Aku menimbang perkataanku selanjutnya terlebih dahulu. Ingin rasanya aku mengutarakan semuanya kepada Dinda, tapi aku masih tidak yakin jika sekarang adalah waktu yang tepat. Aku juga memiliki ketakutan, namun ketakutanku saat ini adalah mengenai Dinda yang menjauhiku. Kalau aku tergesa-gesa mengungkapkan perasaan cintaku, aku takut, Dinda tidak akan mau percaya begitu saja kepadaku.“Memang bisa?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang penuh selidik sekali lagi.“Bisa. Kenyataannya bisa.” Jawabku dengan nada suara yang cukup serius.Kita masih saling menatap dan terdiam sejenak. Sebenarnya, aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku sekarang juga. Namun, aku masih merasa bahwa situasinya belum terlalu berpihak kepadaku.+Ini gimana caranya, biar gue bisa ngungkapin semuanya ke Dinda sekarang?Dia keliatannya kayak masih belum siap sama gue…Apa Dinda masih butuh waktu ya?Gue pengen jujur, tapi gue juga nggak mau terkesan maksa banget ke Dinda.Ini gimana caranya, biar gue bisa ngeya
“Kita sepakat nggak lepas kondom, biarpun aku rutin minum pil tanpa sepengetahuan dia. Alesannya karena… aku takut hamil. I know, pil kontrasepsi sebenernya udah cukup ngebantu biar aku nggak hamil. Tapi, aku sengaja double protection aja.”“Kamu nggak mau punya anak?” Aku berusaha mengatur intonasiku supaya tidak terdengar terlalu kesal, karena cemburu dengan mantan kekasih Dinda tersebut.“Bukan nggak mau punya anak. Cuma ya, aku nggak mau sembarangan hamil. Apalagi sama laki-laki yang aku tau sendiri, dia belum siap punya anak.”+Lah? Yang waktu itu kita?Gue belum sempet bilang ke Dinda kalo someday, gue kepengen punya anak, tapi kita tetep lanjut terus tanpa pengaman…+“Jadi, kalo si laki-laki udah siap punya anak, kamu nggak masalah kan buat hamil?”“Ya, tergantung…”“Tergantung apa?”“Aku perlu pertimbangin, apakah dia bisa jadi orang tua yang baik dan penyayang buat anaknya… Aku yakin, aku bisa, dan siap jadi ibu yang baik. Biarpun tentu aja, aku nggak perfect. Tapi at least
Pagi ini, aku terbangun karena suara alarm yang sebelumnya sudah diatur oleh Dinda untuk berbunyi tepat pada pukul empat pagi, dini hari. Aku langsung meraih ponsel Dinda yang masih tergeletak di atas tempat tidur, lalu segera kumatikan alarm tersebut, sebelum Dinda terbangun dari tidurnya.Mataku terbuka lebih lebar lagi dan aku diam sejenak, sambil mengamati Dinda yang masih tidur nyenyak di sampingku. Tangan kanannya berada tepat di atas perutku, dan kaki kanannya menindih kedua kakiku yang berbaring lurus di sebelahnya. Sungguh, bagiku, salah satu pemandangan yang sangat indah adalah, ketika bangun tidurku disambut dengan pemandangan seorang perempuan yang sangat aku sayangi, sedang tertidur nyenyak di sampingku, dan dengan posisi memeluk tubuhku.“I love you…” Bisikku sambil melirik ke bawah, ke arah Dinda. Senyumku mengembang, dan tangan kananku mengelus tangan kanan Dinda yang ada diperutku.+Suatu hari nanti, kalau momennya udah tepat, gue akan bilang ke Dinda kalo gue udah j
“Hmm... Jam berapa ini?” Tanya Dinda yang terdengar sedikit tidak jelas dan parau.“Udah jam empat lewat.”“Hmm.”“Jadi gimana?” Tanyaku sambil memandangi Dinda yang masih saja terpejam dan tidak mau beranjak sama sekali. "Mau pulang hari ini nggak?"“Hmm...""Dinda?""Hmm..."Aku kemudian menghela nafas secara perlahan. Mendadak, aku harus segera memikirkan berita-berita korupsi dari seluruh sistem pemerintahan yang ada di Indonesia. Karena suara Dinda yang khas ketika dia bangun tidur, ditambah pelukannya yang semakin erat, dan kulitnya yang menempel di kulitku secara langsung, benar-benar membuatku ingin melanjutkan kegiatan kita berdua sebelum tertidur pulas.“Din?” Suaraku mendadak berubah menjadi sedikit lebih serak. Aku berdeham pelan, lalu diam sebentar. “Dinda?”“Hmm.”“Ini kalo kamu nggak bangun, bisa-bisa aku yang bangun lagi loh...”“Hmm.”“Din?” Panggilku lagi karena Dinda masih tidak bergerak sedikit pun. “Jadi mau pulang nggak?”“Pulang...”“Nggak mau mandi dulu?”“Yaaa
“Kamu nggak lagi becandain aku doang kan ya ini?”“Nggak, Dindaku sayang… Aku masih inget semua yang kamu bilang kemarin. Dan aku juga serius. Aku sayang sama kamu, dan aku mau kita pacaran..."Dinda menghela nafas pelan, kemudian termenung sejenak. Bagiku saat ini, satu detik saja terasa lebih lama daripada biasanya. Menunggu Dinda yang sedang diam, dan menunggu jawaban, atau kepastian dari Dinda, rasanya sudah lebih dari cukup untuk membuatku gelisah.Namun, aku memilih untuk tetap diam saja, dan pasrah menunggu Dinda. Aku ingin Dinda membuat keputusan berdasarkan hati dan pikirannya sendiri. Bukan karena aku yang dengan tidak baik mempengaruhi dia. Sekalipun aku sangat menginginkan Dinda di hidupku, tetap saja, aku lebih suka untuk tidak memaksanya. Aku ingin selalu bisa menghargai Dinda sebagai seorang perempuan yang sangat aku cintai.Dinda kembali menatap kedua mataku lagi. "Aku..." Dia kemudian menghela nafas pelan. "...Kalo, aku bilang nggak mau, itu artinya, aku udah bohong k
Kedua mata Dinda semakin berair, seperti hendak menangis, namun masih berusaha dia tahan. “Kalo aku nyakitin kamu gimana? Atau malah sebaliknya? Atau, gimana kalo kita malah saling nyakitin satu sama lain?”“Dinda… Aku nggak bisa janjiin ke kamu, hubungan yang isinya mawar, melati, atau semua taman bunga buat kamu… Karena di dalam hidup ini, pasti ada titik di mana kita akan hadapi masalah. Bisa aja, salah satu di antara kita berakhir marah dan kecewa. Atau malah kayak yang kamu bilang tadi… saling nyakitin. Aku sadar, apa pun bisa terjadi di masa depan. Tapi, gimana kalo kita bikin kesepakatan bareng?”“Kesepakatan soal apa?” Tanya Dinda dengan suara pelan dan mata yang masih berkaca-kaca.“Kalo someday, kita punya masalah, apa pun itu masalahnya… aku mau, kita berdua cari jalan keluarnya bareng-bareng. Kita hadapi sama-sama, dan kita selesaiin sama-sama.” Perkataanku barusan, akhirnya membuat Dinda membiarkan air matanya untuk mengalir di kedua pipinya.“Dinda…” Aku menghela nafas d
“Halo… Ada apa, Lista?”-Percakapanku dengan kekasihku mendadak harus terhenti sementara, karena ponselnya tadi berdering. Aku kembali menikmati tuna cheese whole wheat panini, sambil sesekali mengamati Dinda yang sedang duduk di depanku.-“Iya, oke, iya… iya, nggak apa-apa…”“Tenang aja, nggak apa-apa. Aku udah di airport kok ini…”“Iya, nggak apa-apa, Lista... Yang lain masih pada tidur kah?”“Ohh, oke… Iya… Oke… Iya, bisa… Udah aku tanda tangan sih kemarin… Iya, udah semua kok. Nggak ada yang ketinggalan…”“Oke… Hmm, nanti tolong bilangin ke Rangga ya, aku ke kantor hari Kamis… Iya, oke… Thank you, Lista…”-“Siapa?” Tanyaku ketika Dinda sudah mengakhiri panggilan teleponnya.“Ini, rekan kerja. Temen aku di agency. Dia minta maaf karena bangun kesiangan dan nanyain aku pulangnya gimana. Soalnya kan biasanya yang ngurus taksi itu dia. Dan karena aku pulang duluan, jadinya diaturnya memang beda sendiri.”“Ohh… Pantesan… Aku udah sempet mikir kenapa kamu pulang sendirian, padahal ka
“Sumpah ya, lo nyebelin banget jadi orang... Ditelepon berkali-kali nggak ada yang diangkat. Dipencet juga, lama banget bukannya. Pegel tau kaki gue nungguin lo buka pintu…”+Aduh…Hanna kalo nggak lagi hamil, udah gue suruh ke luar, dan gue larang masuk lagi…Demen amat gangguin orang tidur dah…Ini si Roy juga kemana lagi? Kenapa istrinya bisa balik lagi ke kamar gue?+“Salah lo sendiri, Han… Ngapain lo dateng pas gue lagi tidur?” Tanyaku sambil menguap.Hanna menatapku sambil menggelengkan kepalanya, seperti tidak habis pikir dengan kelakuanku. “Udah gue duga. Udah gue duga.”+Ngomel apaan lagi, ibu-ibu hamil satu ini?+“Roy ada di mana?” Tanyaku sambil menguap lagi, dan berjalan ke arah kulkas mini untuk mengambil kopi hitamku.“Lagi beli makan. Lumayan ngantrinya, jadi gue ke sini duluan deh.”Aku langsung menoleh ke arah Hanna. “Tumben lo nggak ikutan makan?”Hanna mendengus pelan. “Kan Roy lagi pesen. Trus, nanti di bawa ke sini, jadi kita bisa makan berempat bareng-bareng.
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…