“Maaf, aku pulang terlambat. Ada sedikit masalah—”Marco mendadak terhenti di depan pintu selepas menyadari Rosetta telah terlelap dibuai oleh mimpinya. Langkah pria itu membeku. Sorot matanya tertuju pada makhluk cantik yang sedang mendengkur halus dari balik selimut tebalnya di sana.“Dia tidur,” bisiknya kemudian.Senyum Marco tersungging lebar tanpa dia sadari. Menonton Rosetta tengah berbaring damai di atas sofa berukuran besar itu seketika membuatnya merasa lega. Dia menungguku, pikirnya.Marco meneruskan langkah dengan hati-hati. Dia berjalan menuju ke arah wanita itu dan berjongkok di samping Rosetta. Memandanginya dengan tatapan memuja. “Bunga mawarku,” gumam Marco yang masih mengagumi keindahan di depannya.Marco mengulurkan satu tangannya—menyentuh puncak kepala Rosetta dengan gerakan lembut, lantas menonton wanita itu tidur selama beberapa waktu. Betah dalam kesunyian yang mengurung mereka pada dini hari. Pikirannya melayang ke sejumlah kenangan tentang insiden kesalahpah
“Di situ—oh, ya, itu.”“Aku suka seseorang yang memohon,” bisik Marco yang berniat menggoda Rosetta dan mengulur sensasi familier yang terasa nikmat itu dari pusat tubuhnya.“Sial, kumohon. Marco, aku menginginkannya.”“Memohonlah dengan benar,” desis pria itu lagi.“Aku—oh, kumohon. Marco, kumohon. Aku ingin meraihnya. Sangat amat ingin merasakannya.”Marco menelan air ludahnya dengan susah payah. Menyaksikan Rosetta dalam kondisi putus asa menjadi satu-satunya pemandangan terbaik yang dia lihat malam itu. Dia mengeratkan dekapan, lantas menambah intensitas kecepatan pinggulnya memompa dengan sempurna.Sedikit lagi. Marco tahu Rosetta akan mencapainya sedikit lagi. Sekujur tubuh wanita itu akan dihempas oleh tremor yang menguasai sepasang kakinya—gemetar tanpa henti, membulatkan bibirnya, sementara setiap kukunya mencakari punggung Marco dan meninggalkan sejumlah bekas luka gores di sana esok pagi.“Tidak, Sayangku. Belum. Belum waktunya untuk itu,” ucap Marco yang langsung menarik d
“Bukankah rasanya menyenangkan bisa melarikan diri sesekali dari rutinitas yang monoton dan memuakkan itu? Aku rela menukarnya dengan apa pun agar aku punya kesempatan untuk menemukan diriku lagi.”Rosetta langsung menurunkan senjata apinya dari papan target. Dia menoleh pada Marco yang tengah memperhatikan dirinya mengasah kemampuan menembaknya siang itu. Menaikkan kacamata berlensa polar tersebut ke atas kepala dan duduk bergabung bersama kekasihnya.Mereka memutuskan untuk pergi menembak selepas menuntaskan malam penuh gairah yang luar biasa itu. Melatih keahlian Rosetta agar lebih cakap dalam situasi yang mengharuskannya untuk melindungi dirinya sendiri. Alasan yang selalu Marco tekankan padanya.“Mengapa kau berhenti?”“Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?”“Aku hanya bicara pada diriku sendiri,” aku Marco kemudian.“Bicara dengan dirimu sendiri?”“Kadang-kadang aku memang bertingkah aneh.”Rosetta tergelak sebentar, lantas meletakkan pistolnya di atas meja. Dia menghela napas s
“Batalkan semua transaksi ke Damaskus,” perintah Marco melalui telepon selulernya dengan setengah berbisik sebab enggan membuat Rosetta bangun dari tidurnya.Seseorang dari seberang sana menyahut dan Marco kembali membalas, “Tidak, Bahar. Aku tidak peduli. Pulangkan saja para gadis itu ke tempat tinggal mereka. Aku yang akan bertanggung jawab atas kemarahan Syekh Zayed nanti.”Lawan bicaranya yang disebut-sebut bernama Bahar itu lagi-lagi menyahut dengan banyak kata tetapi. Marco berdecak kesal, lantas meminta pria keturunan Turki tersebut menutup mulutnya. Kepalanya terasa pening karena kurang tidur sekarang.Jarum jam masih menunjukkan pukul tiga pagi. Waktu yang kelewat dini untuk memulai hari. Namun, Marco sudah terjaga lebih awal dan sulit untuk kembali terlelap seperti sebelumnya.“Urus saja gadis-gadis itu untukku. Aku akan meminta Matteo dan yang lainnya mengawal mereka lewat jalur udara,” lanjutnya lagi.Percakapan itu pun terputus dan menyisakan hening yang terasa ganjil bag
“Setiap orang punya batas untuk sesuatu dan Caritta sudah melanggarnya. Aku tidak tahan lagi. Aku akan menyeretnya kemari sekarang juga. Kami harus bicara,” tekan Rosetta dengan kedua alis yang saling bertaut dan ekspresi sengit di wajahnya.“Aku akan membujuknya nanti. Dia tidak akan bicara dalam kondisi seperti itu padamu.”“Membujuknya? Kau?” ulangnya menyangsikan kalimat itu.“Percayalah, kalian akan duduk bersama di taman belakang atau di mana saja yang kalian suka nanti sore. Aku akan mengaturnya untukmu.”“Dengan cara apa?”Ludovic bergerak mengitari Rosetta. Mengambil posisi yang menurutnya paling strategis untuk mendekati sekaligus menghirup aroma tubuh wanita itu di pagi hari. Dia berdiri di belakang Rosetta—menelengkan kepalanya sedikit ke sisi kanan dan berbisik lirih, “Itu rahasia. Aku punya keahlian khusus untuk menundukkan orang-orang.”Deru napas Ludovic yang berembus ke tengkuk Rosetta saat dia berbicara serta-merta mengirimkan sinyal aneh di tubuhnya. Sensasi gelitik
“Sendiri lagi, Botticelli?” sapa Nick Brunacci dengan nada mengejek sekaligus menghadang akses jalan.“Apa kau tertarik untuk menemaninya?” cemooh Roberto Bailey sambil menyikut dada salah satu kawannya yang sedang mengunyah permen karet di samping mereka.Simone Mengucci yang berambut pirang itu meletuskan permen karet di mulutnya. Dia terkekeh menertawakan pertanyaan yang dilontarkan oleh Roberto sebelumnya. Sorot matanya terkunci pada sosok Ludovic—yang baru beranjak remaja dan dikepung hormon pubertasnya—yang kebetulan melintas di depan geng para pembuat onar sekolah itu.“Kau bertumbuh lima inci setiap harinya, eh? Hari ini kau tampak seperti unta, esok kau akan terlihat seperti jerapah. Apa ibumu telah membuat kesalahan sewaktu melahirkanmu dahulu?” serang Simone yang masih menggigiti permen karetnya dan menggelembungkan balon itu ke hadapan Ludovic.Gelak tawa tiga orang remaja yang dikenal suka membuat masalah tersebut spontan pecah memenuhi halaman belakang sekolah mereka yan
Rosetta mengurung diri di kamar. Kepalanya terasa pening sampai-sampai dia hanya mampu duduk di pinggir ranjang dan menekuri jemari kakinya sendiri. Cukup lama hingga waktu kemudian berlalu begitu cepat tanpa disadari.Pusing yang menyerang Rosetta masih bertahan mengganggunya. Dia pun memutuskan untuk berbaring sebentar, lantas memikirkan semua peristiwa yang terjadi selama belakangan terakhir. Itu salah, pikirnya.Jari telunjuk Rosetta terangkat dan menyapu permukaan bibirnya dengan ragu. Mengingat rasa kecupan yang pernah Ludovic tinggalkan di sana. Mengapa pria itu harus begitu mahir menciumnya?Ada terlalu banyak pertanyaan dalam benak Rosetta sekarang. Tentang kesalahannya dan tentang kepolosannya memandang sesuatu. Benarkah dia senaif itu?Jika Rosetta kembali menarik mundur ingatannya pada kejadian di lorong bawah tanah tempo lalu, maka dia jauh lebih suka untuk disebut sebagai idiot. Apa yang merasukinya kala itu? Hasrat pada calon adik iparnya sendiri?Menjijikkan, rutuk Ros
Ludovic berhasil mempertemukan dua saudari kembar itu sebagai permintaan maaf atas sikap kasarnya tadi pagi. Caritta dan Rosetta sedang duduk di halaman belakang sekarang. Di antara taman bunga yang selalu terawat apik di sana.Taman itu berkonsep labirin yang estetik. Tanaman setinggi tiga kaki tersebut mengular hingga ke sayap barat. Indah sekaligus menawarkan ancaman pada waktu yang sama.Setelah puas menikmati pemandangan itu dalam diam, Rosetta kemudian bergidik membayangkan bahwa dia akan tersesat dan sulit untuk menemukan jalan keluar. Mengapa kediaman Botticelli selalu sarat dengan rahasia? Mulai dari lorong bawah tanah sampai rancangan taman yang kental oleh misteri.“Apa para mafia memang punya selera yang aneh?” gumam Rosetta yang masih memandangi area penuh lika-liku itu dari posisinya.“Jadi, aku dipanggil kemari hanya untuk menyaksikan taman labirin?” tegur Caritta yang menciptakan ketukan berirama cepat di atas meja berbahan kayu itu.Rosetta mendadak menyudahi keterpan
Rosetta spontan menghapus air matanya dengan terburu-buru. Ludovic yang melihat aksinya kemudian menahan kedua pergelangan tangan Rosetta dan menggeleng lembut. Seringai samar tergambar di sudut bibirnya sebelum berujar, “Tidak ada yang salah dengan kesedihanmu, Sayang. Kita semua memang merasa kehilangan.”“Maaf—”“You don’t have to be sorry,” potong pria itu.“Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu dengan Marco. Aku hanya... hanya... menghibur diri dari luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.”“Aku tahu itu,” desah Ludovic yang merangkul pinggang Rosetta ke sisi tubuhnya.“Aku tidak mendengarmu datang,” kata Rosetta selepas berhasil menguasai emosinya lagi dan jejak air mata di wajahnya mengering.Ludovic beralih mengulurkan kedua tangannya pada tubuh kecil Beatrice dan mendekapnya dalam gendongan, lantas menjawab, “Aku naik taksi kemari. Taleo sedang sibuk membantuku mengawasi pabrik. Lagi pula, aku juga ingin mengunjungi kakakku sesekali.”“Beatrice baru saja menaruh buket bun
Seorang wanita dalam balutan jumpsuit nuansa hitam dan sepatu berhak rendah model pointed-toe pump yang senada itu baru saja turun dari mobil. Benda yang ditentengnya adalah dua buket bunga forget me not. Diletakkan dengan hati-hati pada sebuah keranjang bambu yang dihadiahkan seseorang padanya kemarin sore.Punggungnya berbalik cepat, mengulurkan kedua tangannya ke arah jok, lantas menggendong tubuh bocah kecil yang sedang menggenggam sebuah bola plastik di tangan kirinya tersebut. Bibir menggemaskan itu tertawa sewaktu ibunya mengecup ringan salah satu pipinya selepas dia dirangkul erat dalam gendongan. Sepasang iris biru lautnya kemudian mengerjap-ngerjap melihat ke sekeliling yang terasa asing baginya.“Apa kau menyukainya, Sayang? Memang bukan pemandangan yang biasa kau lihat, tetapi Mom janji kau akan menikmatinya. Tempatnya sangat rindang dan nyaman untuk kau bertemu dengan Dad,” katanya sambil menyelipkan sehelai rambut cokelatnya yang berkibar ditiup angin ke daun telinga kan
“Segelas martini dingin di sore yang cerah merupakan sesuatu yang sempurna untuk menutup hari, bukan?” ucap Ludovic yang mengerling pada Taleo sambil mengangkat gelas miliknya ke atas.“Tentu saja, Tuan Muda.”“Bersulang?” tawar pria itu lagi dan mendekatkan bibir gelasnya pada bibir gelas Taleo.Taleo mengangguk mengiyakan dengan senyum samar yang menghiasi wajahnya. Dia memajukan gelas dan bunyi denting sontak saling beradu di udara. Kedua alisnya terangkat membentuk ekspresi setuju.“Untuk hidup yang lebih baik ke depannya,” harap Ludovic yang kemudian terkekeh menertawakan kalimatnya sendiri.“Dan kebahagiaan bagi Tuan Muda,” tambah Taleo yang menelengkan kepalanya.Ludovic menyesap martininya dengan hati-hati. Dua butir buah zaitun yang mengendap di dasar gelas pun menggelinding naik ke permukaan. Berlomba-lomba mendekati mulut pria itu dan menyumpalnya lewat gravitasi yang berubah oleh sisi gelas yang condong.“Rasanya nikmat sekali seperti dosa,” desah Ludovic selepas menyeka b
Sebelum Rosetta sempat mencerna maksud dari ucapan Marco, pria itu sudah membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kasar. Para bawahannya maju lebih dahulu, memasang benteng perlindungan bagi tuannya, lantas mengacungkan senjata laras panjang di tangan mereka pada kelompok Salvoni.Rosetta yang gemetar dan putus asa di dalam Mercedes-Benz berbodi tangguh itu menutup mulutnya sendiri. Membungkam kesiapnya sebelum berubah menjadi jerit ngeri yang akan melenyapkan pita suaranya. Berjuang menekan ketegangan yang menari di sekeliling mereka ke lapisan paling dasar.Ketenangan yang didambakan Rosetta kembali menjauh dari jangkauan. Segala sesuatunya mengabur dari pandangan dan memaksa Rosetta untuk bergerak atau dia akan terperangkap tanpa proteksi. Dia kemudian berlindung ke balik jok kemudi, menarik sebuah kotak kayu yang ada di bawahnya dan mengambil sebuah pistol bermetode dual action yang tersimpan di dalam sana.Jemari Rosetta meraih benda itu dengan hawa dingin yang seketika melun
Langit terasa runtuh menimpa Rosetta selepas dia sadar siang itu. Pandangannya kemudian memindai ke seantero kamar. Ada seorang dokter pribadi yang sudah dia kenal dengan baik sedang merawatnya. Pria berkacamata minus kepercayaan Marco itu melemparkan senyum tipis pada Rosetta. Dia memeriksa tekanan darahnya yang kelewat rendah. Bercakap-cakap dengan Marco sebentar sebelum melanjutkan pengecekan lainnya.“Apa itu benar? Caritta? Dia... dia sudah... apa polisi tidak salah mengidentifikasi?” tanya Rosetta yang berjuang keras menahan bulir air matanya jatuh.Marco mengetatkan rahangnya dalam diam. Berharap dapat mentransfer kekuatan lebih untuk kekasihnya yang masih syok atas kabar buruk itu. Namun, satu-satunya yang mampu dia katakan hanya mengiyakan dengan ekspresi muram.Marco tahu Rosetta terpukul atas berita kematian saudari kembarnya. Siapa yang menyangka bahwa jasad Caritta akan ditemukan di tepi dermaga dengan kondisi setengah membusuk karena terseret gelombang? Hasil penyelidik
Dua minggu berlalu dengan cepat. Pagi itu cuaca sedikit lebih cerah dan membuat Rosetta terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk melalui sisi jendela. Dia mengerjap-ngerjap sebentar sebelum memutuskan untuk bangkit dari balik selimut menuruni ranjang.Satu tangan Rosetta terulur ke depan. Kepalanya setengah menunduk sambil menyibak sebagian tirai dan mengintip suasana di luar. Cahaya itu pun langsung menembus indra penglihatannya dalam sekejap.Kening Rosetta otomatis mengernyit. Sepasang matanya menyipit sebagai reaksi silau yang tertangkap olehnya. Dia menoleh ke arah ranjang, memperhatikan Marco yang masih berkutat dengan mimpi-mimpinya di sana.“Salah satu pemandangan yang ingin selalu kulihat adalah pria itu ada di dekatku setiap hari,” bisik Rosetta yang berdiri di depan tirai dalam kondisi tersibak separuh.Kesadarannya akan sesuatu yang penting mendadak menyentak pikiran Rosetta. Langkahnya kemudian berlalu menuju ke nakas yang ditata persis di samping kiri ranjang
“Rosetta? Siapa yang peduli? Bunuh saja sekalian.”Suara lain yang lebih rendah dari suara pertama menyahut, “Itu mudah untukku, tetapi bagaimana dengan Marco?”“Dia bagianku.”“Menghabisi satu tikus kecil lemah seperti kekasihnya akan jadi penggenapan rekorku yang ke seratus,” balasnya dengan nada puas.“Bagaimana dengan Ludovic?”“Siapa Ludovic?”“Putra kedua Botticelli. Kau tidak tahu dia?” tanya rekannya lagi.“Aku tidak pernah mendengar reputasinya di dunia bawah.”Pria dengan cerutu yang menyala di bibirnya itu mengembuskan asap tebal sambil mendongakkan kepalanya ke atas dan menjawab, “Dia memang tidak menggeluti dunia yang sama dengan kakaknya. Aku juga hanya melihatnya sesekali. Dia mengelola pabrik dan perkebunan anggur. Mereka mengambil jalan yang berbeda.”“Itu mengingatkanku pada sebuah lelucon tentang iblis dan malaikat yang pernah kudengar sewaktu kecil,” kekeh pria yang sedang memegangi sebotol bir di tangan kirinya itu. “Dia lebih terlihat seperti pengecut yang selal
“Tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga yang menggiurkan, bukan? Bagaimana menurutmu?” bujuk Fabio lewat telepon selulernya.“Lima.”“Lima? Apa kau berniat merampokku?”“Kau memesanku secara khusus, Tuan Salvoni. Kau tahu aku sedang terburu-buru dan akan meninggalkan Puglia esok pagi.”“Baiklah. Kita sepakat,” balas Fabio kemudian dengan berat hati.Caritta yang mendeteksi nada enggan dalam suara pria itu hanya mengulum senyum puas tanpa menanggapi. Pelanggan terakhirnya akan membuat jumlah saldo di rekeningnya kembali membengkak. Setelah itu, dia akan pulang dan membuka sebuah toko roti seperti orang tuanya dahulu. Kembali ke Magnolia Springs akan menumbuhkan harapan baru dalam hidup Caritta lagi. Sesuatu yang dia pikir mustahil untuk dia punya selepas kekacauan yang telah terjadi selama belakangan terakhir. Mimpi-mimpi itu akan segera terwujud, pikirnya.“Sampai jumpa satu jam lagi, Tuan Salvoni!” tutup Caritta di ujung sana.Caritta menumpangi taksi untuk tiba di kediaman Salvoni
“Apa yang terjadi?” tanyanya lagi.“Ka-kaki kiriku terkilir.”Marco langsung bergerak sigap dan memindahkan tubuh Rosetta dari jangkauan Ludovic dengan hati-hati. Menariknya ke dalam pangkuan. Memandangi wajah kekasihnya dengan penuh arti, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu.“Kau tidak membutuhkan ini,” desis Marco yang kemudian melepaskan mantel kasmir juga syal rajut itu dan melemparkannya lagi pada Ludovic.“Aku tidak suka mencium bau pria lain di tubuhmu,” sambungnya sambil menyampirkan mantel kardigan miliknya di kedua pundak Rosetta.“Ma-maafkan aku,” bisik Rosetta yang menunduk menghindari tatapan tajam Marco.“Apa kau telah membuat kesalahan yang begitu besar sampai-sampai kau harus mengucapkan permintaan maaf padaku?” pancingnya tanpa memedulikan Ludovic yang ekspresinya berubah padam oleh rasa jengkel.“Tidak. Maksudku, aku minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau harus menggendongku gara-gara kakiku yang sakit.”“Kau baru sadar sekarang?” balas pria itu ketu