Pagi di hari itu cukup cerah dengan dihiasi gerombolan awan yang silih berganti saling mengejar. Di sebuah kantor polisi, seorang pemuda berdiri dengan mata memandang langit juga bangunan di hadapannya. Seragam PDU (Pakaian Dinas Upacara) yang dikenakan dengan balok berhias satu segitiga abu di bahu, membuat ia begitu bangga dengan senyum yang tak kunjung surut.
"Pagi yang indah untuk memulai hari." gumam pemuda tersebut.
Bangunan yang tampak sudah tua tak membuatnya sepi akan aktivitas. Banyak orang di sana dengan urusan beragam. Semakin pemuda itu melangkahkan kaki masuk ke dalam, semakin banyak dia melihat hal baru. Ada kumpulan anak remaja yang tengah ditanyai dengan wajah yang babak belur. Ada seorang wanita yang menangis sambil menggumamkan tasnya yang hilang, ada pula pria dengan wajah sangar yang tengah digelandang. Terlalu fokus mengamati situasi sekitar membuat pemuda itu tak menyadari jika ada sosok lain di belakangnya.
"Ada yang bisa dibantu?"
"Astaga...." pemuda itu terkesiap sesaat, namun tak untuk waktu yang lama dia sudah bisa mengembalikan pengendalian dirinya. Di sana matanya mendapati seorang polisi dengan perut tambun yang membuat seragamnya mengembang juga kepala plontos.
"Ahhh, itu. Saya polisi baru yang ditugaskan di sini."
"Oh pantes, saya gak pernah lihat kamu di sini." gumam sang polisi dengan satu tangan mengusap dagunya yang sedikit berbulu. “Kalau begitu kamu ikut saya, kita laporan dulu ke komandan."
Pemuda yang mendapat perintah hanya mengangguk patuh dan mengikuti. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di sebuah ruangan yang bisa ditebak sebagai ruang komandan. Polisi senior yang memimpin jalan terlebih dulu mengetuk pintu hingga terdengar seruan dari dalam yang memerintahkan masuk.
Hal pertama yang terbesit dalam pikirannya mengenai sosok komandan mereka ialah rambut putih, tubuh yang lebih tambun dari polisi sebelumnya, juga kumis yang tebal tentunya. Secara, pangkatnya saja komandan, maka bisa dipastikan sosoknya melebih apapun itu dari anggota polisi yang menjadi bawahannya. Namun semua bayangan itu pupus begitu saja saat melihat kenyataan yang ada. Jauh berbeda dengan apa yang dibayangkannya. Tak ada perut buncit, tak ada kumis lele, juga tak ada rambut putih.
"Permisi, Ndan" sapa sang polisi yang mengantar. "Saya mengantar polisi baru melapor." lanjutnya
"Oke, kamu boleh duduk." Katanya mempersilahkan lalu menoleh "dan Fajar, tunggu di sini!"
Pria paruh baya yang bisa ditaksir sudah berkepala empat dan tengah duduk di belakang meja itu jauh dari tanda-tanda bapak-bapak berumur pada umumnya. Tubuhnya tegap dan masih terjaga, wajahnya bersih tanpa bulu, juga rambutnya hitam legam tanpa uban. Namun satu yang membuatnya percaya jika sosok itu adalah sang komandan yang sudah mencicipi asam garam kehidupan ialah kerutan di wajahnya. Ahhh, sebaik apa pun menutupi usia, kerutan memang tak bisa membohongi. Sebaik apapun ingin menjadi muda, tetap saja sudah tua. Pftt....
"Lihat apa kamu?" tanya pria paruh baya di balik meja itu dengan sorot tajam.
Tertangkap basah saat sedang melakukan scanning pada calon atasan jelas bukan hal bagus. Rasa cemas seketika menerjang saat ditanyai dengan suara berat dan berwibawa tersebut. Seolah tak sabar menunggu jawaban, sang komandan tak membiarkan dengan kembali bertanya lebih spesifik.
"Ada yang salah dengan penampilan saya?"
"Nggak ada. Anda kelihatan segar dan muda." Jawabnya dengan senyum pasta gigi andalan. Beruntung dia pandai bersilat lidah. Ia yakin manusia mana pun saat dipuji akan penampilan yang tergolong menarik akan merasa tersanjung. Bukan apa-apa, itu semua pengalaman yang mengajarkan.
"Gak usah basa-basi. Kalau mau menyindir saya tua, bilang saja."
"Asal kamu tahu saya gak suka seorang penjilat." tambah pria dengan balok berhias dua bunga bersudut lima yang tersemat di pundaknya lebih lanjut, pria yang masih setia duduk di balik meja dengan tangan terlipat di depan dada
Di tempatnya duduk pemuda itu merasa shock luar biasa. Bagaimana bisa trik yang di pelajari dari pengalaman tak berhasil pada sang atasan. Menolehkan kepala ke belakang, berusaha meminta bantuan pada polisi senior yang membawanya, pemuda itu hanya mendapat sebuah senyum yang seakan mengatakan 'yang kuat ya'. Tak sampai di situ keterkejutan melanda, kini pemuda yang awalnya menganggap harinya sempurna itu serasa ditusuk pisau tak kasat mata dua kali. Tolong katakan di mana letak kesalahannya hingga dituduh seorang penjilat. Tolong katakan di mana letak kesalahannya, apa yang dia lakukan semata-mata hanya untuk memberi first impression yang baik pada calon atasan di depannya.
"Siapa nama kamu?"
"Saya?" tanya pemuda itu memastikan.
"Ya, iya kamu, siapa lagi?"
Hancurlah sudah kesan pertama sebagai anak buah teladan yang coba dibuat. Kenapa pula otaknya mendadak tumpul saat ditanyai pertayaan mudah seperti itu.
"Nama saya Sandy Permana. Saya...."
"Cukup."
Pemuda bernama Sandy yang hendak melanjutkan kalimatnya harus mendadak menjadi batu saat suara sang komandan memerintahkan untuk berhenti. Bahkan mulutnya tak bisa untuk terkatup rapat sekedar untuk menghalau lalat masuk.
"Saya sudah baca biodata kamu sebelumnya. Sekarang kamu bisa keluar." pria di belakang meja yang sedari tadi fokus pada kertas itu kini menolehkan mata tepat ke belakang di mana Sandy duduk. "Fajar, kamu bawa dia keliling dan kenalkan sama satuan organisasi kita."
"Siap, Ndan." jawab polisi yang masih berdiri di belakang dengan sikap sigap.
Sandy anjak berdiri dengan mendorong kursi yang didudukinya ke belakang. Cukup sudah ia mempermalukan diri, sudah saatnya dia memperlihatkan sikap tegas seorang polisi di depan komandannya dan menjaga sisa kewibawaan. Pemuda itu berjalan mengikuti polisi tambun dengan balok berhias segitiga perak bersusun tiga di pundaknya. Bisa keluar dari ruangan mencekam itu dengan keadaan utuh rasanya sungguh melegakan. Akhirnya dia bisa menghirup lebih banyak udara setelah mengalami tekanan yang begitu besar.
"Lo maklumin ya, Komandan emang suka begitu.”
Sandy menoleh menaikkan kepala dan mendapati sosok yang sama tengah tersenyum dengan jenaka. Pria bertubuh tambun itu menepuk bahunya akrab yang membuat Sandy ikut tersenyum tipis.
"Emang selalu gitu ya, pak?" tanya Sandy.
"Jangan panggil pak, panggil aja mas kalo sungkan. Berasa udah bapak-bapak jadinya. Dan soal pertanyaan tadi, jawabannya nggak. Komandan itu aslinya baik, cuma kadang sangar. Tapi tenang, ada pawangnya kok. Kebetulan ada di unit satuan kita, namanya AIPTU Jhonny Jhonnsy. "
"Oh gitu ya."
Mendengar informasi yang sangat berguna itu Sandy hanya bisa mangut-mangut sendiri. Dia tak akan membiarkan informasi sepenting itu lepas. Ia akan bersumpah untuk menimba ilmu dan segala tips and trik dari orang yang dikenal sebagai pawangnya sang komandan untuk menghadapi pria paruh baya itu. Ia akan ingat nama orang itu dan mencarinya nanti.
"Oke, biar gue jelaskan dari mulai struktur organisasi di satuan resersenarkoba ini." jelasnya sambil memimpin jalan. "Jadi jabatan kasatresnarkoba, seperti yang udah lo tahu di pegang sama AKBP Wibowo S.H. yang bertanggung jawab langsung sama Kapolres dan Wakapolres. AKBP Wibowo di bantu sama Kaur Mintu* yang di pegang sama AIPTU Dwi Faiz S.E, dan jajaran stafnya."
*(kaur Mintu = kepala urusan administrasi dan ketatausahaan)
Keduanya berhenti di sebuah ruangan yang bisa dipastikan sarangnya anak-anak Ur mintu seperti yang dijelaskan oleh Fajar. Di sana tampak sebagian besar dari mereka memang sibuk berjibaku dengan komputer untuk urusan administrasi dan tata usaha kepolisian.
"Terus jabatan Kaur Binops*, yang di pegang sama IPDA Adang. Sampe sini paham?"
*(kaur Binops =kepala urusan pembinaan operasional.)
"Siap paham." jawab Sandy tegas.
"Terus ada dua unit yang tugas di lapangan. Idik satu dengan AIPTU Dimas sebagai kanitnya. Terus ada Idik dua, atau anak-anak lebih suka menyebutnya tim Aligator yang dipimpin sama Kanit Jhonny Jhonnsy. Di sana ruang meeting anak-anak yang biasa dipakai Idik satu atau tim kita." jelasnya sambil tetap memimpin jalan menuju sebuah ruangan berisi empat meja dan kursi membentuk leter L.
*(Kanit= kepala unit)
"Oh ya, dari tadi kita belum kenalan. Bripka Fajar, kebetulan kita satu unit di bawah pimpinan Kanit Aiptu Jhonny." polisi bernama Fajar memperkenalkan diri mengajak berjabat tangan.
"Bripda Sandy Permana. Mohon bantuannya." jawabnya sambil membalas berjabat tangan.
"Mas Fajar, anggota yang lain pada belum kumpul?" tanya Sandy heran melihat sisa meja yang masih kosong.
"Ouh, itu. Ketua tim kita itu orangnya santai, gak kaku. Kayaknya sih anak-anak masih pada ngopi dulu, nanti juga dateng. Lo gue tinggal dulu ya, ke toilet. Lihat-lihat aja dulu keliling." Pamit bripka Fajar sebelum pergi.
Di tinggalkan sendiri di ruangan yang masih kosong membuat Sandy jenuh sendiri. Seperti kata Bripka Fajar padanya, pemuda itu memilih melangkahkan kaki entah ke mana untuk sekedar melihat-lihat. Berjalan tanpa tujuan dengan mata mengedar, Sandy dapat melihat banyak aktivitas dari satuan lain. Tergabung dalam sat Narkoba menjadi satu yang diimpikan, namun di luar itu dia bisa melihat satuan lain yang tengah bekerja keras. Seperti anggota reserse kriminal yang membekuk tersangka, atau bahkan beberapa polisi yang duduk dan melakukan pelayanan umum pada masyarakat yang mengeluh tentang pelaporan aksi kejahatan. Hingga tanpa sadar di tengah aksi melamunnya, seseorang begitu saja menabrak pundaknya. Sandy yang merasa kesal segera mencari sosok si pelaku yang masih berdiri di depannya.
"Maaf." kata pria yang menabrak.
Namun jangan harap bisa berakhir semudah itu. Enak saja bisa lolos hanya dengan kata maaf. Terlebih saat ini dia sedang kesal karena mengawali hari pertamanya bekerja dengan menyedihkan di depan sang komandan. Biar lah pria di depannya yang tak bersalah harus menjadi pelampiasan. Sandy tahu itu tak adil, terlebih pria itu hanya sebatas menubruk dan sudah meminta maaf. Tapi apa mau dikata, dia terlanjur tersulut emosi.
Dengan dagu sedikit terangkat, pemuda itu mulai melancarkan aksinya. Langkah pertama, tunjukan siapa yang berkuasa. Dengan sorot menilai penampilan si pria dari atas sampai bawah, Sandy memperlihatkan perbedaan mereka. Seragam polisinya jelas lebih unggul dari pada kaos putih polos dengan celana denim yang dikenakan si pria.
"Kamu pikir saya hantu bisa ditembus kalo ditabrak?" tanya Sandy sinis.
"Sekali lagi saya minta maaf."
"Gampang banget ya minta maaf." terbawa suasana dalam memerankan peranannya, Sandy tak peduli jika aksinya mulai menarik perhatian. "Kalau jalan tuh pakai mata, bisa?" lanjutnya dengan nada sinis.
"Ada apa ini ribut-ribut?" sebuah suara bernada berat menengahi.
Kekesalan yang tadi menggebu-gebu kini harus sejenak reda saat mendengar suara berat yang masih terngiang dikepalanya. Tentu saja Sandy masih belum lupa akan si pemilik suara yang tak lain komandannya. Pria paruh baya itu nampak baru saja keluar dari ruangan dan kini tengah berjalan ke arah mereka. Sandy yang sejenak berpikir mendapat sebuah pencerahan. Matanya berkilat sempurna penuh binar saat melihat sang komandan datang. Entah pria paruh baya itu tengah mengadakan inspeksi atau semacamnya, yang pasti ini kesempatannya untuk menyelamatkan harga diri yang sesaat lalu hancur di depan sang komandan.
Dengan skenario yang sudah tersusun rapi dalam kepala, Sandy tersenyum penuh arti sambil melirik sosok si pria penabrak. Maaf, tapi sepertinya pria itu harus kembali menjadi korban dengan memerankan drama karangannya sebagai pemeran kriminal dan dirinya menjadi petugas yang penuh tanggung jawab.
"Maaf Ndan, tadi kriminal ini berkeliaran terus nabrak saya. Sepertinya dia mau mencoba kabur." Jelas Sandy tersenyum pongah.
"K-Kriminal?" ulang sang komandan kebingungan.
"Iya Ndan." Sandy menjawab dengan keyakinan kuat, tersirat jelas dari nadanya.
Analisisnya tak mungkin salah, dari mulai wajah yang dimiliki si pria di mana terdapat bekas ruam juga luka kecil yang mengering, ditambah pakaian yang digunakan. Sandy semakin yakin terlebih saat ini dirinya sudah terlanjur jadi pusat perhatian dengan beberapa orang yang tengah berbisik. Ahhh, pasti karena dia yang seorang anak baru namun sudah sigap dan cekatan dalam bekerja.
Tak lama dua orang berseragam polisi lengkap dengan balok berhias segitiga perak bersusun dua di pundak datang dari arah belakang si pria penabrak. Hal kian menguatkan asumsinya jika pria itu salah satu kriminal yang berniat mengendap-endap kabur.
"Kamu cepat bilang kesalahan kamu. Mumpung ada komandan. Beliau bijaksana, mungkin saja masa hukuman kamu diperpendek." lanjut Sandy menambahkan.
Si pria penabrak yang ditanyai hanya diam dengan mata yang juga sama bingungnya. Hal itu membuat Sandy kesal dan melayangkan tangannya memukul lengan atas si pria asing keras. Bahkan bunyinya cukup nyaring untuk menarik perhatian sekitar.
"Ahhh, biar saya bawa langsung saja, Ndan." inisiatifnya.
"Gak perlu, tolong kamu bawa dia ke ruangan saya saja." tolak Wibowo.
"Tapi Ndan. Kriminal ini bisa..." Belum selesai menyampaikan rasa keberatannya, Sandy harus mengatupkan mulut saat satu tangan pria paruh baya itu terangkat dengan telunjuk yang mengacung ke atas, mengisyaratkan Sandy untuk diam.
"Ayo Jhon, saya tunggu laporan kamu." Potong sang komandan dengan satu tangan merangkul pundak si pria.
Di tempatnya berdiri Sandy diam dengan segala pemikiran yang bertebaran. Apa kata komandan tadi? Laporan. Apa kriminal itu kriminal khusus, maka laporan kejahatannya harus disampaikan secara langsung. Lalu sikap akrab itu? Bagaimana bisa komandan yang terhormat bersikap sangat ramah seperti itu pada seorang kriminal. Atau ini visi misi kantor polisi di sini yang melayani dengan keramahan? Dan terakhir, siapa tadi namanya? Jhon. Sandy merasa pernah mendengar nama itu, nama yang terasa tak asing dan baru di dengarnya.
"Ngomong-ngomong ke mana seragam kamu?" suara Wibow kembali terdengar.
"Ahhh, itu.... seragam saya ketumpahan kopi anak-anak, jadi terpaksa saay lepas."
Di saat Sandy tengah berpikir, telinganya masih bisa sayup-sayup mendengar pembicaraan pria bernama Jhon dengan sang komandan.
Jhon...
Jhonny, kah?
Apa itu, Jhonny yang akan menjadi kepala tim unitnya?
Di tempatnya berdiri, Sandy terkejut luar biasa mengetahui pria yang dituduhnya sebagai kriminal ialah seorang polisi yang akan menjadi senior sekaligus pimpinan unitnya. Berbagai spekulasi akan apa yang terjadi ke depan berkelebat di kepala. Mulai dari yang biasa sampai yang terburuk, di mana dirinya yang berakhir dipecat bahkan sebelum mulai bekerja. Tidak, Sandy tak akan membiarkan hal itu sampai terjadi. Meski sejujurnya pemecatan bukan hal yang mustahil mengingat kesalahannya barusan.
Masih dengan keterpakuan, Sandy dengan sigap melompat tak peduli jika tubuhnya akan membentur lantai yang dingin. Dia tak akan membiarkan kesalahan ini semakin menjadi dengan tidak meminta maaf. Setidaknya Sandy harus berusaha meski, pada akhirnya akan di pecat. Niatan ingin meraih satu kaki dan bersujud -bukannya merasakan sakit- Sandy merasa tubuhnya di tahan dan melayang. Membuka mata yang sebelumnya terpejam, Sandy mendapati masing-masing lengannya di tahan dua polisi yang sebelumnya terbengong.
"Lepas!!!" berontaknya.
Sandy sudah tak peduli jika yang dilakukannya merupakan hal yang memalukan sekalipun. Dia juga tak peduli jika dirinya menjadi pusat perhatian. Sedari awal pun dia sadar sudah mempermalukan diri. Lalu kenapa harus meragu untuk berenang di kolam rasa malu saat dia sudah basah kuyup.
Persetanan dengan semua harga diri.
"MAAFKAN SAYA, PAK."
Bukan lagi sekedar gumaman, melainkan sebuah teriakan lantang yang menggema di penjuru kantor. Semua senyap dan diam. Aksi nekat tersebut sukses menarik perhatian banyak orang, termasuk komandan dan pria bernama Jhonny yang akan menjadi kepala timnya. Dengan ragu Sandy mengangkat kepalanya dan mendapati sepasang mata sangar milik komandan juga sepasang mata lain yang menatapnya heran.
"Saya kriminal, bukan atasan kamu, ingat?" balas pria bernama Jhonny yang sukses membuat Sandy gelagapan.
"Saya minta maaf karena tuduhan tidak berdasar tersebut."
"Kamu ini. Baru masuk sudah..." geram komandan
"Ndan..."
Pria bernama Jhon menginterupsi sang komandan yang hendak berceramah. Pria itu menepuk pundak sang atasan pelan dan tersenyum sambil mengangguk, mengisyaratkan jika dirinya yang akan mengambil alih.
"Anda kelihatan lebih mudah juga segar." puji Jhonny dengan niat meredakan emosi sang komandan.
Sandy yang masih setia ditahan dam memperhatikan hanya tersenyum prihatin. Dia sadar betul apa yang dilayangkan kepala timnya itu akan mengundang cibiran pedas dari sang komandan, karena itu ialah kalimat yang sama persis yang dilontarkan Sandy sebelumnya.
"Ini pasti gara-gara rambutnya yang disemir mengkilap begini?" lanjutnya memuji.
"Bisa saja kamu."
Entah untuk ke berapa kalinya Sandy harus mengalami serangan shock dadakan setelah memasuki kantor polisi ini. Satu hal yang membuatnya terguncang dalam situasi kali ini ialah kalimat 'Bisa saja kamu'. Kalimat yang jelas jauh berbeda dari apa yang diterimanya setelah melayangkan pujian yang sama. Tentu saja kalimat itu bukan jenis kalimat memaki. Bahkan tak ada nada sinis di dalamnya yang bisa menjadikan kalimat itu sebagai kalimat dengan rasa tak suka. Bahkan kini sang tersangka yang mendapat pujian nampak tersanjung dengan terus mengusap rambutnya yang hitam legam.
"Komandan bisa duluan, saya akan menyusul nanti." Jhon menengahi.
"Tentu, saya tunggu di ruangan."
Tak butuh waktu lama bagi pria paruh baya itu pergi di balik pintu ruangan karena jarak yang lumayan tergolong dekat. Kini pria bernama Jhonny mengalihkan fokusnya pada dia yang masih di tahan dua polisi.
"Saya minta maaf sekali lagi." Sandy mengulangi sambil menunduk.
Beberapa saat pemuda itu menunggu sebuah respons, namun tak ada. Pria di depannya tak mengatakan sepatah kata pun membuat dia harus mengangkat kepala. Saat menaikkan mata, di sana Sandy mendapati si pria yang hanya menatapnya dengan menghela napas.
"Anggap saja kita impas. Saya menabrak kamu sebelumnya, ingat?" tutur Jhonny.
"T-tapi, itu...."
Plak
Sebuah pukulan mendarat di lengan atas Sandy. Awalnya pemuda itu memejamkan mata mengingat itu mungkin pembalasan dari sang kepala tim. Namun indra perasanya tak mendapatkan rasa nyeri yang berlebih, bahkan mungkin pukulan yang dilayangkan oleh Sandy tadi tergolong lebih pedas.
"Kamu anak baru di satuan narkoba, kan?" Sandy hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.
"Kamu juga anak baru yang masuk tim saya?" kedua kalinya Sandy hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Oke... Tio, Ajun, bawa dulu dia ke ruangan. Kita briefing nanti."
Tak ada makian, tak ada bentakan layaknya senior yang memarahi junior, juga tak ada kemarahan. Sandy yakin apa yang dilakukan olehnya sudah tergolong keterlaluan untuk membuat seseorang memakinya.
"Dan satu lagi, tolong kamu jangan nilai seseorang dari luarnya." Tutur Jhonny sebelum menarik pintu ruangan komandan Wibowo.
Untuk ke sekian kalinya Sandy terdiam di tempat. Berbeda dengan sebelumnya yang didominasi rasa terkejut, kali ini keterpakuannya murni karena rasa kagum. Penggalan kata terakhir tersebut bukan hal baru di telinganya. Banyak orang mengatakannya hal sama. Banyak buku yang menuliskannya hal sama. Bahkan Sandy pernah mendengar kata lain yang sejenis dan bermakna sama 'yaitu jangan menilai buku dari sampulnya'. Namun entah kenapa rasanya sangat berbeda saat sang senior yang mengatakan. Dan kini pria bernama Jhonny itu meninggalkannya dengan sangat keren. Bahkan mungkin di mata Sandy saat ini ada sinar yang menguar dari tubuh polisi yang tak lain kepala tim unitnya.
Jhonny, dia pria baik, tampan, berkarisma juga berwibawa. Pria sempurna yang sangat jarang ditemui. Sangat sayang, tapi Sandy harus mengakui jika pria itu jauh lebih cocok dibanding dirinya untuk menjadi peran utama pria dalam cerita ini. Dan biarkan Sandy yang juga tampan ini berperan sebagai figuran dengan menjadi junior yang membantu sang tokoh utama menemukan kebahagiaannya.
Sandy berjanji.......
Malam itu gelap, semua orang tahu itu. Hanya orang bodoh yang menganggap malam menjadi saat yang terang. Namun di sebuah kantor polisi masih tampak terang dengan bantuan lampu LED-nya. Di sana juga masih tampak cukup ramai dengan banyak orang yang berlalu lalang tengah bertugas. Namun ada satu ruangan di dalam bangunan itu yang tampak gelap gulita tak tersentuh cahaya. Entah sang pemilik memang memegang teguh prinsip jika malam memang harus gelap dan tak seharusnya terang atau ada faktor lain yang membuat ruangan itu gelap. Terlepas dari gelapnya ruangan, seseorang dalamnya nampak tak terganggu dengan diam bersemayam dalam kegelapan. Mungkin jika dalam serial horor, ruangan itu akan diberi label dilarang masuk, warning! Atau bahkan mungkin berbahaya. Kesunyian yang biasanya berdampingan dengan kegelapan harus terganggu saat seorang pria yang datang dengan napas tersenggal mengetuk pintu tersebut secara brutal. Ketukan demi ketukan kian tergesa seiring dengan tak kunjung adanya sahutan
Masa lalu.... Siang hari di tahun ajaran baru semester genap itu begitu terik. Matahari seolah menyengat layaknya lebah, membuat siapa saja yang tidak terlalu berkepentingan untuk beraktivitas di luar lebih memilih untuk menetap di dalam ruangan. Begitu pun dengan seorang pemuda yang sibuk dengan buku tebal bertuliskan Fisika disampulnya. Pemuda itu tampak sibuk dengan kesendirian mengerjakan tumpukan fotokopi soal-soal olimpiade tahun lalu, namun sesekali saat jawaban yang dicari tidak berhasil ditemukan remaja itu akan mengacak rambutnya frustrasi dan menghela napas pelan. Keuntungan menjadi kandidat sekolah dalam olimpiade sains adalah bisa bebas di jam pelajaran dengan dalih bimbingan. Sama halnya dengan pemuda bername tag Jhonny tersebut, ia tak munafik untuk mengakui alasannya melakukan bimbingan hanyalah untuk menghindar dari pelajaran kimia. Siang yang panas dengan pelajaran kimia yang diajarkan oleh guru super fast yang terkadang tidak peduli anak didiknya memahami pelajar
Butuh beberapa detik untuk Jhonny sadar jika apa yang dilihat dengan mata yang sedari tadi tak berkedip bukan fatamorgana. Butuh beberapa menit untuk polisi itu sadar jika sedari tadi ada sesuatu yang terasa sesak dalam dadanya. Butuh beberapa saat juga untuk pria itu menyadari jika suara yang dikeluarkan sebelumnya terdengar bergetar. Dia tak tahu alasan logis apa untuk kondisinya saat ini, karena yang jelas gejala ini merupakan gejala-gejala yang terasa asing baginya. "Jessica, Jessica ini kamu, kan? Jessica. Ini benar kamu, kan?" "Iya, iya, iya, iya...." sang gadis dibalik tudung yang dipanggil Jessica menghela nafas sejenak. "Apa itu menjawab semuanya?" "Iya, kecuali satu." "Yes I am Jessica, Why?" balasnya dengan nada geram. Di tempatnya Jhonny tak bisa untuk menjawab pertanyaan gadis itu. Pria itu sendiri tak tahu kenapa dia harus bertingkah berlebihan seperti ini. Tangannya bahkan tanpa sadar sudah melepaskan tangan gadis itu yang sedar
Menurut beberapa sumber senyum itu ibadah. Berpedoman akan hal tersebut, dalam mengawali hari baru Jhonny senantiasa mengumbar senyum yang tiada surut. Sontak saja satu kantor yang melihat kejadian menggemparkan itu dibuat merinding. Pasalnya seorang Jhonny dikenal tak pernah tersenyum seperti itu. Boleh dibilang jika senyum yang diumbar sang AIPTU terkesan menyeramkan yang membuat siapa saja harus merasa waspada. Meski pria berseragam polisi yang dilapisi jaket kulit hitam itu tergolong pria berwajah rupawan. Nyatanya Jhonny yang bermuka datar masih lebih baik dari pada dengan senyum ala bulan sabitnya. Karena itu setiap orang yang berpapasan secara otomatis akan mengerutkan alis kebingungan. "Astaga...." Tak terkecuali dengan Sandy. Pemuda yang baru saja menyeruput kopi instannya harus menelan mendadak kala melihat sang ketua tim berlalu sambil menyapa plus senyum yang terasa mengerikan. Sandy yang kebingungan memintai jawaban kepada Tio rekannya yang kebetulan ten
"WHAT THE F*CKED HELL." umpat Jhonny spontan. Bahkan mulutnya masih terbuka dan matanya melotot lebar tak percaya akan apa yang di lihat. "K-kalian sedang apa?" "Oh, hai. " Jessica menyapa dengan nada santainya. Jhonny tak tahu siapa yang lebih aneh dan bodoh di sini. Sejenak dia masih tak percaya apa yang dilihatnya ialah sebuah kenyataan. Di mana di sana Jessica tengah memiting tangan Ajun di belakang punggung. Bahkan sesekali gadis itu menekan yang membuat Ajun harus sesekali meringis menahan kesakitan. "Aku hanya ingin menguji kemampuan seorang polisi." ujar Jessica lalu mendorong Ajun. Jhonny menangkap tubuh anggota timnya yang kini tengah meregangkan sebelah lengannya. Kesimpulan yang dibuat asumsinya ialah, Jessica yang terancam membela diri dari Ajun lalu memiting tangan pria itu. Sekali lagi, memang apa yang dilakukan pria dan wanita dalam satu ruangan. Ia tak
Satu kata, yaitu suram. Hanya kesuraman ditambah khawatir yang menyelimuti hati seorang pria yang disinyalir tengah kasmaran. Bisa dibilang ini pengalaman pertama baginya dan rasanya itu begitu membingungkan dan sulit untuk dijabarkan, ada rasa bahagia yang membuncah namun di saat bersamaan juga ada rasa takut yang menyelimuti. Sejujurnya Jhonny, si pria kasmaran sangat bahagia kala Jessica menyambut ajakannya. Namun kebahagiaan itu hanya bertahan beberapa menit saat sang polisi sadar akan apa yang hendak dihadapi. Mengingat dia belum memiliki rekam jejak dalam berinteraksi dengan seorang gadis. Di tambah permasalahan kesalahpahaman yang mengatakan Jessica calon istrinya tidak bisa dilupakan begitu saja. Jhonny sadar ia tak bisa membiarkan itu terus berlarut atau Jessica akan mundur teratur dengan sendirinya karena risih. Hingga siang menjelang, pria berpangkat AIPTU itu tak kunjung menemukan solusi dari kegundahannya. Di saat banyak po
Biasanya malam adalah saat yang di tunggu oleh sebagian besar orang. Terutama bagi mereka yang bekerja dan hidup di kota metropolitan. Karena bila malam tiba, itu adalah satu-satunya waktu yang dimiliki untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran dari padatnya rutinitas pekerjaan. Namun berbeda dengan sorang polisi yang tengah bermonolog sendiri di depan cermin. Jangankan bisa untuk bersantai, untuk memejamkan mata dan bernapas dengan benar saja rasanya sudah menyulitkan. Sedari tadi debaran jantungnya tiada henti bertalu-talu seolah mendramatisi semuanya, membuat suara yang di keluarkan menjadi bergetar dan terbata-bata. Jhonny polisi berpangkat AIPTU itu sadar, dia masih berdiri di depan cermin dan hanya menatap pantulan bayangan, belum ada Jessica di sana tapi kegugupan sudah menderanya sedemikian rupa. Entah bagaimana jadinya nanti jika dinner sudah benar-benar berlangsung. Bukan tidak mungkin jika nanti akan ada drama kehilangan
Hari berlalu begitu cepat. Tepat di hari Senin, Jhonny terlihat cerah dengan wajah tampannya. Demam Senin lesu tak berlaku baginya, mungkin orang lain masih terkena serangan weekend yang hanya sesaat, karena itu mereka tampak lesu di Senin pagi, jiwanya mungkin masih tertinggal rebahan di atas kasur. Tapi sekali lagi, polisi berpangkat AIPTU itu tak menampakkan raut lesu di wajahnya. Kejanggalan tak berhenti sampai di situ, senyum yang sedari tadi di umbar tak kunjung surut oleh waktu. Padahal tak ada apapun yang bisa memicu seseorang tersenyum di sana, bahkan kini mereka bisa di bilang berada di situasi yang cukup ekstrem di mana tengah melakukan misi pengintaian salah satu target pengedar sabu. "Pak, Anda baik-baik saja?" Sandy yang tak tahan buka suara mewakili rekan tim lainnya. Bukan tanpa alasan, dan bukan juga Sandy melarang seseorang tersenyum, hanya saja dia khawatir sang senior kerasukan atau apapun sejenisnya yang mem
Arti Hidup bagi anak yang tidak beruntung seperti Winda tiada beda artinya dengan penderitaan, itu karena dunia yang selalu bekerja cukup kejam tanpa memilih korban dengan latar belakang yang malang. Berjuang sebagai kakak sekaligus orang tua untuk sang adik membuat wanita itu harus terus men-sugesti diri untuk harus tetap bertahan. Namun pada satu titik gadis itu pernah benar-benar dibuat kehilangan akal sehat saat satu-satunya orang yang menjadi alasannya tetap bertahan harus merenggang nyawa di ranjang pesakitan. Segala hal sudah coba Winda lakukan untuk mengembalikan kesehatan sang adik, bahkan dia tak ragu untuk menghalalkan segala cara bahkan sekalipun itu mencuri hak milik orang.Antonio -sang kekasih- yang memiliki watak keras menjadi orang tidak beruntung karena harus kehilangan uang dalam jumlah besar dalam semalam. Winda sadar tindakannya bisa mengundang hal yang tidak dinginkan, namun gadis itu tidak menyangka bila dia bisa tertangkap basah secepat itu ditambah de
Cahaya lembayung senja menembus dinding kaca sebuah kamar hotel di lantai yang cukup tinggi, sementara itu seorang wanita baru saja keluar dari pintu dengan bathrobe yang masih dikenakan dan rambut yang terbalut handuk. Langkahnya melambat mencoba menikmati pemandangan senja di tengah padatnya gedung-gedung bangunan kota metropolitan, sinar yang menghiasi langit menciptakan gradasi indah saat berpadu dengan warna biru cerah dan awan yang indah. Namun tidak untuk waktu yang lama sosok tersebut menikmati keindahan karya ciptaan tuhan tersebut, perhatiannya harus teralihkan saat suara pintu yang diketuk dari luar begitu menyita perhatian.Seorang wanita muda dengan seragam staff hotel menjadi sosok dibalik ketukan pintu. “Maaf mengganggu waktunya, Bu. Saya diminta menyerahkan barang yang dititipkan untuk diserahkan kepada Bu Jessica.” Ungkap gadis itu lalu menyerahkan beberapa paper bag berisi barang-barang.Jessica hanya menganggukkan kepala sekilas dan mener
Semua rencana sudah tersusun rapi, dan Jhonny yakin anggota timnya dapat bekerja dengan optimal memerankan setiap penyamaran. Sekalipun tidak mengantongi identitas dari target yang mereka kejar, dia tidak bisa berdiam diri saat seorang bandar besar yang sering menyuplai narkotika berkemungkinan tengah melakukan pertemuan. Sudah sedari lama mereka mengincar sang bandar namun pergerakan yang dilakukan bahkan tidak bisa diendus oleh pihak kepolisian. Si Hantu merupakan satu-satunya pengedar yang diharapkan memiliki cukup informasi mengenai dari mana asal-usul barang haram tersebut datang, meski yang bisa mereka dapatkan hanya informasi rancu terkait keberadaan sang penyuplai.Tidak seperti ambisinya yang membara untuk menangkap sang pengedar, saat ini polisi tersebut justru harus menundukkan kepala menerima setiap umpatan dan sumpah serapah dari seorang pria berjas hitam karena mendapati bumper mobilnya hancur berantakan. Kerah seragam yang dikenakan bahkan sudah di cengkeram se
Sebagaimana perintah sang ketua tim yang memintanya untuk menyelidiki keberadaan pria mencurigakan yang dikawal beberapa orang, Ajun melaksanakan perintah tersebut dengan sigap. Sekalipun sang polisi yang tengah melakukan penyamaran sebagai staf keamanan tidak melihat orang yang dimaksud kepala timnya, namun Ajun tidak kehabisan akal untuk mencari jejak sosok tersebut melalui rekaman CCTV. Ruang kendali keamanan tampak senggang dengan hanya diisi seorang pria sebelum Ajun ikut bergabung di dalamnya dan menyapa.“Malam, Bang.” Sapa sang polisi ramah.“Hah? Oh malam. Elo…?”“Saya Ajun, pegawai baru di sini.” Ucap pemuda itu memperkenalkan diri.“Gue Septa, semoga betah kerja disini ya.” balas sang pria menyambut jabat tangan. “Omong-omong ada urusan apa ke sini?”“Saya dapat keluhan perihal orang mencurigakan, jadi diminta buat lihat CCTV.”“Oh, ya? Perasaan d
Hidup dengan golden spon sejak lahir membuat Tio terbiasa dengan kebiasaan kehidupan mewah, ada saat dalam fase hidupnya dimana Tio menjadi sosok yang menyebalkan dengan mengagungkan uang dan ketenaran di atas segala-gala hal. Hingga di satu titik pemuda itu menemukan titik pencerahan yang membuatnya berubah menjadi pemuda bertanggung jawab dan tentunya tampan. Entah berkah atau kesialan, Tio yang sibuk mengantarkan minuman ke berbagai orang dengan mata yang sibuk melakukan pengawasan tanpa sengaja menemukan satu sosok yang menjadi penyebab seorang Tio remaja berubah hingga jadi seperti sekarang. Anatasya, entah apa yang gadis itu lakukan di tempat seperti ini dengan seragam yang sama dengan yang tengah Tio kenakan. Sekalipun ada pepatah jodoh tidak akan ke mana dan pakaian mereka yang terkesan couple sekalipun tanpa terencana, hanya saja Tio tetap tidak menyukai melihat gadis itu harus sibuk bersusah payah mengantarkan minuman dan camilan sebagai pramusaji. Tio bersyukur bisa dipert
Suara ketukan di pintu sukses membuat seorang di dalam ruangan langsung menunjukkan sosoknya dengan membuka pintu tersebut lebar-lebar. Senyum formalitas sudah terpatri dari seorang pria yang memakai seragam hotel untuk menyapa tamu yang tengah menginap di kamar tersebut. “Selamat malam, saya dari pihak pelayanan kamar menerima keluhan mengenai air panas shower kamar mandi yang tidak berfungsi?” tanya pria itu sopan. “Iya, Mas. Tolong segera diperbaiki, ya.” Sandy yang tengah melakukan penyamaran hanya mengangguk pelan, pemuda itu segera bergegas melakukan tugasnya setelah dipersilakan. Kamar hotel yang hanya ditinggali seorang wanita tanpa adanya tanda-tanda sosok lain, kerapian yang terjaga membuat Sandy lebih gampang melakukan pemindaian hingga mencapai satu kesimpulan bila kamar tersebut tidak terdapat aktivitas pengedaran narkoba. Tidak menunggu lebih lama, Sandy segera memeriksa sumber masalah yan membuat penghuni kamar tersebut menyampaikan keluhan. Tidak butuh usaha ekstra
Hari itu aktivitas di sebuah hotel dipusat kota tampak lebih sibuk dengan para staff-nya yang sibuk menyelesaikan pekerjaan untuk mempersiapkan sebuah acara perusahaan yang akan di helat di aula hotel tersebut. Di antara kesibukan para pegawai, seorang wanita yang barus saja turun dari taksi menyeret kopernya menuju meja resepsionis. Sapaan hangat dan keramahan didapatkan saat wanita tersebut berniat memesan kamar, namun tidak seperti pertanyaan standar seorang resepsionis yang melayani customer, gadis yang berjaga di belakang meja tersebut sedikit penasaran melihat salah satu atasan mereka berniat menginap dengan membawa koper besar. Jessica, sekalipun wanita itu mencoba mengelabuhi pegawai yang bekerja di tempat yang sama hanya dengan mengenakan kacamata besar yang membingkai matanya, lirikan penasaran yang di dapatkan sejak melangkahkan kaki ke lobby hotel sudah cukup untuk menjelaskan bahwa penyamarannya masih kurang. Namun menyamar dan menutupi identitas bukanlah tujuan utama, wa
Pukul tujuh malam, hampir empat jam dia habiskan dengan terjebak bersama para suami di komplek Indah Permai. Empat jam yang seharusnya bisa dipakai dengan lebih baik dari pada sekedar mengobrol dengan topik mengeluhkan tingkah dari para istri yang kerap di luar nalar. Beruntungnya kebanyakan para istri yang juga ikut untuk menjenguk sudah lebih dulu pamit pulang, begitupun dengan Jessica yang tega meninggalkannya sendirian dan terjebak dengan para suami yang bergosip. “Baru pulang?” Memasuki ruang tengah, sebuah suara terdengar menyapa dengan kalimat pertanyaan retoris. Entahlah, sekalipun Jhonny tidak menyukai berbasa-basi dan menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya, hanya saja dia tetap menyukai saat Jessica yang bertanya. “Hmm…” balasnya bergumam dan memilih untuk duduk di sofa panjang. “Home sweet home. Memang nggak ada yang lebih nyaman dari rumah sendiri.” Melepas penat dengan bersantai sejenak membuat sang polisi tanpa sadar hampir terlelap dalam bunga tidur, sampai
Manusia tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai makhluk sosial, begitupun dengan Jhonny dan Jessica yang harus hidup membaur dan bersosialisasi dengan para tetangga yang juga tinggal di komplek yang sama. Komplek Indah Permai merupakan sebuah komplek perumahan di pinggir kota dengan para penghuninya yang memiliki berbagai macam karakter berbeda. Seperti yang sudah dijanjikan pada Jessica dengan menyanggupi permintaan sang istri untuk menjemput pulang, dengan wajah riang Jhonny bahkan tidak ragu untuk segera pulang tanpa menghiraukan sorot heran yang ditunjukkan beberapa orang. Beberapa sapaan dari rekan yang kebetulan berpapasan bahkan hanya dibalas sambil lalu oleh polisi itu. Sore itu terasa lebih istimewa dari pada hari lainnya, kerisauan tidak berdasar yang selama ini terus memenuhi pikirannya mengenai kemandirian Jessica yang berlebihan sedikit menemukan titik pencerahan. Mungkin sedari awal tidak pernah ada riak yang mengguncang rumah tangganya yang damai seperti danau, karena t