“Gue bakal belajar kok Lisa sayang, tapi untuk kali ini nggak dulu. Kali ini saja kok,” sambil membereskan barang-barangnya dengan cepat dan mengajak Rey untuk ikut dengannya. “Sekarang juga ?” “Lo nggak mau ikutan ?” “Tidak sama sekali, Yukk pergi.” “Hei kalian mau kemana sih ?” tanya Lisa kebingungan karena baru sebentar memulai belajar tapi sudah ditinggalkan oleh kedua temannya itu. “Dekat kok. Gue cuman mau ke lantai atas aja. Mau ke cafe internet. Cuman satu kali pertandingan aja Lis. Lo yakin nggak mau ikutan main ? tumben lo. Biasanya kalau dengar kata game langsung melotot tuh mata.” “Nggak deh. Gue mau belajar dulu. Main game nanti aja kalau udah balik di rumah,” tolak Lisa pelan. Namun jauh di dalam hatinya ia sudah sangat bosan belajar dan ingin segera pergi dari tempat itu namun ia tidak ingin menggagalkan rencananya untuk belajar hari ini. rencana yang sudah sejak lama ia pikirkan. “Menurut lo gue bisa menang nggak hari ini Rey,” tanya Jenni. “Harusnya sih bisa Je
“Oke deh entar gue kesana, tapi gue baru bisa ke sana sekitar jam 11 yah soalnya mau temanin Mama gue beres-beres rumah dulu. “Oke sip. Sampai ketemu di sana yah. Selamat tinggal. " Tuuttt tuuttt tuuttt. Ketika panggilannya terputus Lisa pun bertahan kembali ke tempat tidurnya dan melanjutkan ritualnya yang sempat tidak lagi karena ada panggilan telepon dari Jimmy. “Harusnya hari ini gue bisa liburan dan tidur enak tanpa beban masalah belajar tapi Jimmy lagi-lagi mengganggu hariku. Tapi nggak papa deh asal bareng dia aja gue rela, ”batinnya. Lisa pun akhirnya melanjutkan kembali tidurnya hingga tertidur dengan sangat pulas. “Ma Lisa pergi dulu ya,” ucap Lisa sambil mengambil tasnya di tangga. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 saat Lisa meninggalkan rumah. Dengan tergesa ia segera meninggalkan rumah. “Kamu kok buru-buru amat sih sayang, bukannya hari ini lagi libur yah?” teriak Mamanya yang sedang sibuk membersihkan rumah. “Lisa lagi ada janji hari ini ma. Hari ini jadwal belaj
“Nggak kok,” jawab Lisa sambil memperlihatkan lembar ujiannya yang kini ada di atas meja. Di sana jelas terlihat jika dia mendapatkan nilai 75 untuk ujian kali ini. Teman-temannya kompak melihat ke arah kertas ujian Lisa. Sehingga membuat Lisa jadi tak enak hati dan akhirnya diapun segera menyembunyikan kertas ujiannya itu ke dalam tasnya. “Semalam gue nggak belajar dengan baik kok,”ucap Lisa gelagapan. “Kata siapa ? Lo kan kemarin belajar bareng kita,” ucap Jimmy. “Oh yah,” Jenni kaget dengan hal yang dikatakan oleh Jimmy barusan. “Jadi lo sekarang mengkhianati gue yah dan lebih memilih pergi belajar bersama anak-anak pintar, gitu ?” Mendengar ucapan Jenni membuat Lisa menjadi sedikit emosi. “Hei sebenarnya itu yang berkhianat siapa sih ? bukannya lo yang ninggalin gue waktu itu dan lebih milih pergi bermain game di cafe internet perpustakaan.” “Tentu saja kita yang mengkhianati lo duluan kok Lis,” ucap Rey sambil tersenyum kaku karena merasa dirinya memang salah waktu itu. “Oke
“Gue pasti kelelahan akhir-akhir ini. Terkadang gue nggak merhatiin guru kalau lagi belajar karena kerap kali ngantuk saat pelajaran berlangsung.” Ucap Rose. “Lo ?” “Iya.” “Waktu kemarin aja gue sempat keliru soal materi yang di bawakan oleh pak Edo. Di tambah lagi hasil ujian gue tadi yang menurun dari biasanya,” ucapnya sebari menghembuskan napas secara perlahan. “Oh iya tumben hari ini lo langsung ke perpustakaan. Bukannya lo kemarin bilang ke gue kalau mau ke tempat les untuk ketemu sama bu Dea.” Jimmy melipat ujung kertas bukunya dan menulis “penting” sebagai penanda untuk iya pelajari lagi. Kemudian iya memperhatikan wajah Rose dan menjawab pertanyaannya tadi. “Gue khawatir aja. Gue perhatikan akhir-akhir ini lo kayaknya terlalu memaksakan diri saat sedang belajar .” “Gue kasi tahu nih, lain kali lo jangan kayak gitu. Please berhenti buat menggoda semua orang. Okey,” melihat ke arah Jimmy sambil menunjuknya dengan pulpen, seakan memberi peringatan. Jimmy tertawa mendengarn
“Selamat datang di toko kami dan selamat berbelanja,” ucap salah satu pegawai toko alfamart yang di singgahinya. Rose berjalan mengelilingi lemari-lemari yang ada. Ia mengeluarkan catatan kecil yang ada di tasnya. “Daftar kegiatan, 1. Makan roti di pagi hari, 2. Mengikat rambut, 3. Memeriksa catatan pelajaran, dsb.” Rose memeriksa semuanya untuk memastikan tidak ada yang terlewat, agar tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Setelah memeriksa catatannya ia pun berjalan melihat ke sana sini. Hingga akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Sebungkus roti dengan selei meses coklat di atasnya. Diambillah satu bungkus roti itu lalu menuju ke kasir untuk membayar. Alex memperhatikan rose yang datang membawa makanan belanjaan kepadanya. Lagi dan lagi ia bertemu dengan teman-teman adiknya. Karena beberapa pekan ini ia selalu memiliki jadwal sift pagi, hal itu membuatnya semakin sering bertemu dengan teman adiknya yang kerap kali datang berbelanja di tempat itu di waktu pagi seperti sekarang
Kelas seketika ramai. Anak-anak sibuk berlarian menuju tempat duduk masing-masing. Suara Pak Ardi benar-benar membuat siswa mendadak tegang. Lelaki itu berseru dengan wajah tanpa ekspresi, menatap tajam Jenni yang tidak juga duduk di kursinya. “Jenni, kembali ke tempat dudukmu.” “Baik Pak,” ucap Jenni seraya mengambil pulpen yang tersimpan di meja Lisa “ Liss, semoga berhasil,” lanjutnya lagi. “Kalian sudah belajar bukan ?” Pak Ardi membagikan kertas ulangan di masing-masing meja paling depan. “Belum Pak” ucap salah seorang siswa. “Lalu kalau begitu apa yang akan kalian lakukan dengan ujiannya. Rose mendadak teringat materi yang belum sempat di pelajarinya tadi pagi. Pikirannya melayang tak karuan. “Lagi lagi itulah nasib sialnya,” ucapnya dalam hati. “Oper kebelakang.” Setelah selesai membagikan soal-soal di kursi bagian depan. Rose mendapatkan soal ujian yang dibagikan temannya. Dengan gelisah dia melihat soal-soal ujian itu. Tepat di halaman depan, tertulis jelas soal yang
Kini ujian telah benar-benar berlalu. Banyak cerita suka dan duka yang membekas di sana. Namun di antara semua yang berlalu itu tentu takkan bisa kembali lagi. Hanya bisa di simpan di dalm ingatan untuk kemudian menjadi sebuah pengalaman hidup. Kita, takkan pernah percaya betapa hebat dan kuatnya kita, sebelum melewati segalanya sendiri. Dan kini Lisa percaya bahwa pelajaran terbaiknya selama menjadi manusia adalah pengalaman hidup. Rey baru saja keluar dari ruang guru, baru saja habis menemui guru olahraga. Satu minggu kedepan akan diadakan PERSENI sekolah. Sekumpulan perlombaan olahraga antar kelas. Kali ini Rey mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi futsal. Rey tersenyum entah kepada siapa. Ia berjalan pelan sambil bersiul ria menuju kelasnya. Ternyata belum banyak siswa yang datang. Dengan entengnya ia menarik kursinya dengan menggunakan kaki kanannya. Lalu kemudian duduk. Dengan senyum manisnya Rey memutar punggungnya dan melihat ke arah suara yang memanggilnya. Tampak jelas di
Dengan langkah cepat Vie berjalan menuju ruang guru. “Permisi pak!” ucapnya setelah membuka pintu dengan pelan. Sambil melihat ke sekeliling ruangan, ia lalu berjalan menuju meja guru olahraga di mana guru yang sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di atas meja. “Hei, ada perlu apa ?” tanya guru olahraga yang tengah sibuk menulis laporan ujian siswa. Dengan penuh keyakinan Vie akhirnya mengucapkan kalimat yang sudah lama dikonsepnya ketika dalam perjalanan menuju ke ruang guru itu. “Hapus namaku dari daftar tim futsal Pak!” ucapnya dengan begitu terburu-buru. Hening. Guru itu hanya memandangi Vie dengan ekspresi kebingungan. Begitu lama berpikir hingga guru itu memberikan respon. “Ya nggak bisa lagi, harusnya sebelum di kumpulkan itu harus di hapus jika memang tidak mau ikutan. Daftrar pemainnya sudah bapak kumpul ke panitianya. Memang apa masalahnya dengan itu ?” tanya guru penasaran. “Jadi saya harus ikut pertandingan pak ?” ucapnya dengan nada yang semakin menurun. “Iy
Hari jumat adalah hari nerakanya bagi siswa dan siswi SMA NUSANTARA. Di sekolah telah ditetapkan aturan baru. Untuk hari jumat di adakan kegiatan bersih-bersih. Atau istilah kerennya adalah jumat bersih. Setiap siswa dan siswi di haruskan untuk membersihkan kelas dan juga halaman sekolah sebelum melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler sekolah.Dan untuk hari jumat kali ini Rey dan juga Vie mendapatkan tugas untuk membersihkan kelasnya. Keduanya tengah memegang sapu di tangannya masing-masing. Dengan telaten Vie menyapu lantai kelasnya itu. Rey pun mencoba untuk membantu.Melihat Vie yang begitu semangat membersihkan membuat sikap jail Rey bangkit. Dengan jailnya ia berjalan mengikuti cara berjalan doraemon, mendekat ke arah Vie dan menunjuknya dengan menggunakan sapu yang di pegangnya tadi.“Sapu kejujuran. Pertanyaan kali ini terkait dengan klub basket. Yahh pemain fenomenal Vie. Gue dengar lo berubah pikiran yah dengan turnamen yang gue bilang tempo hari ? apakah itu benar adanya ?”Vi
Jenni menyantap mie ayam pesanannya. Hari ini ia benar-benar sangat lapar karena kelelahan berolahraga tadi pagi dan belum sempat makan. Istrahat kali ini ia hanya bersama dengan Rose. “Lihatlah, Lisa lagi lagi melewatkan makan siangnya dan hanya tertidur. Gue jadi sebbel sendiri kalau liat dia akhir-akhir ini tahu nggak Rose. Bukan apa-apa sih tapi gue khawatir dia kenapa-napa.”“Itu karena dia kelelahan aja Jen.”“Bukan kelelahan Rose tapi karena dia terlambat tidur dan harus bangun pagi-pagi. Dia seharusnya tidur terlambat dan datang terlambat juga. Jadi tidak mengantuk gitu di sekolah.”“Tapi Lisa kan nggak mau telat lagi Jenn.”Tidak, tidak se...”Pembicaraan Jenni berhenti ketika ada seorang siswa lelaki yang datang menghampirinya.“Jenni!”“Apaan sih, bikin kaget aja lo.”Lelaki itu lantas duduk di kursi samping tempat duduk Rose, berhadapan dengan Jenni.“Ini tentang temanmu itu lo.”“Siapa ? dia ?” menunjuk Rose dengan matanya.“Bukan, bukan dia. Temanmu yang satu lagi.”“Ohhh
"Kenapa tidak ?”“Pokoknya tidak ada alasan apapun,” ucap Vie tegas.“Ayolah aku mohon,” ucap Rey dengan wajah yang memelas.“Gue nggak mau pergi Rey. Lo maksa mulu yah.”“Lo kan udah janji sama gue Vie. Gimana sih. Lo ngeselin deh lama-lama,” ucap Rey kesal dengan sikap acuh Vie kepadanya. “Untuk memberitahu gue kenapa lo main basket sendirian,” lanjutnya.Vie menoleh, melihat ke arah Rey. Menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Kapan gue berjanji.”Ucapan Vie barusan sontak membuat Rey melihat ke arah Vie dengan ekspresi kaget. Matanya melotot sempurna. “Astaga! Lihatlah orang ini. Sekarang malah pura-pura lupa segalanya.” Rey menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan tingkah Vie.“Gue sebenarnya nggak suka tim,” jawab Vie akhirnya.“Apa ?”“Gue nggak suka tim. Ada batasan dan semuanya benar-benar rumit. Lo harus siap untuk bersaing diantara teman lo sendiri,” ucapnya sambil terus fokus dengan buku yang terletak di mejanya.“Hei, itu hanya sebuah klub. Itu bukan dunia mereka sendiri.
Pukul 07.15 pagi, Lisa sudah berjalan memasuki gerbang sekolahnya. Sedangkan Vie menunggunya di lapangan. Berbeda dari hari sebelumnya, kali ini ia datang lebih awal. Malahan, sangat awal dari biasanya. Berkat Vie yang menerornya pagi-pagi sehingga Lisa yang biasanya telat bangun hari ini dapat datang ke sekolah lebih cepat dari sebelumnya.Dengan sedikit lari-lari kecil, ia menghampiri Vie yang tengah duduk di kursi taman sekolah. Menyadari keberadaan Lisa, membuat Vie bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menyelaraskan langkah dengan Lisa.Kali ini Vie tidak langsung menuju ke kelasnya. Ia mengikuti Lisa yang masuk ke kelasnya. Meliriknya yang sembari duduk di kursi. Lisa yang menyadari dirinya sedang diperhatikan, akhirnya mencoba melihat ke arah lain. Bertingkah biasa saja.Lima menit telah berlalu, namun Vie tetap saja bolak balik di dekat papan tulis kelasnya. Mencoba melihat-lihat isi ruangan itu. Dan jika tak di perhatikan oleh Lisa, ia mencuri-curi pandang hanya untuk meny
“Mungkin akan lebih keren lagi jika kalian berdua dicap sebagai siswa yang putus sekolah,” Rey pun ikut nimbrung. “Benar juga, putus sekolah kayaknya terdengar bagus, Rey. thanks yah untuk saran yang lo kasih buat kita,” ucap Lisa sambil menunduk melihat ujung sepatunya. Rey menunjuk Lisa dengan telunjuknya, melihat ke arahnya. “Kayaknya lo harus berangkat sekolah dengan Vie. Dia kan tidak pernah terlambat. Bahkan sekalipun tidak pernah.” Menyadari dirinya sedang disebut-sebut sontak membuat Vie menoleh ke arah Rey dengan mata melotot. Namun Rey hanya tersenyum manis seolah tak membuat kesalahan sedikit pun. “Oh ya ? emang iya Vie ?” tanya Lisa penasaran sambil menatap Vie dengan begitu serius, seolah menunggu jawaban darinya. Vie hanya menganggukkan kepala, malu dengan tatapan mata Lisa barusan. “Pak disiplin gitu lo,” puji Rey lagi. pelan-pelan ia menepuk bahu Vie. Lisa yang mendengar hal itu hanya tertawa kecil, lucu melihat Vie yang tampak begitu malu-malu padanya. Sungguh l
Pertanyaan Jenni sontak membuat Vie terdiam sejenak. Mencoba mencari alasan yang tepat. “Komputer di rumah lagi di pake sama kakak gue, makanya gue akhirnya memutuskan untuk main di sini aja.” “Lo punya kakak ?” ucap Rey dan juga Jenni kompak sambil melototkan matanya. Kaget. Vie berpaling, melihat ke samping menyaksikan temannya yang begitu heboh. Dengan lugunya Vie menganggukkan kepala. “Ya,” jawabnya. Setelah mendapatkan jawaban, Rey akhirnya mengadari tindakannya barusan. Mendadak ia baru ingat kekesalannya kepada Vie, dengan cepat ia beralih fokus ke komputernya dan melanjutkan permainan. “Ehem.” Menyadari kecanggungan antara keduanya. “Vie lo masuk yah, udah gue undang.” “Sudah gue bilang, biar gue yang kerumah tingkat dua itu,”ucap Rey kesal. “Pokoknya siapa cepat dia dapat,” Jenni membalas dengan ketus. “Oke pistol mitraliur.” Sambil tertawa tanggung Rey kembali mengejek Jenni. “Lo suka sampah yang seperti itu ?” ucapnya. “Lalu, apa yang udah lo temuin.” Sambil menoleh
“Sorry yah karena gue sudah memasukkan orang yang begitu amat hebat ke dalam tim. Gue selalu membiarkan kalian tiap kali menjailiku...” Belum sempat Rey menyelesaikan ucapannya, Vie langsung mendonggakkan kepalanya, pandangannya melihat ke arah Rey. “Lo pikir gue bakal diam aja ? Lo nggak bisa dengar yah ? Diam bangsat,” teriak Vie sambil berjalan maju mengampiri Rey dan menarik kerah bajunya dengan kasar. Baru saja Vie akan melayangkan tinjunya ke wajah Rey, tiba-tiba guru olahraga datang menengahi perkelahian itu. “Hei apa yang kalian lakukan ?” teriaknya sambil berlari memisahkan Rey dan juga Vie yang sudah emosi. “Ada latihan futsal, berkemaslah. Ini bukan tempat untuk uji kekuatan tinju,” lanjutnya. Vie akhirnya meninggalkan ruangan itu, Jimmi mengejarnya dari belakang. Sedangkan Rey bersiap untuk latihannya. Jimmi berlari menghampiri Vie yang sedang duduk di taman sekolah sambil meminum kopi dinginnya. Dengan senyuman khasnya ia mencoba menghampiri, duduk di samping Vie
Dengan langkah cepat Vie berjalan menuju ruang guru. “Permisi pak!” ucapnya setelah membuka pintu dengan pelan. Sambil melihat ke sekeliling ruangan, ia lalu berjalan menuju meja guru olahraga di mana guru yang sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di atas meja. “Hei, ada perlu apa ?” tanya guru olahraga yang tengah sibuk menulis laporan ujian siswa. Dengan penuh keyakinan Vie akhirnya mengucapkan kalimat yang sudah lama dikonsepnya ketika dalam perjalanan menuju ke ruang guru itu. “Hapus namaku dari daftar tim futsal Pak!” ucapnya dengan begitu terburu-buru. Hening. Guru itu hanya memandangi Vie dengan ekspresi kebingungan. Begitu lama berpikir hingga guru itu memberikan respon. “Ya nggak bisa lagi, harusnya sebelum di kumpulkan itu harus di hapus jika memang tidak mau ikutan. Daftrar pemainnya sudah bapak kumpul ke panitianya. Memang apa masalahnya dengan itu ?” tanya guru penasaran. “Jadi saya harus ikut pertandingan pak ?” ucapnya dengan nada yang semakin menurun. “Iy
Kini ujian telah benar-benar berlalu. Banyak cerita suka dan duka yang membekas di sana. Namun di antara semua yang berlalu itu tentu takkan bisa kembali lagi. Hanya bisa di simpan di dalm ingatan untuk kemudian menjadi sebuah pengalaman hidup. Kita, takkan pernah percaya betapa hebat dan kuatnya kita, sebelum melewati segalanya sendiri. Dan kini Lisa percaya bahwa pelajaran terbaiknya selama menjadi manusia adalah pengalaman hidup. Rey baru saja keluar dari ruang guru, baru saja habis menemui guru olahraga. Satu minggu kedepan akan diadakan PERSENI sekolah. Sekumpulan perlombaan olahraga antar kelas. Kali ini Rey mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi futsal. Rey tersenyum entah kepada siapa. Ia berjalan pelan sambil bersiul ria menuju kelasnya. Ternyata belum banyak siswa yang datang. Dengan entengnya ia menarik kursinya dengan menggunakan kaki kanannya. Lalu kemudian duduk. Dengan senyum manisnya Rey memutar punggungnya dan melihat ke arah suara yang memanggilnya. Tampak jelas di