Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian di mana Audrey telah mengetahui hubungan Xander dan Serry. Selama tiga hari ini, Audrey sama sekali tidak keluar dari kamar. Setiap kali Audrey ingin makan maka pelayan yang akan mengantarkan makanan ke kamarnya.Tiga hari ini pun, Audrey nyaris tak pernah lagi bertemu dengan Xander. Pasalnya memang Audrey membutuhkan ruang untuk sendiri. Kalau pun, Audrey bertemu dengan Xander ketika dirinya keluar kamar; maka Audrey hanya memberikan senyum dan langsung pergi menghindar dari Xander.Hati Audrey belum siap berlama-lama berada di dekat Xander. Setiap kali Audrey melihat Xander—yang ada dalam pikiran Audrey adalah bayanagan kala Xander bercumbu dengan Serry. Itu yang selalu membuat hati Audrey sangat tersiksa.“Nyonya Audrey,” sapa sang pelayan yang sontak membuat Audrey membuyarkan lamunannya. Seperti biasa, Audrey duduk di sofa melamun melihat ke luar jendela. Inilah yang Audrey lakukan selama tiga hari ini. Audrey membutuhkan ruang sendiri. Tak
Jarum jam dinding menunjukan pukul dua siang. Audrey yang menghabiskan waktu membaca buku di ruang tengah, akhirnya memutuskan kembali masuk ke dalam kamar. Namun, dikala Audrey hendak masuk ke dalam kamar, Audrey kembali berpapasan dengan Xander.“Audrey.” Xander memanggil Audrey dengan tatapan dalam dan tersirat penuh kerinduan.“Xander, maaf Aku belum bicara dengan pengacaraku tentang perceraian kita. Aku ingin lebih dulu bicara dengan keluarga kita. Nanti aku akan segera—”“Tuan Xander, Nyonya Audrey.” Seorang pelayan menginterupsi percakapan Xander dan Audrey. Refleks, Xander dan Audrey mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu.“Ada apa?” tanya Audrey lebih dulu seraya menatap sang pelayan.“Nyonya, di depan ada Tuan Athes, Nyonya Miranda, Tuan Marco, Nyonya Angela serta adik-adik Anda dan adik Tuan Xander, Nyonya,” jawab sang pelayan yang sontak membuat Xander dan Audrey sama-sama terdiam.“Mereka datang?” Kali ini Xander bertanya pada sang pelayan memastikan.“Benar,
“Audrey, apa yang ingin kau katakan?” tanya Miranda dan Angela yang tak sabar. Ya, mereka semua sekarang duduk di ruang tengah termasuk Xander juga ada di sana. Tatapan semua orang tertuju pada Audrey menunggu Audrey selesai bicara.“Kak Audrey, apa kau ingin bilang kalau kau hamil?” pekik Xena bersemangat—dan sontak membuat raut wajah semua orang di sana terkejut. Gadis itu nampak sangat girang kala menebak itu.“Audrey, kau hamil?” tanya Angela dan Miranda begitu bersemangat.“T-tidak. Aku tidak hamil.” Buru-buru Audrey menjawab agar semua orang tidak salah paham padanya. Audrey juga tak mau sampai ada yang menaruh harapan dirinya tengah hamil.Raut wajah Angela dan Miranda kompak menujukan kekecewaan mendengar jawaban Audrey. Padahal mereka sangat berharap Audrey segera mengandung. Namun, tentu Angela dan Miranda tidak mau terlalu menunjukan kekecewaaan. Mereka tidak ingin membuat Audrey bersedih.“Lalu apa yang ingin kau katakan Audrey? Apa kau dan Xander ingin berbulan madu?” tan
Semua orang melebarkan mata terkejut akan pengakuan Xander.“Jangan main-main dengan ucapanmu, Xander!” bentak Marco keras dan menggelegar.“Aku tidak main-main dengan ucapanku. Apa yang aku katakan adalah kenyataan. Aku telah berselingkuh dari Audrey sampai akhirnya Audrey memutuskan bercerai dariku,” jawab Xander tegas dan raut wajah penuh bersalah.“Berengsek!” Athes bangkit berdiri, menarik kerah kaus Xander—dan langsung melayangkan pukulan pada Xander sekeras mungkin.BUGH BUGH BUGHBUGHAthes menghajar Xander tanpa ampun, hingga membuat tubuh Xander nyaris tersungkur. Tubuh Xander tinggi dan gagah sama seperti Athes. Itu kenapa Xander tak mudah untuk tumbang.“Pa!” jerit Audrey keras kala Athes menghajar Xander.“Athes hentikan!” Miranda langsung memeluk lengan Athes. Tepat dikala Athes berhasil dihentikan, Marco melangkah maju dan melayangkan pukulan keras pada Xander.BUGH“Anak sialan! Beraninya kau melukai Audrey!” bentak Marco keras dan menggelar.“Marco berhenti!” Angela
“Akh—” Xander meringis kala Audrey mengobati luka lebam di wajahnya. Luka yang cukup parah karena Athes dan Marco memukulnya sangat keras. Pun Xander tak melakukan perlawanan sama sekali kala ayah dan ayahnya memukulnya.“Luka di bibirmu cukup dalam. Sepertinya kau harus diperiksa dokter. Aku sudah membersihkan darahmu tapi aku takut luka ini semakin parah. Setelah ini aku akan menghubungi dokter untuk datang memeriksakan luka di wajahmu,” ucap Audrey kala sudah mengobati luka di wajah Xander. Wanita itu meletakan kembali obat yang telah digunakannya ke dalam kotak obat.“Tidak usah memanggil dokter. Ini hanya luka kecil, Audrey.”“Itu bukan luka kecil, Xander. Kau harus diperiksa dokter.”“Luka ini tidak seberapa dibanding luka yang kau dapatkan, Audrey.”Seketika Audrey terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Xander. Raut wajah Audrey menunjukan kemuraman. Hati Audrey memang sangat sakit dan terluka tapi wanita itu menyadari semua terjadi karena keegoisannya.Audrey yang memaksa h
Audrey menatap rapuh satu koper berukuran besar miliknya yang sudah tertata rapi barang-barang pribadinya. Terlihat mata Audrey sudah berembun nyaris mengeluarkan air mata. Namun, mati-matian Audrey menahan diri agar tak menangis.Audrey tahu apa yang dia lakukan adalah memang yang terbaik untuknya dan Xander. Selama ini sudah cukup dirinya memaksa Xander untuk bersama dengannya. Sekarang waktunya Audrey untuk membiarkan Xander hidup bahagia dengan wanita yang memang Xander cintai.Tatapan mata Audrey tanpa sengaja mulai teralih pada bingkai foto pernikahannya dan Xander yang terletak di atas meja. Audrey terdiam beberapa saat kala melihat bingkai foto itu.Audrey mengambil bingkai foto itu—dan menatap dalam foto pernikahanya dengan Xander. Senyuman di wajah Audrey pun terlukis samar. Meski wajah Xander begitu dingin tapi di foto terlihat bahwa mereka adalah pasangan berbahagia. Walau itu hanyalah sekedar foto tapi paling tidak Audrey memiliki kenangan dengan Xander.Hingga kemudian,
Aroma pengharum ruangan jasmine menyeruak ke di indra penciuman Audrey kala Audrey memasuki apartemen pribadi miliknya. Apartemen mewah dengan design klasik. Nuansa hitam dan abu-abu sangatlah teduh dan nyaman di mata.Audrey meletakan koper besar miliknya ke sudut ruangan. Lantas, Audrey duduk di sofa kamarnya seraya memejamkan mata lelah. Sungguh, Audrey terkadang tak menyangka harus kembali ke apartemen miliknya. Tapi, Audrey tak menyesali apa yang telah terjadi. Semua orang memiliki masa lalu. Andai saja tak ada hal seperti ini; maka Audrey akan terus memaksakan kehendaknya.Suara dering ponsel berbunyi. Refleks, Audrey mengambil ponselnya yang ada di dalam tas dan melihat ke layar—seketika Audrey terdiam melihat nomor Dakota—sepupunya terpampang di layar ponselnya. Audrey hendak mengabaikan panggilan itu tapi Audrey tak enak. Audrey takut kalau ada yang ingin Dakota katakan penting padanya.Kini Audrey pun memilih menggeser tombol hijau sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“
Xander memejamkan mata singkat dengan raut wajah begitu frustrasi. Beberapa kali, pria itu mengumpat kasar. Tak pernah Xander kalau kepergian Audrey membuatnya kosong dan hampa. Baru saja satu hari Audrey pergi tapi Xander sudah merasakan kehampaan.Setiap kali, Xander melihat ke kamar—pria itu selalu ingin mencari kebradaan Audrey. Senyuman hangat dan tulus Audrey selalu menyambut dirinya. Sekarang, senyuman itu telah lenyap tak lagi bisa Xander lihat.Xander tak mengerti ada apa dengan dirinya. Harusnya dia senang karena apa yang selama ini diinginkannya telah menjadi kenyataan. Xander tak perlu menunggu satu bulan untuk menceraikan Audrey. Karena sekarang, Audrey pun sudah melepasnya. Audrey tak lagi memaksakan hubungan mereka lagi.Namun, entah kenapa hati Xander menjadi sesak dan tak nyaman. Xander seperti merasa masuk ke dalam dunia mimpi. Dan ketika dia sadar—semua yang terjadi padanya bukanlah mimpi melainkan sebuah kenyataan.“Tuan Xander?” sang pelayan melangkah menghampiri
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k