Matahari sudah bersinar sedikit tinggi, perlahan gorden berwarna putih tersebut terbuka lebar membiarkan cahaya masuk ke dalam kamar. Galen mengernyit saat merasakan cahaya terang membuat matanya silau, kemudian mata hitam itu terbuka lebih lebar.
Nasya berdiri dengan senyuman manisnya, wanita itu mendekati Galen dan merapikan bantal yang ia pakai.
"Selamat Pagi Galen," sapa wanita itu riang, "Jika kau lapar. Lebih baik makan dulu, aku sudah memasak tadi."
"Hm." Pria itu hanya bergumam tak jelas. Dia bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi, berbeda dengan Nasya yang melihat suaminya gemas.
Tak lama kemudian Galen sudah siap dengan pakaian santai, dia berjalan menuruni tangga menuju meja makan. Walaupun biasanya ia tak sarapan, setidaknya sekarang dirinya harus menghormati Nasya yang sudah membuatkan ia makanan.
Matanya melihat sang istri yang menatap dirinya heran. Dan dia sudah tahu pa
Suara jangkrik menemani malam hari Galen, lelaki itu duduk sambil menyeduh kopi yang Nasya buat. Pikirannya melayang ketika melihat sebuah bingkai foto besar yang terletak di ruangan yang bisa di sebut ruang kerjanya.Helaan napas panjang keluar dari mulut Galen, tangannya kembali terulur untuk mengambil kopi yang terletak di atas meja."Entah kenapa untuk melupakan dirimu sangat susah, di mana kamu sekarang? Apa kamu tak merindukanku?" tanya lelaki itu sembari menatap bingkai foto besar tersebut. Namun, tak lama kemudian ia langsung menggelengkan kepala pelan, "Hah! Apa yang baru saja aku katakan? Kenapa aku harus mengingat nya lagi, padahal sudah ada Nasya menemani ku sekarang."Cangkir yang berisi kopi tadi sudah tandas di teguk oleh Galen, ia menolehkan kepala pada pintu ketika mendengar suara ketukan yang khas, dan dapat di pastikan bahwa itu adalah Nasya. Istrinya yang sedang dalam masa mengidam parah, selalu meminta hal-hal y
Sudah enam bulan lebih sejak Galen dan Nasya menikah, walaupun pada awalnya Galen tak mempedulikan Nasya, namun lambat laun keduanya tampak bisa menerima kehadiran masing-masing.Dan hari-hari mereka di penuhi dengan suka, dari belajar bersama, mengecek perkembangan bayi yang di kandung oleh Nasya bahkan sering menghabiskan waktu untuk bermain ke taman saja. Namun, entah kenapa Nasya merasakan akan ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. Layak nya Pagi ini Ibu Galen sudah datang ke rumahnya dengan wajah yang begitu panik."Silakan diminum dulu Ibu, kenapa Ibu tampak begitu khawatir?" tanya Nasya sambil mengernyitkan keningnya heran.Wanita paruh baya itu menggenggam tangan menantu kesayangan lembut,"Ibu ingin mengatakan sesuatu padamu Nasya, jadi jawab pertanyaan Ibu dengan jujur. Kamu paham?""Hm.""Apa kamu mencintai Galen?" tanya Stelle yang langsung saja membuat Nasya tersentak kaget.
Semerbak aroma bunga di Pagi hari membuat Nasya tersenyum manis, ia membuka pintu menuju halaman belakang dan melihat bunga-bunga yang ia tanam tumbuh dengan subur. Sinar matahari perlahan mulai menyebar ke tempat yang gelap dan juga menerpa kulit putih Nasya."Pagi yang indah," ujar wanita itu seraya merentangkan tangan menikmati terpaan angin dan cahaya matahari sekaligus. Dia kembali memasuki rumah dan melihat Galen sedang bolak-balik mencari sesuatu, Nasya mendekatinya."Apa kau melihat koran? Biasanya setiap pagi akan ada koran di sini," tanya Galen menunjuk ke atas meja ruang tengah, biasanya memang Nasya yang mengambil koran yang berada di depan pintu. Namun, dirinya harus menyembunyikan benda itu mulai sekarang."Aku tidak melihatnya, apa mungkin orang yang biasa mengantarkan koran itu sedang sakit," jawab Nasya mengedikkan bahu, bergegas saja wanita tersebut berjalan menuju dapur untuk membuat susu khusus ibu hamil yang bia
Galen berjalan menghampiri istrinya yang sudah berdiri tegak, lelaki itu menggenggam pergelangan tangan Nasya erat membuat wanita tersebut meringis kesakitan."Katakan padaku! Apa kau sudah tahu tentang semua masa laluku?" tanya Galen dengan gigi yang bergemelutuk marah.Nasya tak berani menatap Galen yang berada di hadapannya, ia hanya mencoba untuk melepaskan jari besar itu yang menggenggam tangannya kuat, tapi dengan cepat Galen kembali mempererat genggaman nya."Baiklah. Jika kau tidak ingin menjawab, berarti aku anggap saja jawabannya adalah ia. Asalkan kau tahu, dirimu tak ada bandingannya dengan Rahmi.""Lepaskan tanganku Galen!" teriak Nasya keras tepat di depan wajah lelaki tersebut. Ia mendorong tubuh Galen menggunakan sikunya.Dengan tangkas lelaki berambut hitam tersebut menahan pergerakan Nasya, dia dengan segera melepaskan pergelangan tangannya dan menatap meremehkan. "Aku tahu, pasti
Hari ini Nasya berjanji akan keluar bersama Ratu, dia dari tadi menunjukkan Galen turun dari kamar untuk meminta izin. Suara langkah kaki yang berasal dari tangga membuat wanita itu langsung menoleh, ia berjalan mendekat dan menatap suaminya."Galen, apa tak ingin sarapan dulu?" tanya Nasya menatap penuh harap, agar keseharian mereka menjadi seperti dulu lagi. Namun, kenyataan memang tak seindah yang di bayangkan. Galen membuang wajah dan melanjutkan jalannya keluar dari rumah, Nasya mencoba menahan pergerakan suaminya itu dengan menggenggam tangannya erat.Dengan wajah malas ia membalikkan badan melihat Nasya dengan tatapan datar. "Apa lagi?""Apa kau tidak sarapan?""Tidak. Aku takut kau memberikan racun di sana, atau mungkin kau mau menjebakku lagi." Galen menyeringai senang melihat ekspresi yang di berikan Nasya.Wanita berambut hitam itu kembali menatap suaminya,"Terserah apa katamu Galen
Jalanan sudah basah akibat air hujan, sedari tadi ia duduk menunggu bus akan tetapi tak ada satupun yang lewat di sana. Matanya mengerjap ketika melihat sebuah mobil putih berhenti di dekat dia duduk sekarang, seorang pemuda keluar dengan payung di tangannya."Nasya, apa kau sendirian di sini sejak tadi?" tanya pemuda itu melampirkan jaket yang ia pakai ke tubuh Nasya."Reyhan? Ya begitulah, aku menunggu bus sejak tadi. Tapi tak ada satupun yang lewat," jawab wanita itu memperbaiki letak jaket yang dilampirkan oleh Reyhan."Biar aku antar saja, hari sudah mulai gelap. Takutnya nanti ada hal buruk yang terjadi," ajak Reyhan memberikan payungnya pada Nasya, tanpa pikir panjang wanita tersebut langsung saja mengiyakan ajakan Reyhan. Daripada ia harus menunggu lebih lama lagi, itu akan membuat ia kedinginan dan berakhir dengan demam.Nasya menganggukkan kepala, "Aku akan ikut denganmu."Keduanya berjala
Suara pendeteksi jantung berbunyi dengan normal, yang menandakan bahwa masih ada kehidupan di sana. Stelle menggenggam tangan putranya erat dan kembali menangis melihat kondisi tubuh yang terluka akibat goresan kaca mobil."Jangan menangis lagi, Dokter sudah bilang bukan kalau dia sedang melewati masa kritis. Berlarut dalam kesedihan itu tidak baik," ujar Dimas menarik tubuh istrinya lebih dekat. Dia memeluk Stelle dengan erat seraya mengelus punggungnya lembut.Pintu kamar rawat Galen terbuka menampakkan sosok Keina dan juga Carlos, mereka datang dengan wajah yang sedikit tidak enak. Perlahan pasangan suami istri itu berjalan mendekat ke arah ranjang Galen."Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Keina menatap Stelle yang sudah tidak berpelukan lagi dengan suaminya, wanita paruh baya itu mengangguk pelan.Dimas berdehem, "Dokter bilang ia akan melewati masa kritis nya. Dan untuk masalah itu kami minta maaf pada kalian
Galen menatap ruangan putih yang ada di hadapannya sekarang, matanya melirik ke arah sang Ibu yang tampak begitu bahagia dengan air mata harunya. Wanita paruh baya itu memanggil dokter untuk segera memeriksa Galen. Beberapa orang berpakaian putih masuk ke dalam ruang rawat dan mulai memeriksa Galen secara detail."Syukurlah. Anak Ibu sudah terbangun dari komanya," ucap dokter wanita tersebut sambil tersenyum melihat ke arah Stelle dan Dimas.Langsung saja Stelle memeluk tubuh putranya itu erat, ia menangis di bahu Galen dan mencium pipinya berulang, dia sangat bersyukur Galen sudah sadar, "Ibu sangat khawatir dengan keadaan mu Nak.""Apa yang terjadi?""Kamu kecelakaan, dan mengalami koma. Apa kamu tak mengingatnya?" tanya Dimas.Galen terdiam mencoba mengingat apa yang terjadi, tubuhnya tersentak kaget dan segera menoleh pada sang Ibu, "Di mana Nasya sekarang Bu?"Stelle menata
Rahmi mengelus perut buncitnya dengan pelan, matanya tak henti-hentinya menatap Nasya yang begitu shock. Tangannya terulur menyentuh jemari Nasya, "Boleh aku bercerita?" Wanita berambut hitam itu mengangkat kepala kemudian mengangguk, "Boleh." "Kau tahu lima tahun yang lalu, aku memutuskan untuk kembali lagi bersama suamiku. Meninggalkan Galen karena dia jelas-jelas memilihmu Nasya, bahkan setelah dia sadar dari koma orang pertama yang ia cari adalah dirimu, kau mungkin tak melihat bagaimana kacaunya Galen saat tahu bahwa kamu meninggalkan nya," jelas Rahmi menerawang, "Tapi ... Aku melihat segalanya. Dari dia yang tak semangat menjalani hari, bahkan selalu membuat ulah di kampus. Membuat Paman Dimas menjadi khawatir, untung saja Galen masih bisa menyelesaikan kuliahnya dan bekerja setelah itu." "Darimana kau tahu itu?" tanya Nasya. Rahmi mengedipkan mata dan tersenyum pada Nasya, "Bibi
Gelak tawa berderai di meja tempat Nasya duduk makan ice cream bersama Gavin dan juga Reyhan, setiap orang yang memandang pasti mengira mereka adalah keluarga. Tapi kenyataannya tidak, buktinya saja Gavin memandang tak suka pada sosok lelaki di depannya."Ibu kapan kita akan pulang?" tanya bocah itu menyela ucapan Reyhan yang baru saja akan keluar, langsung saja keduanya menoleh."Setelah berbelanja bahan makanan baru kita akan pulang," jawab wanita berambut hitam itu, dia mengecek semua benda yang ada di dalam tas kemudian berdiri, "Ayo kita pergi sekarang Gavin. Sepertinya Tantemu tidak akan puas berbelanja, hm ... Apa kau mau ikut Reyhan?"Pria itu menolehkan kepala, alisnya sedikit terangkat, "Apa boleh?""Tentu saja. Bener begitu kan Gavin?""Tidak!" tolak bocah itu cepat. Ia menyilangkan tangan dengan kepala yang menggeleng, tak lupa tatapan tajam yang sedari tadi dilayangk
Sesuai permintaan Ratu semalam, hari ini mereka bertiga sudah berada di Mall. Menemani Ratu yang berjalan ke sana kemari hanya untuk mencari pakaian dalam, diikuti oleh Nasya dan Gavin yang sepertinya sudah mulai bosan mengikuti langkah Ratu."Model apa yang kau inginkan Ratu?" tanya Nasya dengan wajah masam, sudah setengah jam mereka berjalan bolak-balik sedangkan yang dicari tak kunjung bertemu.Gadis itu berdecak kesal, "Jangan mengeluh dulu, aku hanya ingin berputar-putar saja.""Rempong sekali. Cepatlah Tante kaki kecilnya ini sudah lelah," sahut Gavin pedas. Dia mencibir ketika Ratu memelototi dirinya, tak perlu memasang wajah takut bukan.Nasya tampak menghela napas. Ibu muda itu menarik Gavin ke dalam gendongannya, "Cepat selesaikan pencarianmu itu, aku akan membawa Gavin untuk berisitirahat. Jika sudah selesai telpon saja aku, sampai nanti."Bergegas pergi dari sana adalah jalan yang
Ini sudah tiga hari semenjak pengusiran Galen. Nasya mengurung diri di dalam kamar, mengabaikan sang Ibu yang sedari tadi mengetuk pintu. Pikirannya kacau ketika wajah Galen terlintas bak kaset rusak, hatinya sesak dan tak tenang, "Aku benci dia.""Nasya ayo buka pintunya, biarkan Ibu masuk!" teriak Keina keras, sejak tadi wanita paruh baya itu membujuk Nasya. Akan tetapi tak ada angsuran apapun, dia menoleh ketika mendengar langkah kaki yang mendekat."Nenek ...," panggil Gavin lirih dengan mata berkaca-kaca. Kaki kecil itu melangkah mendekat, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar, "Ibu ... Gavin ingin memeluk Ibu."Seketika Nasya mendongak mendengar suara Gavin, dia berdiri dan berlari menuju pintu. Saat pintu terbuka putranya itu langsung berhambur memeluk tubuh Nasya erat, dapat dipastikan bahwa bocah tersebut menangis."Kau mengurung diri sampai lupa dengan putramu sendiri," sindir Keina pelan. Mer
Pagi ini Nasya terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara berisik dari lantai bawah, kepalanya menoleh ke samping dan mengernyit ketika tak menemukan putranya di ranjang. Kakinya melangkah menuju ke arah jendela untuk membuka gorden kemudian membuka pintu kamar melihat apa yang sedang terjadi di bawah sana.Keina dan juga Carel tampak sibuk memindahkan meja dan kursi yang biasanya digunakan pengunjung restoran, begitupun dengan Gavin yang ikut membawa tempat sendok."Ibu, Ayah kenapa semuanya dipindahkan?" tanya Nasya heran."Kami akan menutup restoran ini Nasya." Keina menjawab disela-sela ia membawa meja menuju gudang belakang."Kenapa? Bukankah cuma ini penghasilan Ayah dan Ibu?"Carlos tampak menghela napas, tangannya terangkat untuk menghapus keringat yang bercucuran di dahinya, "Iya. Itu dulu sebelum Ayah dan Ibu kehabisan modal, kamu tahu bukan orang-orang zaman sekarang lebih
Di sebuah kamar yang temaram terlihat seorang pria dengan botol alkohol ditangannya, ia menyandarkan tubuh pada ranjang dengan mata menatap keluar jendela. Dia melempar botol kosong itu ke arah tembok kamar, menciptakan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.Pintu kamar terbuka lebar, menampakkan sosok kedua orangtuanya. Stelle berlari dengan tergopoh-gopoh,"Galen apa yang terjadi? Katakan padaku kenapa?!"Tak ada jawaban apapun dari Galen, pria itu hanya terkekeh geli dengan pandangan yang mulai mengabur. Stelle menepuk pipi putranya pelan, namun hal itu tetap tak membuat Galen bergeming. Dimas yang sedari tadi berdiri di pintu melangkahkan kaki masuk, lelaki paruh baya tersebut memandang kondisi putranya dalam diam."Apa ini ada sangkut pautnya dengan Nasya? Katakan padaku!" teriak wanita paruh baya itu menahan kesal, dia menatap tepat di kedua bola mata Galen."Ibu tahu? Dia melarangku untuk menemuinya," jawab pr
Gavin menarik tangan kedua orangtuanya tak sabaran. Mereka berjalan menuju gerbang masuk sebuah taman bermain, bocah lelaki itu bahkan mengabaikan dirinya yang limbung kehilangan keseimbangan ketika tak sengaja menabrak batu kerikil.Dengan sigap Galen langsung menangkap putranya, pria itu terkekeh pelan kemudian menyuruh Gavin untuk menunggu bersama Nasya selagi dirinya mengantri membeli tiket masuk."Ibu aku ingin makan permen kapas, apa di sini ada orang yang menjualnya?" tanya bocah itu sambil celingak-celinguk menatap sekeliling."Jangan banyak memakan permen kapas, apa kamu ingin tubuhmu dipenuhi semut?" goda Nasya menggelitik perut putranya, kedua manusia itu tertawa.Gavin berjalan mundur untuk menghindari serangan sang Ibu, "Aku tidak takut. Jika permen kapas membuatku bahagia, Ibu bisa apa?""Kamu menantang Ibu?" tanya Nasya kesal.Galen berjalan mendekati keduanya,
Sudah seminggu sejak Galen datang berkunjung bersama Ibunya, kadang ia hanya menitipkan bunga ataupun makanan manis untuk Gavin. Kalau soal bunga sudah pasti itu untuk Nasya, walaupun sudah ditolak oleh Nasya pria tersebut tetap mengirim bunga dihari berikutnya.Seperti saat ini Nasya memandang bunga mawar didepannya bosan, berkali-kali ia menghela napas kasar membuat Ratu yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya memandang heran. Gadis itu menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh pada sofa."Mau sampai kapan kau menatap bunga itu? Apa kau merindukan Galen?" tanya Ratu, matanya melirik Nasya sebentar kemudian fokus kembali pada layar ponsel.Tak ada jawaban apapun dari Nasya, Ibu muda itu mengulurkan tangan untuk memegang bunga mawar, dengan kepala yang ditumpukan di atas meja."Yasudah terserah, aku akan pergi keluar bersama pacarku. Sampai nanti," pamit Ratu mengambil tas dan mengumpulkan beberapa barang yang sempat
Suasana kamar Nasya menjadi hening seketika, Keina melepas pelukannya dan menatap sang putri dengan senyuman lembut. Tangan itu terulur untuk sekedar mengusap air mata yang masih menempel di pipi Nasya, "Kau tahu? Galen tidak akan mengambil Gavin dari kita.""Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan Ibu," jawab Ibu muda itu menggelengkan kepala. Menolak semua kemungkinan yang akan terjadi, dirinya tak siap dengan semuanya.Keina memindahkan tangannya pada puncuk kepala Nasya, "Gavin pasti sedang bertanya-tanya sekarang. Apa hubunganmu dengan Galen, Ibu sangat yakin dengan itu.""Lalu apa yang harus aku lakukan Ibu?" tanya Nasya."Katakan pada Gavin bahwa Galen adalah ayahnya, dan satu lagi ... Jangan berpikir buruk tentang Galen lagi, dia juga pasti merindukan darah dagingnya sendiri Nasya, biarkan saja dia menemui Gavin, kau harus ingat bahwa dia adalah salah satu alasan kenapa Gavin hadir di dunia ini." Wanita par