabar apa lagi?” Tanyaku secara langsung, ketika Rangga baru saja duduk di hadapanku dan Diandra.Rangga menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Tadi Peng ngabarin gue, katanya Bu Henny baru aja resmi dipecat. Dan semua bukti kecurangan yang Bu Henny lakuin juga udah dipegang sama orang-orang pusat. Jadi untuk sementara ini, project yang khusus untuk Indonesia bakalan ditunda karena pihak ANC harus fokus ngurusin PR dulu. Mereka semua nggak mau kalo ANC sampe kena berita gimmick atau skandal murahan yang nggak jelas.”“Terus, bakalan tetep launching nggak?” Tanyaku sambil menatap Rangga dengan sedikit khawatir.“Kalo launching sih tetep jalan sesuai jadwal. Kalo itu mah nggak perlu lo raguin lagi. Tim ANC semuanya profesional dan gerak cepet kok. Cuma kalo untuk project yang di Indonesia ya, mau nggak mau, mesti nunggu sampe semuanya diselesaiin dulu.”“Jadi itu artinya kontrak kerja gue masih aman kan ya?”“Aman!” Jawab Rangga dengan intonasi yang penuh percaya diri
“Tuh ratu iblis beneran jago banget tau buat playing victim dan muter balik fakta jadi sedemikian rupa. Biar seolah-olah dia itu yang paling korban, dan kita-kita ini yang udah jahatin dia banget! Mana netizen plus enam dua juga sukanya main ikut campur aja lagi, tanpa tau duduk perkaranya dulu kayak gimana! Nyebelin banget kan tuh siluman betina? Minta gue cabein tuh mulutnya yang berbisa!”“Tapi, Ngga… lo yakin kan ya ini, kalo Elisa beneran belum sebut nama kita-kita semua?” Tanya Diandra kepada Rangga.“Sejauh ini dan yang gue tau, tuh ratu siluman sih belum ada mention nama kita semua yang terlibat. Tapi dia udah berhasil menggiring netizen untuk semakin penasaran dan cari tau lagi siapa aja yang udah terlibat di proses casting kemaren.”“Aduh, buset… Kenapa sih di dunia ini harus ada orang yang kayak gitu…” Keluhku dengan suara pelan. “Hidup nggak pake drama aja udah ribet banget loh sebenernya…”"Buat orang toxic dan suka cari perhatian kayak gitu, kalo nggak ada drama mah, ngg
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…